Bulan: Oktober 2019

Puisi Hujan #1

Hujan rintik bak doa.
Tuhan-kah pengabul doa penindas?
Mengabul kaya orang yang kaya?
Rintik hujan malam ini sebanyak rupiah yang tertahan untuk korban PHK.
Tuhan, Engkau jawab dengan air.
Air Kau tumbuhkan pohonan.
Namun, Si rakus menebang dan membakarnya!

Orang-orang proyek menghabiskan anggarannya di Malioboro
Kereta eksekutif melaju menembus hujan.
Uang itu subsidi kaum papa.
Sanak famili menerimanya sebagai kasih sayang Tuhan.
Oleh-oleh sebentuk kedermawanan
Pegawai Honorer tidak mampu membeli susu. Istrinya sedang hamil.
Tuhan, Engkau jawab dengan air.

Adakah Engkau dalam setiap rintiknya?
Kaum papa yang sudah kenyang dengan lafadz ‘kelak’ dan ‘nanti’ balasannya.
Sabar adalah lauk pauk sehari-hari.
Buah-buah t’lah punah bagi kaum papa kecuali tiga.
Mangga di tempat sampah.
Pisang yang sudah terlalu masak.
Kurma pada bulan Ramadhan.

Tuhan, Engkau jawab dengan air.
Hujan membuatku lapar.
Yang kenyang sedang berada di kereta malam itu.*

Jumat, 1 November 2019

Para Pekerja

Kalau pertemuan bukanlah kebetulan, perjumpaan adalah takdir, serta apa yang didepan mata tidaklah selalu bagian dari yang direncanakan, seharusnya manusia tidak berhenti berefleksi diantara kata-nya. Klise tersebut menjadi mata melihat kenyataan dihadapannya kini.

Seorang pengaku intelektual yang kehilangan takdir melihat fajar hari itu. terbangun menghadap matahari setengah tinggi, serta udara yang sudah bercampur baur dengan kuantitas kendaraan yang jumlahnya tidak bisa dikuantifikasi. Tatapannya samar, mahasiswa itu menatap pekerja kasar yang sedang membangun parkiran kos-kosan.

Mataku melihat para pekerja perlahan, rasa malu menahan senyum yang biasanya terkembang di bibirku. Sementara mereka tak berekspresi apapun menatapku. Dalam pikirku seharusnya, jangan sampai aku kalah kerja keras dengan mereka. Bisikan lain katakan untuk menghibur diri, ‘Untuk menggapai sesuatu, tidak bisa tidak harus ada yang dikorbankan. ‘Penelitian’ ini demi kesejahteraan umat manusia, IPK dan kesuksesan diri.’

Mengobati diri yang biasanya akan lebih memuaskan jika bergandeng dengan lecehan. “Etos kerja tinggi, tetap saja percuma kala penghasilan berakhir untuk modal judi dan minuman. Bukankah lebih baik dinar-dinar itu dialokasikan pada modal usaha?” Diri menjadi sedemikian pongah. Merasa bahwa pelajar selalu bisa melihat peluang sesuatu yang dianggap stagnan, menjadi perkembangan signifikan.

Motor-motor yang terparkir seringkali berantakan. Tak beratap, kendaraan bersentuh langsung dengan terik panas hingga deras hujan. Sesekali harus memindahkan motor ke tempat yang lebih teduh. Para pekerja sementara sudah beraktifitas separuh hari. Duduk menghisap rokok dan menyeruput air putih. Kumasih berusaha mengembalikan kesadaran yang lama terlelap, sesekali menyapu kosnya yang basah lantaran dosa, merapikan kartu remi yang berantakan, serta membersihkan gelas berisi ampas kopi yang telah dimasuki cicak.

Sesekali mata bertemu dengan mata seorang Pekerja. Memunculkan abstraksi kata nyaris terucap, namun menyisakan perenungan dan diskusi kasat mata. Realita yang menghakimi lewat diskusi imajiner. Seolah ingin mengatakan penjaga peradaban saat ini adalah tukang bangunan. Para pekerja ini. Sebab intelektual kini tunduk pada pesanan penelitian, jurnal bejibun yang telah menjadi berhala baru pendidikan tinggi. Terbit jurnal membuat diri puas seakan perubahan telah terjadi, padahal tak sepersen prosentase ekonomi menurun, atau ketimpangan sosial disembuhkan, sudah membuat cara berjalan dengan tegap dan pongah. Seakan telah berbuat banyak dan paling tahu.

Para pekerja sebagai penjaga peradaban sebab yang laris saat ini adalah bisnis properti. Menjaga peradaban berarti menjaga agar pembangunan fisik bangunan terus berlangsung. Bahkan sarjana teknik sipil banyak merambah menjadi pebisnis kuliner, guru agama hingga trader forex. Tapi, siapa peduli para pekerja ini sebagai penjaga peradaban?

Salah seorang pekerja yang tak dikenal tetiba memperhatikan tangan kananku. Kemudian bertanya sesuatu yang sejujurnya tidak terlalu penting namun mengejutkan. ‘Aku masih heran apa rahasia dibalik gaya tulisanmu yang kerap berubah-ubah. Kadang miring, dalam waktu lain lurus, kadang bersambung, ukuran dan penempatannya pun berlainan.’ Pekerja itu tahu kebiasaanku! Barangkali dia pun tahu bahwa dalam perkuliahan, aku tidak suka menggunakan font Times New Roman yang begitu kaku. Sontak aku heran. Belum kujawab diantara kata-nya.

Saat dalam diskusi imajiner ini, cuaca yang biasanya amat terik, kini lebih syahdu, agak mendung jadinya. Masih belum kujawab, entah apa yang membuatku memperhatikan diantara kata-nya. Pekerja itu masih berbicara banyak hal. Sesekali menghisap sebatang di tangan kanannya. Beliau katakan sesuatu hal sederhana. ‘Mahasiswa jangan merasa cukup bertemankan buku. Sesekali bertebaran di tengah khalayak ramai. Jalan-jalan.’

Agar seseorang tahu bagaimana ruang sosial hidup dan terlihat dengan mata sendiri. Membaca problem tidak dari perspektif bacaan yang ditulis oleh orang lain meski itu sebuah fakta sosial. Melalui mata kita sendiri, pengalaman kita sendiri, objek kenyataan diterima oleh seseorang secara langsung, tanpa perantara apapun. Karena menceritakan pengalaman dan keresahan sendiri perihal sesuatu secara langsung dan original (pengalaman pribadi) merupakan sesuatu yang memuaskan.

Bosan rasanya perkuliahan diisi oleh penelitian-penelitian tanpa jiwa didalamnya. Aku hendak mengatakan bahwa indah sekali rasanya penelitian bermula dari problem sosial yang dialami dan rasakan oleh penelitinya. Peneliti harus memiliki keresahan pribadi atas keadaan sosialnya. Aku sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa hal ini tidak mudah. Rasanya, berbanggalah lingkungan akademik ini dapat dimanfaatkan menyusun penelitian pribadi guna memecahkan problem sosial di lingkungan di mana ia tinggal dan dibesarkan.

Cerita yang kuingat, sang Pekerja bercerita tentang seorang Perempuan yang berhenti menempuh pendidikan di menengah atas. Kehilangan Ayahnya yang seorang militer karena sakit. Tersisa di sampingnya seorang Ibu dan dua adik-adik perempuannya yang masih bersekolah dasar. Pekerjaannya silih berganti dari mulai penyanyi cafe, penjaga stand makanan, atau karyawan salah satu toko di mall.

Pemasukan dari pekerjaannya tidak mencukupi biaya sekolah adik, Ibu dan sehari-hari. ‘Apa yang bisa kulakukan selain mendengar keluhnya? Aku tidak bisa meminjamkan modal.’ Keluh Pekerja. Keluarganya tidak tahu kalau Perempuan yang tegar ini tetap berdiri tanpa rasa takut. Ia mencari lelaki hidung belang dengan mahar menutupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Saban malam pulang membawa kabar gembira dengan tentengan lauk makan malam.

‘Pada nyatanya, ia tak sekuat itu.’ Pekerja mencari korek menyambung rokoknya. Kemudian melanjutkan cerita. Mata kami tak bertemu, kepalanya mendongak ke atas menuju ranting pohon mangga. Pandanganku menatap ke bumi sembari memainkan kerikil. Sang Ibu dari Perempuan itu pada akhirnya menikah lagi agar ekonomi lebih stabil serta ada yang melindungi keluarga. Namun benar adanya bahwa ‘sabar’ bagi wong cilik adalah nafas hidup. Ayah tirinya ternyata seorang pengangguran. Meminjam dana pada rentenir untuk modal usaha angkringan. Akan tetapi perempuan yang kuat ini harus pontang-panting menutupi hutang.

Lelaki belang masih menjadi salah satu sumber penghasilan bagi sang Perempuan. Masalah baru muncul. Ayah tirinya kerap kali melakukan perilaku kekerasan pada Ibu dan kedua Adiknya. Terkadang pulang dalam keadaan mabuk. Geram sekali Perempuan ini. sang Pekerja sesekali menunjukkan ekspresi dan tatapan yang menirukan wajah sang Perempuan. Tangan kanan sang Perempuan memegang foto sang Ayah yang terlihat memakai seragam militer. Rindu. Teriak hatinya dalam bayang keputus-asaan. Air matanya tertahan. Ia tahu bahwa hidup harus dilanjutkan. Segenting apapun, seburuk apapun. Terkadang perempuan ini harus maju memasang badan melawan lelaki yang ia insafi sebagai Ayah tirinya. Kekerasan takkan pernah dibenarkan. Atas nama apapun.

‘Sebuah kabar buruk dan baik datang bersamaan.’ Sambung sang Pekerja. Beliau mematikan rokoknya yang sudah mulai panas dirasa tangan. Sang perempuan telah berhasil menemukan cintanya dan orang yang mencintainya. Lelaki tersebut adalah kiwirnya. Seseorang yang menjadi ‘pelanggan tetap’. Perempuan telah hamil. Tidak lama setelah itu, dilaksanakan pernikahan.

Buah hati yang kini telah lahir seakan menjadi oase di tengah penderitaan yang takkan kunjung sembuh. ‘Bahkan kini perempuan yang kini menjadi seorang Ibu membuat status whatsapp memperlihatkan perkembangan buah hatinya.’ Tulisnya: ‘Jagoannya Bunda dan Ayah. Jadilah anak sholeh, berbakti kepada orangtua.’ Bahkan di tengah kabut, cahaya mungkin akan muncul. Di tengah penderitaan, harapan pasti akan datang.

‘Rubahlah sesuatu, Pemuda. Jangan sampai kertas penelitianmu jadi bungkus nasi kucing yang kami makan ini.’ Ah kupikir aku bahkan tidak sedang benar-benar melakukan penelitian.

Buku yang kubaca ini bisa jadi produk zaman, yang suatu waktu akan berlalu. Sementara konteks sosial kehidupan selalu berubah dan pelik. Buku hadir merespon zamannya. Jiwa terdidik tidak boleh berhenti sebagai pemerhati sosialnya. Kesejahteraan sejati mungkin berat mewujudkannya. Tapi jangan sekali-sekali mengkhianati tugas dan amanah intelektual. Ilmu tidak bisa untuk ilmu.

Jika hari ini sebagian pelajar bekerja menjadikan penelitian sebagai ‘bisnis’, tidak sedikit juga dana yang ‘dilipat’ dalam penyelenggaraan kegiatan. Apa bedanya pelajar dan orang-orang proyek yang bekerja sesuai pesanan dan motif ekonomi. Maka kini bukan saja tentang etos kerja, melainkan orientasi pendidikanku yang harus berpihak kepada kaum tertindas. Aku padamu, Pekerja. Tiada ada beda diantara kata dan perilaku kita. Dalam kebrengsekan, kita yang selalu turut pada atasan kita, yang memberi kita uang. Dalam keresahan, kita yang sama merasa puas setelah ini dibicarakan, mengangguk tanpa berdiri melakukan perubahan.

Aku pun sadar dengan diskusi imajiner ini. Kulihat para pekerja tetap lugu dan menerima takdir. Aku harus segera pergi ke kampus, segera, tugasku belum selesai, agar dapat nilai A, me(rasa)njadi pintar, lalu kembali pada tidurku yang terlalu malam. Hingga kutemukan para pekerja lain. Pekerja lama bahkan menyelesaikan proyeknya demi kebaikan sosialnya. Sementara aku menjadi peneliti bunglon, yang menyesuaikan permintaan dosen.*

Rindu

Aku bahkan percaya bahwa di antara seni mencintai kekasih adalah medium pertengkaran. Mencintai dan menjalani hidup tanpa pertengkaran bersama kekasih adalah kemapanan ekonomi. Rasa lapar dapat sirna dengan mengabulkan semua keinginan.

Aku ingat kala kau marah. Sendu menahan tangis. Kita yang sesungguhnya sibuk memikirkan takdir kita sendiri. Namun aku salut bahwa kita mampu menjalani hidup dengan berani.

Kau yang sering marah tanpa menyapa. Aku pun demikian. Hingga rindu bersamaan menuntun kedua tangan kita pada suatu pertemuan yang canggung. Marahku tetiba duduk pada angka 0 melihat senyum. Senyummu mengembang tanpa rencana. Tatapanmu datang tanpa bimbingan wahyu. Sayangmu bahkan tiba tanpa takdir dan ramalan. Cintaku tumbuh sungguh tanpa pupuk dan siraman air. Rasa sayang padamu hadir tanpa restu diri.

Kau sesungguhnya mudah marah. Benci untuk menunjukkan rasa sayang berperantara kata. Tidak jarang kita bertengkar. Kau katakan bumi, aku katakan langit. Semakin dalam tatapan hingga tak sadar berada dalam dasar atmamu, aku justru semakin sadar kita begitu berbeda. Sempat terjebak kala memandang bola matamu berwarna cokelat. Aku terperdaya bahwa jalan takdir kita akan sejalan.

Bahkan bila garis hidup kita tak sejalan. Dalam relung aku bersyukur bahwa di antara hebat tengkar kita, terlalu akbar rindu yang memegang amarah. Umpatan kasar yang hanya melahirkan air mata sesal. Serta perpisahan yang menguatkan rindu.

Es dan Prinsip Doktrin

Sejak aku duduk di bangku SMA, seorang guru menceritakan sebuah penelitian di Jepang, bahwa sebuah air yang dibacakan ucapan-ucapan yang positif, kristal partikel-partikel didalamnya akan menjadikannya baik untuk kesehatan orang yang meminumnya. Sebaliknya ketika air tersebut diberikan ucapan-ucapan yang tidak baik, maka akan memiliki kandungan yang kurang baik pula.

Ingatan ini membawaku pada masa lalu. “Itulah arti penting dari sebuah doa.” Bagiku doa adalah puisi manusia. Doa memuat nilai-nilai positif. Air yang diminum tidak hanya menghilangkan haus, melainkan juga mendorong untuk melakukan hal-hal positif kepada sekitar.

Suhu ruang kelas tiba saja menjadi amat dingin. Potret kristal-kristal positif dalam air terpampang melalui proyektor menjalar hingga ke kulit tangan dan kaki. Aku membeku.

Pikiran terbuyarkan. Kedua tanganku erat menggenggam gelas berisi es kopi. Membuyarkan lamunan. Kuberada di sebuah Cafe kecil. Kesendirian memang acapkali akrab dengan masa lalu. Ah sial. Aku tidak pernah bisa meminum kopi secara perlahan. Volume air drastis menuju titik terendah dengan cepat, hingga yang kuhisap hanya hampa udara. Serta sisa-sisa air yang tak dingin lagi.

Aku meminum kopi hanya sekedar mencari dedak dalam kedalamannya. Lalu meninggalkannya setelah airnya mengering. Tiada cerita selain perenungan. Aku masih ingin menjaga gelas tetap dingin. Kubiarkan es yang perlahan mulai mencair. Kesabaranku juga mencair, kucari tetes leleh es yang menggenang di permukaannya. Tiada yang kudapat melainkan hanya sedikit. Aku menunggunya sembari menguapkan rindu padamu bersama lelehnya es.

Sekelibat suatu kesadaran hinggap menyapa pikiran. Mengapa harus menunggu es mencair. Lelehan es tidak akan memuaskan dahaga siapapun. Kalau ingin gelas ini agar tetap dingin, jangan menunggu es sampai mencair. Tuangkan air putih pada gelas kemudian. Dada berdegup kencang karena girang. Es-es dalam gelas mendinginkan air yang baru masuk belakangan.

Setelah air menjadi dingin, raut berubah menjadi tanda tanya. Air sedikit keruh bergumul dengan sisa-sisa kopi. Es kini menyisakan wujudnya yang semakin mengecil, lalu tiada. Bagaimana alam menyampaikan pesan? “Prinsip doktrin!?” Es jangan dibiarkan meleleh lalu kehilangan dingin. Es harus ditambahkan air agar menjiwai dingin es. Kemudian banyak orang menyebutnya sebagai air es.

Seorang sastrawan jangan membiarkan lingkungannya menjadi manusia-manusia robot. Tanpa perasaan. Membiarkan manusia penuh dengan kebencian. Melalui puisi, sabda-sabda di dalamnya yang menyuarakan nurani manusia secara tulus. Pesan kebencian yang mana diizinkan oleh agama manapun dan rasa kemanusiaan? Es harus mendinginkan air. Kebaikan sepatutnya dibahasakan dari nurani kepada nurani. Dari es kepada air sebagai asalnya. Bukan kepentingan berkedok nurani, yang mencekik orang lapar. Menekan orang yang takut dengan mengatasnamakan Tuhan. Bahasa yang kukiaskan bisa saja salah, tetapi, banyaknya orang yang lapar, kepekaan rasa yang menipis, serta kemiskinan. Adalah fakta.

Yang paling sulit mungkin ketika kita seorang yang peduli, namun enggan menerima “air yang datang belakangan” agar mereka menjadi peduli. Kita menjadi peduli agar menjadi pahlawan, menjadi peduli agar mendapat penghargaan.

Manusia. Mengapa kita tidak bercermin kepada orang yang lapar? Bukankah dihadapanmu adalah “air” yang sama denganmu.

Mochtar Lubis: Diantara Kata Gambaran Manusia Indonesia

Bacalah dengan penuh keterpaksaan, negeri ini darurat membaca.

Buku ini merupakan ceramah Mochtar Lubis pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki Jakarta yang dibukukan. Diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, pada tahun 2013. Dibanding sebuah sinopsis, resensi dan semacamnya, lebih tepat jika dikatakan bahwa tulisan ini merupakan sebuah ringkasan, di antara kata dan kalimatnya yang saya anggap menarik dan penting untuk dicatat.

Meskipun belum tentu seluruhnya benar dan salah, Mochtar Lubis tentu tidak sembarangan memunculkan stereotip mengenai manusia Indonesia ini. Ada observasi hingga pengalaman beliau. Sebelum Mochtar Lubis dan penilaiannya mengenai manusia Indonesia,  pada zaman VOC orang Belanda menilai manusia Indonesia kurang sanggup melakukan kerja otak yang tinggi (hooge geestarbeid), “inlander” umumnya sedang-sedang saja (‘middlematig’) dalam beragama, gairah kerja, kejujuran, rasa kasihan, dan rasa terimakasihnya. Meskipun masih diakui bahwa manusia Indonesia bersifat hormat, tenang, dapat dipercaya, baik, royal, ramah pada tamu, dan lembut.

Mochtar Lubis memaparkan mengenai enam ciri dari manusia Indonesia. Menurut Mochtar, ciri pertama manusia Indonesia yang cukup menonjol adalah Hipokritis/Munafik. “Orang tambah pandai menyembunyikan kata hatinya, perasaan, pikiran yang sebenarnya, dan malahan keyakinan yang sesungguhnya. Orang belajar mengatakan tidak dengan cara-cara yang lain, hingga kata tidak itu diselimuti dan diberi berbagai topeng, hingga tidak lagi dapat dikenali. Demikian pula dengan sikap tidak setuju, atau sikap mengkritik dan mencela, semuanya diselubungi, dirumuskan secara lain.”

Lucunya, Mochtar mencontohkan hipokrisi kita mengenai seks. Di depan umum kita sangat mengecam penghidupan seks yang terbuka atau setengah terbuka, tetapi pada saat yang sama kita membuka tempat mandi uap dan tempat pijit, kita mengatur tempat-tempat prostitusi, melindunginya, menjamin keamanan sang prostitut.

Akibat dari kemunafikan ini, dampak dari sikap kita terkenal dengan sikap ABS-nya (asal bapak senang). Sikap ABS ini telah berakar jauh ke zaman dahulu, ketika tuan feodal Indonesia merajalela di negeri ini, menindas rakyat dan memperkosa nilai-nilai manusia Indonesia. Untuk melindungi dirinya terpaksalah rakyat memasang topeng ke luar, dan tuan feodal, raja, sultan, sunan, regent, bupati demang, tuanku, laras, karaeng, teuku, dan tengku, dan sebagainya, selalu dihadapi dengan inggih, sumuhun, ampun duli tuanku, hamba patik tuanku. Sikap ini juga telah mendorong terjadinya pengkhianatan intelektual di negeri kita.

Ciri kedua yang menonjol ialah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan seterusnya. “Bukan saya” dan “Saya hanya melaksanakan perintah dari atasan!” adalah kalimat yang cukup populer di mulut manusia Indonesia.

Sebaliknya jika pada sesuatu yang sukses, maka manusia Indonesia tidak segan untuk tampil kedepan menerima bintang, tepuk tangan, surat pujian, padahal jika ditelisik lebih dalam, akan bertemu dengan orang-orang yang mendapat bintang gerilya (tanpa berhak menerimanya). Sementara pegawai kecil dan rendah yang tekun bekerja, menahan segala rupa kesukaran hidup, di tempat-tempat yang jauh, jarang sekali mendapat penghargaan yang selayaknya harus mereka terima.

Adapun ciri ketiga: Jiwa feodal. Sikap ini berkembang dengan cemerlangnya di kalangan atas maupun di kalangan bawah. Di kalangan atas mengharapkan agar manusia-manusia di bawah kedudukannya hormat, takut, menerima serta melakukan segala hal yang menyenangkan bagi si bapak. Sebaliknya, si bawahan juga tidak kalah semangat atau jiwa feodalnya untuk mengabdi kepada si bapak.

Maka dampaknya, yang berkuasa sangat tidak suka mendengar kritik, dan orang lain amat segan untuk melontarkan kritik kepada atasan. Akibatnya di masa dulu, pusat-pusat kekuasaan putus atau sangat sedikit komunikasinya dengan rakyat banyak. Hubungan antara penguasa dengan rakyat, adalah hubungan dari atas ke bawah, jalan satu arah.

Keadaan seperti ini sangat mempersulit proses-proses perkembangan manusia dan masyarakat dalam dunia kita kini, di mana keselamatan satu bangsa atau satu masyarakat tergantung sekali pada lamban atau derasnya arus informasi yang dapat diterimanya mengenai keadaan dan perkembangan ekonomi, politik, pengetahuan, teknologi, dan sebagainya di dunia ini.

Tidak dilakukannya koreksi, baik dari bawah ke atas, maupun dari atas ke bawah. Proses yang umumnya dapat terjadi adalah tindakan represif dari atas ke bawah, jika terjadi hal-hal yang tidak disenangi penguasa. Bawahan takut mengemukakan pikiran-pikiran baru yang berlainan dari yang disenangi kaum “establishment”, dan tidak berani mengeluarkan kritik atau peringatan-peringatan agar jangan terus salah jalan, tidak berani menyampaikan fakta-fakta yang akan tidak menyenangkan sang bapak, sedang bapak-bapak sudah merasa puas diri serta merasa benar.

Ciri utama keempat manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, hingga sekarang, Indonesia masih percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau karang, pohon, patung, bangunan, keris memiliki kekuatan gaib, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua.

Ironi disampaikan Mochtar, bahkan hingga kini manusia yang modern pun, manusia Indonesia berpendidikan modern sekalipun masih juga membuat jimat, mantera, dan lambang. Kemudian kita membuat mantera-mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Kita pun lalu mengaso, penuh keyakinan dan kepuasan, bahwa setelah mengucapkannya, maka masyarakat Pancasila itu telah tercipta.

Karena ini semua manusia Indonesia cenderung menyangka, jika telah dibicarakan, telah diputuskan, dan telah diucapkan niat hendak melakukan sesuatu, maka hal itu pun telah terjadi. Saya yakin, laci kantor pemerintah, organisasi swasta, dan sebagainya yang tidak pernah dilaksanakan. Sekarang kita membikin takhayul dari berbagai wujud dunia modern.

Di sinilah hal menarik, ujar Mochtar di antara katanya, modernisasi adalah salah satu takhayul baru, demikian perkembangan ekonomi, model dari negeri-negeri industri maju jadi takhayul dan lambang baru, dengan segala jimat dan manteranya, dan kita gagal melihat kerusakan-kerusakan pada nilai-nilai, kebahagiaan manusia, kerusakan dan peracunan lingkungan dan sumber alam oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang terjadi pada masyarakat-masyarakat berindustri maju. Kita tidak banyak bicara tentang distribusi yang adil dan merata. Kita tidak banyak memeriksa segi-segi negatif dari segala apa yang hendak kita tiru dan pindahkan ke masyarakat kita.

Ciri kelima yang menonjol manusia Indonesia adalah artistik. Sejak dari ratusan tahun lampau sampai kini hasil daya cipta artistik manusia Indonesia telah diboyong ke luar tanah air, dan kini di museum penting-museum penting di Eropa, Amerika dan berbagai negeri lain koleksi tembaga, tenun, batik, patung batu, dan kayu, ukiran kayu, tenunan Lampung, Batak, Toraja, Sumba, Ukiran Bali, kerajinan perak dan emas, Kalimantan, Maluku, merupakan koleksi yang dibanggakan dan amat digemari. Musik, seni, tari, folklore, menunjukkan daya imajinasi yang sangat kaya dan subur, daya cipta yang amat besar.

Adapun ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Manusia Indonesia kurang kuat memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Dengan demikian kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.

Tidak berhenti pada ciri keenam, pada bab selanjutnya, ciri lain yang dipaparkan Mochtar, di antaranya, manusia Indonesia cenderung boros. Pandai mengeluarkan terlebih dahulu penghasilan yang belum diterimanya, atau yang akan diterimanya, atau yang tidak pernah akan diterimanya. Senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.

Selanjutnya, manusia Indonesia cenderung tidak suka bekerja keras, kecuali kalau terpaksa. Banyak orang ingin menjadi milyuner seketika dengan cara instan. Dengan mudah mendapat gelar sarjana, memalsukan gelar sarjana, hingga membeli gelar sarjana.

Jadi priayi (pegawai negeri) adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi. Orang menjadi pegawai negeri bukan karena didorong rasa hendak mengabdi pada rakyat banyak. Bukan untuk memajukan masyarakat. Hal ini dapat kita nilai betapa enggannya pegawai-pegawai tinggi dan rendah dipindahkan ke luar Pulau Jawa, atau ke luar kota-kota besar. Mereka bicara soal daerah atau tempat kering atau basah, gemuk atau kurus.

“Generasi muda juga tidak terkecuali; semuanya mau seketika jadi kaya, berpangkat, jadi wartawan ulung, jadi pengarang kelas satu, jadi pelukis terkenal, jadi jago ini dan jago itu, tanpa harus bersusah payah, menderita dahulu puluhan tahun sebelum mencapai sukses.”

Manusia Indonesia kini sudah jadi orang kurang sabar. Ciri lain adalah manusia Indonesia kini jadi tukang menggerutu. Tetapi menggerutunya tidak berani secara terbuka, hanya jika dia dalam rumahnya, antara kawan-kawannya yang sepaham atau sama perasaan dengan dia. Manusia Indonesia juga cepat cemburu dan dengki terhadap orang lain yang dilihatnya lebih dari dia. Orang kurang senang melihat orang lebih maju, lebih kaya, berpangkat, berkuasa, pintar, terkenal dari dirinya.

Selanjutnya, gampang senang pada kata-kata mutiara dalam berbagai sastra suku bangsa Indonesia melimpah-limpah dengan nilai-nilai yang bijaksana, tetapi sayang sekali tidak diamalkan dan dihayati, dahulu maupun sekarang. Ki Hajar Dewantara tak penat-penatnya mengatakan. “Luwih becik mikul dhawet rengeng-rengeng, tinimbang numpak mobil mrebesmili utawa nangis nggriyeng = lebih baik hidup sebagai tukang cendol, namun bahagia, daripada kaya tapi menderita.”

Ciri lain dari manusia Indonesia adalah sikap tidak atau kurang peduli dengan nasib orang, selama tidak mengenai dirinya sendiri atau orang yang dekat dengannya. Kita seakan tidak punya hati nurani mengenai nasib orang lain. Keadaan serupa ini sebenarnya bertentangan dengan ciri-ciri manusia Indonesia asli. Masyarakat Indonesia yang berkembang dari teknologi produksi dari padi di sawah basah, yang memerlukan sistem pembagian air yang teratur dan terpelihara mengharuskan orang bekerja sama dengan baik, tolong-menolong, saling menjaga.

Manusia Indonesia pada dasarnya berhati lembut dan suka damai. Punya juga rasa humor yang cukup baik, dapat tertawa dalam kesulitan dan penderitaan. Ciri lain yang merupakan modal utama bagi keselamatan bangsa kita adalah kasih ibu dan bapak pada anak-anaknya, dan pula sebaliknya. Ikatan kekeluargaan yang mesra, asal jangan dicampur aduk dengan jabatan, adalah sesuatu nilai manusia Indonesia yang harus dipertahankan. Manusia Indonesia juga dikenal cepat belajar, otaknya cukup encer.

Manusia dibentuk oleh lingkungannya, masyarakatnya, alam hidupnya, dan berbagai nilai-nilai yang didukung masyarakat dan anggota masyarakat, oleh pendidikan dan teladan yang didapatnya di sekolah, rumah, dunia kawan-kawannya, dan sebagainya. Bagaimana manusia dapat melepaskan dirinya dari jagad gede, menguasai jagad kecilnya, sedang dia menghadapi dari hari ke hari segala rupa pengaruh, rayuan dunia fana seperti seribu cukong yang menawarkan emas dan uang berpeti-peti.

Istilah jagad gede dan jagad kecil dimunculkan Mochtar setelah ia menjelaskan rumusan manusia ideal menurut alam pikiran Jawa, “Sepi ing pamrih rame ing gawe, amemayu ayuning bawana = bekerja keras tanpa mencari keuntungan, manusia memajukan dunia.” Seorang manusia yang telah menguasai jaga cilik (dirinya sendiri), yang berdasar pada manusia mengambil jarak dari dunia (jagad gede), dan melakukan konsentrasi ke dalam dirinya yang telah jadi murni, maka manusia menjalankan hidupnya jadi utusan dewata, utusan yang mahakuasa dalam dunia.

Mochtar merefleksikan secara kritis melalui karakter manusia Indonesia yang telah dipaparkannya, beliau khawatir manusia Indonesia akan menjadi korban dalam perkembangan dunia. Pembawaan sinkretisme dengan mudah seseorang menerima hal-hal yang serba bertentangan (paradox). Akibatnya seseorang merasa senang dan nyaman mengatakan sesuatu, kemudian berbuat yang bertentangan dengan ucapan diri sendiri, atau menerima segala rupa hal-hal yang saling bertentangan, misalnya seseorang mengatakan kita menegakkan hukum, tetapi pada waktu yang sama kita juga senang memperkosa hukum.

Mochtar mencontohkan pergantian nama rumah penjara dengan Lembaga Pemasyarakat. Pada praktiknya, bagi Mochtar, kita hanya memasang satu lambang hampa yang baru. Seakan di sana mereka yang telah melanggar hukum, yang telah menjadi penjahat selama ini, sedang dalam proses pemasyarakatan, untuk mendidik mereka kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.

Apa yang sebenarnya terjadi? Rumah Penjara atau LP masih saja tetap merupakan sekolah kader untuk melakukan kejahatan segala rupa. Siswa pencopet akan jadi pencopet lebih ulung setelah keluar dari hukuman penjara, enam atau setahun kemudian. Tukang rampok akan keluar dengan teknologi baru yang lebih terampil. Kita tidak menciptakan iklim baru yang segar dalam penjara. Mochtar menyebut keadaan penjara kita lebih buruk dari zaman penjajahan Belanda, baik makanan, perlakuan, perhatian, terhadap orang tahanan maupun orang hukuman.

“Orasi” Mochtar belum usai. Beliau katakan, semangat revolusi ’45 kita telah kendor, telah jatuh ke dalam proses degenerasi, dan hampir-hampir tidak kelihatan lagi bekas-bekasnya kini dalam diri maupun dalam masyarakat kita. Semangat kita yang begitu bersatu dahulu bersama rakyat, besar dan kecil, yang berat sama dipikul, dan ringan sama dijinjing semangat penuh keberanian dan kerelaan untuk berkorban, jika perlu nyawa sendiri pun, demi kemerdekaan bangsa dan tanah air, kesucian dan kejujuran perjuangan, kesediaan melupakan kepentingan diri sendiri, atau kepentingan kelompok, kesediaan melupakan rasa dengki, prasangka yang tidak beralasan, perlombaan hendak berkuasa sendiri, kerakusan hendak mengumpul harta benda sebanyak mungkin dalam sesingkat mungkin waktu, dan semangat tolong menolong, bantu membantu, beri memberi, semangat bela-membela, semuanya kini telah pudar dan sirna.

Kita biarkan elite kita ini memperkaya diri mereka dari tahun ke tahun, melakukan korupsi dan mencuri hak dan milik rakyat, semakin lama semakin besar. Elite kita yang berpretensi memimpin rakyat, karena perbuatan mereka sendiri pada hakikatnya bertambah jauh dari masyarakat, dan komunikasi antara mereka dengan rakyat tambah hari tambah juga tambah seret dan sukar.

Sebuah lambang baru yang kini (masih) populer pada kita adalah perkataan dalang. Jika mahasiswa bergerak, maka lalu ada tuduhan, “Siapa dalangnya?” “Tentu ada yang mendalangi.” Mochtar di antara katanya, kita seakan tidak percaya mahasiswa  kita sudah bisa berpikir sendiri, mengumpulkan informasi dan data sendiri, membikin analisis dan kesimpulan sendiri, dan memutuskan untuk mengambil sikap sendiri. Padahal universitas dibangun dan dikembangkan untuk membuat mereka jadi pintar, bukan?

“Kita harus memakai hati kita untuk mencari sasaran lain untuk kebahagiaan dan damai hati dan kebajikan bangsa ini.”

Mochtar bilang, kita sekarang hendak mencipta lapangan kerja, tapi kita biarkan modal asing masuk teknologi kapital-intensif. Akibatnya pabrik besar hanya mengerjakan belasan orang, dan bukan ratusan jika pakai teknologi labour-intensif (padat karya).

Jika dikatakan, bahwa tujuan terakhir manusia adalah untuk mengabdi kepada Tuhan.  Mochtar bertanya, apa rumusan mengabdi kepada Tuhan? Apakah ke gereja dan sembahyang ke mesjid menurut ajaran agama Nasrani dan Islam, dan melakukan segala kewajiban syariat agamanya, telah berarti mengabdi kepada Tuhan? Kita perlu memerlukan pengawasan sosial dilembagakan terhadap sumber-sumber alam kita, terhadap modal, pemakaian tenaga manusia, terhadap ilmu dan teknologi, terhadap ancaman-ancaman yang mungkin terjadi terhadap keseimbangan ekologi, terhadap pencemaran alam kita.

Pada bagian akhir ciri-ciri lain dari manusia Indonesia, Mochtar mengutip pendapat Chris Siner Key yang merupakan seorang mantan ketua PMKRI, mengenai keadaan dunia mahasiswa. “…Perasaan apatis yang meluas, kehilangan motivasi, orientasi yang kabur, visi yang mengkeret, kehilangan idealisme dan nilai spirituil, krisis identitas, kekurangan kreativitas dan tak berdaya berpikir kritis. Juga tak berdaya berpikir logis. Ini disebabkan oleh ketakutan, apati, frustasi, perasaan tak berdaya, dan merasa selalu diamati dan dikejar-kejar.”

Sebelum menuju kesimpulan, Mochtar menulis Bab mengenai Dunia kini. Makna modernisasi jelas harus pula kita rumuskan kembali untuk keperluan bangsa dan masyarakat kita. Apakah modernisasi itu hanya harus bercermin dalam peralatan teknologi modern, seperti komputer, pabrik baja raksasa, roket dan sebagainya, ataukah modernisasi harus kita artikan suatu sikap jiwa dan pikiran yang rasionil, dan yang senantiasa mencoba untuk mencari penyelesaian-penyelesaian masalah hidup manusia secara rasionil dan menyeluruh?

Mungkin tuntutan untuk membuat berbagai teknologi yang kini kelihatan merusak ekologi dan cepat menghamburkan sumber-sumber alam dunia yang sudah menciut akan dianggap sikap yang paling modern dalam sepuluh-dua puluh tahun yang akan datang. Sangat modern untuk menuntut agar jangan lagi pohon kayu dipotong dan hutan rimba dipotong semena-mena. Kehancuran rimba di banyak bagian di dunia yang sedang terjadi kini juga akan menimbulkan akibat-akibat bencana terhadap pola curah hujan, banjir, penghanyutan tanah, dan sebagainya.

“maju ekonomi” secara definisi jangan hendaknya kita kejar serupa dengan “maju ekonomi” negara-negara kaya sekarang dengan segala segi-segi negatif dan bencana yang ditimbulkannya terhadap manusia, alam, dan nilai-nilai kemasyarakatan dan manusia. Maju ekonomi hendaknya berarti jangan ada manusia Indonesia yang lapar, cukup pakaian dan rumah tinggal, punya kesempatan bersekolah dan belajar yang formal maupun non-formal, ada kesempatan bekerja yang layak.

Jika tujuan “maju ekonomi” kita adalah di tingkat pertama untuk memenuhi syarat-syarat minimum makanan bergizi cukup, pakaian dan perumahan yang memadai, kesempatan belajar yang sama bagi setiap orang, maka daftar “priorita” kita akan lebih “sederhana”. Pola industrialisasi kita juga akan berlainan. Mungkin kita akan memusatkan perhatian dan penanaman modal kita ke pedesaan, pedalaman, mengembangkan industri pertanian dalam arti industri kecil membuat segala rupa alat pertanian, pemuliaan bibit, pupuk organis, melawan hama, mengembangkan produksi pertanian berupa bahan makanan pokok seperti beras, jagung, kacang-kacangan, sayuran, perikanan darat dan laut, hingga pada buah-buahan, tidak saja untuk kita makan sendiri, tetapi juga untuk diekspor.

Semakin kita mengikuti arus konsumerisme negara-negara kaya, semakin kita menggantungkan diri kita pada bantuan mereka baik modal, maupun teknologi mereka, semakin kita menggantungkan diri pada bantuan mereka baik berupa modal, teknologi, semakin kita menggantungkan keselamatan kita pada alat persenjataan mereka, maka semakin kita tidak berdaya memasang perlindungan terhadap kepribadian kita sebagai bangsa dan manusia, dan semakin kita jatuh lebih tergantung pada mereka.

Jika kita sebagai manusia Indonesia tidak mengubah cara berpikir dan berbuat, mengubah nilai-nilai yang membimbing kehidupan dan tingkah laku kita, dikhawatirkan kita akan menjadi kuli kasar belaka bagi perusahaan-perusahaan multinasional Jepang, Amerika, Jerman, Belanda, Perancis, Inggris dan sebagainya di tanah air sendiri.

Pada buah kesimpulan, Mochtar katakan, “Kita di Indonesia agar bersikap lebih manusia terhadap sesama manusia kita.” Tulisan ini tentunya tidak mampu mewakili keseluruhan isi buku yang hendak disampaikan oleh Mochtar Lubis dalam “Manusia Indonesia”. Harapan semoga tulisan ini mengantarkan untuk membaca secara langsung kepada buku tersebut.

Kacamata Di antara Pembangunan

Seingatku, saat masih duduk di bangku SD, antara kelas satu sampai kelas enam,  di antara teman-teman tidak ada yang menggunakan kacamata. Hingga suatu saat ada seorang menggunakan. Benda tersebut sudah menjadi identitasnya. “Itu lho si Jarmin yang pakai kacamata itu!” terang temanku.

Semakin bergulirnya waktu, orang-orang berdalih, “Ini nggak minus, kok. Kacamata gaya!”

Katanya, Perempuan yang berkacamata itu cantiknya double. Saat ia gunakan kacamatanya juga saat ia melepaskannya. Meskipun begitu, namanya selera, beda kepala tentu beda imajinasi. Seorang teman menasihatiku agar tidak punya pacar yang berkacamata. Sebab saat terbangun dari tidurnya, yang pertama kali dicari adalah kacamata. Hehe.

Bagiku, kini seseorang berkacamata, terlepas dari tren budaya, ialah suatu fenomena lantaran jarak pandang mata yang terbatas. Tak tembus cakrawala, sudah menabrak bangunan tinggi. Tidak menembus angkasa, sudah menembus kos-kos ekslusif, hotel, pabrik, rumah, dan bangunan semen dan beton lain. Mata manusia jadi cepat ‘rusak’. Aku yang sempat hidup dengan lumpur sawah dan sungai yang sudah agak kotor, penat dengan bangunan yang kerap menghalangi sinar matahari masuk.

Yang Meng-Aku

Menangis lagi, kau
Mengeluh gamam roda hidup, pasti
Kemanusiaan yang tak adil dan merana
Adalah satu, jalan hidup yang tak bisa kita terka

Tertawa lagi, kau
Kuat Emosi memuncak kala detiknya
Bimbang menimang angin, lalu
Mengikutinya, Kita

Bersama lagi, kita
Di antara Kata
Berdua lagi, karena
Kita berada di atas pedati yang sama
Dan roda hidup selalu menyajikan kegelapan
Sementara penerang adalah, kau
Yang meng-Aku