Bulan: Juli 2020

Casino

Sudah pagi. Beburungan yang hinggap pada pohon mangga berkicau berbincang dengan alam yang dingin. Indah. Syahdu. Perlahan langit menerang. Bumi sedikit lebih hangat. Kicauan alam berganti dengan kendaraan berlalu lalang. Atau bunyi sepeda penjual sayur, disambut dengan ibu-ibu yang sudah bangun lebih gasik dari suami-suaminya.

Semalam rasa pahit kopi masih terasa. Antara aku, cangkir dan sebuah rumah di depanku menghadap, seperti garis lurus.

Ada apa?

Rumah kecil kulihat di dalamnya dua perempuan paruh baya duduk di berandanya. Pintu rumahnya terbuka, ada dispenser juga pintu yang dibuat dari kain.

Kawanku Bahduki sibuk membicarakan pengacara sukses di Jakarta. Sementara pikiranku mengemis kebahagiaan pada senyum ibu yang duduk di rumah tua depan. Dunia di usia dua lima ku nampak seperti casino. Memaksa takdir berikan sedikit peruntungannya pada usaha yang kujalani.

Dunia di usia dua lima ku penuh dengan pencitraan kepada kawan lama. Aku sudah menjadi apa. Kamu sudah menjadi apa. Pencapaian! Semua berbalut foto medsos yang menipu. Dunia di usia dua lima ku penuh dengan pencitraan kepada kawan baru. Mulut berbuih sembunyikan kebohongan.

Tiga hari lalu, pergi ke kedai ini aku tak jadi memesan apapun, lantaran aku melihat beberapa polisi nampak lakukan sidak dadak. Aku lajukan motor yang belum kuservis cari tempat lain. Setelah beberapa hari, baru kutahu sidak polisi bukan pada kedai, tapi menjenguk dan memberi bantuan kepada ibu di rumah tua.

Di pagi hari ini. Ada yang lebih gasik dari burjo yang buka jual sarapan: Konter pulsa! Kalau soal pulsa dan kuota, ngga ada yang berani viralkan isu pulsa syar’i, lantaran ada yang selalu menggoda: Open, Kak. Real. Untuk yang serius aja. Php basa basi block!!

Bab IV

Manusia diciptakan dengan sempurna. Al-Maraghi tafsirkan tidak hanya dengan bentuknya yang paling baik, namun juga karunia akal agar dapat berpikir dan menggali ilmu pengetahuan sehingga dapat mewujudkan segala inspirasinya. Menuju kemaslahatan manusia.

Eko Prasetyo dalam buku terbarunya, Tafsir Progresif Surat Al-Ashr, menjelaskan dengan menggugah mengenai keadaan manusia yang merugi. Al-Maraghi katakan manusia merugi lantaran habiskan umur untuk mencari keinginan dan pemuasannya. Ekopras bilang yang rugi ketika manusia tak lagi kritis atas situasi yang dialaminya.

Baginya, rugi manusia menjadikan hubungannya dengan manusia lain sebagaimana terhadap benda: relasi majikan-pekerja atau subjek-objek. Manusia yang merugi lantaran kehilangan keunikannya. Manusia kian seragam antara satu dengan yang lainnya. Manusia merugi karena tergelincir pada naluri hewaniah: rakus, tamak, dan sewenang-wenang. Manusia merugi sebab kemampuan manusiawinya terus menurun: tak mampu berempati terhadap sesama, tak mudah untuk membela mereka yang teraniaya, kurang berani berpihak pada yang tak berdaya.

Sebagian akademisi dalam banyak penelitiannya pada bab IV senang sekali membuat klasifikasi pemisah. Mapping yang seolah memudahkan. Membagi hitam dan putih. Sejujurnya, bukankah kehidupan tidak sesederhana itu?

Manusia makhluk unik. Dalam upaya memecahkan suatu permasalahan, aku cenderung meyakini, tidak harus diselesaikan dengan cara normatif. Dunia, rasaku yang mungkin tidak benar, membutuhkan orang-orang yang ambyar, menyelesaikan masalah di luar pakem, yang terkadang melakukan “pekerjaan kotor”, karena cara-cara normatif saja ngga cukup.

Aku tidak sedang membela seseorang. Namun mengapa harus tertipu dengan tampilan luar. Tertipu dengan tato, bahasa yang kasar dan alkohol? Orang berpendidikan sudah banyak, tetapi mengapa tidak mulai membaca fenomena dengan pertanyaan mendasar ‘apa’, ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’?

Seakan suara berbeda dari mayoritas adalah pemberontakan. Harus dibungkam dan diadili dengan umpatan.

Menurutku, Jerinx tidak benar-benar menantang WHO. Sebaliknya, membela rakyat tanah airnya. Meskipun dengan cara “kotor”. Meskipun mengumpat, Jerinx menghibur tenaga medis dan korban positif covid di Wisma Atlet Kemayoran. Menantang agar dipertemukan dengan korban positif covid tanpa APD, itu bahasa sensasinya. Maksud yang kutangkap adalah kegelisahannya menangkap raut sebagian besar rakyat yang ketakutan dengan wabah ini. Ketakutan berlebihan. Hal ini buruk. Dampak lanjutannya ekonomi lumpuh namun tidak ada yang merasa bertanggung jawab dan meneguhkan solidaritas.

Jerinx menantang WHO, namun ia sibuk membagi-bagikan makanan dan sayur bersama tim nya selama hampir dua bulan (masih berlangsung) setiap harinya. Ketika dalam peristiwa bom bali hampir dua dekade silam, ia menjadi sukarelawan di rumah sakit. Demonstrasinya terbaru yang menolak rapid test dan swab, aku malah membaca narasi kemanusiaan di belakangnya, misal di mana ia bersimpati terhadap ibu hamil yang seharusnya memerlukan penanganan cepat, tetapi administrasi menghambat penanganan dengan persyaratan rapid. Ia prihatin dengan korban kecelakaan yang membutuhkan pertolongan sigap tetapi dihalangi dengan persyaratan rapid.

Karena ia sebagai musisi, maka ia membuat lagu-lagu perjuangan dan optimisme. Misal dalam lagu tarian kesepian, dalam liriknya yang indah: “…Meski lelah dan tersisih, percayalah ku akan bangkit menemukan sebuah ketulusan, menarilah rayakan sepi itu sendiri, kawan sejati akan datang aku berjanji.”

Karena mungkin ia merasa suara ‘lembut nan baik-baik’ tidak lagi didengar dan berpengaruh bagi khalayak, maka ia harus menempuh cara kotor ini.

Ah, anjir. Lebay banget tulisanku.

Bukankah ini adalah bumi manusia yang unik. Yang tidak bisa kita hakimi hitam atau putih. Dokter yang bekerja keras bilang pada masyarakat agar diam di rumah. Baik. Jerinx suarakan agar masyarakat tidak takut berlebihan terhadap wabah. Juga baik. Dokter tangani pasien di rumah sakit. Jerinx dkk aksi sosial teladankan kebaikan bagi-bagi makanan dan bahan pangan. Ah, aku tak pandai sekali membaca fenomena dan merangkai kata. Namun harapanku, tulisan tolol ini setidaknya berharap menghentikan seseorang agar berhenti mengumpat di medsos pada fenomena yang ia nilai secara tidak fair.

Lantas, mengapa kita masih percaya pada satu media yang memframing pemikiran kita, yang membuat kita bersikap tidak adil dalam pikiran dan perbuatan?

Brankas Rasa

Meski kita buntu kala bernegosiasi soal hubungan. Namun aku senang kita bisa saling bertukar rekomendasi lagu. Kau bilang secara normatif, lagu yang bagus tergantung pada lirik lagu dan MV nya. Dan kau katakan: harus orang Korea! Sementara yang lain lebih menggandrungi musik indie.

Ajaib bukan, suatu lagu mampu menyimpan kenangan seseorang, yang di dalamnya terdapat brankas pribadi yang abstrak, di mana bisa kita titip perasaan di dalamnya. Lalu menjemputnya kapan pun kita mau.

Kalau pun aku bisa memilih cara menikmatinya, aku lebih memilih membuka brankas rasa itu berdua dalam mobil sedan tua malam hari. Suasana hujan dan lagu favorit kita putar. Suasana dingin. Kita yang terdiam. Tersisa hanya alunan lagu lama dan suara wiper mobil mengusap rintik pada kacanya yang mengembun, lalu menggoda kita agar saling tenggelam pada cara bercinta yang ghaib. Lalu terdengar suara kereta menembus hujan melewati batas waktu.

Ah sudah dulu, aku mau pipis.

Sebelum Tidur

Di embung. Banyak orang berolahraga. Di tepiannya, banyak orang pergi memancing. Di sekitarannya, banyak orang berjualan. Di kedalamannya, banyak orang duduk merenung. Di sudut di mana aku tak diperhatikan, aku memperhatikan mereka.

Manusia kerap membutuhkan ruang yang luas. Dari mata yang mulai rabun keterbatasan pandangan yang melihat bangunan atau jarak dekat gawai yang membuat kepala pening.

Pada kondisi waktu tulisan ini terbit, sebuah perusahaan bisa tutup sementara karena tiga karyawan positif corona. Peringatan! Agar manusia tak melulu berjalan tanpa sadar. Bekerja rutinitas. Lupa sedang apa dirinya. Sebagian manusia bekerja menyerahkan dirinya kepada pemodal. Takut kepada atasan. Mustahil katakan tidak bila diperintah. Berani melawan nuraninya. Mungkin aku akan demikian juga bila waktunya.

Manusia berkumpul semalam. Bersenang-senang. Pulangnya merasa kesepian.

Driver ojol membantuku membelikan makanan. Memakai jaket khusus. Kubawakan uang pas. Rupanya tutup poin dan bersiap pulang menuju rumahnya. Mengganti jaket kerjanya dengan pakaian hangat yang telah disiapkan di bagasi kendaraannya. Ah. Apa cuma aku yang melihatnya berbeda. Rupanya aku bermental feodal ketika dia berjaket kerja, dan aku bermental egaliter ketika dia berbaju biasa. Kusisihkan doa kebaikan agar ia bahagia dalam kehidupannya.

Penjual jagung susu keju melayaniku sebagai pelanggan terakhir. Kuperhatikan wajahnya yang senang dagangannya laris. Kuperhatikan ia memberikan jagungnya sebelum mengambil uangnya, meski kuulurkan uangnya terlebih dahulu. Kusisihkan doa kebaikan agar ia bahagia dalam kehidupannya.

Kusadari lebih dalam. Berdoa untuk orang lain dalam keheningan suasana tanpa ada yang mengetahui adalah hal yang sulit. Bagiku.

Sebelum tidur. Kuperhatikan kedua tanganku. Kuangkat ke atas. Kupandanginya. Bagaimana bisa organ tubuhku bisa saling bekerja sama dengan sempurna. Lalu dengan alasan apa kenikmatan ini tidak kusyukuri. Setidaknya aku bisa ketik tulisan ini, lalu bercerita. Aku bersyukur padaNya. Kusisihkan doa kebaikan untuk diri sendiri dan kudoakan manusia di dunia ini. Agar bisa bekerja dengan segenap hati, tidak lupa untuk melihat langit dan menghargai diri sendiri. Lalu mengatakan pada jiwanya: kita adalah manusia berkulit-daging dan perasaan. Bukan robot yang dipaksa bekerja untuk akumulasi dan pemuasan keinginan, kemudian asing terhadap dirinya sendiri.

Ternyata tak bisa tidur hingga kini. Kulanjutkan saja membaca.

Biawak Tunisia, Kadal Aljazair

“Seorang akademisi, mereka itu pasti bicara by literature menurut mereka, artinya sumber-sumber yang dipercaya menurut mereka. Kan tidak perlu semua orang percaya dengan sumber-sumber mereka, saya juga punya sumber sendiri…hanya keberaniannya ada atau tidak? Keberanian untuk mengungkapkan yang berbeda dan logis.” –Budi Setiawan a.k.a. Budi Dalton, Dosen-Aktor.

“Tapi saya pikir hadiah terbesar yang diberikan pada saya dan banyak dari kita adalah kesempatan untuk menggunakan suara kita untuk mereka yang tidak bersuara…saya pikir, kita takut akan ide perubahan personal, karena kita mengira bahwa kita harus mengorbankan sesuatu, melepaskan sesuatu. Tetapi manusia terbaik adalah yang sangat inventif, kreatif dan pandai. Saya pikir ketika kita menggunakan cinta dan kasih sayang sebagai prinsip, kita bisa membuat, mengembangkan, dan mengimplementasikan sistem perubahan yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup dan lingkungan.” Joaquin Phoenix dalam pidatonya ketika memenangi Oscar Best Actor 2020 melalui film Joker.

 

 

Tidak terasa. Sudah banyak sarjana diwisuda. Setelah sekian waktu orang bertanya kapan. Bukan aku. 2 KB 2 GB. Data mengalir yang kini tertuju pada pidato pertama rektor baru disaksikan secara online.

Dengan gaya nyeleneh kekinian. Pernah memamerkan sebuah lukisan melalui salah satu medsosnya. Apakah Pak Rektor tertarik menjadikan melukis atau teater menjadi matakuliah wajib perkuliahan?

Siapa tahu mahasiswa bukan saja pandai melukis tentang gunung kembar dengan matahari di antara keduanya atau laut dan pohon kelapa. Namun juga pandai menggambar klepon atau martabak.

Belajar dengan Bapak sebelum menjadi rektor sangatlah menyenangkan. Sebelum menjadi rektor, aku menyalami Bapak, padahal ketika itu aku sedang bersiap futsal, dengan kaos futsal oranye namun masih memakai celana jeans. Bapak bilang, “Bajunya bagus. Kalau kamu masuk kelas saya, ndak apa-apa.”

Penasaran. Singkatnya, setelah mengambil matakuliah beliau, tidak ada aturan di kelasnya kecuali mahasiswa yang masuk harus punya bekal bacaan yang cukup. Tidak ada presentasi: yang ada, Bapak hanya menunjuk acak mahasiswa, lalu tanya: “Anda membaca apa?” Lalu mahasiswa yang ditunjuk menjelaskan bla bla bla. Kalo hasil bacaannya singkat, biasanya dikomen, “Udah? itu saja?” atau kalau cukup bagus, “Nah ini baru mahasiswa saya.”

Namun karena sudah tau triknya. Pokoknya yang penting asal ngomong panjang. Biasanya beliau respon dengan pura pura tidur atau pura pura berpikir. Berkuliah begitu sederhana namun menggugah. Kuliah berarti sharing soal bacaan beragam yang tak terbatas. Layaknya kritik pada kelas perkuliahan kebanyakan yang monolog dari dosen atau presentator yang mirip khutbah Jum’at dibanding diskusi ilmiah. Di buka dengan doa. Di akhiri dengan doa. Tidak ada bantahan-perdebatan, atau ide segar muncul ke permukaan. Malu malu tai biawak Tunisia. Malu malu tai kadal Aljazair.

Seakan beliau katakan tak penting baju yang dikenakan, tapi persiapan atau ide yang mahasiswa geluti.

Ah, kok aku malah tulisanku mengalir dengan damai berbicara soal wisuda dan suasana perkuliahan. Padahal aku mau curhat moodku memburuk ketika mendengar seorang teman yang ditolak judul skripsi oleh dosennya. Teman kirimkan screenshot percakapannya. “Ganti judl sj mas geh. Cari tokoh yang otoritatif di bidang tafsir ya. Gak meyakinkan tokoh yang dikaji. Tidak ada diskursus akademik yg cukup signifikan utk dikaji.”

Barangkali lantaran aku yang sudah membaca cukup banyak karya-karya tokoh tertolak dalam proposal skripsi temanku itu, prasangka buruk ku katakan sang dosen belum cukup membaca tokoh kajiannya. Aku ngga mengatakan Eko Prasetyo (Ekopras) seorang mufasir. Dalam karya terbarunya “Tafsir Progresif Al-Ashr” beliau katakan memang karyanya bukan tafsir, juga sebetulnya dikatakan hal senada dalam karya-karya sebelumnya, Al-Alaq dan Kitab Pembebasan. Namun sebagai seorang aktifis, Bung Ekopras berusaha memahami ayat-ayat al-Qur’an menurut kemampuannya. Aku hanya berpendapat gagasan-gagasannya layak diteliti.

Bukankah semua soal perspektif atau problematisasi. Apa karena beliau bukan seorang ‘ulama’, tidak paham bahasa Arab serta syarat-syarat mufasir lain yang ketat.

Pikiranku berkelana menuju tulisan Ingrid Mattson. Dikatakan di dalamnya: “Tuhan memberi kaum muslim, individual maupun kolektif, penglihatan dan pendengaran, dan kecerdasan untuk mempelajari konteks linguistik dan historis al-Qur’an. seseorang tidak mungkin menguasai semua aspek ajaran al-Qur’an meskipun ia habiskan seluruh masa hidupnya…Memang, banyak orang Islam paling berpengaruh (secara positif atau negatif) yang membuat klaim tentang al-Qur’an pada abad ke-20 tidak dididik sebagai ulama.

(Ingrid Mattson mencontohkan) Sayyid Qutb dikenal sebagai penulis yang menarik perhatian orang Arab dengan pemaparannya tentang keputus-asaan banyak orang terhadap para penguasa di Timur Tengah yang sombong dan menindas. Ia menuliskan kegelisahannya  itu dalam tafsirnya yang terkenal, Fi Zhilal al-Qur’an.

Abu al-A’la al-Maududi pendiri Jemaat-e-Islami di India…adalah seorang jurnalis. Dengan diterimanya argumentasi bahwa pintu ijtihad harus dibuka dan bahwa ijma’ harus diperluas sehingga bisa mencakup suara orang-orang nonpakar, para penulis seperti Qutb dan Maududi tidak merasa terhalang oleh latar belakang keilmuannya untuk menerangkan makna al-Qur’an.”

Sialnya aku dalam tulisan ini seperti mencari pembenaran dan pembelaan. Tapi kurangajar juga dosen itu. Seorang temanku yang lain bermaksud meneliti teori maqashidnya setelah pengukuhan guru besarnya. Dosen itu girang dan menunjukkan langkah-langkah selanjutnya agar teorinya bisa diangkat sebagai penelitian. Oh, apa karena Ekopras bukunya tak berjudul bahasa Arab, atau namanya tidak ada Abu atau ada Al Al nya, bacaan dosennya bermasalah atau aku yang bebal.

Berapa banyak skripsi membahas mengenai Sayyid Qutb atau Maududi. Ahsudahlah.

Pikiranku mengembara pada tulisan Ziauddin Sardar mengenai Otoritas Penafsiran. Sebelumnya, padahal melalui dosen itu dalam ruang perkuliahan yang selalu menekankan bahwa teks al-Qur’an terbatas, sementara konteks yang melibatkan tafsir al-Qur’an harus selalu aktual seiring dengan berkembangnya zaman. Mengkritik tafsir al-Qur’an tidak sama dengan mengkritik al-Qur’an.

Dalam tulisan Sardar: “Untuk mempertahankan dominasi mereka atas orang yang mungkin menafsirkan al-Qur’an atau membacanya dengan cara yang berbeda, para ulama itu menggunakan sejumlah taktik. Mereka mereduksi konsep al-Qur’an tentang ‘ilm, yang merujuk pada semua jenis pengetahuan, menjadi hanya berarti pengetahuan agama. Kemudian, mereka menyatakan bahwa orang yang punya pengetahuan agama lebih mulia daripada orang yang tidak memilikinya. Mereka mereduksi konsep Islam tentang ijma’ yang berarti kesepakatan semua orang menjadi kesepakatan segelintir ulama pemilik hak istimewa, yang dicapai melalui proses yang panjang dan berat. Pengertian itu menutup pintu ijtihad atau penafsiran baru.”

Ohya, kutipan di atas bisa jadi berbahaya bila dipahami serampangan, seakan secara bebas dan tanpa keilmuan apapun memahami kitab suci, bahkan dipelintir demi kepentingan praktis atau tujuan tertentu yang mencederai kemanusiaan. Namun, coba saja baca tafsir progresif Ekopras mengenai Kisah dalam al-Qur’an, Surah Al-Alaq atau karya terbarunya Tafsir Progresif Al-Ashr. Dari asbabun nuzul, makna harfiah hingga kritik sosial kepada kondisi kini dibahas didalamnya. Tidak jarang juga beliau kutip pandangan mufassir kenamaan seperti Thabari, Sayyid Qutb, Hamka hingga Quraish Shihab, dll.

Kondisi sosial yang terus bergerak, sementara sebagian penafsiran yang kolot cenderung merepitisi penjelasan-penjelasan lampau, agama cenderung pasif merespon, bukan mengilhami kreatifitas-kreatifitas yang cenderung baru. Ah apa karena buku Ekopras terbitan Yogyakarta, bukan terbitan Beirut Lebanon? Konteks seringkali tak menunggu kondisi seorang yang memahami al-Qur’an harus ‘mapan keilmuannya’. Sisalah agama yang ompong dan menjelma sebagiannya menjadi brand bisnis dan keuntungan laba pasar.

Dalam tafsir progresif al-Ashr, seseorang mengkritik dengan memahami bahwa rugilah waktu manusia yang dihabiskan untuk memenuhi seluruh keinginannya. Seseorang mengkritik melalui pemahamannya terhadap Surah Al-Ashr, “…manusia memahami waktu dalam konsep yang ekonomistik: bertambah usia, bertambah dewasa, bertambah kaya. Bahkan waktu manusia dikuras untuk mengumpulkan, mengakumulasi, dan menyambut hidup dengan perhitungan laba dan rugi. Manusia telah menyetarakan waktu dengan nilai uang yang selalu menjadi kiblat kegiatan manusia sehari-hari. Padahal waktu itu tak sama dengan uang.”

Tak usah kusebut siapa “seseorang” dengan pemahaman di atas. Karena orang tersebut bukan tokoh otoritatif. Ia tidak signifikan untuk diteliti. Andai pemahaman tersebut keluar dari pemahaman ‘ulama otoritatif’, dosen itu mesti berkomen: “Geh. Geh. Saya kira ini menarik, Mas.”

Ah. aku memang bebal dan emosional. Memang dilematis, namun pada keadaan ini tiba-tiba aku jadi muak dengan arogansi otoritas.

Pak Rektor. Aku cukup senang pembayaran UKT mundur. Tapi nominal tagihan tak berubah. Sebagai rektor baru yang progresif dan mencintai hal-hal baru dan unik. Buatlah kami tantangan sebagai pengganti UKT. Misal dengan berkolaborasi dengan mahasiswa membuat festival makanan jadul paradigma integrasi-interkoneksi. Lumayan untuk menyambut new normal dengan tetap berpegang pada protonkol. Prokotol. Eh. Protokol kesehatan.

Di dalamnya bisa misal memadukan klepon isi gula merah yang kapir dengan klepon isi kurma atau minyak zaitun. Keuntungan lumayan sekaligus promosi kampus, bukan? Atau dengan membuat film atau konten media dengan target 1000 like dan subscribe. Siapa sesuai target bebas UKT.

Protonkol

Putri ngga boleh main layangan pekarangan rumah orang lain. Ibu katakan padanya: “Di daerah perkotaan, tanah orang jangankan untuk dijadikan lahan bermain, diinjak saja sudah tidak boleh.” Penjual soto ayam buka, tempat terpencil, sepi pelanggan. Anak jalan agak ketengah, sibuk memperhatikan gawainya dibanding jalannya.

Simbah belum bisa meneruskan usahanya lantaran sekolah-sekolah belum kembali normal. Biasanya menitip pempek dan nasi kuning di kantin-kantin sekolah. Kini melayani pesanan kerabat-kerabatnya.

Simbah cerita di kantin sekolahnya hanya dagangannya yang tak memakai penglaris. Beliau menanyakan pendapatku. Beliau bilang, sejauh dalam perjalanan mengantar makanan ke kantin, beliau hanya disibukkan membaca Ayat Kursi.

Malam mendengarkan lagu meneduhkan. Mencintai sama halnya dengan menyalakan sumbu bom waktu untuk ditinggalkan. Sialnya aku yang selalu “siap”.

Cinta tak pernah sederhana. Setiap detilnya. Seseorang memberiku tulisan: Kisah cinta seseorang yang kurang berhasil lah yang membuat seseorang menghargai orang lain. Aku mengingat-ingatnya. Lalu dalam pengembaraan kukatakan, “Aku menginginkanmu.” pada seseorang. Namun yang kita bayangkan bersamaan adalah kekasih kita masing-masing, di mana kita tak cukup beruntung diinginkan perasaan kekasih-kekasih kita. Kita tak saling menginginkan!!

Aku mencarimu dalam bayang-bayang manusia yang mirip, yang tentunya bukanlah mu. Kuanggap nya mu. Ternyata bukan lah mu. Mengapa harus daun kering pada malam dan terinjak, yang bertanya kepadaku: “Mengapa begitu pengecutnya dirimu untuk mengatakan langsung dan bertanya, ‘Bagaimana hubungan kita?’ daripada mengikuti bayang-bayang yang keliru?”

Tidak menjawab. Sang terkasih memilih diam. Aku bertanya kepada daun kering yang telah hilang: “Apa makna pelukan masa lampau. Apa arti tangis enggan kehilangan?”

Sementara, protonkol masih saja melaporkan keadaan terkini kasus positif covid. Emak-emak berjoget berniat menghibur di publik. Namun tak lama harus berurusan dengan polres setempat lantaran dianggap membahayakan para pengendara. Pak polres, apa tidak sekalian memohon pada pemerintah dengan hormat agar meminta maaf pada publik karena penanganan covid yang lamban dan abai sedari awal, sehingga membahayakan…….ah tidak…berdampak hilangnya ribuan nyawa hingga kini. Apakah penanganan yang lamban sedari awal merupakan hiburan? Ah tidak. Liburan!!!

Angka korban terinfeksi covid masih bertambah. Aku membayangkan akan ada laporan terkini protonkol kesehatan. Namun nanti ditambah satu lagi. Protonkol bebas lapar. Isinya bisa apa saja. Jadi, meskipun ribuan orang kehilangan pekerjaan, fresh-graduate yang pontang panting cari pekerjaan, namun di negeri ini tidak ada orang yang lapar. Harus dipastikan melalui protonkol resmi. Selain covid, bansos pun harus dimonitoring pendistribusiannya.

Kini sedang viral kue klepon bukan kue syar’i. Namun, aku senang Ibu penjual klepon di Sapen, suaminya bukan Dilan. Kalau Dilan, kira-kira percakapannya, “Bu. Jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu dan daganganmu.” Lalu jawab Ibu, “Kenapa?”

“Nanti…orang itu akan hilang.”

76

Oleh: Sibro

Tatu. Perempuan cantik dan pintar. Tidak mudah ‘tuk mendapatkan ranking paralel semasa SMA. Selain pandai, juga harus baik berperilaku. Timbulah penasaran. Rasanya tak mungkin bisa dapatkan Tatu yang pintar dan umurnya lebih tua dariku.

Bel pulang sekolah berbunyi. Kuhiraukan seruan teman yang memanggil untuk pulang bersama. Sementara aku fokus melihat pintu kelas Tatu dari kejauhan. Sedikit tertutup pagar lapangan basket sampai dia keluar dan pulang bersama temannya.

Senang saja rasanya. Hehe. Tak hanya itu, semangat ibadah di pondok juga tidak lepas dari kehadiran Tatu. Bahkan hingga aku sangat hafal mukenanya. Sepondok pula denganku. Kebiasaan itu menimbul decak kagum, dan kepengen nyanding. Ah, namun pesimis rasanya.

Hidupku masih jadul dibanding teman-teman sekelas. Tahu alun-alun saja baru ketika SMA, menyempatkan bolos sekolah untuk bonek dan melihat alun-alun. Apalagi punya hp. Seperti slogan kecap Bango “rasa tak pernah bohong”, dari situlah kuluapkan perasaanku secara sembunyi-sembunyi. Memilih membeli kartu perdana dan pinjam hp teman untuk meng-sms Tatu.

Menginjak kelas XI, sementara dia kelas XII, aku memberanikan diri untuk sms yang berbeda dari biasanya. Cukup menunggu lama, jawaban ternyata tak sesuai harap. Sampai akhirnya dia lulus dan kerja di koperasi sekolah. Aku masih menunaikan rutinitas dengan melihatnya bekerja hingga waktu yang memisahkan pandangan.

Tahun 2013. Aku memulai hidup baru di Kota Pelajar. Ramainya kota tak membuatku lupa dengan masalalu, rasa masih tetap sama.

Awal 2014 aku memberanikan diri lagi untuk membuka komunikasi dengan Tatu, dengan nomor hp nya yang nyanding diingatan.

Rangking paralel sudah nyata belum tentu bisa memecahkan masalah, apalagi tentang perjodohan yang notabenenya santri/santriwati harus taat kepada kyainya. Ia hendak dijodohkan dengan pilihan Kyai. Namun, di situlah aku menjadi guru privat alumni sekolah “Sang Jawara paralel” itu, sekaligus mengemis kasihnya.

Pada akhir 2014, Tatu menyusulku ke jogja, tidak lain hanyalah pelarian masalah kehidupan. Perasaannya masih sama, belum berpihak kepadaku. Rasa berubah menikam, kantung kemihku sakit. Hehe. Kebiasaan.

Tahun 2015 bertemu di Jogja lagi. Beda dengan tahun sebelum-sebelumnya. Kuulangi pertanyaan dan rayuan agar dia berkenan menjadi kekasih. Siapa dapat menerka nasib, selain menebusnya dengan usaha. Jawaban pun masih sama: Ia menolak.

Namun, doa selalu ajaib, bukan? Selain doa, pasrah adalah jalan satu-satunya. Dan…Berhasil!!! Dia jawab mau. Beban perjodohan yang dirasakannya seakan berkurang, sementara aku sibuk membayangkan masa depan dengan kekasihku, Tatu. Rasaku beragam, walaupun kurasa dia mencintaiku terpaksa.

Apa istilah yang lebih agung dari kata cinta, kekasih. Seakan aku menyaingi cinta ibu kepada anaknya. Apapun yang diucapkannya selalu kuupayakan. Kebahagiaan tidak lepas dari tragedi. Ternyata kesungguhan cinta menjadikan seseorang mati rasa.

Lelah adalah kepuasan tersendiri jika untuk kekasih, tidak ada kata wegah atau lelah untuk perjalanan Jogja-Jepara-Jogja, hanya harapan yang tak bisa ku kalkulasi.

Sudut jogja telah dipenuhi jejak Tatu. Jejak yang dulu “kebahagiaan” berubah menjadi “bayang suram”. Pengangguran setiap insan adalah hal yang harus dilalui, tetapi tidak menurut Tatu. Kerja bangunan pun tidak dianggapnya bekerja, tapi keterpaksaan. Walaupun hasil dari mencampur semen dan pasir sama nilainya ketika ditukar dengan sepatu atau skincare.

Dari situlah dia tidak menerima takdir. Malu memiliki lelaki kuli kasar yang sibuk ngecat tembok dari rumah ke rumah. Bodohnya aku. Disaat paceklik melanda keluargaku, aku menggigil dengan sikap Tatu yang dingin, putus menjadi wiridnya. Sementara habis caraku untuk menarik ucapannya.

Waktu terus berjalan dengan status yang makin runyam. Pesan masuk ku buka dengan gugup, berharap memperjelas hubungan yang tenang, tetapi hanyalah kata “tolong” untuk bantu kerjakan skripsi. Sedikit pun tanpa sungkan. “Rasa tak pernah bohong”, aku masih mencintainya. Meskipun mulutku mengatakan tidak.

Oh iya. Nama kekasihku ialah Ninggal Tatu. Kupanggil Tatu.

Pasangan ialah cara alternatif untuk merubah nasib. Lelaki miskin hanyalah penggenap keluarga. Cinta hanyalah soal ucapan. “Ah mana mungkin?”  hanyalah kalimat lelaki kesepian dan miskin. Terus apa? “Ya cari uang banyak yang tidak malu-maluin!”  Jawabku sendiri. Tanya-jawab ku ketika yang ada hanyalah sepi di tengah ramainya penat. Baru kali ini seumur hidupku. Tapi tidak hanya aku, bukan?

Kasih sayang Tatu, kini menjelma dosa. Anggur dan perempuan yang tak tau apa-apa menjadi sasaran. Aku tidak lebih kejam dari pada Tatu. Tidak mudah untuk merajut kasih pada relung perempuan. Nafsu selalu menang. Hanya rokok yang tidak munafik dan ingkar janji, bagi insan yang tidak mengenal Tuhan. Aku butuh sandaran nyata. Kemarilah! minum anggur bersama.

Hahahahahahahaha.

Bersyukur. Tuhan tidak menakdirkanku gila.

Aku masih mencintainya. Begitu juga perempuan-perempuan lain dan anggur. Pedih memang harus ada. Untuk jembatan kembali kepada Tuhan.

Selamat tidur Tatuku. Benciku padamu adalah rasa sayangku.

Ditugu

Sudah bukan lagi pemain calung yang menghibur pengendara di lampu merah. Di perempatan Gramedia, pemain saksofon membawakan lagu-lagu yang tak kukenal. Sesekali para pemainnya melirik pengendara mengambil perhatian. Kuning, lalu hijau. Kendaraan melaju. Suaranya mengetjil lalu terngiang dalam alam pikir.

Pikiranku malah hinggap pada suara saksofon Film Ada Apa Dengan Cinta 2 berlatar Brooklyn, New York. Awal ketika Nicholas ‘Rangga’ Saputra muncul.

Pikiranku juga malah mengembara pada film Titanic pada tahun 1997an, di mana terdapat grup musik masih bermain biola di antara para penumpang yang panik menyelamatkan diri kapal yang karam. Hingga salah seorang dari grup musik The Unfinished berkata, “What’s the use? Nobody’s listening to us anyway.” Seorang yang lain meresponnya, “Well, they don’t listen to us at dinner, either. Come, on. Let’s play. Keep us warm.” Kemudian mereka memainkan “Orpheus”.

Sudah lama tak duduk sambil melihat tugu kala malam. Banyak orang melakukan hal serupa sambil bergurau. Padahal malam sudah larut. Teh panas dipesan sudah menjadi dingin. Aku malah memesan es jeruk dan dua tusuk tempura bakar.

Lampu merah menyala. Selalu ada kendaraan berhenti menunggu. Seseorang menggodaku agar berpose ikonik seperti The Beatles yang sedang menyeberang di atas penyeberangan pejalan kaki di Abbey Road, London.

Pada akhirnya malam menggoda agar manusia menceritakan nasibnya yang kelam. Seseorang menyanyikan lagu Let It Be, “And when the broken hearted people living in  the world agree, there will be an answer, let it be. For though they may be parted, there is still a chance that they will see. There will be an aswer, let it be.”

Kuning menuju merah. Kendaraan berhenti. Seorang kakek dengan gerobak sampah. Memegangi perutnya yang kelaparan, dihantam dingin malam. Pikiranku lagi-lagi berkelana pada kisah Nabi Sulaiman as. yang hendak memberi makan makhluk darat dan laut. Tuhan tak mengizinkannya. Kenyataannya kekayaan dimiliki tidak bisa mengenyangkan makhluk-Nya.

Apalah aku yang miskin namun dengan keinginan sebesar Sulaiman as!!! Apakah dengan air mata mampu mengenyangkan perut-perut mereka yang dendam terhadap pembangunan membabi buta?

Kekasih. Kau tau bila aku mencintaimu. Kau pun mungkin menyayangiku. Keberadaanmu entah di mana, sementara ku mencari kejelasan hubungan kita yang kau abaikan.

Bila saja, seseorang mencintaiku dan membuatnya lupa akan dirinya, apa kau masih mengharapkan keberadaanku? Dengan kuasa apa kumenolak cintanya? Hatiku tidak terbuat dari besi dan baja mall dekat kampus kita.

Hijau ke merah. Kendaraan berhenti. Bubar bubar!!! Satpol PP sudah datang membubarkan kerumunan. Meminta para pengunjung agar kembali ke rumah, sembahyang dan menulis hasil perenungan lalu suarakan perlawanan terhadap kesenjangan sosial. Sementara di hotel dekat tugu, seorang wanita dipaksa kekasihnya untuk mengeram pejuh dimulutnya. Buang!!!!

Terang kota tak lagi sama. Sudah saatnya kau tengok puing yang tertinggal. Bau wangi hujan tak lagi sama. Sudah saatnya kau jemput musik yang tertinggal. Ingat waktu itu ku bertanya. Aku mau dengar jawabnya. “Sesuatu Di Jogja” – Adhitia Sofyan.

Pulang.

Percakapan Malam

Selain anggur merah, tidur larut malam bisa membuatmu mabuk. Misalnya seorang wanita yang berkata, “Ngga ada minuman yang memabukkan, hal yang memabukkan ada, tapi bukan tentang cinta saja.” Lelaki menjawab di atas ranjang, “Mabuk kekuasaan?”

Wanita: “Semua soal waktu bergilir. Menjadi tiran selanjutnya, setelah sebelumnya berbuih mengkritik……Tapi aku jengah dengan kata kata, ‘Aku mencintaimu, ngga ada yang menggantikan kamu, kamu ngga perlu dandan natural saja aku suka. Taik babi!’ ”

Wanita: “Taunya pacaran sama cewek glowing kaya berbi. Njing.”

Wanita: “Tapi tak apa. Semesta punya cara menyembuhkan.”

Lelaki: “Waktu mengobatinya perlahan tanpa obat merah. Meski perlahan, emosi harus diluapkan tanpa pengaman supaya lega. Curhatlah pada seorang psikolog. Priamu kasihan. Merasa asing dengan dirinya sendiri, memilih orang yang salah.”

Wanita: “Jangan berpihak padaku. Aku tak butuh dukungan. HAHAHA. Jangan pula coba untuk hakimi dia. Cukup tertawakan sebagai cerita komedi. Dia pun tak salah. Aku yang goblok menyayanginya segenap hati.”

Lelaki: “Kau tak butuh jawaban klise, bukan? Aku supporter bayaranmu. Kudukungmu. Tau kan harus ngapain? Kerja kerja kerja.”

Lalu wanita menunjukkan kepada lelaki halaman tertentu sebuah buku, “Coba deh saling menelanjangi hati dan pikiran masing-masing, setelah keseringan menelanjangi tubuh satu sama lain.” Lelaki berkata, “Aku suka ketelanjangan.”

Wanita: “Ah aku malah bahas-bahas masa lalu. Gila! Gembelelelelelelel.” Lalu Wanita menunjukkan sebuah foto hasil pengambilan gambarnya tentang sebuah panorama pantai yang luas.

Wanita: “Hanya saja, terkadang kita harus melihat segala sesuatu dari jauh, agar kita bisa bersyukur dengan kehidupan kita. Ternyata apa yang kita lalui membuat suatu jalanan menuju keindahan sejati.”

Lelaki: “Kedalaman rasanya sudah ada. Tapi ungkapan bahasamu masih terpenjara kata-kata. Apa orgasmemu dilalui dengan baik atau kau paksakan?”

Wanita: “Apa kamu bercanda dengan saya?”

Wanita: “HAHAHA. Tak ada pemaknaan selain inginku orgasme dengan berkeringat. Lalu setelah itu aku menuang anggur merah dalam tubuhku. Kau kira kopi? Betapa seksi rasanya setelah itu.”

Lelaki: “Manusia selalu memilih jalan kebahagiaan, bukan? Tapi penyair munafik. Mereka mendambakan kebahagiaan padahal mereka membutuhkan jatuhnya perasaan mereka agar menghasilkan bait-bait yang tragis!! Betapa paradoksnya!!”

Wanita: “Lalu setelah kuteguk segelas anggur, aku menari, tarian darwis kurasa bagian dari bentuk perayaan cinta dan kehilangan. Sialan!! Tarian itu bukan tarian dari tubuhku, bukan pula dari anggur. Tapi dari jiwaku yang tersenyum. Tersenyum dengan semua sekat-sekat yang dibuat oleh manusia. Pengotak-kotakan. Yang membuat semakin sulit untuk menghirup keindahan. Lepaskan. Buang sekat itu, keluarkan bukannya sesak, udara kau hirup tak bebas.”

Lelaki: “Dalam tarian darwis, lelaki ranjangnya memperhatikan. Tarian sudah menampakkan keresahan. Memeluk wanita itu. mencium punggungnya lama. Hingga wanita merasa asing dengan dirinya. Semesta sekalipun tak mampu membantunya menguraikan perasaan yang bercampur aduk. Bahkan wanita tak perlu menunjuk batang hidung agar lelaki menyadari tafsirannya: aku bukan lelaki harapanmu. Namun, maukah bercinta sekali lagi?”

 

 

 

Sumber Gambar: Suci Shawmy Febrita
Konten: Suci Shawmy Febrita & Aldiantara Kata

Mana Mana Dah

Mana mana adalah bahasa Cila yang artinya terserah. Cila kisah dua orang sahabat seperti satu jasad. Mereka mengajarkanku di dunia ini, bahwa hidup adalah suatu anugerah yang wajib untuk disyukuri. Maka nikmatilah kebebasan itu. Hingga mereka lupa menerobos jalan satu arah Sudirman Kota Gudeg. Polisi menyuruh mereka untuk minggir.

Cila bercerita mengenai teman sedaerahnya yang berjalan kaki dari bandara lama menuju kampusnya. Gila! Kau bilang. Tapi kukatakan, bukankah bangsa kita susah berjalan kaki? Kau jawab iya. Cila biasa berjalan kaki di mall. Malam semakin larut. Cila mengambil yang katanya rokok jablay. Asapnya membumbung bersamaan dengan perenungannya akan kehidupan. Kau bilang, aku sampai pada satu titik di mana malas pacaran. Satu putus setelah tujuh tahun, satu menahun hanya menjadi teman.

Langit sudah berganti terang. Pesepeda menerobos lampu merah hampir tertabrak pesepeda motor laju cepat lampu hijau. Seorang Ibu menemani anaknya berlatih sepeda roda tiga.

Cila menahan kantuk dalam obrolan. Materi ceritanya tidak habis-habis. Namun terkadang diam menunggu aba-aba. Mana mana dah. Cila bercerita temannya yang seorang pelukis, harus membakar semua karya lukisannya karena ditakut-takuti dalil agama yang menakutkan penafsirannya, hingga teman kampusnya yang asik threesome.

Sebagai seorang psikolog, belum lama ini Cila mendengar keluh kesah seorang temannya yang mengaku gay yang kehilangan harapan hidup. Setelah diajaknya menonton di bioskop semalam, keesokan harinya bahkan lelaki itu katakan sudah menyiapkan minuman bunuh diri. Cila memeluknya. Lalu ia katakan kepadaku, “Apakah dosa bila psikolog sepertiku memeluknya?”

Cila adalah dua orang perempuan bersahabat. Berbeda suku dan agama. Aku suka sekali dengan kehidupan yang berwarna-warni. Bukan melulu soal mengalir mematuhi aturan-aturan yang membosankan. Kebahagiaan umpama toples ketjil yang ekslusif. Cila yang berhasil menciptakan kebahagiaannya dengan caranya. Cila juga bercerita tentang temannya yang patah hati membawa sebuah buku kosong, lalu menuliskan semua keluh kesahnya di Warung Ijo Kaliurang atas. Suasana yang syahdu. Cila katakan padaku pula, “Kamu sedang belajar patah hati.” Suka-suka nah, Cil.

 

 

Sumber gambar: Pixabay