aldiantara.kata
Sebelum kita benar-benar menerawang pada jendela. Antara lamunan serta kata-kata yang tertahan. Apakah bisa jika kerinduan itu adalah barisan tanda koma tanpa hilir. Ia serupa cerita serupa pendengar serupa pandangan yang menyapu wajah yang sebelumnya menjadi igauan.
Ada awan mendung, ada waktu yang mengintai. Ada jarak yang siap menjemput untuk kembali pada peredaran masing-masing. Kesendirian.
Kereta tiba. Waktu tak bisa mengiba.
Kita hanya bisa menitip jejak. Lagu yang terputar di pelataran, hanya terputar sekali. Ia tak lagi sama sepulang berada di rumah pada detik ritmik yang berbeda. Namun pada rahim waktu kita bisa menitip pesan. Pada vintage corak ingatan yang tentu kembali kepadamu.
Sebelum lonceng berdenting. Kereta yang akan membawamu.
Hanya di antara sebentang jarak, kita dapat menyadari betapa gugur daun di pelataran begitu merindukan sang empu. Ia ditimang angin. Danau memintanya bercerita. Hingga ia bersandar pada sebuah perahu Noah yang tertambat pada sebuah tali di pinggiran. Sesekali riak-riak muncul. Beburung yang beterbangan di atasnya.
Sudah tidak ada lagi wajahmu pada cermin air. Barangkali engkau telah menjadi aku. Yang tak lagi sadar pada kegilaan.
Tinggalkan Balasan