Daendels dalam tampak jalan memukulku sebagai angin. Menjajah malam dalam bayang tentara perang. Malam purnama.

Aku bertamu pada Martodikromo.

Martodikromo, bicaranya selalu berbobot. Sebelum memulai pembicaraan, beliau dengarkan cerita kawanku, Bahduki, perihal tesisnya yang berbicara mengenai otentisitas tafsir isyari. Penafsiran terhadap suatu ayat yang lahir dari isyarat-isyarat tertentu yang ditangkap oleh mufasir. Seringkali mengabaikan makna dzahirnya.

Martodikromo kemudian bercerita mengenai ayat 26-27 Surah Ali Imran sebagai ayat perlawanan terhadap tiran. Hasil perenungan dan pergolakan batinnya. Ayat yang dibaca Martodikromo adalah ayat revolusi! Namun, kepasrahan Martodikromo adalah perjuangan tak kenal lelah, bukan berdiam diri. Melawan tiran yang merampas tanah rakjatnya. “Seperti itukah bentuk penafsiran isyari?” Tanyanya tersirat. Terpantul dari realita yang dihadapi Martodikromo.

Kukatakan kepada Martodikromo, beberapa buku yang kubaca serta dosen yang selalu katakan: teks kitab suci terbatas dan tidak mungkin berubah, sementara konteks selalu dinamis menuntun masalah yang pelik dan kompleks. Lantas bagaimana cara agar teks yang terbatas berdialog dengan konteks yang tak terbatas agar tertjipta kemaslahatan bagi kemanusiaan?

Kukatakan kepada Martodikromo, sebagai tokoh yang juga seorang aktifis, Eko Prasetyo dalam Kitab Pembebasan memahami kisah Musa as. melawan Fir’aun dalam al-Qur’an layaknya aktifis yang menentang Orde Baru yang tiran. Dalam kitab-kitab tafsir atau ayat-ayat dalam kitab suci sekalipun, pasti tidak akan ditemukan pembahasan mengenai konflik agraria yang dihadapi Martodikromo secara spesifik. Jika seorang hamba mau mencari, maka aku yakin bahwa Allah tentu akan berikan pemahaman kepadanya. Maka bagiku, keyakinan Martodikromo dengan menjadikan ayat revolusi sebagai pegangan jalan perjuangannya merupakan bagian dari jawaban dari Tuhan untuk Martodikromo yang selalu sulit tidur kala malam, kerap merenung, memperkuat ibadahnya, mempelajari sejarah tanah airnya, belajar ilmu hukum, serta taat sebagai santri kepada kiainya.

Banyak yang kukagumi dari sosok Martodikromo, salah satunya ketika mahasiswa datang bertamu. Beliau selalu berdiskusi dan bertanya mengenai penelitian mahasiswa, meminta file pdf. serta membacanya dengan teliti.

Martodikromo mengakui bahwa terkadang, agar menjaga kewarasan sebagai manusia, seseorang “dipaksa” menjadi “Wong bodo sing duwe karep” (Orang bodoh yang punya keinginan). “Karep” atau “keinginan” yang dimaksud kupahami: keinginan terciptanya kemashalatan sosial, yang timbul lantaran kegelisahan seseorang terhadap kondisi sosial yang dihadapinya.

Barangkali seperti Martodikromo, bukan Kiai yang hafal dan menguasai ratusan kitab otoritatif, bukan seorang sejarawan atau pakar hukum, namun konflik agraria menggerakkannya untuk mempelajari semuanya. Barangkali seperti Jerinx, seorang musisi, bukan pakar kesehatan, namun mengambil peran “antagonis” selama wabah corona agar bangsa ini terbebas dari rasa takut berlebihan terhadap wabah yang melemahkan kekuatan bangsa, sembari melakukan aksi sosial memenuhi perut orang-orang kelaparan yang belum miliki pekerjaan lagi. Barangkali seperti Eko Prasetyo, seorang aktifis, geram dengan sebagian pemuka agama yang lebih dekat dengan ‘dakwah pesanan’ industri hiburan, menjadikan pemahaman terhadap ayat al-Qur’an sebagai kritik bahwa beragama adalah merubah keadaan sosial menjadi lebih baik. Seperti aku yang “bodo, ra duwe karep” (bodoh dan ngga punya keinginan), namun perlahan muncul keinginan atau “karep” dengan meneladani tokoh-tokoh di atas semakin besar.

Otoritas selalu memiliki keterbatasan.