aldiantara.kata

Dan rindu itu, meski diucap dengan kalimat klise bagaimana pun, ia berada pada pola pola yang runtut. meski dipisah jarak oleh kemunculan entitas-entitas yang hadir sebagai pelengkap, namun acapkali kemudian, melulu ada jalan menuju rumahmu. Rumah peneduh di mana waktu tak lagi bisa mengekang ingatan. Sampailah kita yang mengikat waktu itu agar mau mencatat peristiwa sebagai memori bening kala kita terakhir kali melihat pagi dan kabut. Biar dingin itu merasuki raga kita, tanpa mau kita berkehendak meracau memikirkan nasib kata, yang akan menjadi abadi kita rengkuh.

Instrumen Voce Gentile sebagai teman bertamu kepada kata. Ia memancing manjing obrolan yang datang belakangan. Seperti apa, seperti apa. Kau bertanya. Sudah mau pagi? Kita akan merelakan waktu berjalan. Mengalir kesedihan, juga senangnya sekaligus. Rindu selalu datang, saat entitas itu tiada. Aku selalu mendengar cakap-cakap kosong, melahirkan tatapan kosong yang membawa kesadaran kepada masa yang telah lalu. Semacam tamasya di mana perasaan kembali hadir. Apa yang rindu telah bisikan, tak semua orang bisa jujur ia pernah dihinggapinya. Ia akan semakin manis, jikalau saja tetap terpendam, membawanya berat-berat di atas bahu perasaan, tanpa keinginan untuk memberitahu.

Apa yang terjadi kepada kuas dan kanvas, melukiskan sesuatu. Gradasi warna, pelampiasan. Kanvas tak penuh terisi. Ia menjadi lukisan yang tak selesai. Pikirannya bercabang. Apa kamu lebih membutuhkan pelukan atau sekedar bisikan? Atau sebuah kehadiran, di mana kita tak perlu membicarakan perasaan. Lalu mengambil waktu untuk memperhatikan gerak bibir, raut ekspresi, atau sekedar tangan yang membenarkan posisi rambut yang digoda angin.