“Memang mau ngasih makan suami dan anak-anak, apa?” Dunia dan era modern dieluk-elukkan sebagai gejala positif. Ungkapan yang bertahan tetap saja, “Mau ngasih makan istri dan anak-anak, apa?” tanya kepada seorang lelaki lajang. Stigma dipertahankan, bahkan di benak seorang perempuan karir bergaji berlipat-lipat di atas UMR. Perempuan tidak sedikit menetapkan kriteria mutlak untuk menjadi pendampingnya agar ‘setara’ dari segi penghasilan, bahkan harus di atasnya dengan dalih lelaki bertanggung jawab terhadap segala hal dalam bangunan rumah tangga. Kalau pun memang ada pemikiran perempuan yang seperti ini, tentulah pemikiran tersebut menyebalkan.
Dengan sendirinya lelaki-lelaki bersaku egaliter terfilter. Lelaki mana memujanya berpikir keras agar menghasilkan gaji a la kapitalis. Oh oh cara instan memang berisiko. Tentu upaya membangun tidak dimulai dari logika perkulian. Membangun pondasi kuat dengan besi, semen, pasir, kerikil dan batu bata. Solusinya: begal, rampok dan korupsi. Sudahlah, cara tersebut memang terkesan mengada-ada…yang memang ada. Akan tetapi, poin penting tulisan ini, mengapa tidak familiar ungkapan, “Mau ngasih makan suami dan anak-anak, apa?”
Pasangan mana yang tak mengidamkan pernikahan sebagai langkah berikutnya setelah proses saling mencinta. Patut pula dipertimbangkan kata-kata Sujiwo Tejo, kurang-lebih ‘Menikah itu nasib, mencintai itu takdir, seseorang bisa merencanakan nikah dengan siapa, tetapi tidak bisa ia rencanakan cintanya untuk siapa’. Kupahami dengan akal dangkalku, cinta dan pernikahan memang tidak selalu berbanding lempeng, tetapi apakah salah satu penyebabnya adalah karena urusan perekonomian lelaki yang harus mapan. Tidak ada yang tahu. Aku pun tidak bisa meminta bantu kepada ilmuwan untuk menjawabnya lantaran sibuk menangani virus corona. Tidak pula kepada ‘ustadz’ karena takut dianggap kafir karena mengingkari ayat al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa.
“Mau ngasih makan suami dan anak-anak, apa?” sebuah ungkapan yang bukan dimaksudkan perempuan agar cuma bisa memasak. Lebih dari itu, hal ini persoalan mental dan kesadaran perekonomian tiada lain menjadi keniscayaan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Perempuan kaya menikahi lelaki kaya. Perempuan miskin tiada pilihan lain. Adakah cinta berkeadilan sosial, seperti halnya perempuan kaya menikahi lelaki miskin dengan itikad memajukan perekomian bangsa. Ah bullshit. aku lupa. Cinta memang hal rumit. Kata Sujiwo Tejo, ‘seseorang memang tidak bisa merencanakan cintanya untuk siapa’. Tetapi untuk menikah, nanti dulu. Cinta berkeadilan sosial barangkali hanya ada pada cinta seorang tante/janda kaya kepada brondong. Dan seorang Om pengusaha kepada wanita malamnya.
Tinggalkan Balasan