Oleh: Alqasam

 

Bagi muda/mudi berumur 20an, pertanyaan kapan nikah lazim ditanyakan oleh saudara, teman bahkan orang asing dalam bis. Sebagian menjawabnya dengan tenang, sebagian lain hanya mampu menghela napas panjang. Bahkan dinobatkan sebagai pertanyaan terhoror bagi kaum rebahan plus jomblo ngenes. Jangankan ditanya langsung, membayangkan ditanya saja sudah cukup membuat hati resah gundah gulana. Padahal kita paham bahwa setiap orang punya garis waktunya sendiri, takdirnya sendiri dan nasibnya sendiri.

Mungkin kita terlalu lama masuk sekolah formal dimana setiap orang akan naik kelas dalam kurun waktu yang sama, menjalani takdir yang sama, seragam, serupa. Sehingga tertanam keyakinan semua akan menikah dalam waktu berbareng. Padahal ada yang menikah umur 23 tahun punya anak umur 25, ada yang menikah umur 25 punya anak umur 23.

Tidak bisa dipungkiri, meliat anaknya menikah adalah impian setiap orang tua, menggendong cucu selagi sehat adalah nikmat yang mereka dambakan. Harapan ini disematkan kepada anaknya. Jika menikah adalah sebuah  tuntutan, maka bijaklah untuk menanggapinya.

Jangan sampai menikah karena tuntutan orang lain dan berharap mereka bahagia setelah itu. Ingatlah akan datang tuntutan sosial lain setelah menikah, seperti: punya anak, rumah, motor, mobil, kulkas, tv, dll. Seperti boneka matryoshka yang selalu menyimpan boneka lain setiap kali membukanya.

Bagi yang telah menikah selamat berbahagia dan bagi kaum jomblo selamat berjuang. Laluilah setiap fase kehidupan dengan bijak, sehingga kita bisa menanggapi segala macam “tuntunan” dengan baik dan bijak.