aldiantara.kata
Memasuki toko buku malam tadi, barangkali semua orang tahu, bahwa mereka memajang di etalase atas, penulis-penulis kesohor yang memungkinkan untuk dicari khalayak ramai. Setiap hari tak pernah sepi dari pengunjung datang melawat. Toko buku adalah surga sesungguhnya. Di dalamnya berisi diantarakata ide gagasan manusia-manusia visioner. Tak bisa ditaksir usia gagasan-gagasan ini yang menjelma menjadi buku, sejak kapan, hingga yang masih panas baru terbit kemarin sore. Pembaharuan-pembaharuan silih berganti, berputar.
Sesuatu yang kupikirkan hari ini pasti tidak berangkat dari ruang hampa, bisa jadi telah menjadi tulisan siapa.
Meskipun ku sering melakukannya, bagiku terlihat menyedihkan seorang (aku?!) yang tak gunakan akal kreatif untuk merangkai diantarakata-nya sendiri sehingga ia mengcopy gaya tulisan orang lain. Seperti kebiasaanku, menulis ulang… kata-kata ajaib dari para penulis buku yang kubaca, kusebutnya kutipan. Meskipun kekaguman itu hanya se per sekian menit, catatan yang aku kutip, kututup, lalu beranjak melakukan aktifitas lain.
Penulis-penulis muda bermunculan bersama ide-ide segar, melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Tragedi bermunculan seiring waktu berlari, nampaknya sama, namun konteks yang dihadapi pada masa kini tentu selalu baru. Tak mesti bisa ditangani langsung oleh generasi-generasi lama.
Ajaibnya, melalui toko buku ini, aku membaca tulisan pada abad-19, diantarakata-nya masih mengena. Relate dengan keadaan masa kini. Sang penulis tidak tahu bahwa di masa depan, aku menjadi salah satu pembaca setianya, pengagum berat. Ketika aku berusaha menapaki jejaknya, bukankah menjadi hal yang wajar mencemaskan siapa yang akan menjadi pembacanya? Meskipun aku, di dalam belantara kata bagaikan diksi pelengkap, yang kemudian dicoret oleh pemegang pena, aku yakin bakal menemukan tempatnya sendiri, takdirku sendiri, meski hanya sebagai kata penghubung “yang”, ada tiada tak berpengaruh.
Bila rangkaian kata sudah menjadi buku, aku akan tetap senang meski buku itu menjadi buku yang terletak di pojokan rak dengan cahaya remang, menjadi alas stok buku-buku populer di atasnya. Bagaimana pun diantarakata yang terangkai merupakan hasil perenungan (murahan) alam imaji dan realitas yang berhadapan dengan inderaku sendiri. Buku yang sedetik baru saja terbit, pada hakikatnya sudah menjadi masa lalu, sebab pembaruan merupakan waktu itu sendiri. Sebab kita adalah buku terpencil pada rak toko buku, setidaknya sudah berani bersuara apa yang menjadi cerita kita. Juga selama kita masih bisa melawan rayap yang akan membumihanguskan kesejarahan kata.
Tinggalkan Balasan