Oleh: Muj Madjikan Thuyul

 

 

Aku begitu senang menikmati jajanan di warung itu, lebih-lebih booking out melalui salah satu aplikasi. Cukup mahal, ratusan ribu, hingga jutaan. Ah, sudahlah. Tak jelas juga apa nama jajanan itu. Kenapa juga mesti dijadikan tulisan.

Paling juga arahnya bicara soal banyaknya cuan yang ia punya.

Memang. Bicara jajanan semahal itu masih banyak orang yang mampu membelinya. Pasti ada pasarnya. Mereka yang duduk di istana pun sudah pasti mampu dan tahu banyak soal jajanan itu. Hohoho.

Mau tahu nama jajanan itu?  Tissekone!

Asing ketika didengar, ya. Memang, biar tidak mudah dikenal dikalangan generasi tua.

Istilah tersebut  gabungan bahasa Denmark yang artinya ‘Pipis’ dan ‘Perempuan’. Sepintas terdengar imut, bukan?  Bahasa klinis yang merujuk pada selangkangan! Apalagi yang buatku merasa senang dengan hal-hal yang bentuknya kecil ini.

Apa daya lagi kadung napsu aku pada skede itu. Jelata sepertiku bagaimanapun bentuknya alat pipis itu terlihat sangat istimewa. Jangan sok alim. Kita sama. Sama-sama mau pasti kala disuguhkan. Mungkin cara ngana menyeruput kurang lembut dariku.

Sialnya, aku tak bisa begitu saja menikmati semua ‘perdagingan’. Mau diseruput semua toh tidak enak dengan pengunjung yang juga ingin ngefly. Lebih-lebih pada penjualnya. Bukan tak mampu bayar. Tawarku terlalu kedjam. Kasihan penjualnya, bila sampai siklus perekonomiannya kurang efektif.

Sekecil apapun dalam sirkulasi komoditas, kalau tak produktif, ada efeknya pasti, begitu kata penjualnya di hari itu.

Entahlah, aku bingung, dia seolah seperti pejabat tinggi kesehatan memberi nasehat perihal ekonomi,  ahli ekonomi yang bicara tentang penyakit menular, politikus berpidato tentang standar beragama yang benar, tokoh agamawan berkhotbah tentang politik.  Dua alam bukan? Tanyaku dalam benak yang tak butuh jawaban. Ada banyak cara menghargai selembar tubuh, tidak hanya tentang kebijaksanaan itu, tapi juga puisi.

Aku masih menunggu dia terlelap sambil menahan birahiku yang mulai tak seimbang. Sudahlah. Cerita masih berlanjut. Ini bukan tentang pengakuanku dalam bait cintanya. Menjadi bijak pun seakan mati terburu-buru.

Entah bisikan apa yang menyambar kelopak mataku, ketakjubanku terasa hanya desah yang tak disengaja. Seketika malam menuturkan kalimat pendek di telingaku, percayalah banyak yang telah hilang darimu. Kerisauan itu seakan bersemayam di hatiku mengajak untuk kembali ke jalan-Nya yang benar.

Malam itu aku masih terjaga. Astaga. Celaka! Kenapa aku terbangun di kamar yang sama. Aku pun bangun dan memanaskan punggungmu yang terlanjur dingin. Tali penjaga dua gunung Merbabu lepas satu persatu. Desahan nafasmu berbau mawar attar.

Seolah ada kekuatan dahsyat yang datang. Ini bukan saja soal adiksi, atau penyakit. Aku merasa hidup setelah pejuh itu tumpah. Berefleksi. Soal tubuhmu yang menjadi siluet, kamar temaram, sebotol minuman penghangat badan, serta badanmu yang mengguncangku. Mengapa harus terburu-buru. Apa yang kau pikirkan?

#Cerita_Kemarin_Sore: Napsu, sosial, ekonomi menyatu dalam lesung paha.