Sebelum populer budaya tik tok, di Sunda sudah populer budaya tik nang. Tik nang merupakan lagu kaulinan barudak (lagu bermain anak). Permainan apapun. Aku mengalaminya. Sebelum ada medsos yang ribut mengenai haramnya musik, aku menyanyikannya bersama teman-teman. Lagu tik nang dinyanyikan misalnya ketika hendak bermain petak umpet. Tik nang dinyanyikan untuk menentukan siapa yang jaga. Mulanya, lima anak melingkar, kemudian ditentukanlah siapa yang jaga dengan suit dan lagu tik nang. “Tik nang Tik nang … nu saeutik … Meuuunang …” (Kit … Nang … Kit … Nang … yang sedikit … Meeeeenang).

Kemudian 5 anak mengulurkan telapak tangan mereka, ada yang mengulurkan telapak tangan atas (berwarna gelap), ada yang telapak tangan bawah (berwarna terang). Siapa yang berbeda sendiri di antara teman-temannya, dia yang harus memisahkan diri dari lingkaran, kemudian dinyanyikan lagi tik nang sampai dapat dua orang anak terakhir. Jika dalam satu putaran uluran tangan semua anak mengulurkan telapak tangan atas dengan kompak atau telapak tangan bawah semuanya (belum ditemukan yang berbeda sendiri dari kelima anak), maka semua anak dengan kompak pula berseloroh, “Baliiiikeun” (Balikkan ‘kedua telapak tangan’), si anak-anak pun ada yang membalikkan telapak tangannya, atau ada saja yang tetap pada posisi yang sama. Kedua anak terakhir harus suit kertas gunting batu untuk menentukan siapa yang jaga dalam petak umpet.

Hm.

Diinsafi atau tidak, lagu sehari-hari tersebut relevan pada masa kini. Minoritas seharusnya dimuliakan. Bukan dikebiri hak-haknya. Minoritas harus diperhatikan hak-haknya, bukan dikucilkan, minoritas harus ‘dimenangkan’ (dihormati). Bukan ‘ditindas’. Apapun. Entah minoritas etnis, agama, budaya, dan lain-lain.

Seorang gadis yang sudah sepuh, tinggal seorang diri di sebuah petak sempit. Untuk memasuki ke area petaknya harus memasuki gang berlebar 1,5 meter. Suasana sepi menyelimuti enam petak berbaris pagi ini. dari enam petak, hanya terisi dua kamar petak saja. Hanya gadis sepuh berusia 60 tahun ini saja yang menempati, bersama seorang janda yang tak bekerja, dalam jarak dua petak. Janda tersebut tinggal bersama anaknya yang baru menikah. Gadis sepuh ini diamanatkan oleh pemilik petak untuk mengurus komplek petak ini. Kalau keenam petak terisi penuh, gadis sepuh biasanya menerima uang sekitar lima ratus ribu setiap bulan untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari.

Berkaitan dengan lagu tik nang, ketika aku kecil, keluargaku biasa menyanyikan lagu berikut, “abi teh ayeuna gaduh hiji boneka, nu kinten saena sareng lucuna, ku abi diacukan, acukna sae pisan, cik coba tinggali, boneka abi.” (arti bebasnya kurang lebih: Aku mempunyai satu boneka, yang sangat bagus dan lucu, kukenakan padanya pakaian, pakaiannya sangat indah, lihatlah kemari pada bonekaku). Sebagai seorang yang mengalir dalam tubuhku darah Sunda, lagu ini menggunakan diksi bahasa yang sangat sopan. Setidaknya menunjukkan pengenalan sekaligus pembelajaran orang tua kepada anak-anaknya bahasa lokal yang sangat halus dan sopan. Kini kalau lagu boneka abi dinyanyikan, terlebih setelah muncul di salah satu film layar lebar, orang-orang akan menilainya lagu mistis. Justru lagu boneka abi memiliki nilai sosial yang baik, boneka saja dipakaikan baju yang sangat bagus, apalagi orang-orang yang papa, yang kekurangan. Mencukupi pakaian juga sekaligus kebutuhan sandangnya. Akankah lagu tik nang diadopsi menjadi film layar lebar dan menjadi lagu mistis?

Gadis sepuh kaget dengan kedatanganku dan ibuku. Selama aku kecil, aku sering melewati rumahnya ketika pergi ke masjid. Dahulu aku mengira ia tinggal bersama suaminya. Ternyata tinggal bersama ayah angkatnya. Kini rumahnya telah dibeli seseorang dan dijadikan kontrakkan untuk pegawai-pegawai pabrik. Gadis sepuh pun pindah ke tempat yang cukup jauh dari kediamanku yang kini menempati sebuah petak kecil seorang diri, setelah ayah angkatnya meninggal. Gadis sepuh tiada memiliki saudara lagi selain Luna, anak dari ayah angkatnya, yang kini menitipkan kepada gadis sepuh enam petak untuk dikelolanya.

Seorang janda yang menempati petaknya saja menunggak tiga juta delapan ratus. Kehidupan sang janda ditanggung oleh anaknya. Anaknya sendiri baru berumah tangga. Gadis sepuh jadi sungkan untuk meminta uang kepada anaknya, Luna. Biasanya lima ratus ribu per bulannya, kini gadis sepuh bercerita dirinya mendapatkan dua ratus hingga dua ratus lima puluh ribu rupiah setiap bulannya. Gadis sepuh menanyakan kepadaku mengenai pendidikan. Kujawab aku kini masih menyelesaikan tugas akhirku di Jawa, mata gadis sepuh mengisyaratkan kerinduannya ke tanah Jawa, namun kini ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di sana.

Gadis sepuh di usia senjanya memilih untuk memeluk agama Islam. Menjadi seorang mualaf. Toples-toples di rumahnya berjejer kosong. Gelas-gelas kaca disusun terbalik. Pohon natal kecil disimpan di luar berjejer dengan akuarium lawas, peninggalan ayah angkatnya. Ibuku menanyakan kapan terakhir membaca kitab suci. Gadis sepuh menjawab setiap hari membacanya sebisa-bisanya. Gadis sepuh bercerita dirinya tidak berkenan untuk menghadiri pengajian di sekitarnya. Ibu-ibu pengajian lainnya selalu berkomentar lantaran gadis sepuh bajunya hanya itu-itu saja. Gadis sepuh juga tidak nyaman lantaran bila salah seorang Ibu pengajian berjualan, namun seorang yang tidak membeli akan diomongi.

Setangkai bunga mawar imitasi, berada dalam sebuah vas berdebu. Berwarna merah, agak oranye. Gadis sepuh kembali bercerita. Ia malah lebih akrab bersama seorang nenek berusia 80 tahun yang tinggal seorang diri di rumahnya. Ia sudah tidak bekerja lagi. Namun memiliki sawah yang luas lalu menyewakannya. Nenek tersebut dahulu seorang TKI di Arab selama dua puluh tahun. Kini tinggal serumah dengan saudaranya yang ingin menguasai harta si nenek. Tak jarang terdengar keributan di rumahnya. Nenek kadang menyambangi gadis sepuh, menitip gas melon dan beras. Meminta gadis sepuh untuk masak air dan nasi, kemudian makan bersama-sama. Namun lauknya masing-masing.

Tidak hanya pada Islam sebagai mualaf. Pemeluk baru agama lain seperti Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu, tentu tidak semua dalam posisi ekonomi yang mapan, terlebih bila harus memberitahu kepada keluarganya. Bukanlah perkara mudah. Ekonomi sebagian besar masyarakat sudah sedemikian sulit, ditambah wabah corona yang masih ‘kangen’ menggerayangi kehidupan manusia. Corona yang dalam hatinya banyak rasa cinta, hingga banyak manusia yang kini menjadi pengikutnya.

Kami berpamit pulang pada gadis sepuh sembari menyuguhkan beras dan persediaan makanan lain. Nasib mualaf papa seperti ekor cicak yang mudah putus. Mereka menjadi minoritas yang perlu diperhatikan, tidak saja ekonominya, melainkan bimbingan keagamaannya. Dalam pesan agama banyak nilai-nilai keindahan dan kedamaian yang perlu disampaikan. Mereka menjadi minoritas, yang perlu ditik-nangkan. Tidak perlu berpetak umpet, jangan bersembunyi. Pura-pura tidak tahu. Keadaan mereka yang perlu sama-sama angkat-perjuangkan.