aldiantara.kata
Taman
Memang sebuah taman. Bangku tempatku membaca buku. Taman kota yang sedikit kumuh. Kolam yang mengering. Bahkan lampu taman sudah tak menyala, tanaman-tanaman sebagian tak terawat. Waktu tak saja memberi ruang untuk lumut tumbuh, namun juga menyiram ingatan tempat yang tak sekejap aku menetap.
Udara tak bagus. Kendaraan berlalu lalang melewatinya. Namun, aku percaya bahwa keindahan di taman ini terbentuk dari pikiranku yang membuatnya indah. Kucing bercinta setiap paginya. Anak-anak bermain selepas asar. Bahkan bangku-bangku di taman ini selalu hangat bekas duduk manusia.
Biarkan jangan direnovasi. Perasaan yang selalu cenderung. Aku tidak menginginkan tempat yang baru. Selalu ada alasan untuk tidak meninggalkan?
Di sebuah tempat perguruan tinggi beridiri. Megah, bangunan klasik zaman Belanda. Warga setempat membuat kebun lokal pada dinding-dinding pinggiran kampus. Pot-pot nya dari sampah plastik botol minuman.
Selama ini aku tidak menyadari, warga-warga lokal itu setiap sore selalu memperhatikan para pendatang yang melewati kampung mereka tanpa permisi.
Perguruan Tinggi
Pembelajaran secara virtual, bangunan-bangunannya seperti tiada guna. Di pinggiran perguruan tinggi ini, para pedagang masih berjualan meski pelanggan berkurang. Selepas ashar, sebelum maghrib. Mereka sedang menghitung laba. Sebelum hari gelap, gerobak-gerobak ditinggalkan kosong sampai esok.
Apa kabar mahasiswa?
Mereka kini menuntut uang pendidikan semester yang tak berkurang? Keringanan 10% telah ditetapkan, dibanding keringanan, malah lebih seperti diskonan mall yang sebetulnya tak meringankan. Banyak orang takut mengkritik. Takut kehilangan banyak hal. Dituding ada kepentingan.
Apa kabar mahasiswa?
Apa kuliah berorientasi pada pasar kerja? Sekolah selama ini menyadarkanku, ilmu pengetahuan melayani kemanusiaan. Sekolah mengajarkanku agar bisa membedakan mana teman yang datang dengan rindu. Menanyakan kabar dengan tulus. Atau mereka yang memanfaatkan keadaan.
Kesenjangan sosial kini merupakan kondisi yang adil. Agar kaum menengah, terbagi dua: ada yang menjilat kepada yang di atas mereka, ada pula yang peduli kepada orang-orang yang tertindas.
Pekerjaan seperti gradasi warna yang tak tunggal. Ia tercampur lebih dari satu warna. Menjadi warna yang tentu berbeda antara satu dan yang lainnya. Pekerjaan pokok yang terdapat sampingannya. Kadang lebih menarik menggeluti pekerjaan sampingan yang tak ada uangnya.
Pak Ogah
Berjalan ke arah utara, Yogyakarta, di Jalan Solo. Aku dibuat kagum oleh alam. Dari kejauhan, Merapi berwarna kebiruan terlihat jelas tanpa awan menutupi. Terlihat gagah. Bahkan jalur lahar terlihat zahir dengan mata telanjang. Jarang kusaksikan pemandangan ini. Cukup lama. Sebelum awan kembali menjadi selimutnya.
Baru beberapa saat, diumumkan status Merapi waspada. Aku teringat peristiwa sore yang cerah di musim yang sudah jarang turun hujan di kota. Apakah suatu pertanda?
Namun sore hari itu, jalanan raya tidak terlalu padat. Memang karena aku belum mendekati jalan dekat lampu merah.
Sirine berbunyi, seseorang bermotor putih mengawal dua mobil berplat hitam di belakangnya. Pak Ogah yang biasanya membantu menyeberangkan kendaraan di pertigaan jalan besar, berjalan menghadang. Seorang bermotor putih memberi klakson, sirine tak berhenti berbunyi. Pak Ogah mana bisa menebus uang pengawalan motor putih. Rombongan yang terkawal rupanya sedang melakukan perjalanan ke arah selatan. Mereka berhenti. Pak Ogah enggan juga ke pinggir. Sebelum turun dari kendaraannya, Pak Ogah sudah berteriak ke arah mereka: “Mbok yo ojo terlalu sibuk. Lihat ke utara! Merapi sedang terlihat cantik-cantiknya tanpa awan. Cerah.”
Aku mengigau. Pak Ogah sedang asik menghitung receh pendapatan hari ini. Ia terlihat lemas seharian terbakar matahari. Masa iya berani menghadang orang (berduit) penting. Sudah gila, apa?
Tinggalkan Balasan