Tag: Wiji Thukul

Linda Hai

Linda Hai: Sayang, apa kau mencium aroma-aroma….mistis?

Roy Kayang: Sayang, aku bukan Roy yang kini sedang beristirahat dibalik jeruji. Ah memang cukup banyak pengguna nama “Roy” ini.

Linda Hai: Iya Suamiku, tidak hanya nama Roy Marten atau Roy Makaay, bahkan redaktur Islam Bergerak pun Roy Murtadho sebagai aktivis kemanusiaan memiliki nama “Roy” yang sama. Ah, maafkan daku yang lupa, cinta. Tetapi aku masih ingat saldo rekening terakhir kita.

Roy Kayang: Tidak ada yang perlu dimaafkan sayang. Tapi setelah day1lindaroyhalal para netijen memang menggemaskan. Apa mereka tidak tahu bahwa negara ini bukan saja negara hukum, tetapi juga negara gugat-menggugat? Mungkin sebentar lagi menuju negara doxing. Istriku, perkenankan aku mengajukan keberatan dengan pengkategorian aktivis kemanusiaan. Bukankah kita juga demikian? Berapa banyak wartawan media yang bisa makan setelah meliput berita pernikahan kita?

Linda Hai: Sudahlah, sayang. Tidak usah dipikirkan. Aku tak mau kita stress di hari-hari awal kebahagiaan kita.

Roy Kayang: Baidewei, tadi aku ileran ga syg?

Linda Hai: kamu tadi bukan cuma ngorok sayang HAHAHA, tetapi juga ngelindur bermain sulap. Dari sulap kartu, hingga sulap karet. Kamu jago banget sayang. Kita yang masih malu-malu ini memang cocok pedekate dengan cara-cara yang menyenangkan seperti ini. Setelah bermain sulap, bahkan kuminta kamu untuk membacakan puisi, eh tapi kamu malah balik bertanya, “Apa yang berharga dari puisiku?” Rasa-rasanya kuingat itu seperti judul puisinya Wiji Thukul di Semarang pada bulan Maret 1986. Bukan saja layak sebagai imamku until jannah, kamu juga layak menjadi penyair, sayang. Kamu hafal banget bait-baitnya.

Apa yang berharga dari puisiku
Kalau adikku tak berangkat sekolah
Karena belum membayar SPP
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau Bapak bertengkar dengan Ibu
Ibu menyalahkan Bapak
Padahal becak-becak terdesak oleh bus kota
Kalau bus kota lebih murah, siapa yang salah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau Ibu dijiret utang?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau kami terdesak mendirikan rumah
DI tanah-tanah pinggir selokan
Sementara harga tanah semakin mahal
Kami tak mampu membeli
Salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau orang sakit mati di rumah
Karena rumah sakit yang mahal
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
Apa yang bisa kuberikan dalam kemiskinan yang menjiret kami?
Apa yang telah kuberikan
Kalau penonton baca puisi memberi keplokan
Apa yang telah kuberikan?
Apa yang telah kuberikan?

Linda Hai: Daripada kuberikan ciuman panas yang akan membangunkanmu, kita kan masih malu-malu, maka semalam aku memilih memelukmu hangat. Ah ternyata kamu masih ngelindur, sayang. Kamu malah ngelindur bercerita-cerita tentang seorang pemuda yang membangun perusahaan Ruang Dukun: Aplikasi Belajar Tidak Bernomor! Ah sayang, kamu memang tampan, tajir, bersih, mesum, pintar dan sedikit mistis. Ruang Dukun kamu katakan solusi alternatif pembelajaran bagi siswa selama di rumah, terlebih selama corona. Ruang Dukun menjadi obat bagi para orangtua siswa yang resah karena anak banyak main gawai. Tapi aku tidak mengerti bagaimana bisa siswa menguasai pengetahuan bangku sekolah dengan mengandalkan intuisi dan santet? Apakah pengetahuan bisa ditransfer dengan santet? Ruang Dukun juga katamu juga bisa menghack rekening-rekening berlebih yang kemudian dibagikan kepada guru-guru bimbel yang kehilangan pekerjaannya kala corona.

Tidak seperti startup pendidikan yang satu itu ya, sayang. Anu, yang ditawarkan adalah lulus di salah satu universitas impian. Selain itu juga menggembor-gemborkan profil foundernya yang berasal dari lulusan luar negeri dan startupnya yang mendapatkan banyak penghargaan dari dalam dan luar negeri. Dalam linduranmu kamu malah cerita jika pemuda founder Ruang Dukun cuma lulusan Esde. Ruang Dukun pun hanya mendapatkan penghargaan ucapan terimakasih dari beberapa guru bimbel yang dikirim uang, itupun tidak ditujukan kepada Ruang Dukun. Tapi, siswa-siswa jebolan-jebolan Ruang Dukun outputnya menarik. Katamu, alumni Ruang Dukun mampu menggerakan para siswa lain berdemonstrasi agar sekolahnya membebaskan biaya uang pendidikan bagi teman-temannya yang tidak mampu. Para alumni Ruang Dukun juga tidak memilih-milih teman yang satu ras, etnis, atau agama tertentu dalam ruang sosialnya. Alumni Ruang Dukun menerima Keragaman dan Perbedaan. Mereka juga tidak mudah menghujat pihak manapun ketika berkomentar di media sosial. Ah sayang, indah sekali Ruang Dukun itu. Katakan padaku, siapa saja kah siswa-siswa yang bergabung di Ruang Dukun itu?!

Sebentar sayang, jangan-jangan linduranmu ini terinspirasi dari tulisan Pak Prof. Al Makin mengenai “Sinergi Pendidikan Keberagaman” yang kuminta kamu untuk membaca tulisan beliau yang kini menjabat sebagai Rektor baru? Dalam tulisan yang diterbitkan di Kompas pada 6 Januari 2020, disebutkan, “Keterbukaan, pengalaman, dan persahabatan antarmanusia dengan perbedaan merupakan dasar penting pendidikan karakter bangsa bagi generasi selanjutnya.”

Sayang, kamu yang selalu resah dengan biaya pendidikan mahal. Dengan adanya rektor baru, apakah kamu sudah mendengar biaya UKT turun? Apakah Guru Besar hanya akan menjadi nama?

Ah sebentar sayang, sesuatu yang menyembul dari balik celanamu membuatku resah. Aaaaaahh. Bangun, sayang!

 

Sumber Gambar: Pixabay

FTV

Sebuah Film Televisi (FTV). Berjudul “Kejebak Cinta Neng Jamu Gendong” (2016). Bercerita mengenai seorang Ibu penjual jamu, memiliki seorang gadis. Sang Ibu sakit. Digantikan anak gadisnya berjualan.  Bertemu dengan seorang pria yang ternyata merupakan asisten dosen Bahasa Indonesia di mana sang gadis berkuliah.

Begitu kreatifnya kehidupan (di FTV), sang asisten dosen pun ternyata mendaftar les karate yang ternyata mengharuskan ia dimentori oleh sang gadis.

Lantaran perkenalan kehidupan antara sang gadis dan asisten dosen diawali dengan momen yang kurang baik, suatu kali sang asisten dosen mengerjai sang gadis dengan menyuruhnya untuk membacakan suatu puisi di depan kelas. Sementara sang dosen hanya mencontohkan dengan membacakan bait-bait puisi tentang senja dan embun.

Cut Cut! Kini giliran Aldiantara Kata yang jadi sutradaranya. Bait puisi mengenai temaram senja atau embun kadang membosankan.

Aldiantara Kata pun membagikan buku Nyanyian Akar Rumput yang merupakan kumpulan puisi Wiji Thukul kepada seluruh mahasiswa kelas. Maka kuminta pada sang asisten dosen untuk memulai kembali adegan. Sebagian mahasiswa geleng-geleng kepala dengan nama asing Wiji Thukul. Adegan ini sengaja dipilih Aldiantara Kata secara ndadak agar proses film terlihat natural.

Sementara para mahasiswa sibuk membaca puisi-puisi Wiji Thukul diberi waktu tiga puluh menit untuk memilih puisi yang hendak dibaca.

Setelah tiga puluh menit berlalu.

Seorang mahasiswa kedepan membacakan puisi berjudul Kuburan Purwoloyo. Dengan penghayatannya dan penekanan yang kuat, sang mahasiswa membacakan:

Di sini terbaring
Mbok cip
Yang mati di rumah
Karena sakit
Tak ada biaya
Di sini terbaring
Pak Pin
Yang mati terkejut
Karena rumahnya digusur
Di tanah ini terkubur orang-orang yang
Sepanjang hidupnya memburuh
Terisap dan menanggung utang

Ah, mahasiswa dalam ruang kelas terlihat merenung, mengingatkan pada buruh-buruh pabrik di sekitar tempat tinggal mereka dengan kehidupan yang terlihat biasa saja, ternyata menyimpan segudang permasalahan di belakangnya.

Selanjutnya, seorang mahasiswa maju dengan membacakan puisi berjudul Catatan 88:

Saban malam
Dendam dipendam
Protes diam-diam
Dibungkus gurauan

“Protes diam-diam. Dibungkus gurauan.” Para mahasiswa senyum-senyum sendiri. Berlanjut dengan seorang mahasiswi yang membacakan puisi berjudul Sajak Ibu, suasana ruangan perkuliahan semakin panas dengan puisi-puisi Wiji Thukul yang menggugah.

Ibu tak bisa memejamkan mata
Bila adikku tak bisa tidur karena lapar
Ibu akan marah besar
Bila kami merebut jatah makan
Yang bukan hak kami
Ibu memberi pelajaran keadilan
Dengan kasih sayang

Mahasiswa semakin merasa bahwa ruangan perkuliahan terlalu kecil bagi idealisme dan semangat mereka. Terlebih setelah seorang mahasiswa yang maju dan membacakan puisi berjudul Ucapkan kata-katamu.

Jika kau tak berani bertanya
Kita akan menjadi korban keputusan-keputusan
Jangan kau penjarakan ucapanmu.
Jika kau menghamba pada ketakutan
Kita akan memperpanjang barisan perbudakan

Mahasiswa bertepuk tangan mengamini. Puisi yang relevan untuk masa kini. Namun pembacaan puisi belum selesai. Masih ada si gadis pemeran utama yang terlihat geram dan berapi-api terbawa suasana. Sang sutradara, Aldiantara Kata, semakin girang bukan tante, lantaran ekspresi, mimik dan suasana sangat natural betul-betul akan menjadi FTV yang unik menarik. Dalam bayangnya.

Sang gadis menyingsingkan lengan bajunya, maju ke depan. Para mahasiswa memperhatikannya. Ia pun memberi prolog bahwa yang ia bacakan bukan dari Wiji Thukul, melainkan puisi pribadinya. Sepertinya belum diberi judul. Sang gadis langsungs saja membacakan:

Tidak kepala desa. Tidak Camat. Bupati atau Pemimpin lain.
Harus mandi junub!!

HAHAHA. Pecah tawa seluruh mahasiswa. Namun segera mereka kembali menata kembali perhatian menunggu kelanjutannya.

Bukan karena pejuh
Atau menstruasi
Tapi karena dosa biarkan rakyat lapar!

Sekian.

Dalam pikiran Aldiantara Kata selaku sutradara: “Rating. Rating. Rating.” Ah ternyata tidak sampai dua jam. Polisi meringkus sang Sutradara sebelum filmnya tayang, ternyata suasana shooting yang terlalu natural membuat sang sutradara tidak menyadari sebagian mahasiswa merekam adegan pembacaan puisi dan menyebarkannya lewat media sosial.

Sang sutradara gadungan pun ditangkap dengan tuduhan menghasut para mahasiswa yang “penurut dan taat aturan” untuk mencintai keadilan dan keberanian hidup.

Eh, eh. Cerita belum selesai. Sang gadis pembaca puisi terakhir ternyata termasuk 10 besar dalam ajang pencarian bakat acara Sumberwaras Idol. Malam ini ia akan tampil membawakan sebuah lagu. Setelah tampil dengan membawakan Bunga Terakhir dari Bebi Romeo, sang pembawa acara DJ Daniel seperti biasa bertanya-tanya tentang suatu hal pada peserta, “Eh tapi sepertinya aku lihat mata kamu berkaca-kaca banget ketika membawakan lagu ini, bisa ngga kamu ceritakan apa ada kenangan khusus atau pengalaman pribadi tentang lagu ini?”

Sang gadis menjawab: “Aku capek!!!” teriak sang gadis. “Aku jengah harus menjadi komersil iklan, harus mengiklankan produk makanan gang-bang. berpura-pura tersenyum dan membuat orang lain senang. Aku tidak mau jadi kacung industri yang membuat diriku sendiri terasa asing.”

 

 

 

Sumber Gambar: Pixabay

Wiji Thukul, Nyanyian Akar Rumput, diterbitkan oleh Kompas Gramedia pada tahun 2014. Puisi Wiji Thukul di atas merupakan kutipan singkat, untuk membacanya secara utuh silakan untuk membaca bukunya secara langsung.