aldiantara.kata

 

Teman. Apakabar? T’lah lama sekali tak mengirimimu surat elektronik. Sebelum ada banyak aplikasi chatting, mengirimimu surat elektronik menjadi salah satu cara mendekatimu.

Suatu kali, hingga berkali-kali, tatapanmu sudah tak berisi. Menganggap biasa. Atau egoku yang enggan dihinggapi jemu, takut menjadi seorang yang tak kau anggap. Buruk-buruknya, ada seseorang yang telah gantikan peranku, kemudian aku melihat kembang tawa buka-pejam mata yang nampak senang. Kau terhibur.

Teman. Status ‘teman’ seringkali membuat pasangan lupa bahwa mereka adalah teman yang asik. Status pasangan (pacaran), pada akhirnya banyak menjadikannya sebagai piagam penghargaan, medali, kebanggaan yang memabukkan. Tersimpan pada almari berlapis kaca. Kini ‘piagam’ tersebut penuh dengan tahi udara.

Bagaimana jika kubantu melepas pakaian status yang mengekang ini, lalu kita menjadi sepasang ‘sahabat’ yang pernah autis dengan dunia kita? Kita berada pada posisi yang sulit. Aku merasa tidak bisa berbicara dengan sederhana. Sesaat sebelum bertemu denganmu, aku harus mengingat-ngingat buku apa yang baru saja kubaca. Berita-berita yang ramai dibicarakan, atau pemandangan menarik sepanjang jalanan sebelum bertemu di tempat yang kita sepakati. Lalu kuceritakan kepadamu.

Sesampai di lokasi pertemuan, selalu ada kejutan-kejutan obrolan yang sama-sama membuat kita hanyut. Terakhir kita bertamu pada sebuah tempat makan, pelanggan berlalu lalang berganti, sementara kita menganggap mereka sebagai garis cahaya yang sibuk datang berlalu, kita ditahan waktu yang sejenak berpihak. Aku cukup terkejut ketika kau yang terlebih dahulu membuka kran obrolan. Sementara binatang kecil terbang di sekitar lampu, tak berhenti mengitari cahaya.

Ketersalingan tanpa rencana merupakan kejutan bila kita sadarinya. Jangan-jangan sesungguhnya kau melakukan hal serupa denganku. Menyiapkan topik untuk lalu kita bicarakan. Aku ingat, terkadang dikau membahas percakapan antara Bapak dan Ibumu kepadaku.

Dengan spontan dan bar-bar, kau memulai membahas percakapan dengan ibumu, tentang kekonyolan sikap politikus di negeri kita. Kamu sepertinya tak keberatan bila pada akhirnya berbeda pendapat. Topik kita memang selalu loncat-loncat. Tanpa kita sadari kita sudah jarang membahas hubungan kita. Kata orang terdekatku, aku harus segera menikah dan segera pula punya anak. Sebab, katanya, anak merupakan penyeimbang dalam hubungan. Bila tidak, pasangan mesti selalu ada alasan untuk bertengkar.

Namun kini aku secara bar-bar hendak bertanya, bukankah perhatian itu sangat penting bagi manusia?

Meskipun dengan nada bercanda, kau bilang bahwa kau tak percah ucapkan selamat ulang tahun tepat setelah bergantinya hari padaku. (aku bisa membayangkan ekspresimu mengatakan, meskipun kau tak pernah mengatakan ini, “harus banget, ya?”) Tahun awal dan kedua, aku sebal sebab kau tak ucapkan. Tahun ketiga dan keempat, sebal juga karena kau tetap melewatkannya. HAHAHA. Jangan sampai kau melupakannya lagi, bahwa aku berulang tahun pada tanggal di antara akhir bulan Juli dan awal Agustus, tanpa shio binatang-binatang yang tak kita pahami.

Tidak, tidak. Aku tidak marah. Anggap saja itu sebagai pembuka percakapanku. Sekalian aku hendak menceritakan kepadamu mengenai seorang gadis yang hatinya didera kesepian. Jangan kau ukur melalui senyum tersungging pada banyak capture foto. Gadis itu biasa duduk pada rooftop tempat ia tinggal. Mengamati cakrawala luas seorang diri. Melihat sepasang kekasih ditopang kendaraan yang membawa mereka pada jalan imaji pecinta, hingga melihat pejalan dengan kesendirian-kesendirian manusia seakan ia sedang bercermin.

Aku tidak punya banyak pengetahuan soal apakah gadis ini seorang introvert, ekstrovert, atau ambivert. Kutahu, anggur menjadi minuman setianya. Mengenai luka apa yang membentuknya, tentang suatu hal yang hilang, yang ia cari, namun belum kunjung ia temukan. Bahkan dirinya sendiri tak tahu. Seperti rasa kecewa yang tak tahu harus kepada siapa dialamatkan. Atau cinta di mana ia tak tahu caranya harus bertahan dari kefanaan.

Aku menyebutnya sebagai gadis ulang tahun. Seorang gadis yang kerap datang membawa kue kejutan. Kartu ucapan, doa dan sejumput harapan. Bahkan meskipun itu seorang yang baru dikenalinya. Tatapannya nampak tulus dan berisi. Namun apa yang menyedihkan adalah setelah ia mengucapkan, ia seperti mengambil jarak lalu terlupakan. Ia lah yang sesungguhnya sedang membutuhkan perhatian.

Seperti agen pengintai yang mengulik informasi dari medsos, gadis ulang tahun berusaha menyenangkan hati setiap orang yang dijumpainya. Mengucapkan selamat ulang tahun lalu memberikan hadiah, kartu ucapan, buku, dan untaian doa agar menjalani hidup yang dinaungi bahagia.

Bertemu di sebuah kafe, menyalakan lilin lalu mengabadikan gambar, ia tidak sadar, aku memperhatikannya. Biasanya ketika ada seorang yang memperhatikan, tatapan mata biasanya menyentuh. Namun kali ini aku memperhatikan dengan jarak, aku yakin ia tak menyadarinya. Selalu terlihat ceria di depan khalayak ramai. Namun ia merasa tak punya teman.

Gadis ulang tahun mengoleksi banyak gambar, ia cetak-pajang dan simpan pada sebuah album yang disebutnya klasik. Lalu dikirimnya pesan akan kenangan dengan kerabatnya, sembari ditemani sebotol anggur yang sudah didinginkan.

Apa masih ada seseorang yang melihat orang lain secara rinci? Sudut-sudut ragam yang tak banyak terpandang orang. ‘Orang-orang terlupakan’. Seperti halnya aku melihat pengusaha-pengusaha awal yang baru berkembang dengan tekad api, selalu ada orang-orang yang dengan ikhlas melarisi lalu memberikan promosi kepada orang-orang sekitarnya.

Meski hanya tanggal ulang tahun, kupikir selalu ada orang yang berharap ucapan. Selalu sederhana. Aktifitas mengingat bisa membuat seorang sebahagia itu. Rasa senang yang mengendap. Pada waktunya akan menghasilkan perbuatan-perbuatan baik yang mengejutkan. Tidak hanya kepada orang yang menanamkannya.

Apakah seperti itu juga perihal kebencian dan sahabatnya, dendam? Selama ada bahagia, begitupula akan selalu ada kebencian, dendam serta rasa sakit. Terlahir.

Apa sebuah pelukan mampu meluruhkan kebencian asal diri. Aku begitu lemah, bahkan kulitku ini merasa nyaman setelah berjabat tangan. Merasa damai setelah berpelukan. Manusia membutuhkan lebih banyak sentuhan. Teman. Aku hanya perlu kita bicarakan cinta. Tolong jangan bahas yang lain. Bahas diri kita. Rambutmu, caraku bicara, caramu menerima hadiah, caraku marah, caramu diam.

Bicara semesta. Bicara kau yang sempurna sebagai bagian dari perjalanan hidup. Aku menerimanya. Aku hendak bercerita tentang bagaimana aku mencintai sesuatu yang kau anggap sebagai kekurangan. Kau bahkan terkejut mengapa aku berbeda dari orang yang kau kenal.

Meski kita tetap harus menertawakan kesederhanaan dunia yang melangkah ke depan, kita memiliki hal berharga yang kita pegang untuk diperjuangkan. Meskipun hal berharga itu bermula dari sesuatu yang tak kita kehendaki. Malu untuk kita akui. Namun itulah milik kita.