Dalam berbicara, seringkali aku lost control, dalam arti diriku sendiri saja tak yakin apa ucapanku cukup jelas tersampaikan. Sering merasa tempo terlalu cepat.
Bilang, “Sudah makan belum?” saja pada orang lain, minimal harus kuulangi sekali. Karena lawan bicara biasanya akan jawab, “Haa?” “Haa?” “Haa?”…kemudian, “Oh. Sudah.”
Tetapi, banyak saran agar aku memperlambat tempo bicara, justru malah membuatku menjadi gagap. Tidak jarang pada akhirnya menjadi bahan olokan teman-teman.
Kadang ketika salah seorang teman bertanya, aku diam sebentar. Malah dia mendesakku dengan ulangan pertanyaannya. Dia tak tahu kalau aku sedang mengambil nafas untuk menjawab.
Setelah kurenung-renungkan problem tempo bicaraku, ternyata dalam beberapa waktu, aku bahkan mampu bicara dengan jelas perlahan seperti orang pada umumnya. Ada kesadaran yang muncul: aku perlu ketenangan dan kenyamanan kala berinteraksi dengan lawan bicara.
Anyway, ada hal lain yang kupikirkan ketika merenungi problem bicaraku di atas. Aku bisa membereskan persoalan bicara, ketika aku menemukan kenyamanan kala berinteraksi dengan lawan bicara.
Masalahku memang X. Tetapi aku butuh masalah Y untuk membereskan X.
Ok. Skip.
Tak perlu banyak penegasan lagi mengenai dampak corona terhadap perekonomian masyarakat. Bantuan-bantuan yang sejauh ini sudah tersalurkan. Tentu mulai menipis. Banyak di antaranya yang habis.
Terakhir, ada suatu fragmen hidup yang membuatku terenyuh. Pada akhir Ramadhan. Umat Muslim wajib membayarkan zakat fitrah. Singkat kata, seorang tetangga bertanya kepada Ibuku, “Apakah boleh membayar zakat fitrah dari beras hasil pemberian orang lain?”
Kota di mana kaki berpijak, sudah dipenuhi banyak orang melanjutkan hidup di luar rumah. Ah, ibarat mengembalikan semangat menulis setelah kehilangan laptop tidaklah mudah. Melanjutkan hidup untuk bersikap seperti biasa dalam keadaan ‘tidak normal’ bukanlah perkara mudah.
Ada banyak cara bertahan hidup dalam kondisi kritis seperti ini. Ada yang harus mengikuti protokol secara literal, diam segala cara agar tetap di rumah. Ada pula yang terpaksa oleh keadaan untuk keluar rumah dan mencari penghidupan namun tetap mengikuti aturan masker dan jaga jarak.
Dalam keadaan carut marut, ruwet, ruwet, ruwet, bangsa ini memang perlu wejangan dari banyak pihak. Termasuk dalam hal ini adalah pemikir dan sastrawan.
Hari ini aku membaca Utas dari twitter Sujiwo Tejo. Di antara pesan yang dapat kupahami bahwa kondisi saat ini belum siap untuk new normal. Masyarakat perlu menahan diri sampai keadaan membaik: tiada penambahan korban positif covid-19.
Selagi masyarakat menunggu, maka agar tetap survive dalam masa menunggu keadaan membaik, semesta manusia harus saling menanggung beban satu sama lain. Melalui Twitternya, Mbah Tejo ajak khalayak untuk bantingan semampunya.
Diksi yang digunakan budayawan kita bantingan, bukan donasi, bukan iuran, bukan persepuluhan atau zakat. Karena kupahami dengan bantingan, lebih mengena’. Apa yang ada di saku, kita banting. Kita keluarkan.
Sujiwo Tejo anjurkan itu dengan bahasa teknis yang jelas barangkali menunjukkan betapa gentingnya kondisi. Hasil bantingan dana ini yang dialokasikan untuk saudara kita untuk menghandle kehidupannya selama di rumah, menopang sementara penghasilan dari hasil usaha yang biasanya didapat di luar rumah.
Perlu kesadaran dari semua pihak. Baik kelompok percaya konspirasi atau tidak, secara ilmiah cara virus menular relatif disepakati. Baik kelompok yang memilih tetap di rumah atau yang memilih tetap survive dengan mulai menjalankan usahanya: semua relatif sepakat perekonomian sedang lesu.
Maka mari kita bekerja sama dengan asumsi dasar hal-hal yang disepakati: cara virus menular dan perekonomian yang sedang ‘demam’.
Mbah Tejo katakan juga dalam utasnya, “Secara goblok-goblokan, aku mikir jutaan pengangguran dan fakir miskin di Indonesia tuh bisa ditanggung hidupnya via bantingan duit kaum berpunya.”
‘Secara goblok-goblokan’ berarti tidak butuh banyak membaca buku, teori, ceramah, atau orang berpangkat profesor sekalipun untuk menilai kondisi saat ini. Ada banyak masyarakat yang harus ditutupi kebutuhannya.
Ok. Skip.
Tulisan ini kuketik semenjak semalam, lalu kulanjutkan pagi hari. Di halaman depan rumah. Mentari bersinar cerah. Sinar menyapa setiap pepohonan tanpa terketjuali. Beburungan hinggap dan terbang dari satu dahan menuju dahan yang lain.
Telingaku sembari mendengarkan adik-adik yang sibuk dengan gawai, pertemuan dengan gurunya lewat aplikasi. Intuisi datang menghampiri. Sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lain tak semestinya semandul ekonomi.
Covid-19 baiknya dijadikan momen agar antara teori dan realitas agar tak kembali saling LDR. Dibutuhkan guru progresif yang menghadapkan kepala murid-muridnya kepada kenyataan yang sedang dihadapi kini.
Berdialog dengan realitas, mengasah kepekaan dan kepedulian sosial, saling menginternalisasikan pengetahuan dan keteladanan.
Aku kira sekolah akan kembali menyenangkan dan tak membutuhkan tanggal merah. Masa pandemi khalayak nilai sebagai bencana, tetapi merupakan kesempatan emas bagi dunia pendidikan.
Guru dan murid bisa saling menulis refleksi. Guru mengenalkan mengenai kondisi apa yang terjadi dengan dunia dengan adanya covid-19, apa dampak yang ditimbulkan.
Guru dan murid juga bisa merencanakan gerakan sosial setelah sebelumnya diisi oleh pengetahuan-pengetahuan teoritis. Pengalaman para pelajar untuk mulai mengasah kepekaan dan mengaktualisasikan diri kepada suatu perbuatan baik sangat penting.
Agar mata para pelajar ‘tidak kosong’. Agar sekolah-sekolah tidak melewatkan momen aktual dan krusial ini sebagai momen belajar bersama. Karena setelah kepada pengabdian: meleburlah identitas guru dan murid. Guru dan murid menjadi identitas yang disandang bersama sekaligus.
Agar setelah corona berakhir, para pelajar tidak hanya mengingat-ngingat “Belajar di rumah”, “Nugas di rumah”, “Kapan reunian dengan teman-teman.” Namun juga turut berpikir, memikirkan nasib tetangganya, masyarakat sekitarnya.
Untuk menginternalisasikan ide ini tentu banyak cara kreatif yang dapat dilakukan, tidak mesti harus melanggar protokol kesehatan. Hal yang diharapkan adalah para pelajar bisa tumbuh dengan terlatih kepekaannya terhadap sekitar. Dan pendidikan tidak berakhir kepada tujuan-tujuannya yang pragmatis sesempit lapangan kerja. Namun kembali kepada fungsi pendidikan memanusiakan manusia.
Menginternalisasikan ide progresif tidak mesti dimulai dari sekolah ‘favorit’. Dibutuhkan kesadaran berbagai pihak. Andai ide bantingan Mbah Tejo ini diaktualisasikan, maka kesadaran para pelajar ini yang memulai dan meneruskan kepada khalayak luas. Ah, bahagianya melihat para pelajar kelak yang tumbuh berkembang sejalan dengan kepekaan yang tajam terhadap realitas. Hal tersebut tentu perlu dilatih dan diasah sejak dini. Pada saat inilah dimulai.
Pada saat tulisan ini berproses, aku sedang memikirkan nasib seorang di Facebook yang dilaporkan polisi karena menuduh covid-19 bisnis para dokter ketika ia mengurus rapid test.
Singkatnya, aku hanya meneruskan pesan Utas Sujiwo Tejo di twitternya. Sementara keadaan bicaraku masih dengan tempo cepat, seringkali pula gagap.
Jika aku naik angkot, aku senang duduk tepat di belakang supir. Karena dahulu suatu kali ketika naik angkot, penumpang penuh, sementara aku terpojok duduk di paling belakang. Rasanya berdebar ketika hendak sampai di tempat tujuan. Biasanya orang pada umumnya bilang, “kiri Pak Supir”. Turunlah orang tersebut.
Ketika aku hendak turun, “Kkkkkkkiri…kiriii.” Ah malu sekali rasanya harus gagap di depan umum. Betapa malunya hingga seakan semua penumpang menahan tawa kepadaku. Semoga kita semua tidak ‘gagap’ dalam menangkap keadaan masyarakat yang serba sulit.