Sumber Gambar: Pixabay

 

Menanti hujan. Dua hari ini yang turun malu-malu. Gerimis. Lalu hilang tiada lagi. Merintik. Merindu. Menitip bekas setitik, cepat mengering berlalu. Disapu kendaraan.

Seperti bercermin pada genangan yang tak berair. Pada fase kehidupan ini. Entah mengapa semesta mempertemukan aku dengan beberapa manusia. Kuamat-amati, aku menilai seseorang di hadapanku ini seperti diriku. Ia sering tersenyum, menyimpan banyak luka.

Keesokan harinya bertemu dengan manusia lain, kuamat-amati, seperti diriku. Tak memiliki banyak teman dan berpura-pura bahagia. Tertawa keras ketika berkumpul, banyak merenung di ujung imajinasinya yang jauh dari keramaian.

Aku tak berusaha mengumpulkan orang-orang yang mirip sepertiku. Aku hanya berlalu. Menanti hujan yang turun malu-malu.

Sudah pagi.

Membuka pintu menghirup udara segar, lima kucing sudah melingkar entah sedang apa. Tiga beraut resah saling memberi isyarat pertarungan berebut wilayah, sementara dua hanya penonton berfose manis. Eh ngga tau ding. Mungkin perebutan selangkangan.

Sesekali seorang kucing melirikku sebagai seekor manusia. Malu-malu lakukan adegan.

Aku menghadap laptop lagi. Ingin kutulis bahwa rahasia hidup kadang harus tetap di dalam kotaknya. Tidak perlu diumbar, meski sudah berpola, biar manjing (manjur). Tapi aku malah hendak mengutarakannya. Seperti pesan Martodikromo, “Kalau mau buat acara, kalo semua mengiyakan, biasanya ngga akan jadi, tapi kalo ada pro-kontra justru acaranya biasanya bakal jadi. Itu ilmu hidup, Mas.”

Atau contoh lain seperti yang pernah kudengar pada sebuah podcast, usia seseorang semakin bertambah, lingkaran pertemanannya semakin sempit.

Kemarin lusa. Pada suatu malam. di pertigaan UNY, aku melihat seorang anak kecil bertopeng avengers Captain America, memeluk tiang listrik pinggir jalan. Entah mengapa itu yang terekam memori pikiranku. Seperti mengkritik keadaan saat ini. Menyuarakan keadilan kini tak memiliki kekuatan apa-apa. Bising. Akhirnya bisu. Semua sama-sama tahu. Sama-sama diam. Dunia memang benar-benar membutuhkan sosok pahlawan super. Lantaran tak tahu lagi bagaimana cara menjalani hidup normal, tak bisa lagi memecahkan permasalahan dengan cara yang normatif.

Di pertigaan UIN semalam, sebagian warga memprotes aksi mahasiswa yang sedang berunjuk rasa menolak Omnibus Law. Ah sial. Kenapa yang diberitakan di media itu harus berdiksi “Simpang Tiga UIN Sunan Kalijaga”. Kenapa tidak Simpang Tiga Museum Affandi. Atau Simpang Tiga CFC. Atau Simpang Tiga Wanitatama. Haruskah nama kampus yang tercoreng, suara mahasiswa makin tiada didengar lagi. Suara mahasiswa kini harus berhadapan tidak hanya horizontal dengan pemerintah, tapi juga dengan warga masyarakat.

Kini memang sedang ramai-ramainya sih. Orang membaca buku, mencari quote, untuk bahan promosi buku, menjualnya. Lalu mendapat omset besar, banyak follower medsos lantaran tajir, lalu suaranya “layak didengarkan”. Tidak semua memang. Namun, suatu kali berpikir bahwa membaca buku itu seperti aib, mungkin ide yang bagus. Agar membaca itu tak perlu diumbar-umbar di medsos. Biar manjing isi bacaannya. Mengkristal menjadi tingkah laku progresif. Heuheuheu.

Perempuan dengan rambut sepinggang, hitam kecokelatan, sedang sarapan. Setelah ia menikah nanti mungkin rambutnya akan dipotong hingga seleher. Ah, senyumannya kupikir mampu hentikan perang.

Limurta dah pulang. Kukira dia akan tidur lebih lama setelah menyaksikan kekalahan Barcelona di Liga Champion. Entahlah aku menyukai ketika menulis ditemani orang yang tidur. Semalam sudah ngopi dengan Ombo, Bahduki dan Limurta. Sepulangnya. Lupa foto momen. Entahlah. Yang tak sempat didokumentasikan justru kadang lebih menyenangkan.

Sama seperti berkenal-berbincang dengan seorang gadis di kereta. Berbicang. Hingga lupa meminta nomer Whatsapp.

Atau saling berbalas pandang dengan seorang asing di tempat makan, lalu saling melupakan.