aldiantara.kata
Seketika ada sebuah share-share an dari Suci, kawanku, mengenai beberapa lomba bertema literasi, seketika aku melihat lembaga penyelenggaranya. Titian Foundation. Ketika mencari tahu asal dan domisili kantor, aku cukup kaget bahwa itu terletak di Kabupaten Klaten. Tempat di mana aku berdomisili.
Perpustakaan selalu menjadi tempat rekreasi favorit. Terlebih ketika melihat unggahan foto yang tersedia di internet, bahwa mereka menyediakan fasilitas perpustakaan yang terbuka untuk umum, aku kian tertarik sekali untuk sekedar berkunjung.
Perjalanan dari Kota Klaten menuju perpustakaan Titian Foundation hanya sekitar 25 menit, dengan jarak tempuh sekitar 22 kilometer (aku gunakan sepeda motor). Satu alternatif jalan yang kutempuh nampak tidak bagus lantaran bersamaan dengan jalur truk yang dan bus pariwisata.
Sepanjang perjalanan, di samping aku melewati wisata religi Makan Sunan Pandanaran, juga melewati Gereja Katolik Santa Maria Ratu. Setelah hampir sampai menuju lokasi, dari jalan utama, kita mesti melewati jalan desa, cukup terkejut di tengah pedesaan berdiri sebuah kantor yang cukup luas dan asri dengan banyaknya tanaman.
Suasana nampak tidak terlalu ramai, aku tiba pukul 09.00 WIB. Suguhan suasana yang asri hijau tanaman nan tenang membuat aktivitas membaca kian kondusif. Aku bertemu dengan penjaga perpustakaan yang oleh beberapa remaja memanggilnya ‘budhe’. Budhe menyambut dengan ramah dan meminta untuk mengisi buku tamu.
Tanpa berpikir panjang setelah itu, aku langsung melangkahkan kakiku pada rak buku yang tertata rapi. Bukunya masih belum begitu banyak, didominasi oleh buku anak-anak. Tidak hanya buku berbahasa Indonesia, tersedia pula buku-buku yang berbahasa Inggris.
Buku-buku apa yang kutemukan di rak? Aku menemukan buku dari Ahmad Fuadi, berjudul Anak Rantau, hingga Ahmad Tohari, Orang-orang Proyek, hingga Madilog buah karya Tan Malaka! Ada novel-novel karangan Dee Lestari hingga novel-novel Pramoedya Ananta Toer dengan tetralogi Pulau Buru-nya lengkap.
Di Perpustakaan Titian Foundation, terdapat pula ruang multimedia hingga gazebo outdoor yang bisa digunakan untuk berdiskusi ringan. Namun cuaca hari ini di luar terasa panas sekali. Padahal hari belum terlalu siang. Sambil menghabiskan waktu dan menikmati suasana. Aku mengambil dua buku untuk kubaca, yakni buku terbitan Ma’arif Institute pada tahun 2005, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif: Cermin untuk Semua, yang berisi bunga rampai tulisan tokoh-tokoh nasional yang turut memberikan ‘testimoni’ terhadap peran Buya yang kala itu menginjak usia 70 tahun, kaitannya terhadap kontribusi terhadap bangsa Indonesia.
Adapun buku kedua buku terjemahan karya Mark Manson yang meledak di pasaran saat pandemi covid-19, Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat.
Tentu saja aku hanya membaca skimming. Saat mulai membaca buku yang bercerita tentang Buya, aku mencari dan memilih penulis di antara tokoh-tokoh yang turut menyumbang tulisan. Tentu saja, seketika muncul nama Wahyu Sulaiman Rendra, aku tanpa berpikir panjang lagi untuk menimbang-nimbang memilih.
Judul yang dipilih Rendra sederhana, “Hormat untuk Syafii Maarif” sebagai penyair dan dramawan.
Kritik Rendra tak terbendung, “Sayang, bahwa pemerintah dan elite politik tak pernah menganggap bahwa pendidikan dan kebudayaan itu adalah investasi dalam pembangunan, sehingga tak pernah serius di dalam dua bidang itu.”
Lebih lanjut bagi Rendra, kaum idealis di bidang pendidikan, ulama, guru, cendekiawan, budayawan, serta kaum perintis usaha ekonomi rakyat, tidak boleh melangit dan berjarak dengan rakyat. Harus lebih tekun mendampingi rakyat.
Salah satu tokoh yang konsisten demikian adalah Buya Syafii sendiri. Hal tersebut mendapat apresiasi Rendra sehingga suara Buya sebagai pemimpin informal yang berjarak dengan partai dan kepentingan, pantas didengar pendapatnya.
Rasanya malas pulang, panas terik di luar, sementara Merapi ternyata masih menunjukkan keperkasaannya hingga dua dekade terakhir ini. Namun untuk mengunjungi perpustakaan ini lagi rasanya aku akan mengatakan iya.