Oleh: Sibro

Tatu. Perempuan cantik dan pintar. Tidak mudah ‘tuk mendapatkan ranking paralel semasa SMA. Selain pandai, juga harus baik berperilaku. Timbulah penasaran. Rasanya tak mungkin bisa dapatkan Tatu yang pintar dan umurnya lebih tua dariku.

Bel pulang sekolah berbunyi. Kuhiraukan seruan teman yang memanggil untuk pulang bersama. Sementara aku fokus melihat pintu kelas Tatu dari kejauhan. Sedikit tertutup pagar lapangan basket sampai dia keluar dan pulang bersama temannya.

Senang saja rasanya. Hehe. Tak hanya itu, semangat ibadah di pondok juga tidak lepas dari kehadiran Tatu. Bahkan hingga aku sangat hafal mukenanya. Sepondok pula denganku. Kebiasaan itu menimbul decak kagum, dan kepengen nyanding. Ah, namun pesimis rasanya.

Hidupku masih jadul dibanding teman-teman sekelas. Tahu alun-alun saja baru ketika SMA, menyempatkan bolos sekolah untuk bonek dan melihat alun-alun. Apalagi punya hp. Seperti slogan kecap Bango “rasa tak pernah bohong”, dari situlah kuluapkan perasaanku secara sembunyi-sembunyi. Memilih membeli kartu perdana dan pinjam hp teman untuk meng-sms Tatu.

Menginjak kelas XI, sementara dia kelas XII, aku memberanikan diri untuk sms yang berbeda dari biasanya. Cukup menunggu lama, jawaban ternyata tak sesuai harap. Sampai akhirnya dia lulus dan kerja di koperasi sekolah. Aku masih menunaikan rutinitas dengan melihatnya bekerja hingga waktu yang memisahkan pandangan.

Tahun 2013. Aku memulai hidup baru di Kota Pelajar. Ramainya kota tak membuatku lupa dengan masalalu, rasa masih tetap sama.

Awal 2014 aku memberanikan diri lagi untuk membuka komunikasi dengan Tatu, dengan nomor hp nya yang nyanding diingatan.

Rangking paralel sudah nyata belum tentu bisa memecahkan masalah, apalagi tentang perjodohan yang notabenenya santri/santriwati harus taat kepada kyainya. Ia hendak dijodohkan dengan pilihan Kyai. Namun, di situlah aku menjadi guru privat alumni sekolah “Sang Jawara paralel” itu, sekaligus mengemis kasihnya.

Pada akhir 2014, Tatu menyusulku ke jogja, tidak lain hanyalah pelarian masalah kehidupan. Perasaannya masih sama, belum berpihak kepadaku. Rasa berubah menikam, kantung kemihku sakit. Hehe. Kebiasaan.

Tahun 2015 bertemu di Jogja lagi. Beda dengan tahun sebelum-sebelumnya. Kuulangi pertanyaan dan rayuan agar dia berkenan menjadi kekasih. Siapa dapat menerka nasib, selain menebusnya dengan usaha. Jawaban pun masih sama: Ia menolak.

Namun, doa selalu ajaib, bukan? Selain doa, pasrah adalah jalan satu-satunya. Dan…Berhasil!!! Dia jawab mau. Beban perjodohan yang dirasakannya seakan berkurang, sementara aku sibuk membayangkan masa depan dengan kekasihku, Tatu. Rasaku beragam, walaupun kurasa dia mencintaiku terpaksa.

Apa istilah yang lebih agung dari kata cinta, kekasih. Seakan aku menyaingi cinta ibu kepada anaknya. Apapun yang diucapkannya selalu kuupayakan. Kebahagiaan tidak lepas dari tragedi. Ternyata kesungguhan cinta menjadikan seseorang mati rasa.

Lelah adalah kepuasan tersendiri jika untuk kekasih, tidak ada kata wegah atau lelah untuk perjalanan Jogja-Jepara-Jogja, hanya harapan yang tak bisa ku kalkulasi.

Sudut jogja telah dipenuhi jejak Tatu. Jejak yang dulu “kebahagiaan” berubah menjadi “bayang suram”. Pengangguran setiap insan adalah hal yang harus dilalui, tetapi tidak menurut Tatu. Kerja bangunan pun tidak dianggapnya bekerja, tapi keterpaksaan. Walaupun hasil dari mencampur semen dan pasir sama nilainya ketika ditukar dengan sepatu atau skincare.

Dari situlah dia tidak menerima takdir. Malu memiliki lelaki kuli kasar yang sibuk ngecat tembok dari rumah ke rumah. Bodohnya aku. Disaat paceklik melanda keluargaku, aku menggigil dengan sikap Tatu yang dingin, putus menjadi wiridnya. Sementara habis caraku untuk menarik ucapannya.

Waktu terus berjalan dengan status yang makin runyam. Pesan masuk ku buka dengan gugup, berharap memperjelas hubungan yang tenang, tetapi hanyalah kata “tolong” untuk bantu kerjakan skripsi. Sedikit pun tanpa sungkan. “Rasa tak pernah bohong”, aku masih mencintainya. Meskipun mulutku mengatakan tidak.

Oh iya. Nama kekasihku ialah Ninggal Tatu. Kupanggil Tatu.

Pasangan ialah cara alternatif untuk merubah nasib. Lelaki miskin hanyalah penggenap keluarga. Cinta hanyalah soal ucapan. “Ah mana mungkin?”  hanyalah kalimat lelaki kesepian dan miskin. Terus apa? “Ya cari uang banyak yang tidak malu-maluin!”  Jawabku sendiri. Tanya-jawab ku ketika yang ada hanyalah sepi di tengah ramainya penat. Baru kali ini seumur hidupku. Tapi tidak hanya aku, bukan?

Kasih sayang Tatu, kini menjelma dosa. Anggur dan perempuan yang tak tau apa-apa menjadi sasaran. Aku tidak lebih kejam dari pada Tatu. Tidak mudah untuk merajut kasih pada relung perempuan. Nafsu selalu menang. Hanya rokok yang tidak munafik dan ingkar janji, bagi insan yang tidak mengenal Tuhan. Aku butuh sandaran nyata. Kemarilah! minum anggur bersama.

Hahahahahahahaha.

Bersyukur. Tuhan tidak menakdirkanku gila.

Aku masih mencintainya. Begitu juga perempuan-perempuan lain dan anggur. Pedih memang harus ada. Untuk jembatan kembali kepada Tuhan.

Selamat tidur Tatuku. Benciku padamu adalah rasa sayangku.