Tag: Syahdu

Puisi Hujan #6

Kekasih. Bila keesokan pagi kau temukan air yang tergenang di depan rumahmu sisa semalam, barangkali airnya mengandung pesan puisi yang mengetuk pintu hatimu. Bila malam ini kau sulit tidur, dengarlah rintik-rintiknya, meski diksi-diksi ini tak seagung air dari langit. Tak se-syahdu malam yang menyatukan para pecinta di bawah derasnya. Setidaknya perasaan cinta dan rindu mampu meredam luka korban PHK. Meski hujan turun sesaat, manusia bisa bertahan hidup dengan harapan dan cintanya yang agung. Hujan memberi kesempatan kepada manusia agar memperhatikan relung hatinya.

Teh panas yang menjadi dingin. Apa kamu masih banyak diam seperti biasanya. Sesudah dewasa, banyak orang ragu bagaimana bisa berjalan di bawah hujan tanpa sebuah kain menutupi kepala. Hanya saat itu perhatian manusia tertuju kepada cara berlari kekasihnya. Mengabaikan semestanya. Kau tak banyak bicara, hanya isyarat lenguh nafas mencari tempat peneduhan.

Aku tak hiraukan canda tawa manusia di kedai kopi. Kaulah engkau akuku. Berpeluklah tanpa diantarakata. Puisi hujan belumlah selesai.

Puisi Hujan #5

Hanya saja hujan tidak bisa bernafas seperti halnya manusia. Ia bahkan tidak bisa memilih takdirnya sendiri kala jatuh pada pelukan bumi. Kaukah itu hujan. Malam ini kau seperti halnya daku. Tidak bisa memilih takdirnya sendiri kepada siapa aku harus marah. Aku marah kepada siapa pun. Aku yang tak bisa marah dengan marah. Aku marah dengan enggan berbicara. Menyukai keindahan bait sastra Gibran nan mudah tersulut emosi.

Amarah tak dapat diturunkan melalui butir-butir hujan. Aku terisak menuju kebinasaan diri. Siapa sesungguhnya yang merasa mampu mengenali dirinya. Kau yang butuh sesuap sepi untuk menggubah story media. Keindahan alam yang kau cari, lalu kau bakar ladang dan hutan. Kau yang sebut negeri ini agraris, tapi rasa jijik untuk menjadi-melihat-bergaul bersama petani. Kau yang banggakan kekayaan alam, limbah kantormu kotori bumi. Bahkan tak dapat dibedakan mana sampah dan mana seekor manusia.

Kau sebut agama, namun seekor manusia menyirami tanaman dengan darah dan air mata. Sebuah manusia membawa mobil seekor diri ditengah hiruk pikuk kemacetan jalan. Seekor manusia mengaku beriman memamerkan istri barunya dan bersedekah kepada yatim piatu bersama awak media. Bahkan daku malu menyebut diriku ‘seorang’! sebuah-seekor manusia layaknya daku bahkan menunjukkan makhluk penyembah kebendaan, yang serakah.

Hujan. Apakah semenjak Nabi Adam kandungan airmu selalu sama. Ah, apakah alam tetap pada konservatif. Mengapa tidak kau bedakan kandungannya pada setiap wilayah. Sisipkan sedikit air yang mengandung pupuk berikut pembasmi hamanya agar petani miskin tak perlu menghabiskan modalnya.

Hujan. Posisimu berada lebih dekat dengan Tuhan. Bungkuslah makanan-makanan surga-Nya dengan lapisan air. Agar si yatim dan piatu bisa makan buah pada musim hujan. Bungkus pula batang-batang emas surga-Nya dengan lapisan air. Agar si Bapak mampu membayar bunga rentenir yang kian mencekik guna keperluan pendidikan anaknya.

Puisi Hujan #4

Kepada hujan yang kelak datang menjelang fajar.
Sirnakan lapar pada orang yang susah bahkan dalam mencari tempat berteduh
Sirnakan ketakutan pada orang yang bahkan mencari keamanan dalam hidup
Ubahlah rindu menjadi kesyahduan yang tersampaikan pada kekasihnya

Puisi Hujan #3

Puisi Hujan #3

Jiwa manusia tidak bisa lepas dari rasa sepi. Seseorang memeluk kakinya diantara malam dan cuaca hujan. Ribuan orang mengantar kepulangan pahlawan nasional pada peristirahatan terakhir. Ribuan orang bersorak mensyukuri kedigdayaan pembalasan dendam. Tetapi tak seorang pun yang datang berbicara kepadaku.

Tiga hari ini hujan datang pada pagi hari. Adakah seseorang menemani. Manusia datang menghampiri berbincang dengan bahasa yang tidak dimengerti. Sudah kukatakan bila hujan datang sebagai teman. Ia turun mewakili air mata yang memilih untuk tidak dialirkan mata. Bahkan seorang kesepian enggan menjadikan air matanya sebagai temannya sendiri. Hujan masih turun sementara aku melihatnya dengan dada sesak.

Rabu, 08 Januari 2020

Puisi Hujan #1

Hujan rintik bak doa.
Tuhan-kah pengabul doa penindas?
Mengabul kaya orang yang kaya?
Rintik hujan malam ini sebanyak rupiah yang tertahan untuk korban PHK.
Tuhan, Engkau jawab dengan air.
Air Kau tumbuhkan pohonan.
Namun, Si rakus menebang dan membakarnya!

Orang-orang proyek menghabiskan anggarannya di Malioboro
Kereta eksekutif melaju menembus hujan.
Uang itu subsidi kaum papa.
Sanak famili menerimanya sebagai kasih sayang Tuhan.
Oleh-oleh sebentuk kedermawanan
Pegawai Honorer tidak mampu membeli susu. Istrinya sedang hamil.
Tuhan, Engkau jawab dengan air.

Adakah Engkau dalam setiap rintiknya?
Kaum papa yang sudah kenyang dengan lafadz ‘kelak’ dan ‘nanti’ balasannya.
Sabar adalah lauk pauk sehari-hari.
Buah-buah t’lah punah bagi kaum papa kecuali tiga.
Mangga di tempat sampah.
Pisang yang sudah terlalu masak.
Kurma pada bulan Ramadhan.

Tuhan, Engkau jawab dengan air.
Hujan membuatku lapar.
Yang kenyang sedang berada di kereta malam itu.*

Jumat, 1 November 2019

Yang Meng-Aku

Menangis lagi, kau
Mengeluh gamam roda hidup, pasti
Kemanusiaan yang tak adil dan merana
Adalah satu, jalan hidup yang tak bisa kita terka

Tertawa lagi, kau
Kuat Emosi memuncak kala detiknya
Bimbang menimang angin, lalu
Mengikutinya, Kita

Bersama lagi, kita
Di antara Kata
Berdua lagi, karena
Kita berada di atas pedati yang sama
Dan roda hidup selalu menyajikan kegelapan
Sementara penerang adalah, kau
Yang meng-Aku