Setelah hampir dua windu bekerja dan kontrak habis, terasa sekali bau menyengat nepotisme dikala seorang Bapak melamar pekerjaan. Saudara menejer utamakan sanak famili kerabat terdekat. Mengira gunakan sabda orang suci dalam konteks yang bermasalah. “Perhatikanlah orang-orang terdekatmu.” Orang biasa-biasa tak kenal koneksi, biasanya disuruh untuk bertawakkal dan shalat dhuha untuk didawamkan. Si Bapak anak lima mengelus dada menahan pahit.

Di masjid, semenjak Corona menyambangi manusia, tangan orang-orang diangkat lebih tinggi, berdoa. Hujan sepulangnya, Mas bakso pulang dengan kuyup dagangan habis. Ibu bercerita di kampung halamannya Mas cuanki berdagang ke luar kota, harus kembali karena dagangan tak laris.

Menyikapi wabah Corona, banyak manusia mengurung diri. Begitupula mas Cuanki dan keluarganya mengurung diri di rumah. Tidur menahan lapar. Mas becak yang tertidur melupakan nasibnya di belantara debu jalanan yang bosan menghinggapinya. Jangan andalkan filantropi mapan! Bahkan tak tahu apa perbedaan antara menyalurkan harta dan pencitraan membesarkan nama persyarikatan.

Berkahlah gerakan-gerakan alternatif. Sebut saja aliansi mahasiswa: Solidaritas Pangan Jogja. Kabar terbaru telah mendapat donasi hingga 100juta lebih dalam bentuk uang. Bermula dari ide sederhana dan perasaan mendalam kemanusiaan.

Nun jauh dari kota tersebut, kota kelahiranku menyisakan cerita lain. Tidak sedikit al-mahrum, kaum miskin struktural yang tak tega meminta-minta. Kini terpaksa untuk meminta. Youtuber bajingan belasan juta subsriber membuat penggalangan dana. Jancuk! Jual setengah asetmu! Tidak tahu malu pendapatanmu setara dengan pendapatan dua juta buruh pabrik kota besar yang kini sedang menyiapkan demonstrasi. Tiga juta buruh tani miskin. Masih pencitraan penggalangan dana. Tidak usah ajari manusia untuk berderma. Di kampungku masih ada kaum papa yang masih berkenan menampung orang difabel tuna wisma yang tak ia kenali.

Cukup ustadz. Barakallahu fikum. Tidak perlu ceramahi kami untuk bersabar. Hibahkan saja toko pakaian muslim, pakaian renang muslim, pakaian dalam muslim, yang kau promo-promo-kan di instagram.

Kini al-mahrum secara pribadi sudah memaksakan diri meminta. Stay at home tidak berlaku bagi pemulung, pedagang keliling dan ojeg pangkalan. Wabah corona tidak lebih menakutkan ketimbang kebutuhan pangan harian.

Dari sabda Nabi Muhammad saw., ‘Demi Rabb yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang hamba dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai tetangganya (atau saudaranya) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

Masyarakat sedang sulit. Kaum papa melamar kerja, sembari melawan rasa takut wabah. Corona tidak bisa menghentikan pedagang keliling agar tetap di rumah. Kaum borjuis gemetar menanti giliran positif terdamprat wabah. Aku memahami sabda Nabi di atas sebagai salah satu upaya yang bisa dilakukan. Seorang hendaknya menjamin tetangganya. Seorang perhatikan apakah mereka hari ini bisa makan. Apa yang menjadi kebutuhannya. Apa yang bisa meringankan beban kehidupannya. Tanpa wabah kehidupan sudah sulit. Terlebih lagi bila ada bunga rentenir yang melilitnya. Seorang yang lebih kaya menjamin dua hingga tiga keluarga. Seorang yang lebih kaya lagi menjamin lima keluarga. Penjaminan ini bahkan bukan sebagai keluarga dan tak memiliki ikatan darah apapun.

Penjaminan ini signifikan. Agar kaum papa yang berusaha mencari rejeki tidak pulang lunglai lemas menahan lapar. Agar hilang rasa cemas karena rumah yang tergadai karna hutang. Agar seorang pemberontak yang diPHK lantaran mengkritik atasannya yang zalim tetap mendapat jaminan hidup. Bahkan dosen sekalipun tak lagi mengompori mahasiswa untuk turun aksi atas kesewenang-wenangan, melainkan mereka sendiri yang memberi teladan. Semua penjaminan ini hendaknya diatur oleh seorang pemimpin yang terlebih dahulu dimiskinkan. Yang dibekali oleh masyarakat pemilihnya hanya dua fasilitas: sebuah pena dan buku. Siapa yang mau jadi pemimpin?