Sim salabim kudengar merupakan bahasa Turki yang artinya adalah “berikut ini”. Kata tersebut populer sejak tahun 1931 oleh pesulap Amerika Serikat, Hary August Jansen. Sim sala Sim? Akronim populer SIM, Surat Izin Mengemudi. Fragmen kehidupan yang lumrah. Tak pernah lengang dari pemohon. Yang cukup sepi dari fragmen tersebut adalah lapangan uji praktek. Hohoho. Ketika khalayak membicarakan Sim, ada yang membahas mengenai harga. Berapa biaya untuk membuat sim motor? Mobil? Masing-masing daerah entah mengapa memiliki harga berbeda. Ada juga yang membahas mengenai sim yang hilang, atau kadaluwarsa. Ada juga yang membahas kendaraan yang ‘tidak fit’ kala ujian prakteknya. Dan lain-lain.

Tentu saja momen yang seringkali ditunggu-tunggu pemohon dikala sim sudah selesai cetak. fokus menuju foto sim seraya berucap: “Jelek!”. Tapi percayalah, aku tidak bermaksud menggiring pembahasan foto yang kerap jelek ini sebentuk konspirasi atau naturalitas. Dugaanku, yang sudah mendapat sim a dan c, serta sekali perpanjangan, kenyataan selalu menabrakku dengan pengalaman yang serasi: sesi foto untuk sim selalu dilakukan oleh polak, alias polisi laki-laki, yang selalu menyebut nama dengan datar dan tanpa emosi serta tanpa editan. Ah sudah kutebak, kau yang sedang membaca ini sudah gatal untuk berkomentar: “sudah begitu SOP-nya!”

Ini bukan soal gender. Akan tetapi, antara seorang polak dan polwan punya suatu hal yang ‘berbeda’ dalam memberikan instruksi. Ketika seorang polwan memberikan instruksi, “Selanjutnya silahkan untuk ujian praktek”. Ah, waktu terasa lambat. Tidak hanya diksi-diksi detil yang kupahami dan benar-benar kuyakini bahwa aku tak akan salah paham akan perintahnya, tetapi rambut bak aurora Finlandia memberikan aura positif.

Aih, keajaiban ini juga bukan sekali ini saja. Dua tahun baheula dalam pelawatan dari Kebumen menuju Jogja pagi-pagi sekali lewat jalur selatan. Tiba di Jogja sekitar pukul tujuh, beberapa polwan sudah begitu rajin berjaga menertibkan lalu lintas, senyumannya yang dilemparkan pada para pengendara membuatku hendak ditilangnya, dan disapanya sekali lagi. Tubuhku yang begadang semalaman tiba-tiba pulih dibuatnya. Kasih sayang seorang Ibu dan polwan memang tipis sekali. Jiwa kebapak-an ku meronta meskipun kini masih berjibaku dengan tugas akhir perkuliahan.

Kembali, singkatnya aku hanya memiliki usulan, serahkan urusan per-sim an dari pendaftaran hingga ujian praktek pada polwan. Terutama soal urusan foto sim. Biasanya polak sebelum foto hanya mengatakan, “Kepalanya agak miring ke kiri sedikit.” Tetapi kalau polwan, “Mangga A, badannya ditegakkan. Eh, si Aa mah saya kaya Teteh, stay at home malah jadi jerawatan ya di rumah? pakai skincare apa di rumah?” belum-belum si pemohon menghabiskan kegirangannya karena diperhatikan, Polwan sudah memberi instruksi tambahan: “Lihat ke kamera A…Hayo, Teteh merhatiin Aa lho.” Ah tapi apa betul imajinasi dalam tulisanku ini, jangan-jangan nanti foto-foto pemohon sim terlihat salah tingkah semua. Apapun itu, dalam pendapatku, polwan pasti akan lebih kreatif dibanding polak. Hasil foto pemohon tidak langsung ditetapkan, tetapi agak diedit menggunakan filter-filter biar agak glowing dan menyamarkan jerawat. Setidaknya. HAHAHA.

Yang paling ditunggu-tunggu adalah setelah sesi foto ini, meski agak lama menunggu editan teteh polwan, selanjutnya adalah tanda tangan dan sidik jari. “Diangkat A jempol kanannya.” Polwan sembari membantu menekan jempol kanan pemohon di atas fingerprint. Pemohon: “Aduh…tekan terus Teh yang kenceng ngga apa-apa.” Selain jempol, telunjuk, dan jari tengah pun mendapat kebahagiaannya.

Tetiba pemohon mengernyitkan dahinya karena dalam seragam polwan terdapat tulisan: Republik Jancukers?!

Sim sala Sim.