Bisa apa si pecinta sastra bucin ini tanpa kopi dan senja. Tanpa diksi ‘makna’. Tanpa ada keindahan. Tanpa diksi malam, tanpa pagi, tanpa mentari, tanpa embun, tanpa dingin, apa masih bisa daku lahirkan kata-kata penuh gugah? Tanpa orang papa, dengan diksi apa aku pancing keributan? Tanpa ekonomi pincang, dengan diksi apa sastra bucin harus menghujat?
Kalau laku hidup manusia adalah soal repetisi. Apa yang menarik dari perselingkuhan, cinta yang datang terlambat, cinta si empunya yang tak bernyali menyatakan, kemiskinan, pertobatan, dan lain-lain.
Aku menunggu penyair datang di tengah-tengah tugu kota. Aku menunggu seniman borjuis bernyanyi menghibur si miskin yang mencari batu untuk dimasak. Si bungsu yang sedang badung-badungnya meludahi dan berteriak: Subrek! Pencapaian apa yang hendak dirayakan. “Kau mau foto keadaan kami dan berikan sebagian royaltimu untuk mendulang puji dan haru kemanusiaan? Anjing! Pergilah.”
Pemain grup calung di utara kampus dekat lampu merah memainkan alat musiknya pikirkan cicilan utang. Orang beribadah menyembah deadline pekerjaannya.
Seekor semut di kamar didapati menyeruput setetes minuman berkarbonasi stroberi yang tercecer di lantai. Kuteriaki, “Jangan minum! Itu bekas air kencing tentara zionis! Keuntungannya akan dibelikan senjata guna melawan dan memusnahkan pemeluk agama kita.” Aku menertawakan kepercayaanku silam, yang ternyata masih mengendap pada alam pikir doktrin masa kecil. Begitu pula semut yang berlalu tak peduli. Cekikikan.
Seniman jalanan menghantui alam imajinasi. Semakin banyak warung kopi baru buka, pelanggan harus siapkan uang memberi hadiah. Hari ini semakin kreatif. Tidak hanya ukulele atau gitar, beberapa di antaranya ada yang memainkan biola. Siapa setuju mereka digaji negara? Agar mereka lebih tekun menyanyi untuk menghibur hati-hati yang luka. Membasahi tanah kering yang lama tak dirawat. Menumbuhkan cinta memadamkan benci, menemani jiwa sepi yang sebentar lagi harus terasing. Tapi tak perlu ada sertifikasi.
Seniman jalanan dari rahim imaji muncul untuk bernyanyi menghibur khalayak di bawah teduh malam. bernyanyi dari warung tenda satu hingga ke kedai kopi. Suaranya mengingatkan akan kenanganku dengan suara serupa di Leuwi Panjang Bandung. Mengaransemen lagu Symphoni Yang Indah dengan suara yang sedikit berat, petikan gitarnya, kaca-kaca bus berembun. Malam hari. Sialan! Aku terjebak pada diantarakata yang klise.
Seniman jalanan kini kulihat seperti bisa menyesuaikan lagu dengan suasana hati pendengarnya. Entah kebetulan. Beberapa pelanggan warung tenda seperti menyiapkan lembar rupiah beragam simbolis terimakasih. Dengan petikan gitar, dari kejauhan, seniman itu bernyanyi,
Kau yang sungguh selalu setia
Menemani kesepianku
Menjaga lelap tidurku
Membasuhku setulusnya
Merekahnya fajar hatiku
Menghangatkan luruhku
Dan resapkan keharuman
Engkau yang mencintaiku
Dan ternyata cinta yang menguatkan aku
Dan ternyata cinta tulus mendekap jiwaku
Lagu dari Padi – Ternyata cinta.
Tatapan seniman tersebut perhatikan langkah kakinya sendiri berjalan ke arahku. Ia bernyanyi,
They say love is a burning thing
It can raise you up
It can give you wings
At time it’s painful like the truth,
But love will always bring me back to you
Love is patient
Love is kind
Love is changing all the time
Love’s forever but if ever ends
I will learn how to love you again.
Lagu dari Mrs. Greenbird – Learn How to love you.
Seniman inikah yang disejahterakan negara? Ia terlihat tidak sedang siap menerima logam perak atau lembaran rupiah. Kaos polos hitam, jaket kulit coklat dan jeans yang lusuh. Ah, aneh sekali, ia malah membagikan lembaran kertas yang merupa tulis tangannya sendiri kepada para pelanggan makan. Sesampainya depanku, aku kebagian secarik kertas bertuliskan kutipan syair Amir Hamzah.
Kalau hujan turun rintik
Laksana air-mata jatuh mengalir
Itulah kanda teringatkan adik
Duduk termenung berhenti khawatir
(Syair Buah Rindu IV, Buah Rindu, 1941)
Hmmmm.