Ah kadangkala media dan sebagian orang cukup berlebihan memframing suatu peristiwa. “Jangan kemana-mana!” “Kota ini sedang dalam penegakkan aturan yang ketat.” Hingga ketakutan kini sedang naik daun. Corona menjadi mafia menerror setiap insan bernafas.
Malam minggu tiba. Ah. Keluar juga kalian. Keluar juga kalian. Keluar juga kalian dengan pasangannya. Sementara aku berada di motor sembari berusaha menghabiskan sisa jok dengan badan yang mulai menggemuk sendirian.
Ingin sekali rasanya berubah menjadi polisi kemudian menilang dan memeriksa KTP mereka satu per satu pasangan kekasih itu, apakah mereka berada pada satu alamat yang sama: “Ah tepat sekali, Bapak. Kami secara sengaja tinggal pada alamat kos bahkan ranjang dan fetish yang sama!”
Sudahlah.
Sepanjang perjalanan malam minggu kelabu ini, toko-toko tidak sedikit yang masih tutup. Jumlah ketersediaan berkurang, namun tidak dengan tukang parkir. Jumlahnya masih tetap. Bahkan ada pula sebuah toko yang dijaga oleh dua tukang parkir.
Sempat sebal. Namun setelah dipikir-pikir, dalam kondisi yang sulit seperti ini, jangan marah pada tukang parkir. Jangan marah pada pencopet. Jangan marah pada rentenir. Jangan marah pada begal. Jangan marah pada penipu. Karena beginilah cara rakjat akar rumput bertahan hidup: bukankah sama-sama bersaing-sama kotornya dengan para kapitalis kelas kakap? Bedanya hanya dari cara berpakaian dan kendaraan…Sementara pada saat yang sama, sebagian agamawan sibuk pada seminar dan webinar.
Minggu kelabu membawaku berkelana menuju kawasan pesisir pantai selatan. Ketakutan akan wabah corona mengkristal sebagai serpihan-serpihan kaca dalam alam pikiran. Di jalan raya, virus berhasil memojokkan manusia dan membiarkan alam kepada muasalnya yang dingin dan sunyi. Bersih dari jejak kaki manusia yang mendekam pada sudut ruang rumah: sibuk mendengarkan berita televisi.
Minggu kelabu menuntun mataku kepada pertunjukkan sulap Indomaret dan Alfamart berubah menjadi Tomira: Toko Milik Rakjat di Kulon Progo. Kau tau sendiri bukan, bila sulap penuh dengan intrik dan kecepatan (~kebijakan) tangan? Hanya nama saja yang berganti dengan dalih sebagai solusi terbaik untuk merawat eksistensi perekonomian lokal di samping tetap mengizinkan toko modern beroperasi, daleman nya tidak sedemikian signifikan berubah. Baca lebih lanjut tulisan yang merupakan hasil penelitian Saudara Johan Ferdian JR yang berjudul: “Toko Milik Rakyat (Tomira): Apakah Benar Milik Rakyat?” dalam www.medium.com.
Ah, Tomira mengingatkanku pada suatu bangunan megah, tiada tahun tanpa pembangunan fisik, tiada waktu berlalu tanpa memikirkan akreditasi, konon katanya tempat mencerdaskan anak bangsa. Tertulis pada bangunan tersebut, “Kampus Rakjat”. Aku sedikit ragu dengan kebenarannya. Setelah kuusap kedua mataku, ah ternyata mataku salah lihat. Bangunan ini lihai sekali dalam menggunakan intrik dan kecepatan (kebijakan) tangan. Pertunjukkan Sulap yang unpredictable. Ternyata bangunan itu tak lain bagaikan koperasi: jual beli gelar. Astaga. Selama ini hadirin berikut rakjat ikut tertipoe. “Kampus Rakjat: Benarkah Menguntungkan Rentenier?” Orang tua mahasiswa harus rela meminjam uang demi (~pendidikan anak-anak semestanya) pertunjukkan sulap: Uang pendidikan mahal. Bahkan ditambah beban biaya ekstra!
Setelah sampai di kawasan pesisir pantai selatan, Kiai Seniman sampaikan bahwa perlawanan rakjat menolak sertifikasi tanah oleh TNI semakin membara: aku masih dengan khusyu mendengarkan banyak kisah dan petuahnya.
Sepulangnya,
Minggu kelabu memperlihatkanku pemandangan yang menunjukkan harmoni semesta: seorang pria tampan bertato pada lengannya sebelah kiri, membonceng seorang perempuan cantik berjilbab besar dengan motor matic.
Minggu kelabu belum berakhir, sesampainya di peristirahatan, ketika membuka laptop, cahaya lampu kamar berganti shift dengan kegelapan. Mati lampu! Ah aku phobia. Membuatku sesak nafas dan mencari sumber cahaya persis seperti laron.
Kunyalakan senter handphone. Namun yang terlihat bukanlah keadaan kamarku. Melainkan jiwaku yang kotor, pekat. Terpampang jelas.