Tag: Sastrawan

Yang Indah Selain Puisi Hujan Bulan Juni

aldiantara.kata

 

Kenangan adalah fosil—tidak akan bisa menjadi abu

“Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar saputangan yang telah ditenunnya sendiri.

Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.

Bagaimana mungkin.”

Siapa pula yang bisa menjamin bahwa ada yang pasti, bahwa ada yang selesai, bahwa ada yang tuntas dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki?” (Pingkan)

 

 

Sudah setengah jam berlalu semenjak aku dan kamu berteduh di depan swalayan, akhir-akhir ini cuaca sewaktu-waktu bisa berubah dengan segera. Pagi ini saja aku seharusnya sudah berada di kampus lantaran harus mewawancarai seorang dosen untuk sebuah penelitian sosial. Hujan membuat gerakan kita spontan menepi.

Tidak bisa bahkan jika harus memaksa mengayuh sepeda dalam keadaan cuaca seperti ini. Sepeda kita berdua disandarkan pada pada tempat yang lengang. Tanpa kunci, tanpa titip. Lalu kita berubah menjadi liliput lalu hinggap pada lampu kota yang tetap menyala. Suasana pagi nampak seperti sore. Lebih gelap. Pada tempat yang lebih nyaman, kaca penutup lampu yang diusapi hujan, udara yang menjadi sejuk, wangi tanah yang khas.

Kamu mulai membuka isi tas, aku selalu mengecemu sebagai dorami yang selalu membawa tas penuh berisi macam-macam. Meski begitu, hehe, aku tertawa duluan, sebab kau tau bahwa kau membawa pesananku: roti isi selai coklat kesukaanku yang kau potong kecil-kecil.

“Sampai di mana tadi obrolan kita?” tanyamu.

Mulutku masih dipenuhi roti.

Apa iyaya, kalo orang pacaran harus selalu mengobrol dan banyak pembahasan? Pertanyaan itu tiba-tiba, terbetik melalui suara yang hanya dapat kudengar. Aku tak mengutarakannya.

“Jadi, setelah kau dengarkan podcast Sapardi Djoko Damono di YouTube?”

“Ah iya, Sapardi bilang, Sastra itu bukan isinya (yang terpenting), sastra itu cara menyampaikannya…isi itu orang menulis sajak cinta itu kan sejak Nabi Adam nulis sajak kepada Hawa itu kan sudah sajak cinta. Cara (menyampaikan) itulah yang berkembang terus, (seperti) cara menyampaikan cinta, cara memarahi orang…cara itulah yang menjadi ciri dari setiap seniman…’ ”

“Mana lebih dulu, apakah Sapardi menciptakan puisi Hujan Bulan Juni atau konsep cerita Sarwono dan Pingkan dalam trilogi novel Hujan Bulan Juni?”

“Bahkan dalam novelnya penamaannya harmonis nan serasi, ujung penamaannya dengan “O”, Katsuo, Sarwono, Solo, Manado, Kyoto, Okinawa…” Aku tak merespon pertanyaanmu.

Apa yang kita baca menjadi sebentuk cara Eyang Sapardi menerangkan Cinta, melalui cerita Sarwono dan Pingkan, Katsuo dan Noriko dalam novel trilogi ini.

 

Orang Jepang mengagumi mekarnya sakura dan juga merayakan gugurnya bunga yang hanya berumur seminggu itu.” Kau mulai membuka-buka catatan pinggir buku yang sudah kau tandai.

“Aku jadi teringat pula hal yang membuatku kagum pada negeri Jepang melalui novel Aleph- Paulo Coelho, kata seorang tokoh bernama Yao bercerita, ‘Waktu tinggal di Jepang, aku mempelajari keindahan hal-hal sederhana. Dan hal paling sederhana sekaligus paling menakjubkan yang kualami adalah minum teh. Aku barusan pergi untuk mengulang pengalaman itu dan untuk menjelaskan bahwa terlepas dari semua konflik kita, semua kesulitan, semua sikap kejam dan juga murah hati, kita masih bisa tetap mencintai hal-hal sederhana dalam hidup. Samurai biasanya meninggalkan pedang-pedang mereka di luar sebelum masuk ke rumah, duduk dalam posisi tegak sempurna, lalu ambil bagian dalam upacara minum teh dengan berbagai tata caranya. Sepanjang upacara itu, mereka bisa melupakan perang dan mengabdikan diri untuk memuja keindahan…’ ”

Buku trilogi Hujan Bulan Juni rasanya tidak saja indah dan menarik menyaksikan percintaan segitiga antara Sarwono, Pingkan dan Katsuo, namun juga perihal untaian kalimat indah yang dialamatkan terhadap kota-kota seperti Solo dan Jakarta.

Ada alasan ke Jakarta sekarang, kata Sarwono kepada dirinya sendiri. Ia rupanya kangen sama Jakarta yang semakin macet, yang semakin senang bikin rame-rame, yang semakin tidak bisa dikendalikan, yang mau tidak mau harus dengan ikhlas diterima sebagai tempat berteduh bagi semua yang mau atau terpaksa tinggal di sana. Jakarta merasa sesak nafas tapi tetap saja siap menerima siapa pun yang sayang atau benci padanya. Baginya sama saja. Kota yang baik hati dan lapang dada itu suka berpikir, lampu neon ternyata yang selama ini menjadi daya tarik laron dari kota dan pulau lain. Jakarta yang bijak itu sesekali merasa agak repot memikirkan bagaimana mengubah para pendatang itu menjadi benar-benar urban. Setelah menjadi wargaku, mereka harus diurbankan…”

Gambaran mengenai Jakarta dalam “Jakarta Itu”,

Jakarta itu debu
Jakarta itu macet
Jakarta itu banjir
Jakarta itu motor
Jakarta itu yel-yel demo buruh
Jakarta itu mal
Jakarta itu pedagang kaki lima yang mati-matian membela kios-kiosnya
Jakarta itu rumah kumuh yang berderet sepanjang rel kereta yang satu demi satu dibongkar polisi tata kota
Jakarta itu berangkat subuh pulang magrib
Jakarta itu pedagang keliling burger yang menyulap Für Elise menjadi ikon oditorinya
Jakarta itu ondel-ondel
Jakarta itu Pak Ogah yang setia menunggu di tikungan jalan
Jakarta itu jerit klakson mobil Jakarta itu angkot tua yang batuk-batuk dan mogok persis di tengah jalan
Jakarta itu petugas pe-elen yang gugup ketika mengusut sekring mana yang ngadat sehingga aliran listrik melupakan tugas sehari-harinya
Jakarta itu wajah-wajah yang mulutnya ditutup masker warna-warni sehingga terhambat ketika mau meneriakkan semboyan “Hidup Jakarta!”
Jakarta itu terhimpit pintu ka-er-el yang menunggu sinyal keberangkatan.
Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas, kata Pingkan kepada dirinya sendiri sambil mengingat-ingat wajah Sarwono ketika melambaikan tangan dari balik dinding kaca ruang keberangkatan. Itu bukan pepatah, itu klise yang bersikeras untuk menjelma kembali ke habitatnya yang purba sebagai larik puisi. Pingkan selalu menarik napas dalam-dalam setiap kali mengucapkan itu diam-diam sambil menambahkan, Jakarta itu kasih sayang.

Percakapan “Masih ingat jalan ke Solo?” (dalam buku ketiga, Yang Fana adalah Waktu) antara Pingkan dan Sarwono benar-benar membuat orgasme pembacanya. Tentang peta menuju Solo, jalan menujunya saling dititipkan di alam bawah sadar keduanya. Tentang jalan lurus di mana jalan tersebut dihiasi dengan berbagai pemandangan agar kekasihnya bisa betah. Serta keinginan untuk tersesat bersama dengan kekasihnya.

 

Raut wajahmu ternyata tak bisa menyembunyikan rasa kagum setelah membaca buku trilogi Hujan Bulan Juni tersebut. Bahasa cinta yang dingin, sekaligus menggebu-gebu, namun tetap disampaikan dengan bahasa yang indah. Di dalamnya juga digambarkan Sarwono sebagai antropolog yang berkelana menyelesaikan proyek penelitian kampusnya di Universitas Indonesia; menguraikan permukiman Kali Code sebagai contoh masyarakat pinggiran, meneliti ke Tobelo untuk meneliti perihal konflik agama, ke Kyoto menyampaikan makalah dan menjelaskan masalah liyan dan diaspora di Indonesia,  hingga memerhatikan wajah calon mertuanya yang berasal dari Sulawesi Utara dengan memerhatikan bentuk wajahnya berdasarkan bangsa Mongol Utara.

Meskipun demikian, dalam perjalanan panjang penelitiannya, justru menarik lantaran pada prosesnya selain percakapan baik langsung, WhatsApp atau bahkan percakapan imajiner para pecinta itu yang saling bertaut, tidak saja dipenuhi di dalamnya bahasa-bahasa cinta yang indah, melainkan banyak nilai di dalamnya,  terdapat di antaranya muatan kritik sosial sebagai peneliti namun sekaligus pula menunjukkan keoptimisannya, dikatakan, “Ia (Sarwono) sadar, hasil laporannya hanya menjadi bukti selesainya pekerjaan oleh si pemberi dana proyek sering tanpa niat untuk membaca dengan cermat apa yang tersirat. Namun, ia yakin suatu saat nanti laporannya akan dibaca oleh seorang atau dua atau tiga orang cerdas yang bisa ‘membaca’-nya sebagai protes terhadap keadaan absurd yang terasa semakin lama semakin memberati masyarakat.

Muatan kritik sosial di dalamnya juga nampak ketika pada suatu waktu Sarwono menjumpai anak sekolahan yang pulang cepat lantaran guru-guru sibuk rapat, juga perihal ‘keseragaman’. Mendengar jawaban si anak sekolahan,

Sarwono tertawa, tukang becak tertawa, anak-anak tampak seperti bingung lalu ikut-ikut tertawa. Seragam tertawa. Dan semuanya berlalu begitu saja seolah tidak ada kejadian apa-apa, seolah-olah tidak ada yang tadi tertawa. Sejak menjadi mahasiswa ia sering berpikir mengapa semuanya harus seragam, mulai dari baju sekolah sampai cara berpikir yang dikendalikan kurikulum yang seragam, yang harus ditafsirkan secara seragam juga. Tadi pun, mereka seragam tertawa seragam. Bangsa ini tampaknya akan menghasilkan anak-anak yang seragam.

Selain itu, kritik sosial juga nampak ketika Sarwono sebal lantaran tiga buah puisinya yang dimuat pada sebuah surat kabar seakan tak dihargai dengan tata letaknya berada di sudut halaman, “kalah meriah dibanding berita politik, kriminal, gambar-gambar yang semakin lama semakin berdesak-desak, dan iklan.

Kamu bercerita pula kisah cinta antara Sarwono dan Pingkan, sementara keduanya berbeda, Sarwono beragama Islam dan Pingkan beragama Katolik,

Begitu keluar dari kota kedua orang muda Jakarta itu menyaksikan adegan yang biasa mereka saksikan di Jakarta: beberapa kelompok orang mencegat mobil untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan Rumah Tuhan. Bedanya adalah, di Jakarta Rumah Tuhan itu mesjid, di Menado tentu saja gereja.”

Pada hari Jumat, “Pingkan melihat jam tangannya, mendadak bilang, ‘Sar, ini kan dah jam setengah 12, Jumat. Pergi sana kamu ke Mesjid Gedhe. Nanti telat lho. Yen kowe telat, dongamu ora bakal ditampa. Naik becak yang tadi dipakai aja, biar cepat.’ … Selama mendengarkan khotbah di Mesjid Gedhe ia (Sarwono) tetap mendengar kata demi kata Pingkan di sela-sela seruan pengkhotbah untuk tidak memanfaatkan agama sebagai alat untuk mencapai apa pun, kecuali untuk mendekatkan diri dengan Allah. Itu perintah Allah, itu perintah Muhammad SAW, itu yang menjadi dasar keyakinannya sebagai orang yang harus menghargai keyakinan orang lain, yang selalu mengingatkannya untuk mengharamkan kata ‘liyan’ dalam cara berpikirnya, Biarlah kata itu tetap ada di kamus, tetapi tidak perlu digunakan untuk mencibir, apa lagi menyiksa orang lain.

Bahkan mengenai nasionalisme Sarwono ketika ditawari untuk tinggal di negeri lain, “Ia (Sarwono) tidak ingin tinggal di mana pun kecuali di negeri yang menyenangkan karena selalu geger ini. Ia masih harus menuntaskan keinginan untuk blusukan dari pulau ke pulau agar bisa menghayati hal-hal pelik yang tidak akan bisa diuraikan, apa lagi ditata, tanpa didasari keikhlasan untuk memahami dan menerimanya.

 

Ketika terdengar suara gitar John Williams memainkan ‘Concierto de Aranjuez’, keduanya sepenuhnya diam mendengarkan, Pingkan mencium rambut Sarwono”,  “…ada Paco de Lucia, Pepe Romero, dan bahkan Joaquin Rodrigo sendiri, tapi bagiku sentuhan jari-jari Williams mewakili siutan angin Firdaus.”, “Tak tahu kenapa, aku ingat lirik lagu Norwegian Wood yang pernah kaubilang kau suka itu, she asked me to stay, and she told me to sit anywhere, so I looked around, and I noticed there wasn’t a chair”, “Ia merindukan Sarwono, yang suka berbagi earphone kalau sedang cari-cari bahan di perpustakaan kampus sambil mendengarkan “The Swan” versi jazz Bob James adaptasi yang dicuplik Le carnaval des animaux karya Camille Saint-Saëns. Ia benar-benar merindukannya.”, Arthur’s Theme  dinyanyikan Rumer, menjadi  playlist Pingkan ketika merindukan Sarwono.

Aku menunjukkan kepadamu ceklis catatan pinggirku. Setiap di mana Pingkan atau Sarwono mengutip sebuah judul lagu, maka aku berhenti  membaca sejenak, mencari lagu tersebut lalu dengarkan. Kupikir aku menyukai lagu-lagu para pecinta yang mabuk asmara. Sepertinya aku sedang menikmati kisah cinta gila ‘Layla Majnun’ tanah air ini.

Kau mengangguk.

Yang kumaksud adalah aku begitu menyenangi  bahasa cinta baik Pingkan atau Sarwono baik yang terucap ataupun tidak oleh keduanya. Tersampaikan atau hanya tergumam sebagaimana para pecinta yang masih menyembunyikan perasaannya terdalam. Seperti Pingkan yang suatu kali menyandarkan tubuhnya lebih rapat ke Sarwono, berbisik kepada dirinya sendiri, “Apa dosa dan salahku maka telah mencintai laki-laki Jawa yang sering zadul mikirnya ini?

Tentang kepekaan Pingkan yang meminta petugas restoran untuk mengecilkan suara musik lantaran memahami ekspresi Sarwono yang terlihat tidak nyaman. Atau Sarwono yang tanpa mengindahkan tata cara naik pesawat terbang, begitu mendarat Sarwono mengirim WhatsApp pada Pingkan, “aku rindu kamu, Ping.” Kecemburuan Sarwono pada Katsuo dengan memanggilnya Sontoloyo. Pingkan yang tak menjawab ucapan Sarwono melainkan merangkul Sarwono dan bertubi-tubi menciuminya di warung kampus. Pingkan yang cemburu kepada Dewi, asisten peneliti Sarwono. Pingkan yang hanya mau dengan Sarwono, “Maunya Sarwono, Pingkan hanya sama dia. Bodoh ya gak apa-apa, pokoknya sama dia saja.”.

Pingkan yang merasa cengeng pernah diam mendadak dan ingin menangis ketika Tante Keke membujuknya untuk meninggalkan Sarwono. Atau dalam rindunya Pingkan bilang, “ ‘Aku kangen, Sar’, disertai selfi yang sudah dikrop sehingga hanya tampak bola matanya yang seperti memantulkan kuntum sakura... Dan semua yang telah dilakukannya di Kyoto, semua kalimat dan gambar yang dikirimnya lewat dunia maya tidak lain adalah ungkapan dan sumpahnya bahwa ia mencintai sahabat kakaknya itu—tanpa walaupun tanpa meskipun.

Pingkan yang selalu memakai jaket ketika keluar malam lantaran ingat anjuran Sarwono. Pingkan yang tak berhenti menulis surat untuk Sarwono sebab ingin kertas berisi tulisan tangannya menjadi tanda kasihnya. “Aku sangat capek tapi harus nulis terus. Sar! Aku Pingkan, Sar, yang waktu masih SMP pernah nitip surat ke Toar dan dia bilang, ‘Kamu gila apa? Kan bisa WA atau e-mail aja ke Sar.’ Ya tapi aku ingin kau memegang kertas yang ada tulisan tanganku aku ingin kau merabanya dan membayangkan apa pun yang ingin kaubayangkan tentangku. Sar!”

Membaca itu malah kubayangkan ‘Pingkan’ Velove Vexia yang tergila-gila pada Adipati ‘Sarwono’ Dolken sebagaimana filmnya. Tak bisa membayangkan yang lain. Ini mungkin kekurangan kenapa aku malah menonton itu terlebih dahulu baru kemudian membaca novelnya.

Meski demikian, sesekali dibuatnya aku cemburu sebagai pembaca ketika Pingkan dan Katsuo waktu di Kyoto. “Pingkan hampir mabok ketika menyusuri sungai yang membelah Kyoto pinggirnya dipenuhi bunga sakura. Masih terasa dingin, dan Katsuo dibiarkannya memeluknya untuk mengusir hawa yang bisa mengurangi nafsu makan itu.” “Dan tampaknya gadis itu (Pingkan) malah merasakan sedikit rasa tenteram sehingga tidak ingin melepas tangannya. Ada yang dirasakannya mengalir lambat-lambat lewat jari-jari Katsuo menyusup ke telapak tangannya, semacam butir-butir halus selembut pasir yang turun lewat gelas waktu yang lehernya sangat sempit dan panjang berkelok-kelok persis spiral yang ujungnya di bawah tidak ketahuan wujudnya.

 

Hujan pada bulan Juni segera berakhir. Sementara langit, tetap menjadi tempat aku dan kamu menengadah, butiran air bak mutiara yang turun berangsur reda. Kau mencuri pandang kepadaku, sementara aku bertanya, “Apa ada yang indah selain dari puisi Hujan Bulan Juni?”

“Banyak!”

Catatan pinggir tersisa pada bukumu kemudian berbicara dalam benak kita berdua. Tubuh kita beranjak normal, lalu kita tuntun sepeda yang sedari tadi terparkir di swalayan di atas genangan air dengan bias cahaya warna dan warni yang menyelimuti tanah.

Bahwa kasih sayang ternyata tidak cabul, ternyata terasa semakin pesat lajunya walau waktu yang selalu tergesa-gesa terasa berhenti, ternyata bukan godaan untuk mendesah dan terengah.

Bahwa kasih sayang ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan senyap sebagai satu-satunya harap yang semakin khusyuk pelukannya kalau senyap yang tanpa aroma tanpa warna tanpa sosok tanpa asesori mendadak terbanting di lantai kemudian melesat terpental ke langit-langit untuk turun perlahan sangat perlahan memeluk dan mem bujuk mereka berdua agar tidak usah mengatakan sepatah kata pun sedesis huruf pun sebab kata cenderung berada di luar kasih sayang

Dan kasih sayang tidak bisa disidik dengan kata sekalipun berupa sabda bahwa ketika berpelukan, mereka merasa seperti dituntun untuk sepenuhnya mempercayai bahwa kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa kertas tanpa aksara tanpa surah dan ayat tanpa parabel tanpa kanon tanpa nubuat tanpa jalan tanpa karma tanpa gerak tanpa siut yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan dan betina yang saling menggosok-gosokkan lehernya di perbukitan ilalang yang menjanjikan tempat bertengger bagi butir-butir embun terakhir kalau cahaya matahari pertama bersinggungan dengan cakrawala.

 

Tiga Sajak Kecil

di jantungku
sayup terdengar
debarmu hening

di langit-langit
tempurung kepalaku
terbit silau
cahayamu

dalam intiku
kau terbenam

 

“Selalu ada yang terjadi tidak untuk bisa dipahami, tampaknya.
Selalu ada saat ketika kita tidak memiliki keberanian untuk bertanya dengan tulus kepada diri sendiri kenapa ini begitu dan kenapa itu begini.
Selalu ada saat ketika kita tidak memiliki kemampuan untuk menatap tajam mata kita sendiri dan bertanya, Kenapa kau menyiasatiku begitu? Pertanyaan retoris yang sejawabannya tak lain, Kenapa kau menatapku tajam begitu?
Selalu ada saat ketika kita tidak sempat bertanya kepada sepasang kaki sendiri kenapa tidak juga mau berhenti sejak mengawali pengembaraan agar kita bisa memandang sekeliling dan bertahan semampu kita untuk tidak melepaskan air mata menjelma sungai tempat berlayar tukang perahu yang mungkin saja bisa memberi tahu kita, Kesana, Saudara, ke sana.”

“Hanya ada kasih sayang yang tidak diatur oleh siapa pun kecuali mereka yang berada di ruang kedap suara

Hanya ada perpisahan yang sejenak menyesakkan tapi yang segera disusul dengan jerit pertemuan kembali yang menjadikan langit mendadak tampak lebih biru dan laut kelihatan lebih cemerlang seperti cermin di bawah langit yang tak selesai-selesainya bersolek.”

 

Sumber Kutipan:

Novel Trilogi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono

Bekas-Bekas Jari Tanganmu, Sapardi Djoko Damono

aldiantara.kata

 

Tumben sekali kau bersemangat membahas buku. Tak ada angin, tak ada hujan. Meski sekarang sudah memasuki bulan Juni. Dadak-dadak kau malah ingin bercerita soal buku Eyang Sapardi Djoko Damono; ‘Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?’ alih-alih buku Hujan Bulan Juni.

Kau malah bilang meski puisi-puisi populer Eyang Sapardi begitu ngena’, tetapi kau bercanda bahwa kau ingin dianggap berwawasan luas dengan membaca buku Eyang Sapardi yang lain, agar tak melulu membahas Sapardi berarti puisi Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin. Iya-iya kau serius?

“Ngga juga, sih. Siapa tahu sepenggalan saat membaca bukunya bisa aku kutip lalu dijadikan status WhatsApp.” Jawabmu.

“Quote a la a la … ”

“Lalu berpikir perihal kesenduan, membacanya pada sebuah kafe dengan kaca berembun, memandangi jendela sembari ditemani secangkir kopi. Tapi pada kenyataannya hasil fotonya nampak biasa saja, faktanya berada di kafe cangkir biasa dengan angel mainstream, ngga ada estetik-estetiknya.” Aku melanjutkan.

Kau merengut. Menyadari aku bercanda tapi benar adanya.

Lalu kau bercerita bahwa kau sedang membereskan almari bukumu yang sudah lama tak kau sentuh sejak sibuk dengan tugas akhir kuliah. Kau bilang yang penting beli dulu saja buku-bukunya, pasti ada waktu untuk nanti dibaca.

Aku jawab, “Iya kalau memang buku-bukunya akan terus utuh. Bulan lalu aku harus membuang beberapa buku yang sudah mendapat invasi rakyat rayap. Tinggal sesal kenapa mereka harus menyerang buku-buku yang belum tamat dibaca.”

Kau melanjutkan cerita, kau bilang, ketika membereskan buku-buku, tiba-tiba buku Eyang Sapardi ini kebetulan menyembul di antara yang lain, dibacalah sebelum dirapikannya kembali. “Eh di awal-awal beliau mengutip quote Robert Frost, ‘And of course there must be something wrong. In wanting to silence any song.’ ” Kau bilang jadi teringat dengan puisi terjemahan Robert Frost yang baru kau baca di rumah sastra www.diantarakata.com berjudul Stopping by Woods on a Snowy Evening.

Kemudian, aku mengajakmu untuk bergegas mencari tempat yang baik untuk berbincang. Selatan Kampus Bayangan terdapat banyak pilihan tempat nongkrong (cari waypay).

Katamu, meskipun kafe-kafe belakang kampus banyak sediakan buku, para pengunjung lebih dulu memastikan password waypay. “Buku-buku terjemahannya tak menarik.” Ucapmu ketus.

Meski percakapan kita terpotong dengan waiter yang mengantarkan pesanan, kau sudah sibuk mencari guratan pensil yang kamu tandai pada lengan buku, pinggirnya. Kau bilang membacanya dengan sedikit kantuk, bak kenangan yang menggelayuti kelopak matamu agar lekas beristirahat.

“Aku menandai rangkaian kata yang relate dengan keadaanku.”

Dengan demikian, pada masa yang akan datang, baris baca yang terlewat saat ini, bisa jadi akan mengena’ di kemudian hari. Piiih! Aku malah sibuk memperhatikan tahi lalat sebelah kiri bibirmu.

Kau mulai membacakan apa yang kau beri tanda, pada judul puisi pertama, “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?

“/2/

Apakah kenangan bisa begitu saja meninggalkan tubuhku?
Ada yang terasa nyeri ketika sesuatu kebetulan kautangkap dalam kenangan, pada suatu pagi yang jeritnya bagai ombak, ketika perempuan itu dulu bertanya padamu tentang segala yang telah kaulalui, tentang bekas-bekas jari tanganmu yang masih bisa terbaca di seluruh tubuhnya. Kau tidak ingat benar apa yang ditanyakannya, apa yang sebenarnya ingin ia dapatkan kembali darimu. Ia toh sudah menjadi daun penanggalan yang tiap bulan kausobek dan kaucampakkan di tempat sampah.”

“Bicara kenangan, apa yang sebenarnya ingin ia dapatkan darimu?” diulanginya.

“Kalau lagi rindu kepada kenangan yang sudah jadi lampau, selalu ada harap mengulangi momen yang pernah, kan?”kau mulai berlagak menafsir.

“Sidang skripsi?” tanyaku.

(aku tak ingin menceritakan kelanjutannya, tapi kemudian dia melemparkan kepadaku sesuatu)

 

Ternyata, aku dan kau sama-sama suka dengan puisi “Rumput”. Banyak orang dalam kehidupannya yang menyimpan sesal dengan apa yang sudah dijalani dan yang jalan yang tak dipilih. Kita bacakan, bergantian.

“Seandainya tidak kuambil jalan ini. Jangan katakan itu. Sebab kau tidak bisa tawar-menawar dengan masa lampau. Dan tak boleh menyebut apa pun yang sudah pernah kaujalani, atau tidak pernah kaujalani, sebagai nanti. Sebagai bayangan dirimu sendiri.”

“Seandainya kulalui jalan yang satu lagi.
Jangan pernah mengucapkan itu sama sekali.
Kalau yang kaupanggil rumput memang harus rumput, ambil saja jalan yang menjulur di depanmu dan lanjutkan saja kehendak (kehendak?) yang telah melemparkanmu kemari. Sekarang ini.”

Jalan tak pernah berdusta
apakah ia harus membujur ke selatan
atau utara, apakah ia harus berkelok
atau lurus saja, apakah ia siap menerimamu
berjalan perlahan menyusurinya.

Jalan tak pernah diberi tahu di mana akhirnya,
tak pernah diajar merencanakan
arah selanjutnya; ia hanya boleh rebah,
begitu saja, dan menjadi sahabatmu.
Kauhayati atau tidak, ia jalan.
Yang menjulur di bawah
matahari. Ia tidak mengatur langkahmu
di kelokan itu. Ia tak lain jalan,
di bawah matahari.

Kelokan tak meributkan rumput, tak peduli apakah rumput memang harus rumput dan tidak boleh dipanggil lain, misalnya burung atau kijang. Yang bebas terbang, yang menggemaskan larinya.

Kelokan akan menerimamu dengan ikhlas, seperti kalau ia menerima hujan kiriman di musim kemarau. Seperti kalau ia menampung bulu bunga randu yang tak lagi dikehendaki angin. Seperti kalau ia menerima saja segala kehendak jalan. Ia, kau tahu, sungguh tulus.

Irisan buah naga menyisakan beberapa potong di piring meja, jamu yang kau pesan dan temulawak yang kupesan menyisakan sisa setengah. Menuju senja, klakson kendaraan mulai terdengar seperti bersahutan. Jam pulang kerja. Aku melanjutkan perbincanganmu denganmu. Suara menjadi samar, sekitar berputar tanpa kami sadari. Sementara puisi-puisi Eyang Sapardi yang telah kau tandai dengan pensil masih terus berbicara dengan sendirinya melalui suara latar.

Pertanyaan adalah hasrat
untuk meloloskan diri dari kelokan tajam,
pertanyaan adalah taruhan bagi kehendak
yang terus-menerus hanya dibayangkan.
Pertanyaan selalu kembali lagi
ke pertanyaan. Yang jawabannya
tersembunyi rapi dalam pertanyaan.

 

Puisi “Perihal Waktu” Eyang Sapardi berbunyi di alam pikiran kita.

Hei, hari apa kamu?
Kita saling menatap, padahal tak ada
siapa pun yang menyampaikan pertanyaan itu.
Kita mungkin memang ditakdirkan
untuk merasa bahagia, duduk di beranda.

Dan ketika mendengar tokek di belakang rumah
kita suka menghitung ya, tidak, ya, tidak,
dan ya –
kita pun merasa lepas dari angka-angka
yang rumit, yang mengaburkan pandangan kita.
Untuk apa kita harus merasa tidak bahagia?
Untuk apa laron melepaskan sayap-sayapnya
hanya untuk mendekati cahaya?
Untuk apa pula anak desa itu
berlayar ke negeri-negeri jauh
hanya untuk dikutuk menjadi batu?

Selembar angin yang melayang
entah dari mana dan tak ingin
jatuh ke bumi – dan udara menjadi biru
seperti langit yang memantulkan warna laut.
Kita mungkin memang diciptakan
agar ada yang pernah
merasa bahagia.

Hidup adalah penyeberangan
yang menggantung
antara rahim dan bumi.

Siapa yang menantiku di seberang?
Sungguh adakah yang menantiku?

Mungkin ada yang sejak lama menungguku
nun di sana, tetapi adakah jarak
antara yang ditunggu dan yang menunggu,
antara berangkat dan pergi,
antara tanah yang kita kenal
dan yang kita bayangkan pernah ada?
Kali ini aku sendiri, tidak mendengar suaramu
Kita mau ke mana?

Benar, kau pernah bilang tak perlu
membedakan pergi atau pulang,
mengosongkan atau mengisi teka-teki silang.
Stasiun bukan Pohon, bukan Bukit, bukan Gua –
stasiun adalah tempat orang gelisah
karena menunggu kereta, bukan Sabda.
Beberapa patah kata
di papan-papan itu hanya menunjukkan arah,
suara peluit sekedar isyarat –
selebihnya kitalah
yang berurusan dengan makna.

Apakah aku harus
memberimu selamat tinggal
hanya karena di stasiun?

 

Perbincangan kita kembali kepada buku puisi Eyang Sapardi, ‘Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?’ Aku sebetulnya iri ingin menjadi kursi yang kau sandari, sepertinya kau sudah mulai bosan. Aku sampai mengguratkan angka romawi menghitung berapa kali kau menguap. Dari dua puluh empat ayat puisi “Surah Penghujan”, menjadi sesi perbincangan yang terakhir, aku menyukai ayat dua belas, sementara kau menyukai ayat dua puluh.

penghujan mencari ujung akar dan melesat ke daun-daun
yang mengganggu pandanganmu
dan ia terus mencari ujung akar
Aku menyaksikannya menaklukkan urat pohon itu dan
menggoyang-goyangnya dan menekuknya dan merubuhkannya
dan sesudah itu menatapmu dengan penuh kasih sayang
dan katanya kenapa kau masih saja merindukannya? dan Aku
menyaksikannya menyerbu ke dalam kenanganmu yang terletak
jauh di lereng kemarau
*
dan Aku menyaksikanmu memegang dada kirimu.

 

Kau bilang sangat suka dengan amsal kemarau yang mampu mengeringkan bekas-bekas luka.

Kau hanya mencintai kemarau sebagai kemarau kau membayangkan kemarau bisa mengeringkan bekas luka-luka dan kau tidak mencintai penghujan hanya karena suka menjelma tanah hanya karena kau tak menginginkannya mengaburkan pandanganmu.

 

Sudah saatnya pulang.  Kau masih sempat menilik-nilik tanda pada buku, memastikan tak ada yang terlewat. Larut dalam waktu, menyisakan tempat yang mulai menyepi. Kau bilang bahwa kau akan membaca buku Hujan Bulan Juni. Meskipun kau sudah terlebih dahulu menonton Adipati Dolken dan Velove Vexia sebagai Sarwono dan Pingkan. Aku katakan kepadamu bahwa aku kini memiliki ketakutan dalam mengumbar rencana. Biasanya malah tak jadi dilakukan. Kau tak percaya mitos itu, ya?

Di atas motor matic sepulang kita, sama-sama membacakan “Sajak Tafsir

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja – aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.

dalam hati, tanpa menjaharkannya. Berhasrat. Membacakannya dalam kesunyian namun saling mengalamatkan kepada alamat yang jelas. Tolong, waktu! simpan kenangan ini pada sebuah tabung, agar bisa kutamui, sekali lagi, nanti.

 

Sumber Kutipan Puisi:

Sapardi Djoko Damono, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017)

Ah, Apakah Kau Menggali Kuburku?

Oleh: Thomas Hardy

Judul Asli: “Ah, Are You Digging on My Grave?
Diterjemahkan oleh Ratu El Sarah

Terjemah Bebas (tanpa rima dan irama)

 

“Ah, apakah kau sedang menggali kuburku, sayangku? – menanamkan duka?”
— “Tidak: kemarin ia menikah lagi dengan wanita kaya,
‘tak akan menyakitinya kini ia mati,’ katanya,
“Aku harusnya berbohong padamu tentang pernikahannya.”

“Lalu, siapakah yang sedang menggali kuburku, kerabat terdekatku mungkinkah?”
— “Ah, bukan: mereka hanya terduduk dan berfikir, ‘Apa gunanya menanam bunga
Tak akan pula menyelamatkannya dari jeratan maut.”

“Tapi seseorang menggali kuburku? Apakah musuhku? — datang dengan licik karna aku sudah mati?”
— “Tidak: ketika ia mendengar berita kematianmu yang akan segera masuk kubur,
Ia pikir kau tak lagi bernilai akan kebenciannya,
Tak pedulipun ia dimana engkau terbaring.

“Lalu, siapa yang menggali kuburku? Katakan — karna aku tak bisa menebak!”
— “O ini aku, majikanku sayang,
Anjing kecilmu, aku tinggal dekat,
Dan aku harap aku tak mengganggu kau dalam peristirahatanmu?”

“Ah, ya! Kau yang menggali kuburku….
Mengapa tak terpikir olehku
Bahwa cinta sejati yang kutinggal adalah kau!
Perasaan mana lagi yang pernah kita jumpa
Diantara manusia yang dapat membandingi
Kesetiaan seekor anjing!”

“Majikanku, sesungguhnya aku menggali kuburmu
Untuk menyembunyikan seonggok tulang,
Kali saja aku merasa lapar ketika melalui area ini.
Maafkan aku, namun akupun sebenarnya lupa
Bahwa disinilah tempatmu beristirahat.”— 1914

***

Rhythm: ABCCCB (for each stanza)

 

“Ah, are you digging on my grave,
My loved one? — planting rue?”
— “No: yesterday he went to wed
One of the brightest wealth has bred.
‘It cannot hurt her now,’ he said,
‘That I should not be true.’”

“Then who is digging on my grave,
My nearest dearest kin?”
— “Ah, no: they sit and think, ‘What use!
What good will planting flowers produce?
No tendance of her mound can loose
Her spirit from Death’s gin’”

“But someone digs upon my grave?
My enemy? — prodding sly?”
— “Nay: when she heard you had passed the Gate
That shuts on all flesh soon or late,
She thought you no more worth her hate,
And cares not where you lie.

“Then, who is digging on my grave?
Say — since I have not guessed!”
— “O it is I, my mistress dear,
Your little dog , who still lives near,
And much I hope my movements here
Have not disturbed your rest?”

“Ah yes! You dig upon my grave…
Why flashed it not to me
That one true heart was left behind!
What feeling do we ever find
To equal among human kind
A dog’s fidelity!”

“Mistress, I dug upon your grave
To bury a bone, in case
I should be hungry near this spot
When passing on my daily trot.
I am sorry, but I quite forgot
It was your resting place.”— 1914

Haruskahku Bandingkan Kau dengan Musim Panas?

Oleh: William Shakespeare

Judul Asli: “Shall I compare thee to a summer’s day?
Diterjemahkan oleh Ratu El Sarah

Rhyme Scheme: ABAB CDCD EFEF GG

 

Haruskahku bandingkan kau dengan musim panas?
Engkau lebih indah dan lebih hangat:
Angin kencang yang mengguncang kuncup Bulan Mei
Dan musim panas berlalu begitu cepat:
Terkadang matahari musim panas begitu terik dan buat nanar,
Terkadang juga ia bersembunyi di balik langit yang berawan;
Dan segala sesuatu yang indah akan lekang dan memudar,
Tak sengaja maupun kehendak Tuhan.
Tapi kau, adalah musim panas yang abadi,
Keindahanmu takkan pudar adanya;
Kematian sekalipun takkan menghakimi,
Karena dalam bait ini kau kan hidup selamanya:
Selama manusia masih bernafas dan mata masih melihat,
Selama itu pula kau kan abadi dalam bait yang tergurat.

***

Shall I compare thee to a summer’s day?
Thou art more lovely and more temperate:
Rough winds do shake the darling buds of May,
And summer’s lease hath all too short a date;
Sometime too hot the eye of heaven shines,
And often is his gold complexion dimm’d;
And every fair from fair sometime declines,
By chance or nature’s changing course untrimm’d;
But thy eternal summer shall not fade,
Nor lose possession of that fair thou ow’st;
Nor shall death brag thou wander’st in his shade,
When in eternal lines to time thou grow’st:
So long as men can breathe or eyes can see,
So long lives this, and this gives life to thee.

Sebuah Rasa yang Hambar

Oleh: Wallace Stevens

Judul Asli: The Plain Sense of Things
Diterjemahkan oleh Ratu El Sarah

Tanpa Rima

 

Setelah daun-daun berjatuhan, kita berpulang
Pada sebuah rasa yang hambar. Seakan
Kita telah tiba pada akhir dari khayalan,
Mati dalam ketiadaan.

Sulit bahkan untuk sekedar memilih kata
Untuk menjelaskan kehampaan yang dingin ini, kesedihan tanpa sebab ini.
Bangunan yang megah itu kini menjadi rumah kecil.
Tanpa orang-orang bertuban yang berjalan di atas lantai landai.

Tak pernah rumah kaca itu butuh untuk dicat.
Tungku perapiannya sudah 50 tahun kini condong ke satu sisi
Usaha yang hebat telah gagal, sebuah pengulangan.
Pengulangan akan manusia dan lalat.

Tetapi hilangnya khayalan sudah juga sebelumnya
Terkhayalkan. Kolam yang luas,
Kehampaan yang ia pancarkan, tanpa bayangan, tanpa dedaunan, tanpa lumpur, tanpa air yang seperti cermin kotor, meneriakkan keheningan.

Sebanding, dengan kesunyian seekor tikus yang keluar untuk melihat,
Kolam luas itu dengan bunga-bunga lili yang sia sia, semuanya
Harus dikhayalkan sebagai pengetahuan yang tak terelakkan,
Mesti terjadi, sebagaimana mestinya terjadi.

***

After the leaves have fallen, we return
To a plain sense of things. It is as if
We had come to an end of the imagination,
Inanimate in an inert savoir.

It is difficult even to choose the adjective
For this blank cold, this sadness without cause.
The great structure has become a minor house.
No turban walks across the lessened floors.

The greenhouse never so badly needed paint.
The chimney is fifty years old and slants to one side.
A fantastic effort has failed, a repetition
In a repetitiousness of men and flies.

Yet the absence of the imagination had
Itself to be imagined. The great pond,
The plain sense of it, without reflections, leaves,
Mud, water like dirty glass, expressing silence

Of a sort, silence of a rat come out to see,
The great pond and its waste of the lilies, all this
Had to be imagined as an inevitable knowledge,
Required, as a necessity requires.

Singgah di Hutan Kala Senja Bersalju

Oleh: Robert Frost

Judul Asli: “Stopping by Woods on a Snowy Evening
Diterjemahkan oleh Ratu El Sarah

Rhyme schemeAABA BBCB CCDC DDDD

 

Hutan milik siapa ini, kurasa aku tahu.
Rumahnya berada di desa yang jauh itu;
Tak akan ia lihat aku singgah disini
Menyaksikan hutannya perlahan berselimut salju.

Kuda kecilku pasti terheran
Karena aku berhenti bukan di perkampungan
Diantara hutan dan danau membeku
Dalam senja paling redup sepanjang tahun.

Kudaku menggoyangkan loncengnya
Adakah yang salah maksudnya bertanya.
Suara lain yang terdengar hanyalah sapuan
Akan semilir angin dan serpihan salju di udara.

Hutan ini indah, luas, dan gelap.
Namun ku punya janji yang jangan tersilap.
Juga perjalanan panjang sebelum ku terlelap,
Juga perjalanan panjang sebelum ku terlelap.

***

Rhyme schemeAABA BBCB CCDC DDDD

 

Whose woods these are I think I know.
His house is in the village though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.

My little horse must think it queer
To stop without a farmhouse near
Between the woods and frozen lake
The darkest evening of the year.

He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound’s the sweep
Of easy wind and downy flake.

The woods are lovely, dark and deep.
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep.

Inspirasta (Inspirasi Sastra)

aldiantara.kata

 

  1. “Saya selalu percaya bahwa inspirasi bukanlah sesuatu yang bisa saya datangkan, namun inspirasilah yang mendatangi saya” Djenar Maesa Ayu dalam pengantar dalam buku 1 Perempuan 14 Laki-Laki.
  2. “Yang terlupakan adalah waktu yang mengalir dalam lautan debar, samudra getar, cakrawala harapan.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  3. “Tapi mimpi juga terbatas waktu. Debaran itu mendadak buyar ketika terdengar suara ketukan pembantu di pintu kamar. Suara kokok ayam. Kicau burung. Kemilau sinar matahari menerobos jendela.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  4. “Semua orang harus tepat waktu sampai di tujuan. Semua orang tidak punya kesempatan untuk sekadar berhenti memandang embun sebelum menitik ke tanah. Semua orang melangkah bagai tidak menjejak tanah.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  5. “Karena itu juga Wong Asu menulis? Membunuh kesepian. Memberinya terapi untuk diri sendiri.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Wong Asu” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  6. “Manusia dengan naluri anjing jauh lebih rendah daripada anjing.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Wong Asu” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  7. “Sastra itu bukan sekedar seni menyusun kata-kata, lebih penting lagi adalah bagaimana seseorang telah sampai kepada pilihan kata-kata yang disusunnya itu—yakni bentuk perhatian seorang penulis kepada dunia dan kehidupan sekitarnya.” Seno Gumira Ajidarma dalam testimoni buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  8. “Dalam kuliah itu ia mengatakan bahwa puisi-puisinya merupakan ‘Yoga bahasa’. Yaitu semacam ruang ibadah. Dan, kemudian ia lebih tebal mengatakan: ‘puisiku adalah sujudku’.” Catatan Editor buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  9. “Pernyataan Rendra dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan. ‘Mengapa Anda begitu berani melancarkan protes terhadap praktik pembangunan oleh pemerintah?’ Rendra menjawab, ‘Saya protes dan bersikap kritis terhadap pemerintah bukan lantaran saya berani. Malah sebaliknya, karena saya takut apa yang bakal menimpa anak cucu di masa depan.’ ” buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  10. “Jika kita membuka sejarah hidup sastrawan, menulis baginya adalah kebutuhan, dan sebab kebutuhan itulah maka penyair Carl Sanburg (Chicago, USA) tak demikian peduli apakah sajaknya mendatangkan uang atau tidak. Tetapi baginya, dimuat di jurnal Chicago Poems adalah menjadi harapannya, 20 tahun kontinyu Carl Sanburg mengirim sajaknya ke jurnal itu dan barulah dimuat. Setelah pemuatan pertama itu kemudian terus menerus karyanya dimuat, dan dalam tahun yang sama Sanburg, mendapatkan Pulitzer, hadiah terhormat USA untuk dunia kepenulisan.” Buku Sastra Pencerahan – Abdul Wachid BS

Hati Kahlil Gibran: Diantara Kata (2)

  1. Jiwaku mengajar dan mendidikku untuk mencintai apa yang orang lain benci dan menjadi teman bagi siapa yang dicaci-maki. Jiwaku menunjukkan pada diriku bahwa cinta juga merasa bangga terhadap dirinya, bukan hanya orang yang dicintainya. Lebih dari itu, juga kepada orang yang mencintainya. Sebelum jiwaku mengajariku, cinta hatiku seperti benang tipis yang terikat pada dua pasak. Tetapi kini cinta telah menjadi sebuah lingkaran keramat yang permulaannya adalah akhir, dan akhirnya adalah awal. Cinta itu mengelilingi setiap makhluk hidup dan perlahan-lahan berkelana kemana-mana, memeluk siapa saja yang dapat direngkuhnya.
  2. Jiwaku mengajariku dan mendidikku untuk mendengarkan suara-suara yang tidak terucap oleh lidah, taring, dan bibir.
  3. Kemarin kita menunduk-nunduk pada sang raja dan menundukkan kepala kita di hadapan sultan. Tetapi hari ini kita tidak menaruh hormat kecuali kepada kebenaran, dan tidak mengikuti seorang pun kecuali keindahan dan cinta.
  4. Kita adalah pikiran diam yang tersembunyi di pojok-pojok kelupaan.
  5. Aku juga bertanya, adakah di bumi ini orang yang tidak menyembah kata-katanya sendiri?
  6. Masih banyak lagi suku dan marga pembual yang jumlahnya tak terhitung. Yang paling aneh menurutku adalah suku penidur yang anggotanya selalu membuat onar dunia dengan dengkurannya, dan ketika bangun, selalu berteriak-teriak, “Betapa terpelajarnya kami ini”
  7. Seorang cendekiawan tidak dapat menjadi orang yang bersih sekaligus cerdas.
  8. Untuk apakah buku-buku dan berlembar-lembar catatannya yang membusuk dan segera menjadi debu itu? bukankah dia lebih baik bekerja sebagai pembantu, misalnya membantu seorang sopir, sehingga kesehatannya terjamin dan hidupnya lebih berguna?
  9. Akankah datang suatu masa ketika alam menjadi guru bagi manusia, kemudian manusia menjadi buku-bukunya dan kehidupannya menjadi sekolahnya?
  10. Bagaimana mungkin kemanusiaan hidup dapat memperoleh pengetahuan jika jiwa belum bebas dari ikatan dunia?
  11. Tidakkah diamnya malam meninggalkan sebuah lagu di kedalaman hati yang paling dalam dengan harapanmu untuk menemui sang fajar?
  12. “Wahai sang pecinta, di manakah aku bisa memperoleh ketenangan hati? Aku dengar dia datang bergabung denganmu di sini.”. dan sang putri cinta menjawab, “Ketenangan hati telah pergi menasihati pengikutnya, dimana ketamakan dan korupsi menjadi prioritas. Dan kita tidak membutuhkannya.” Keberuntungan tidak butuh ketenangan hati, sebab dia adalah harapan duniawi, dan hasratnya dipeluk oleh penyatuan dengan objek. Sementara ketenangan hati itu sia-sia, namun sepenuh hati. Jiwa yang abadi tidak pernah terisi, ia hanya mencari kemuliaan.
  13. Wahai manusia, perempuan itu adalah refleksi dirimu, dan apa pun engkau, di mana pun kau hidup, dia hidup. Dia laksana agama, dan jika tidak ditafsirkan oleh orang dungu, dia bagaikan bulan di saat benderang, dan laksana angin sepoi-sepoi andai tidak diracuni oleh polusi.
  14. Manusia dan aku adalah sepasang kekasih. Aku rindu padanya dan dia pun merindukanku.
  15. Kekasihku mencintai diriku. Dia mengatakannya padaku, tapi dia hanya menjumpaiku dalam tindakan Tuhan. Dia mencariku dalam gudang besar kemuliaannya yang dia bangun di atas tengkorak penderitaan orang lain. Dia juga mencariku di antara timbunan emas dan peraknya, tapi dia hanya dapat menemukan diriku dengan datang ke rumah kesederhanaan yang telah Tuhan bangun di atas gundukan aliran cinta.
  16. Aku akan memperkaya jiwaku dengan semua rasa cintaku. Kekasihku telah mengenali kegegeran dan kegemparan dari musuhku, yaitu benda. Aku akan mengajarinya meneteskan air mata dan kasih sayang dari padang-padang jiwanya melalui air mata keluh kesah kesenangan yang diungkapkan. Manusia adalah kekasihku. Aku ingin mereka memiliki diriku.
  17. Orang-orang yang menulis dengan tinta itu tidak seperti orang yang menulis dengan darahnya hati. Diam yang tercipta karena rasa bosan itu tidak seperti diam yang terwujud karena rasa sakit. Adapun aku, aku diam karena telinga-telinga manusia telah lari dari kaum lemah dan dari rintihan mereka. Manusia telah memperuntukkan kesenangan hawa nafsu dan hingar bingarnya, sedangkan hikmah-hikmah bagi orang yang lemah adalah diam ketika orang kuat yang berusaha berbicara tentang segala yang ada. Itulah orang kuat yang tidak rela dengan sesuatu selain meriam-meriam sebagai lisan, dan tidak menerima dengan selain bom-bom sebagai ucapan-ucapan.
  18. Alam telah kembali kepada fitrahnya yang suci murni, karena itu apa yang telah dibangun oleh generasi-generasi umat manusia berupa ilmu dan seni telah dirobohkan oleh manusia yang menuruti ketamakan dan hedonis. Karena itu keadaan kita hari ini adalah keadaan para penduduk goa yang tidak membedakan kita dengan mereka, kecuali alat-alat yang kita jadikan sebagai sesuatu indah untuk meruntuhkan, dan kecerdikan untuk menghancurkan.
  19. “Dan sesungguhnya aku, meskipun aku telah menjadi bagian paling akhir zaman, aku pasti datang dengan membawa segala sesuatu yang belum bisa dilakukan oleh orang-orang terdahulu.”
  20. Kini pandanglah aku, yang hanya berupa seuntai kata yang maknanya sangat samar dan membingungkan. Ia sering kali tak memiliki makna. Namun, seringkali pula ia mengerami jutaan makna.

Anak Pinggiran Kota Besar

Jatuhku tanpa beban. Ketika sore di usia belia kuiisi dengan hanya bermain bola di lapangan perumahan beralas rumput berbekal uang jajan. Keringat selepas main dibayar oleh air segar untuk mandi dan makanan yang siap di meja makan. Tidur tanpa rasa takut, pikiran hanya menuju: apakah guru akan memarahi akibat PR yang tidak kukerjakan sungguh-sungguh. Orang tua katakan untuk tidak lupa sarapan, sembari mewanti-wanti agar tidak sisakan makanan, minum susu, dan bersyukur kepada Tuhan. Dibekalinya roti dan uang.

Meski darah manusia berwarna sama, lagu nasib tidak semua merdu. Nasib seorang gelandangan yang berlari mengejar Bus Kopaja. Harus jatuh tersungkur di antara keramaian. ‘Anak’, pekikku dalam samudera hati. Bajumu tak membohongi takdirmu. Sejatuhnya dari bus kau bahkan tidak mengekspresikan rasa sakit atau sedih. Orang-orang didekatnya bahkan tak mengejar kemudian membangunkan dirimu. Bahkan preman meneriaki Bus, ‘Sudah tidak usah ditunggu’. Berbekal lap lusuh, dirimu membersihkan mobil plat merah yang bahkan tidak kotor. Memang tidak sedikit manusia mencintai benda dibanding sesamanya.

Anak. Apakah pipimu tidak terluka? Luka yang membekas di aspal jalan akan segera terhapus hujan. bagaimana caranya agar bisa sabar dan memaafkan manusia-manusia serakah. Hatimu begitu besar menerima takdir. Tidak ada yang tahu orangtuamu sudah wafat, bunuh diri lantaran bunga rentenir yang kian mencekik. Atau bahkan dirimu yang masih bertanggung jawab kepada adikmu yang lugu. Bagaimana bisa wajahmu tidak menyimpan dendam. Menangislah, Anak. Bahkan dunia harus mendengar tangismu. Terbuat dari apa hati manusia kini?

Sementara di seberang jalan, seorang Bapak paruh baya menawarkan buku-buku pada mahasiswa. Untuk sekardus buku, si Bapak membutuhkan uang dua ratus ribu rupiah. Sang mahasiswa merasa enggan karena uang yang tempo dulu belum kunjung dikembalikan. Buku-buku yang ditawarkan pun tidak sesuai dengan minatnya. Tidak sedikit Bapak-bapak yang demikian halnya, tidak bisa mengembalikan hutang, atau bahkan orang lain yang menipu. Menipu kini merupakan softskill bertahan hidup. Penipuan pertanda bangsa ini waras. Di samping lapangan pekerjaan yang sedemikian sulit, serta kesenjangan sosial membumi langit. Beruntung pelarian tidak sepenuhnya pada bunuh diri. Pekerjaan apa kini yang bebas dari menipu? Ah. Aku malah tidak bisa membedakan ‘menipu’ dalam denotasi dengan ‘kedok’ yang menjadi baju sehari-hari manusia.

Pada saat tanganku masih menyusun tulisan ini, aku bahkan masih mengingat-ngingat perjumpaan mataku melihat si Anak yang terjatuh dari bus tersebut. Dalam perjalanan menuju stasiun, aku kala itu tak bisa berbuat apa-apa. Anak yang menghabiskan waktunya dengan bekerja. Tempat tinggal yang kekurangan air bersih. Tidur dengan rasa takut. Pikiran menuju: jemput karunia Tuhan sepagi mungkin. Memeluk diri menggigil saat malam. Ternyata tulisan Kahlil Gibran membuat mataku melihat pada sudut-sudut dunia yang ‘terabaikan’. Manusia papa yang ‘kasat mata’ membuat orang-orang lebih memilih kesibukan dan ambisi kantor serta pabrik. Bekerja kini dilakukan demi terpenuhinya keinginan tak berdasar. Sementara industri tak henti-hentinya menyuguhkan barang dan promosi. Gibran dari abad-19 berbicara kepadaku agar manusia modern harus memperbanyak buku-buku sastra.

Gibran katakan, ‘Cinta lebih utama daripada kebaikan yang tak mengandung cinta; karena air mata cinta lahir dari kedalaman jiwa seperti makhluk bernyawa.’ Juga, ‘Harta yang yang jika tidak digunakan untuk kepentingan dan atas nama roh, akan lebih mengerikan daripada segala petaka dunia.’ Juga, ‘Apa yang dapat diperbuat untuk mereka yang sekarat? Penderitaan kita takkan melenyapkan kelaparan mereka. Dan air mata kita takkan memusnahkan kehausan mereka; Apa yang dapat kita perbuat untuk menyelamatkan mereka. Dari tengah-tengah cakar-cakar besi kelaparan? Saudaraku, kebaikan hati yang mendorongmu. Untuk memberikan sebagian dari hidupmu. Kepada seidkit manusia yang tengah berada dalam bayang-bayang kehilangan hidupnya. hanyalah kebajikan yang menciptakan bagimu cahaya siang dan kedamaian malam yang pantas. Ingatlah saudaraku, uang yang kau berikan ke dalam tangan lemah. Yang menadah ke arahmu. Hanyalah rantai emas yang mengikat hatimu yang kaya. Dari hati Tuhan yang penuh cinta.

Mendistribusikan harta tidak lantas membuat diri kekurangan. Sastra yang melembutkan hati, tidak hanya soal percintaan menuju pelaminan.**

Hati Kahlil Gibran: Diantara Kata

 

  1. ‘Cinta lebih utama daripada kebaikan yang tak mengandung cinta; karena air mata cinta lahir dari kedalaman jiwa seperti makhluk bernyawa.’
  2. ‘Harta yang yang jika tidak digunakan untuk kepentingan dan atas nama roh, akan lebih mengerikan daripada segala petaka dunia.’
  3. ‘Apa yang dapat diperbuat untuk mereka yang sekarat? Penderitaan kita takkan melenyapkan kelaparan mereka. Dan air mata kita takkan memusnahkan kehausan mereka; Apa yang dapat kita perbuat untuk menyelamatkan mereka. Dari tengah-tengah cakar-cakar besi kelaparan? Saudaraku, kebaikan hati yang mendorongmu. Untuk memberikan sebagian dari hidupmu. Kepada sedikit manusia yang tengah berada dalam bayang-bayang kehilangan hidupnya. Hanyalah kebajikan yang menciptakan bagimu cahaya siang dan kedamaian malam yang pantas. Ingatlah saudaraku, uang yang kau berikan ke dalam tangan lemah. Yang menadah ke arahmu. Hanyalah rantai emas yang mengikat hatimu yang kaya. Dari hati Tuhan yang penuh cinta.’
  4. ‘Orang-orang yang berduka akan menganggap ratapan sebagai kesenangan seorang pecinta yang menemukan hiburan di dalam gairah jiwanya, sementara orang yang tertindas merasa lega berada dalam doanya.’
  5. ‘Semua itu (harta kekayaan) sama sekali tidak berarti dibanding sekilas waktu berada dalam cinta sejati yang tak memiliki kekayaan apapun, tapi tetap agung’
  6. ‘Aku telah menyaksikan sendiri bagaimana kereta kuda milik suamiku, ditambah harta kekayaannya ruah di gudang harta, sama sekali tidak sebanding dengan kedip mata pemuda miskin yang telah ditakdirkan diciptakan untukku dan untuknya aku diciptakan. Ia begitu sabar menanti dalam duka serta menahan diri dalam perpisahan yang mencabik-cabik.’
  7. ‘Apa yang kalian cari, kaum sebangsaku? Apa yang kalian minta. Dari kehidupan yang tiada lagi. Menganggapmu putra pertiwi?’
  8. ‘Ilmu itu cahaya yang memperkaya. Siapapun boleh mencarinya. Tapi kalian, kaum sebangsaku. Mencari kegelapan dan menghindari cahaya. Menunggu air terbit dari batu. Dan kesengsaraan bangsamu. Adalah kejahatanmu. Tak kuampuni kalian dari dosa-dosamu. Sebab kalian menyadari apa yang dijalani.’
  9. ‘Kemanusiaan adalah sungai cemerlang. Yang bersenandung dalam tamasya riang. Membawa rahasia gunung tua. yang dialirkan ke dalam jantung samudra. Tapi kalian, kaum sebangsaku. Bagaikan genangan rawa-rawa. Yang dicemari hama. Dan ular berbisa.’
  10. ‘Sengsaralah kamu, musuh-musuh Yesus, yang menggerakkan bibirmu dengan doa-doa sementara hatimu ditumpuki nafsu birahi.’
  11. ‘Mereka memenjarakan badannya, tapi jiwanya berlayar bebas bersama angin semilir di antara bukit-bukit kecil dan padang rumput.’
  12. ‘Penyiksaan tak bisa melukai orang-orang yang tegak berdiri bersama kebenaran. Bukankah Socrates dengan bangga mengorbankan dirinya? Bukankah Santo Paulus dilempari batu demi menyelematkan kebenaran?’
  13. ‘Oh Yesus, mereka telah membangun gereja-gereja ini demi diri mereka sendiri dan menghiasinya dengan sutra bercampur emas. Mereka membiarkan makhluk-makhluk-Mu yang terpilih miskin dan dingin. Mereka memenuhi angkasa dengan asap kandil yang menyala dan kemenyan, tapi membiarkan makhluk-makhluk-makhluk-Mu yang beriman tanpa roti. Mereka yang mengalunkan suaranya dengan lagu-lagu pujian, tapi menulikan diri pada tangisan dan rintihan janda-janda dan anak-anak yatim.’
  14. ‘Adakah kedamaian? Adakah dia dalam mata bayi-bayi yang menyusu pada buah dada kering ibu-ibu mereka yang lapar di gubuk-gubuk dingin? Atau apakah dia dalam pondok-pondok kumuh kelaparan yang tidur di atas ranjang keras dan membutuhkan sepotong makanan yang oleh para pendeta dan biarawan diberikan kepada babi-babi gemuk mereka?’
  15. ‘Bagi kami hidup ini hanyalah sebuah sel gelap perbudakan’
  16. ‘Kalian begitu banyak dan aku hanya sendirian, maka bicaralah tentangku semau kalian. Biarpun serigala-serigala memangsa anak-anak domba dalam gelap malam, noda-noda darah akan tetap tinggal di atas bebatuan lembah hingga fajar menyingsing dan sang surya bersinar kembali.’
  17. ‘Gunung-gunung serupa elang kesepian dan melewatkan malam-malam pengembaraan di gurun-gurun pasir bagai singa yang gelisah. Maukah kau memedulikan seseorang yang memandang cinta hanya seperti seorang penghibur dan menolak menerimanya sebagai majikannya?’
  18. ‘Akankah kau menerima sebuah hati yang mencintai, namun tak pernah memberi? Yang membakar, namun tak pernah meleleh? Akankah kau merasa senang dengan jiwa yang menggigil di hadapan badai, namun tak pernah menyerah? Akankah menerima seseorang sebagai sahabat yang tak menciptakan budak-budak? Akankah kau memiliki diriku tapi bukan mempunyaiku dengan mengambil tubuhku dan bukan hatiku?’
  19. ‘Bangsaku mati karena kelaparan. Dan dia tidak binasa karena penderitaan kelaparan dibunuh dengan kiluan pedang. Dan aku di negeri yang jauh. Mengembara di tengah-tengah bangsa yang bergembira. Dan tidur di atas ranjang-ranjang lembut. Tersenyum pada hari-hari tersenyum padanya.’
  20. ‘Bangsaku mati kesakitan dalam kematian yang memalukan. Di sini aku hidup makmur dan damai. Inilah tragedi mendalam yang selalu bermain-main di atas panggung hatiku yang pedih. Sedikit orang yang mau menyaksikan drama ini. Karena bangsaku serupa burung-burung dengan sayap-sayap patah. Yang ditinggalkan oleh kawan-kawannya.’
  21. ‘Jika aku lapar dan hidup di tengah bangsaku yang sangat lapar. Tersiksa di tengah bangsa yang tertindas. Dibebani hari-hari kelam yang akan lebih bercahaya di atas mimpi-mimpi resahku. Dan kegelapan malam yang berkurang gelapnya di hadapan mataku. Dan ratapan hati dan jiwa yang luka. Karena dia yang menanggung dukacita dan penderitaan bersama kaum sebangsanya. Akan merasakan kesenangan tertinggi. Yang hanya diciptakan oleh penderitaan dalam berkorban.’
  22. ‘Tapi aku tidak hidup kelaparan dan menganiaya orang-orang. Yang berjalan dalam arak-arakan kematian menuju kesyahidan. Aku disini di seberang lautan luas. Hidup dalam bayang-bayang kesentosaan yang nyaman dan dalam matahari kedamaian. Aku jauh dari arena yang menyedihkan dan menderita. Tak bisa membanggakan sesuatu, karena bukan dari air mataku sendiri.’
  23. ‘Apa yang bisa dibuat seorang putra terbuang untuk bangsa yang tengah mati kelaparan. Dan apakah maknanya bagi mereka yang meratapi seorang penyair yang telah tiada?’
  24. ‘Aku telah berkata, ‘Mati demi kemerdekaan lebih mulia daripada hidup lemah. Karena dia yang memeluk kematian dengan pedang kebenaran dalam genggaman tangannya. Akan mengabdi bersama keabadian kebenaran. Karena kehidupan lebih lemah dari pada kematian. Dan kematian lebih lemah daripada kebenaran.’
  25. ‘Betapa menyakitkan kata-kata nasihat dari yang beruntung untuk hati yang sengsara! Dan betapa kesahajaan adalah kekuatan manakala ia berdiri sebagai penasihat di antara yang lemah!’
  26. ‘Inilah saatnya ketika orang-orang berlaku ramah kepada orang lain. Yang kaya mengingat si miskin dan yang kuat merasa kasihan kepada yang lemah.’
  27. ‘Manusia telah menyembah diri sendiri sejak permulaan, menyebut dirinya dengan gelar terhormat, hingga sekarang. Apabila ia menggunakan kata Tuhan berarti sama dengan dirinya.’
  28. ‘Tiada pidana yang lebih berat daripada yang dijalani oleh seorang wanita yang mendapati dirinya terperangkap antara seorang pria yang dicintainya dan seorang pria lain yang mencintainya.’