Tag: Sastra

Souvenir

aldiantara.kata

Cinta seharusnya tak dibicarakan, Juwita
tetapi kau dengarkan
Dari dada retak seorang penyair, cinta meneriakkan namamu.

-Mohammad Ali R, “Teriak Cinta”

Akhirnya, memiliki waktu juga. Membaca puisi, tanpa dikejar atau mengejar deadline tugas yang tak kian surut. Apakah waktu benar-benar bisa dimiliki. Mu yang berlari. Ku yang diburu atau memburu.

Seberapa tahan membaca sebuah puisi hingga tuntas. Dari sekian upaya menyerah dalami makna.

Pun jika hanya membaca puisi-puisi souvenir. Puisi tidaklah hanya. Ia adalah jelmaan kerumitan kehidupan manusia yang disampai secara indah, bahkan sekali pun kelam. Puisi tidaklah cuma. Puisi paduan ragam indera yang disampai melalui aksara. Pun jika membaca puisi-puisi souvenir. Puisi bukanlah pun. Ia adalah aksara-aksara pembawa suatu pesan penyair dalam lingkup tempat dan zamannya.

Ya, aku sedang membaca puisi souvenir. Tanpa hanya, cuma, dan pun.

Penyair menahan waktu. Ia menuliskan tempat tinggal dan tanggal setelah bait terakhir. Jejak di mana penyair merebahkan aksara-aksaranya. Meski bukan sebagai nama jalan. Namun sebagai jelmaan ingatan yang sangat pribadi. Melibat indera penglihat, pendengar, perasa.

Seperti manuskrip yang akan dikenang tiga windu mendatang. Tercecer. Bahkan puisi-puisi souvenir tak membutuhkan ISBN. Dengan ikhlas bercerita. Entah telah berapa gelas kopi yang telah dihabiskan. Gelas kecil minuman yang tak lebih memabukkan ketimbang kecamuk alam pikirannya. Atau sesi bercinta yang tak membutuhkan jeda.

“Sudahlah. Kau membual seperti politisi. Cepat ceritakan puisi-puisi di dalamnya.” Kau tak sabar hendak kubacakan.

Puisi Mohammad Ali R, Wajah Temaram.

Sayup-sayup wajah sore hampiri beranda
Senja perlahan melambaikan siluet
Angin sepoi menggoyang barisan padi
Temaram laksana keredupan hati

Di bawah lampu-lampu neon kedai kopi
Sepi seakan tak terbendung lagi
Kibarkan bendera tentang malam
Kau menjelma secarik puisi kesepian

Aku dengan sisa-sisa rindu yang kau telantarkan
Merenggut makna atas kemerdekaan
Tak gentar aku bak darah juang
Meleleh di bawah kumandang adzan

Sisa ampas kopi selalu tersia-siakan
Meratapi siksa tuan penikmat
Kau ingin datang
Atau, sebatas menjadi bayangan.

Bantul, 25 Maret 2018

Kau menyeka mata. Barista mulai bersiap-siap close order. Suara kendaraan terparkir berhambur pergi beralih. Ada yang pergi menuju bulan. Atau bersarang pada dahan pohon. Mencari kunang-kunang, atau tongeret yang terenggut habitatnya. Polisi menyisir kedai-kedai kopi memberi suplai yang kurang asupan tembakau. Mereka berteriak, “Sastra-sastra koran mulai membosankan.”

Puisi Mohammad Ali R, Kisah

Baru saja aku pergi meninggalkan senyummu
Aku bersaksi atas keindahannya
Aku ingin waktu yang kekal
Diam tak berderak
Ketika aku tiada,
kau tetap indah,
bahkan selamanya
Tak jadi masalah,
Aku tertimbun kisah.

Yogyakarta, 02 Januari 2019

Kau malah menguap. Namun tetiba panik. Petrikor menyeruak. Jemuran katamu belum sempat dibakar. Tinggalkan noda darah kala membunuh sepi. Aku menenangkan. Sesekali biarkan hujan gemas lantaran ada yang tak bisa ia padamkan. Ada yang tak bisa dikendalikan, termasuk sirine ambulans yang kini mulai terdengar nyaring bersahutan.

“Bagaimana bila kita melanjutkan membaca puisi ini di atas sapi?” tawarku.

Kau menolak. Aku menuntun sapi sendirian akhirnya. Kau malah digendong monyet Kaliurang yang kerap mengambil mendoan dan meminum susu di kafe Warung Ijo.

Lalu sampailah kita di Jalan Karbala. Matamu tertuju pada buku puisi souvenir, alamat memintaku membacakan puisi lagi.

Puisi Mohammad Ali R, Getarmu

Lihatlah kemari,,,!
Kau merasakannya, bukan?
Semuanya abadi menjadi kata-kata
Ada namamu, bersemayam di sini

Aku hanya tak ingin jatuh cinta
Ada luka yang sama,
Perih yang sama
Keduanya menyayat habis
Enyahlah aku.

LKIs, 23 Oktober 2018

Jaswadi-jaswadi sisa berserak di Jalan Baru. “Mengapa?” tanyamu. Rahim enggan dulu dibuahi. Apa karena takut bakal calon menjadi aparat penutup jalan menjelang tahun baru, atau menjadi pemberontak yang akan ditembak mati.

Namun kali ini kita berdua melewati lampu merah. Jalan kian sempit, mobil terparkir sembarang menghalang bahu jalan. Ditambah sirine bukan ambulan. Pengiring mobil mewah. Bus-bus trans harus menepi, membawa banyak penumpang. Harus mengalah menebalkan dada yang tabah.

Melalui spion yang terbuat dari bintang jatuh, kau sedang mengamati antologi puisi souvenir itu. berjudul, “Kau” ilustrasi cover karya Chocohanis, memegang sebatang rokok dengan asapnya yang mengandung ragam tragedi manusia.

Puisi Mohammad Ali R, Orang Beragama

Orang beragama itu
Layaknya orang ngopi, lhoo
Boleh tidak suka kopi orang lain
Tapi, hanya berhak kritis atas kopinya sendiri

Orang beragama itu
Layaknya orang ngopi, lhoo
Boleh memesan rasa apa saja
Tapi, tak berhak memaksakan rasa yang ada

“Wah. Ternyata tidak hanya soal puisi cinta.” Ujarmu.

Aku tak bergeming.

“Orang bersenggama itu…” Imbuhmu dengan ujaran yang menggantung.

“Apa?”

Kau tak bergeming.

Kau malah mengalihkan tak melanjutkan gumamanmu sendiri. “Bahkan kopi merupakan media yang netral untuk membahas apa pun di kota ini. Tidak hanya soal cinta, bahkan soal agama. Mungkin juga kopi begitu tabah mendengarkan apa pun dari penikmatnya. Dengarkan puisi-puisi Ali yang lain perihal cinta.”

Kopi yang seharusnya sudah terminum, tak terminum.
Terus-terusan aku mengaduknya, ingin kutemukan bayangan meski tak serupa denganmu.

Oooh. Ujaran kita memang hanya jeda membaca puisi itu. Tapi tak lain adalah kekaguman. Kedalaman. Kena!

Lalu, kita beranjak ke dalam api. Mengetuk pintu untuk bersembunyi dari dingin malam. aku bercerita kepadamu bahwa puisi souvenir juga berasal dari cecer status WhatsApp. Banyak orang berkata-kata, namun sebagian enggan menamainya puisi.

Puisi Hasvirah Hasyim N, Dua Centang Biru

Malam itu aku tak dapat tidur, Yono
di langit kamar tikus-tikus riuh sekali
seperti sedang turnamen futsal

Kadang juga aku terjaga
sebab sekitarku
seperti banyak sekali makhluk halus yang
menjawil-jawil
semakin kupejamkan mata
semakin nyata kurasa bergidik

Di lain waktu
kudapati mataku terang sekali
kutuduh kopilah penyebabnya
aku kelebihan kafein, Yono
dadaku terus berdebar

Butuh bermalam-malam
untuk dapati diriku tiba pada kesadaran
agar berhenti menyalahkan apa pun
telah sampai pemahamanku
bahwa yang menghantuiku tak lebih
karena rinduku padamu

Bagaimana kabarmu?
Bila sempat tolong balas satu saja dari sekian pesanku yang masuk di WhatsApp-mu

“Atau… syahdunya puisi tanpa judul.” Kau bersiap membacakan dengan teduh.

-Puisi Dyah Putri M

Sayang…
Aku ingin menjadi ‘Rumah’
tempatmu berpulang
dari letihnya setiap aktivitasmu

—2 Agustus 2019

“Kau yakin malam ini kita akan tidur di dalam api?” Tanyaku, melihatmu yang sudah berkali-kali menguap.

“Ini tidak akan lama. Dengarkan puisi-puisi singkat M. Saifullah…”

Saat malam
rindu itu jadi dogma, Siti
Tidak usah kamu lawan
Izinkan dia menang

—5 September 2018

Seandainya, aku bisa selalu duduk di sini
Di sampingmu, Siti
Buat apa harus menunggu kematian
Untuk sampai ke surga?

—21 April 2019

Beruntungnya diri kita, Kekasih. Bisa sedikit mendapat bocoran rahasia dari kota yang menjadi klasik dari syair-syair yang tumbuh sebagai daun gugur. Tak banyak orang berkesempatan membacanya. Apalagi memahaminya. Sebab puisi souvenir tak diterbitkan. Ia hanya diberikan Penerbit Contradixie kepada pelanggan-pelanggannya. Beruntung!

Negeri Kecoa

Sudah tau rakyat sedang susah. Masa anggaran tersiram kencing kecoa!
Sudah tau rakyat sedang panik. Malah kecoa terbang pelesiran piknik.

Kotor!! Kotor!! Kotor!!

Kecoa toh tak salah. Susunya konon masih paling bergizi dibanding proposal pengajuan yang banyak micin.
Tapi enak dan bikin nagih.

Yang Indah Selain Puisi Hujan Bulan Juni

aldiantara.kata

 

Kenangan adalah fosil—tidak akan bisa menjadi abu

“Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar saputangan yang telah ditenunnya sendiri.

Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.

Bagaimana mungkin.”

Siapa pula yang bisa menjamin bahwa ada yang pasti, bahwa ada yang selesai, bahwa ada yang tuntas dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki?” (Pingkan)

 

 

Sudah setengah jam berlalu semenjak aku dan kamu berteduh di depan swalayan, akhir-akhir ini cuaca sewaktu-waktu bisa berubah dengan segera. Pagi ini saja aku seharusnya sudah berada di kampus lantaran harus mewawancarai seorang dosen untuk sebuah penelitian sosial. Hujan membuat gerakan kita spontan menepi.

Tidak bisa bahkan jika harus memaksa mengayuh sepeda dalam keadaan cuaca seperti ini. Sepeda kita berdua disandarkan pada pada tempat yang lengang. Tanpa kunci, tanpa titip. Lalu kita berubah menjadi liliput lalu hinggap pada lampu kota yang tetap menyala. Suasana pagi nampak seperti sore. Lebih gelap. Pada tempat yang lebih nyaman, kaca penutup lampu yang diusapi hujan, udara yang menjadi sejuk, wangi tanah yang khas.

Kamu mulai membuka isi tas, aku selalu mengecemu sebagai dorami yang selalu membawa tas penuh berisi macam-macam. Meski begitu, hehe, aku tertawa duluan, sebab kau tau bahwa kau membawa pesananku: roti isi selai coklat kesukaanku yang kau potong kecil-kecil.

“Sampai di mana tadi obrolan kita?” tanyamu.

Mulutku masih dipenuhi roti.

Apa iyaya, kalo orang pacaran harus selalu mengobrol dan banyak pembahasan? Pertanyaan itu tiba-tiba, terbetik melalui suara yang hanya dapat kudengar. Aku tak mengutarakannya.

“Jadi, setelah kau dengarkan podcast Sapardi Djoko Damono di YouTube?”

“Ah iya, Sapardi bilang, Sastra itu bukan isinya (yang terpenting), sastra itu cara menyampaikannya…isi itu orang menulis sajak cinta itu kan sejak Nabi Adam nulis sajak kepada Hawa itu kan sudah sajak cinta. Cara (menyampaikan) itulah yang berkembang terus, (seperti) cara menyampaikan cinta, cara memarahi orang…cara itulah yang menjadi ciri dari setiap seniman…’ ”

“Mana lebih dulu, apakah Sapardi menciptakan puisi Hujan Bulan Juni atau konsep cerita Sarwono dan Pingkan dalam trilogi novel Hujan Bulan Juni?”

“Bahkan dalam novelnya penamaannya harmonis nan serasi, ujung penamaannya dengan “O”, Katsuo, Sarwono, Solo, Manado, Kyoto, Okinawa…” Aku tak merespon pertanyaanmu.

Apa yang kita baca menjadi sebentuk cara Eyang Sapardi menerangkan Cinta, melalui cerita Sarwono dan Pingkan, Katsuo dan Noriko dalam novel trilogi ini.

 

Orang Jepang mengagumi mekarnya sakura dan juga merayakan gugurnya bunga yang hanya berumur seminggu itu.” Kau mulai membuka-buka catatan pinggir buku yang sudah kau tandai.

“Aku jadi teringat pula hal yang membuatku kagum pada negeri Jepang melalui novel Aleph- Paulo Coelho, kata seorang tokoh bernama Yao bercerita, ‘Waktu tinggal di Jepang, aku mempelajari keindahan hal-hal sederhana. Dan hal paling sederhana sekaligus paling menakjubkan yang kualami adalah minum teh. Aku barusan pergi untuk mengulang pengalaman itu dan untuk menjelaskan bahwa terlepas dari semua konflik kita, semua kesulitan, semua sikap kejam dan juga murah hati, kita masih bisa tetap mencintai hal-hal sederhana dalam hidup. Samurai biasanya meninggalkan pedang-pedang mereka di luar sebelum masuk ke rumah, duduk dalam posisi tegak sempurna, lalu ambil bagian dalam upacara minum teh dengan berbagai tata caranya. Sepanjang upacara itu, mereka bisa melupakan perang dan mengabdikan diri untuk memuja keindahan…’ ”

Buku trilogi Hujan Bulan Juni rasanya tidak saja indah dan menarik menyaksikan percintaan segitiga antara Sarwono, Pingkan dan Katsuo, namun juga perihal untaian kalimat indah yang dialamatkan terhadap kota-kota seperti Solo dan Jakarta.

Ada alasan ke Jakarta sekarang, kata Sarwono kepada dirinya sendiri. Ia rupanya kangen sama Jakarta yang semakin macet, yang semakin senang bikin rame-rame, yang semakin tidak bisa dikendalikan, yang mau tidak mau harus dengan ikhlas diterima sebagai tempat berteduh bagi semua yang mau atau terpaksa tinggal di sana. Jakarta merasa sesak nafas tapi tetap saja siap menerima siapa pun yang sayang atau benci padanya. Baginya sama saja. Kota yang baik hati dan lapang dada itu suka berpikir, lampu neon ternyata yang selama ini menjadi daya tarik laron dari kota dan pulau lain. Jakarta yang bijak itu sesekali merasa agak repot memikirkan bagaimana mengubah para pendatang itu menjadi benar-benar urban. Setelah menjadi wargaku, mereka harus diurbankan…”

Gambaran mengenai Jakarta dalam “Jakarta Itu”,

Jakarta itu debu
Jakarta itu macet
Jakarta itu banjir
Jakarta itu motor
Jakarta itu yel-yel demo buruh
Jakarta itu mal
Jakarta itu pedagang kaki lima yang mati-matian membela kios-kiosnya
Jakarta itu rumah kumuh yang berderet sepanjang rel kereta yang satu demi satu dibongkar polisi tata kota
Jakarta itu berangkat subuh pulang magrib
Jakarta itu pedagang keliling burger yang menyulap Für Elise menjadi ikon oditorinya
Jakarta itu ondel-ondel
Jakarta itu Pak Ogah yang setia menunggu di tikungan jalan
Jakarta itu jerit klakson mobil Jakarta itu angkot tua yang batuk-batuk dan mogok persis di tengah jalan
Jakarta itu petugas pe-elen yang gugup ketika mengusut sekring mana yang ngadat sehingga aliran listrik melupakan tugas sehari-harinya
Jakarta itu wajah-wajah yang mulutnya ditutup masker warna-warni sehingga terhambat ketika mau meneriakkan semboyan “Hidup Jakarta!”
Jakarta itu terhimpit pintu ka-er-el yang menunggu sinyal keberangkatan.
Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas, kata Pingkan kepada dirinya sendiri sambil mengingat-ingat wajah Sarwono ketika melambaikan tangan dari balik dinding kaca ruang keberangkatan. Itu bukan pepatah, itu klise yang bersikeras untuk menjelma kembali ke habitatnya yang purba sebagai larik puisi. Pingkan selalu menarik napas dalam-dalam setiap kali mengucapkan itu diam-diam sambil menambahkan, Jakarta itu kasih sayang.

Percakapan “Masih ingat jalan ke Solo?” (dalam buku ketiga, Yang Fana adalah Waktu) antara Pingkan dan Sarwono benar-benar membuat orgasme pembacanya. Tentang peta menuju Solo, jalan menujunya saling dititipkan di alam bawah sadar keduanya. Tentang jalan lurus di mana jalan tersebut dihiasi dengan berbagai pemandangan agar kekasihnya bisa betah. Serta keinginan untuk tersesat bersama dengan kekasihnya.

 

Raut wajahmu ternyata tak bisa menyembunyikan rasa kagum setelah membaca buku trilogi Hujan Bulan Juni tersebut. Bahasa cinta yang dingin, sekaligus menggebu-gebu, namun tetap disampaikan dengan bahasa yang indah. Di dalamnya juga digambarkan Sarwono sebagai antropolog yang berkelana menyelesaikan proyek penelitian kampusnya di Universitas Indonesia; menguraikan permukiman Kali Code sebagai contoh masyarakat pinggiran, meneliti ke Tobelo untuk meneliti perihal konflik agama, ke Kyoto menyampaikan makalah dan menjelaskan masalah liyan dan diaspora di Indonesia,  hingga memerhatikan wajah calon mertuanya yang berasal dari Sulawesi Utara dengan memerhatikan bentuk wajahnya berdasarkan bangsa Mongol Utara.

Meskipun demikian, dalam perjalanan panjang penelitiannya, justru menarik lantaran pada prosesnya selain percakapan baik langsung, WhatsApp atau bahkan percakapan imajiner para pecinta itu yang saling bertaut, tidak saja dipenuhi di dalamnya bahasa-bahasa cinta yang indah, melainkan banyak nilai di dalamnya,  terdapat di antaranya muatan kritik sosial sebagai peneliti namun sekaligus pula menunjukkan keoptimisannya, dikatakan, “Ia (Sarwono) sadar, hasil laporannya hanya menjadi bukti selesainya pekerjaan oleh si pemberi dana proyek sering tanpa niat untuk membaca dengan cermat apa yang tersirat. Namun, ia yakin suatu saat nanti laporannya akan dibaca oleh seorang atau dua atau tiga orang cerdas yang bisa ‘membaca’-nya sebagai protes terhadap keadaan absurd yang terasa semakin lama semakin memberati masyarakat.

Muatan kritik sosial di dalamnya juga nampak ketika pada suatu waktu Sarwono menjumpai anak sekolahan yang pulang cepat lantaran guru-guru sibuk rapat, juga perihal ‘keseragaman’. Mendengar jawaban si anak sekolahan,

Sarwono tertawa, tukang becak tertawa, anak-anak tampak seperti bingung lalu ikut-ikut tertawa. Seragam tertawa. Dan semuanya berlalu begitu saja seolah tidak ada kejadian apa-apa, seolah-olah tidak ada yang tadi tertawa. Sejak menjadi mahasiswa ia sering berpikir mengapa semuanya harus seragam, mulai dari baju sekolah sampai cara berpikir yang dikendalikan kurikulum yang seragam, yang harus ditafsirkan secara seragam juga. Tadi pun, mereka seragam tertawa seragam. Bangsa ini tampaknya akan menghasilkan anak-anak yang seragam.

Selain itu, kritik sosial juga nampak ketika Sarwono sebal lantaran tiga buah puisinya yang dimuat pada sebuah surat kabar seakan tak dihargai dengan tata letaknya berada di sudut halaman, “kalah meriah dibanding berita politik, kriminal, gambar-gambar yang semakin lama semakin berdesak-desak, dan iklan.

Kamu bercerita pula kisah cinta antara Sarwono dan Pingkan, sementara keduanya berbeda, Sarwono beragama Islam dan Pingkan beragama Katolik,

Begitu keluar dari kota kedua orang muda Jakarta itu menyaksikan adegan yang biasa mereka saksikan di Jakarta: beberapa kelompok orang mencegat mobil untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan Rumah Tuhan. Bedanya adalah, di Jakarta Rumah Tuhan itu mesjid, di Menado tentu saja gereja.”

Pada hari Jumat, “Pingkan melihat jam tangannya, mendadak bilang, ‘Sar, ini kan dah jam setengah 12, Jumat. Pergi sana kamu ke Mesjid Gedhe. Nanti telat lho. Yen kowe telat, dongamu ora bakal ditampa. Naik becak yang tadi dipakai aja, biar cepat.’ … Selama mendengarkan khotbah di Mesjid Gedhe ia (Sarwono) tetap mendengar kata demi kata Pingkan di sela-sela seruan pengkhotbah untuk tidak memanfaatkan agama sebagai alat untuk mencapai apa pun, kecuali untuk mendekatkan diri dengan Allah. Itu perintah Allah, itu perintah Muhammad SAW, itu yang menjadi dasar keyakinannya sebagai orang yang harus menghargai keyakinan orang lain, yang selalu mengingatkannya untuk mengharamkan kata ‘liyan’ dalam cara berpikirnya, Biarlah kata itu tetap ada di kamus, tetapi tidak perlu digunakan untuk mencibir, apa lagi menyiksa orang lain.

Bahkan mengenai nasionalisme Sarwono ketika ditawari untuk tinggal di negeri lain, “Ia (Sarwono) tidak ingin tinggal di mana pun kecuali di negeri yang menyenangkan karena selalu geger ini. Ia masih harus menuntaskan keinginan untuk blusukan dari pulau ke pulau agar bisa menghayati hal-hal pelik yang tidak akan bisa diuraikan, apa lagi ditata, tanpa didasari keikhlasan untuk memahami dan menerimanya.

 

Ketika terdengar suara gitar John Williams memainkan ‘Concierto de Aranjuez’, keduanya sepenuhnya diam mendengarkan, Pingkan mencium rambut Sarwono”,  “…ada Paco de Lucia, Pepe Romero, dan bahkan Joaquin Rodrigo sendiri, tapi bagiku sentuhan jari-jari Williams mewakili siutan angin Firdaus.”, “Tak tahu kenapa, aku ingat lirik lagu Norwegian Wood yang pernah kaubilang kau suka itu, she asked me to stay, and she told me to sit anywhere, so I looked around, and I noticed there wasn’t a chair”, “Ia merindukan Sarwono, yang suka berbagi earphone kalau sedang cari-cari bahan di perpustakaan kampus sambil mendengarkan “The Swan” versi jazz Bob James adaptasi yang dicuplik Le carnaval des animaux karya Camille Saint-Saëns. Ia benar-benar merindukannya.”, Arthur’s Theme  dinyanyikan Rumer, menjadi  playlist Pingkan ketika merindukan Sarwono.

Aku menunjukkan kepadamu ceklis catatan pinggirku. Setiap di mana Pingkan atau Sarwono mengutip sebuah judul lagu, maka aku berhenti  membaca sejenak, mencari lagu tersebut lalu dengarkan. Kupikir aku menyukai lagu-lagu para pecinta yang mabuk asmara. Sepertinya aku sedang menikmati kisah cinta gila ‘Layla Majnun’ tanah air ini.

Kau mengangguk.

Yang kumaksud adalah aku begitu menyenangi  bahasa cinta baik Pingkan atau Sarwono baik yang terucap ataupun tidak oleh keduanya. Tersampaikan atau hanya tergumam sebagaimana para pecinta yang masih menyembunyikan perasaannya terdalam. Seperti Pingkan yang suatu kali menyandarkan tubuhnya lebih rapat ke Sarwono, berbisik kepada dirinya sendiri, “Apa dosa dan salahku maka telah mencintai laki-laki Jawa yang sering zadul mikirnya ini?

Tentang kepekaan Pingkan yang meminta petugas restoran untuk mengecilkan suara musik lantaran memahami ekspresi Sarwono yang terlihat tidak nyaman. Atau Sarwono yang tanpa mengindahkan tata cara naik pesawat terbang, begitu mendarat Sarwono mengirim WhatsApp pada Pingkan, “aku rindu kamu, Ping.” Kecemburuan Sarwono pada Katsuo dengan memanggilnya Sontoloyo. Pingkan yang tak menjawab ucapan Sarwono melainkan merangkul Sarwono dan bertubi-tubi menciuminya di warung kampus. Pingkan yang cemburu kepada Dewi, asisten peneliti Sarwono. Pingkan yang hanya mau dengan Sarwono, “Maunya Sarwono, Pingkan hanya sama dia. Bodoh ya gak apa-apa, pokoknya sama dia saja.”.

Pingkan yang merasa cengeng pernah diam mendadak dan ingin menangis ketika Tante Keke membujuknya untuk meninggalkan Sarwono. Atau dalam rindunya Pingkan bilang, “ ‘Aku kangen, Sar’, disertai selfi yang sudah dikrop sehingga hanya tampak bola matanya yang seperti memantulkan kuntum sakura... Dan semua yang telah dilakukannya di Kyoto, semua kalimat dan gambar yang dikirimnya lewat dunia maya tidak lain adalah ungkapan dan sumpahnya bahwa ia mencintai sahabat kakaknya itu—tanpa walaupun tanpa meskipun.

Pingkan yang selalu memakai jaket ketika keluar malam lantaran ingat anjuran Sarwono. Pingkan yang tak berhenti menulis surat untuk Sarwono sebab ingin kertas berisi tulisan tangannya menjadi tanda kasihnya. “Aku sangat capek tapi harus nulis terus. Sar! Aku Pingkan, Sar, yang waktu masih SMP pernah nitip surat ke Toar dan dia bilang, ‘Kamu gila apa? Kan bisa WA atau e-mail aja ke Sar.’ Ya tapi aku ingin kau memegang kertas yang ada tulisan tanganku aku ingin kau merabanya dan membayangkan apa pun yang ingin kaubayangkan tentangku. Sar!”

Membaca itu malah kubayangkan ‘Pingkan’ Velove Vexia yang tergila-gila pada Adipati ‘Sarwono’ Dolken sebagaimana filmnya. Tak bisa membayangkan yang lain. Ini mungkin kekurangan kenapa aku malah menonton itu terlebih dahulu baru kemudian membaca novelnya.

Meski demikian, sesekali dibuatnya aku cemburu sebagai pembaca ketika Pingkan dan Katsuo waktu di Kyoto. “Pingkan hampir mabok ketika menyusuri sungai yang membelah Kyoto pinggirnya dipenuhi bunga sakura. Masih terasa dingin, dan Katsuo dibiarkannya memeluknya untuk mengusir hawa yang bisa mengurangi nafsu makan itu.” “Dan tampaknya gadis itu (Pingkan) malah merasakan sedikit rasa tenteram sehingga tidak ingin melepas tangannya. Ada yang dirasakannya mengalir lambat-lambat lewat jari-jari Katsuo menyusup ke telapak tangannya, semacam butir-butir halus selembut pasir yang turun lewat gelas waktu yang lehernya sangat sempit dan panjang berkelok-kelok persis spiral yang ujungnya di bawah tidak ketahuan wujudnya.

 

Hujan pada bulan Juni segera berakhir. Sementara langit, tetap menjadi tempat aku dan kamu menengadah, butiran air bak mutiara yang turun berangsur reda. Kau mencuri pandang kepadaku, sementara aku bertanya, “Apa ada yang indah selain dari puisi Hujan Bulan Juni?”

“Banyak!”

Catatan pinggir tersisa pada bukumu kemudian berbicara dalam benak kita berdua. Tubuh kita beranjak normal, lalu kita tuntun sepeda yang sedari tadi terparkir di swalayan di atas genangan air dengan bias cahaya warna dan warni yang menyelimuti tanah.

Bahwa kasih sayang ternyata tidak cabul, ternyata terasa semakin pesat lajunya walau waktu yang selalu tergesa-gesa terasa berhenti, ternyata bukan godaan untuk mendesah dan terengah.

Bahwa kasih sayang ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan senyap sebagai satu-satunya harap yang semakin khusyuk pelukannya kalau senyap yang tanpa aroma tanpa warna tanpa sosok tanpa asesori mendadak terbanting di lantai kemudian melesat terpental ke langit-langit untuk turun perlahan sangat perlahan memeluk dan mem bujuk mereka berdua agar tidak usah mengatakan sepatah kata pun sedesis huruf pun sebab kata cenderung berada di luar kasih sayang

Dan kasih sayang tidak bisa disidik dengan kata sekalipun berupa sabda bahwa ketika berpelukan, mereka merasa seperti dituntun untuk sepenuhnya mempercayai bahwa kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa kertas tanpa aksara tanpa surah dan ayat tanpa parabel tanpa kanon tanpa nubuat tanpa jalan tanpa karma tanpa gerak tanpa siut yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan dan betina yang saling menggosok-gosokkan lehernya di perbukitan ilalang yang menjanjikan tempat bertengger bagi butir-butir embun terakhir kalau cahaya matahari pertama bersinggungan dengan cakrawala.

 

Tiga Sajak Kecil

di jantungku
sayup terdengar
debarmu hening

di langit-langit
tempurung kepalaku
terbit silau
cahayamu

dalam intiku
kau terbenam

 

“Selalu ada yang terjadi tidak untuk bisa dipahami, tampaknya.
Selalu ada saat ketika kita tidak memiliki keberanian untuk bertanya dengan tulus kepada diri sendiri kenapa ini begitu dan kenapa itu begini.
Selalu ada saat ketika kita tidak memiliki kemampuan untuk menatap tajam mata kita sendiri dan bertanya, Kenapa kau menyiasatiku begitu? Pertanyaan retoris yang sejawabannya tak lain, Kenapa kau menatapku tajam begitu?
Selalu ada saat ketika kita tidak sempat bertanya kepada sepasang kaki sendiri kenapa tidak juga mau berhenti sejak mengawali pengembaraan agar kita bisa memandang sekeliling dan bertahan semampu kita untuk tidak melepaskan air mata menjelma sungai tempat berlayar tukang perahu yang mungkin saja bisa memberi tahu kita, Kesana, Saudara, ke sana.”

“Hanya ada kasih sayang yang tidak diatur oleh siapa pun kecuali mereka yang berada di ruang kedap suara

Hanya ada perpisahan yang sejenak menyesakkan tapi yang segera disusul dengan jerit pertemuan kembali yang menjadikan langit mendadak tampak lebih biru dan laut kelihatan lebih cemerlang seperti cermin di bawah langit yang tak selesai-selesainya bersolek.”

 

Sumber Kutipan:

Novel Trilogi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono

Bekas-Bekas Jari Tanganmu, Sapardi Djoko Damono

aldiantara.kata

 

Tumben sekali kau bersemangat membahas buku. Tak ada angin, tak ada hujan. Meski sekarang sudah memasuki bulan Juni. Dadak-dadak kau malah ingin bercerita soal buku Eyang Sapardi Djoko Damono; ‘Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?’ alih-alih buku Hujan Bulan Juni.

Kau malah bilang meski puisi-puisi populer Eyang Sapardi begitu ngena’, tetapi kau bercanda bahwa kau ingin dianggap berwawasan luas dengan membaca buku Eyang Sapardi yang lain, agar tak melulu membahas Sapardi berarti puisi Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin. Iya-iya kau serius?

“Ngga juga, sih. Siapa tahu sepenggalan saat membaca bukunya bisa aku kutip lalu dijadikan status WhatsApp.” Jawabmu.

“Quote a la a la … ”

“Lalu berpikir perihal kesenduan, membacanya pada sebuah kafe dengan kaca berembun, memandangi jendela sembari ditemani secangkir kopi. Tapi pada kenyataannya hasil fotonya nampak biasa saja, faktanya berada di kafe cangkir biasa dengan angel mainstream, ngga ada estetik-estetiknya.” Aku melanjutkan.

Kau merengut. Menyadari aku bercanda tapi benar adanya.

Lalu kau bercerita bahwa kau sedang membereskan almari bukumu yang sudah lama tak kau sentuh sejak sibuk dengan tugas akhir kuliah. Kau bilang yang penting beli dulu saja buku-bukunya, pasti ada waktu untuk nanti dibaca.

Aku jawab, “Iya kalau memang buku-bukunya akan terus utuh. Bulan lalu aku harus membuang beberapa buku yang sudah mendapat invasi rakyat rayap. Tinggal sesal kenapa mereka harus menyerang buku-buku yang belum tamat dibaca.”

Kau melanjutkan cerita, kau bilang, ketika membereskan buku-buku, tiba-tiba buku Eyang Sapardi ini kebetulan menyembul di antara yang lain, dibacalah sebelum dirapikannya kembali. “Eh di awal-awal beliau mengutip quote Robert Frost, ‘And of course there must be something wrong. In wanting to silence any song.’ ” Kau bilang jadi teringat dengan puisi terjemahan Robert Frost yang baru kau baca di rumah sastra www.diantarakata.com berjudul Stopping by Woods on a Snowy Evening.

Kemudian, aku mengajakmu untuk bergegas mencari tempat yang baik untuk berbincang. Selatan Kampus Bayangan terdapat banyak pilihan tempat nongkrong (cari waypay).

Katamu, meskipun kafe-kafe belakang kampus banyak sediakan buku, para pengunjung lebih dulu memastikan password waypay. “Buku-buku terjemahannya tak menarik.” Ucapmu ketus.

Meski percakapan kita terpotong dengan waiter yang mengantarkan pesanan, kau sudah sibuk mencari guratan pensil yang kamu tandai pada lengan buku, pinggirnya. Kau bilang membacanya dengan sedikit kantuk, bak kenangan yang menggelayuti kelopak matamu agar lekas beristirahat.

“Aku menandai rangkaian kata yang relate dengan keadaanku.”

Dengan demikian, pada masa yang akan datang, baris baca yang terlewat saat ini, bisa jadi akan mengena’ di kemudian hari. Piiih! Aku malah sibuk memperhatikan tahi lalat sebelah kiri bibirmu.

Kau mulai membacakan apa yang kau beri tanda, pada judul puisi pertama, “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?

“/2/

Apakah kenangan bisa begitu saja meninggalkan tubuhku?
Ada yang terasa nyeri ketika sesuatu kebetulan kautangkap dalam kenangan, pada suatu pagi yang jeritnya bagai ombak, ketika perempuan itu dulu bertanya padamu tentang segala yang telah kaulalui, tentang bekas-bekas jari tanganmu yang masih bisa terbaca di seluruh tubuhnya. Kau tidak ingat benar apa yang ditanyakannya, apa yang sebenarnya ingin ia dapatkan kembali darimu. Ia toh sudah menjadi daun penanggalan yang tiap bulan kausobek dan kaucampakkan di tempat sampah.”

“Bicara kenangan, apa yang sebenarnya ingin ia dapatkan darimu?” diulanginya.

“Kalau lagi rindu kepada kenangan yang sudah jadi lampau, selalu ada harap mengulangi momen yang pernah, kan?”kau mulai berlagak menafsir.

“Sidang skripsi?” tanyaku.

(aku tak ingin menceritakan kelanjutannya, tapi kemudian dia melemparkan kepadaku sesuatu)

 

Ternyata, aku dan kau sama-sama suka dengan puisi “Rumput”. Banyak orang dalam kehidupannya yang menyimpan sesal dengan apa yang sudah dijalani dan yang jalan yang tak dipilih. Kita bacakan, bergantian.

“Seandainya tidak kuambil jalan ini. Jangan katakan itu. Sebab kau tidak bisa tawar-menawar dengan masa lampau. Dan tak boleh menyebut apa pun yang sudah pernah kaujalani, atau tidak pernah kaujalani, sebagai nanti. Sebagai bayangan dirimu sendiri.”

“Seandainya kulalui jalan yang satu lagi.
Jangan pernah mengucapkan itu sama sekali.
Kalau yang kaupanggil rumput memang harus rumput, ambil saja jalan yang menjulur di depanmu dan lanjutkan saja kehendak (kehendak?) yang telah melemparkanmu kemari. Sekarang ini.”

Jalan tak pernah berdusta
apakah ia harus membujur ke selatan
atau utara, apakah ia harus berkelok
atau lurus saja, apakah ia siap menerimamu
berjalan perlahan menyusurinya.

Jalan tak pernah diberi tahu di mana akhirnya,
tak pernah diajar merencanakan
arah selanjutnya; ia hanya boleh rebah,
begitu saja, dan menjadi sahabatmu.
Kauhayati atau tidak, ia jalan.
Yang menjulur di bawah
matahari. Ia tidak mengatur langkahmu
di kelokan itu. Ia tak lain jalan,
di bawah matahari.

Kelokan tak meributkan rumput, tak peduli apakah rumput memang harus rumput dan tidak boleh dipanggil lain, misalnya burung atau kijang. Yang bebas terbang, yang menggemaskan larinya.

Kelokan akan menerimamu dengan ikhlas, seperti kalau ia menerima hujan kiriman di musim kemarau. Seperti kalau ia menampung bulu bunga randu yang tak lagi dikehendaki angin. Seperti kalau ia menerima saja segala kehendak jalan. Ia, kau tahu, sungguh tulus.

Irisan buah naga menyisakan beberapa potong di piring meja, jamu yang kau pesan dan temulawak yang kupesan menyisakan sisa setengah. Menuju senja, klakson kendaraan mulai terdengar seperti bersahutan. Jam pulang kerja. Aku melanjutkan perbincanganmu denganmu. Suara menjadi samar, sekitar berputar tanpa kami sadari. Sementara puisi-puisi Eyang Sapardi yang telah kau tandai dengan pensil masih terus berbicara dengan sendirinya melalui suara latar.

Pertanyaan adalah hasrat
untuk meloloskan diri dari kelokan tajam,
pertanyaan adalah taruhan bagi kehendak
yang terus-menerus hanya dibayangkan.
Pertanyaan selalu kembali lagi
ke pertanyaan. Yang jawabannya
tersembunyi rapi dalam pertanyaan.

 

Puisi “Perihal Waktu” Eyang Sapardi berbunyi di alam pikiran kita.

Hei, hari apa kamu?
Kita saling menatap, padahal tak ada
siapa pun yang menyampaikan pertanyaan itu.
Kita mungkin memang ditakdirkan
untuk merasa bahagia, duduk di beranda.

Dan ketika mendengar tokek di belakang rumah
kita suka menghitung ya, tidak, ya, tidak,
dan ya –
kita pun merasa lepas dari angka-angka
yang rumit, yang mengaburkan pandangan kita.
Untuk apa kita harus merasa tidak bahagia?
Untuk apa laron melepaskan sayap-sayapnya
hanya untuk mendekati cahaya?
Untuk apa pula anak desa itu
berlayar ke negeri-negeri jauh
hanya untuk dikutuk menjadi batu?

Selembar angin yang melayang
entah dari mana dan tak ingin
jatuh ke bumi – dan udara menjadi biru
seperti langit yang memantulkan warna laut.
Kita mungkin memang diciptakan
agar ada yang pernah
merasa bahagia.

Hidup adalah penyeberangan
yang menggantung
antara rahim dan bumi.

Siapa yang menantiku di seberang?
Sungguh adakah yang menantiku?

Mungkin ada yang sejak lama menungguku
nun di sana, tetapi adakah jarak
antara yang ditunggu dan yang menunggu,
antara berangkat dan pergi,
antara tanah yang kita kenal
dan yang kita bayangkan pernah ada?
Kali ini aku sendiri, tidak mendengar suaramu
Kita mau ke mana?

Benar, kau pernah bilang tak perlu
membedakan pergi atau pulang,
mengosongkan atau mengisi teka-teki silang.
Stasiun bukan Pohon, bukan Bukit, bukan Gua –
stasiun adalah tempat orang gelisah
karena menunggu kereta, bukan Sabda.
Beberapa patah kata
di papan-papan itu hanya menunjukkan arah,
suara peluit sekedar isyarat –
selebihnya kitalah
yang berurusan dengan makna.

Apakah aku harus
memberimu selamat tinggal
hanya karena di stasiun?

 

Perbincangan kita kembali kepada buku puisi Eyang Sapardi, ‘Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?’ Aku sebetulnya iri ingin menjadi kursi yang kau sandari, sepertinya kau sudah mulai bosan. Aku sampai mengguratkan angka romawi menghitung berapa kali kau menguap. Dari dua puluh empat ayat puisi “Surah Penghujan”, menjadi sesi perbincangan yang terakhir, aku menyukai ayat dua belas, sementara kau menyukai ayat dua puluh.

penghujan mencari ujung akar dan melesat ke daun-daun
yang mengganggu pandanganmu
dan ia terus mencari ujung akar
Aku menyaksikannya menaklukkan urat pohon itu dan
menggoyang-goyangnya dan menekuknya dan merubuhkannya
dan sesudah itu menatapmu dengan penuh kasih sayang
dan katanya kenapa kau masih saja merindukannya? dan Aku
menyaksikannya menyerbu ke dalam kenanganmu yang terletak
jauh di lereng kemarau
*
dan Aku menyaksikanmu memegang dada kirimu.

 

Kau bilang sangat suka dengan amsal kemarau yang mampu mengeringkan bekas-bekas luka.

Kau hanya mencintai kemarau sebagai kemarau kau membayangkan kemarau bisa mengeringkan bekas luka-luka dan kau tidak mencintai penghujan hanya karena suka menjelma tanah hanya karena kau tak menginginkannya mengaburkan pandanganmu.

 

Sudah saatnya pulang.  Kau masih sempat menilik-nilik tanda pada buku, memastikan tak ada yang terlewat. Larut dalam waktu, menyisakan tempat yang mulai menyepi. Kau bilang bahwa kau akan membaca buku Hujan Bulan Juni. Meskipun kau sudah terlebih dahulu menonton Adipati Dolken dan Velove Vexia sebagai Sarwono dan Pingkan. Aku katakan kepadamu bahwa aku kini memiliki ketakutan dalam mengumbar rencana. Biasanya malah tak jadi dilakukan. Kau tak percaya mitos itu, ya?

Di atas motor matic sepulang kita, sama-sama membacakan “Sajak Tafsir

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja – aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.

dalam hati, tanpa menjaharkannya. Berhasrat. Membacakannya dalam kesunyian namun saling mengalamatkan kepada alamat yang jelas. Tolong, waktu! simpan kenangan ini pada sebuah tabung, agar bisa kutamui, sekali lagi, nanti.

 

Sumber Kutipan Puisi:

Sapardi Djoko Damono, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017)

Ah, Apakah Kau Menggali Kuburku?

Oleh: Thomas Hardy

Judul Asli: “Ah, Are You Digging on My Grave?
Diterjemahkan oleh Ratu El Sarah

Terjemah Bebas (tanpa rima dan irama)

 

“Ah, apakah kau sedang menggali kuburku, sayangku? – menanamkan duka?”
— “Tidak: kemarin ia menikah lagi dengan wanita kaya,
‘tak akan menyakitinya kini ia mati,’ katanya,
“Aku harusnya berbohong padamu tentang pernikahannya.”

“Lalu, siapakah yang sedang menggali kuburku, kerabat terdekatku mungkinkah?”
— “Ah, bukan: mereka hanya terduduk dan berfikir, ‘Apa gunanya menanam bunga
Tak akan pula menyelamatkannya dari jeratan maut.”

“Tapi seseorang menggali kuburku? Apakah musuhku? — datang dengan licik karna aku sudah mati?”
— “Tidak: ketika ia mendengar berita kematianmu yang akan segera masuk kubur,
Ia pikir kau tak lagi bernilai akan kebenciannya,
Tak pedulipun ia dimana engkau terbaring.

“Lalu, siapa yang menggali kuburku? Katakan — karna aku tak bisa menebak!”
— “O ini aku, majikanku sayang,
Anjing kecilmu, aku tinggal dekat,
Dan aku harap aku tak mengganggu kau dalam peristirahatanmu?”

“Ah, ya! Kau yang menggali kuburku….
Mengapa tak terpikir olehku
Bahwa cinta sejati yang kutinggal adalah kau!
Perasaan mana lagi yang pernah kita jumpa
Diantara manusia yang dapat membandingi
Kesetiaan seekor anjing!”

“Majikanku, sesungguhnya aku menggali kuburmu
Untuk menyembunyikan seonggok tulang,
Kali saja aku merasa lapar ketika melalui area ini.
Maafkan aku, namun akupun sebenarnya lupa
Bahwa disinilah tempatmu beristirahat.”— 1914

***

Rhythm: ABCCCB (for each stanza)

 

“Ah, are you digging on my grave,
My loved one? — planting rue?”
— “No: yesterday he went to wed
One of the brightest wealth has bred.
‘It cannot hurt her now,’ he said,
‘That I should not be true.’”

“Then who is digging on my grave,
My nearest dearest kin?”
— “Ah, no: they sit and think, ‘What use!
What good will planting flowers produce?
No tendance of her mound can loose
Her spirit from Death’s gin’”

“But someone digs upon my grave?
My enemy? — prodding sly?”
— “Nay: when she heard you had passed the Gate
That shuts on all flesh soon or late,
She thought you no more worth her hate,
And cares not where you lie.

“Then, who is digging on my grave?
Say — since I have not guessed!”
— “O it is I, my mistress dear,
Your little dog , who still lives near,
And much I hope my movements here
Have not disturbed your rest?”

“Ah yes! You dig upon my grave…
Why flashed it not to me
That one true heart was left behind!
What feeling do we ever find
To equal among human kind
A dog’s fidelity!”

“Mistress, I dug upon your grave
To bury a bone, in case
I should be hungry near this spot
When passing on my daily trot.
I am sorry, but I quite forgot
It was your resting place.”— 1914

Haruskahku Bandingkan Kau dengan Musim Panas?

Oleh: William Shakespeare

Judul Asli: “Shall I compare thee to a summer’s day?
Diterjemahkan oleh Ratu El Sarah

Rhyme Scheme: ABAB CDCD EFEF GG

 

Haruskahku bandingkan kau dengan musim panas?
Engkau lebih indah dan lebih hangat:
Angin kencang yang mengguncang kuncup Bulan Mei
Dan musim panas berlalu begitu cepat:
Terkadang matahari musim panas begitu terik dan buat nanar,
Terkadang juga ia bersembunyi di balik langit yang berawan;
Dan segala sesuatu yang indah akan lekang dan memudar,
Tak sengaja maupun kehendak Tuhan.
Tapi kau, adalah musim panas yang abadi,
Keindahanmu takkan pudar adanya;
Kematian sekalipun takkan menghakimi,
Karena dalam bait ini kau kan hidup selamanya:
Selama manusia masih bernafas dan mata masih melihat,
Selama itu pula kau kan abadi dalam bait yang tergurat.

***

Shall I compare thee to a summer’s day?
Thou art more lovely and more temperate:
Rough winds do shake the darling buds of May,
And summer’s lease hath all too short a date;
Sometime too hot the eye of heaven shines,
And often is his gold complexion dimm’d;
And every fair from fair sometime declines,
By chance or nature’s changing course untrimm’d;
But thy eternal summer shall not fade,
Nor lose possession of that fair thou ow’st;
Nor shall death brag thou wander’st in his shade,
When in eternal lines to time thou grow’st:
So long as men can breathe or eyes can see,
So long lives this, and this gives life to thee.

Sebuah Rasa yang Hambar

Oleh: Wallace Stevens

Judul Asli: The Plain Sense of Things
Diterjemahkan oleh Ratu El Sarah

Tanpa Rima

 

Setelah daun-daun berjatuhan, kita berpulang
Pada sebuah rasa yang hambar. Seakan
Kita telah tiba pada akhir dari khayalan,
Mati dalam ketiadaan.

Sulit bahkan untuk sekedar memilih kata
Untuk menjelaskan kehampaan yang dingin ini, kesedihan tanpa sebab ini.
Bangunan yang megah itu kini menjadi rumah kecil.
Tanpa orang-orang bertuban yang berjalan di atas lantai landai.

Tak pernah rumah kaca itu butuh untuk dicat.
Tungku perapiannya sudah 50 tahun kini condong ke satu sisi
Usaha yang hebat telah gagal, sebuah pengulangan.
Pengulangan akan manusia dan lalat.

Tetapi hilangnya khayalan sudah juga sebelumnya
Terkhayalkan. Kolam yang luas,
Kehampaan yang ia pancarkan, tanpa bayangan, tanpa dedaunan, tanpa lumpur, tanpa air yang seperti cermin kotor, meneriakkan keheningan.

Sebanding, dengan kesunyian seekor tikus yang keluar untuk melihat,
Kolam luas itu dengan bunga-bunga lili yang sia sia, semuanya
Harus dikhayalkan sebagai pengetahuan yang tak terelakkan,
Mesti terjadi, sebagaimana mestinya terjadi.

***

After the leaves have fallen, we return
To a plain sense of things. It is as if
We had come to an end of the imagination,
Inanimate in an inert savoir.

It is difficult even to choose the adjective
For this blank cold, this sadness without cause.
The great structure has become a minor house.
No turban walks across the lessened floors.

The greenhouse never so badly needed paint.
The chimney is fifty years old and slants to one side.
A fantastic effort has failed, a repetition
In a repetitiousness of men and flies.

Yet the absence of the imagination had
Itself to be imagined. The great pond,
The plain sense of it, without reflections, leaves,
Mud, water like dirty glass, expressing silence

Of a sort, silence of a rat come out to see,
The great pond and its waste of the lilies, all this
Had to be imagined as an inevitable knowledge,
Required, as a necessity requires.

Romance de Amour

aldiantara.kata

 

Kapan, sebuah masa, musisi jalanan menjadi bak orang suci. Ia datang banyak diminta, namun ia datang kunjungi tempat yang ia kehendaki.

Dalam hati orang-orang banyak bergumam, “beruntung sekali rumah itu disinggahi.”Setelahnya mendendangkan lagu dari bait-bait syair kontemplasi di taman kota, musisi jalanan berkeliling sekehendak mereka.

Memasuki bis malam yang akan melintasi batas provinsi, penjaja makanan memasuki bis dengan nada pelan, sementara orang menumpang tak sampai bangun diteriaki. Musisi jalanan mulai naik memberi berkat, memetik gitar mainkan romance de amour. Apa yang menjadi berat adalah mengingat. Seperti kembali tersengat. Musisi jalanan yang bak pemandu ziarah reka adegan memori lama lalui bayang.

Banyak orang-orang berziarah kepada tempat perginya bis yang mengantar orang ke tempat yang jauh. Apa sebab para penumpang selalu datang hampir terlambat, selain sebab meninggalkan sesuatu adalah negosisasi waktu yang dipaksa untuk berjalan lamban.

Ada yang sengaja datang ke tempat titik kepergian bis kota, hanya untuk mendengar musisi yang menyetel alat musiknya, sesekali sebagian dalam lamunan kala memainkan nocturne, Chopin. Ada orang yang mulai jarinya menari menulis draft tulisan pada gawai, untuk dirinya sendiri.

Di taman kota dua musisi jalan yang nampak asing, suatu sore. Orang menyangka mereka berdua sebagai Pat Metheny dan Charlie Haden ketika mengalunkan cinema paradiso. Menggubah angin dan langit sore sebagai wahana bermain bagi ingatan yang t’lah lama mengendap. Tatapan manusia mendengar penuh cinta berpadu kasih sayang.

“Jangan dulu berhenti” pekik suara-suara sunyi. Khalayak sedang menerjemahkan kepada bahasa-bahasa bisu yang tak satu pun punya tafsir sama terhadap kenangan.

“Apakabarmu, aku tak sedang berbasa-basi.”

“Ambilah kursimu pada ingatanku, sudah lama kau terduduk membaca buku, tanpa mau dikau daku sapa.”

“Sudah lama aku mengatakan kerinduan, yang kutitipkan kepada lembayung senja.”

“Aku tak paham dengan bahasa tangismu di bis itu.”

“Cara marahku adalah isyarat kebetulan yang membuat kita tak saling bersinggung takdir. Memang sudah semestinya, begitu, begitu. Sudah setakdirnya aku harus marah, karena itu takdirnya, sebab itu takdir kita. Aku harus marah, agar Kuasa-Nya menyerahkanmu kepada kekasihmu, sepantasnya.”

Singgah di Hutan Kala Senja Bersalju

Oleh: Robert Frost

Judul Asli: “Stopping by Woods on a Snowy Evening
Diterjemahkan oleh Ratu El Sarah

Rhyme schemeAABA BBCB CCDC DDDD

 

Hutan milik siapa ini, kurasa aku tahu.
Rumahnya berada di desa yang jauh itu;
Tak akan ia lihat aku singgah disini
Menyaksikan hutannya perlahan berselimut salju.

Kuda kecilku pasti terheran
Karena aku berhenti bukan di perkampungan
Diantara hutan dan danau membeku
Dalam senja paling redup sepanjang tahun.

Kudaku menggoyangkan loncengnya
Adakah yang salah maksudnya bertanya.
Suara lain yang terdengar hanyalah sapuan
Akan semilir angin dan serpihan salju di udara.

Hutan ini indah, luas, dan gelap.
Namun ku punya janji yang jangan tersilap.
Juga perjalanan panjang sebelum ku terlelap,
Juga perjalanan panjang sebelum ku terlelap.

***

Rhyme schemeAABA BBCB CCDC DDDD

 

Whose woods these are I think I know.
His house is in the village though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.

My little horse must think it queer
To stop without a farmhouse near
Between the woods and frozen lake
The darkest evening of the year.

He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound’s the sweep
Of easy wind and downy flake.

The woods are lovely, dark and deep.
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep.

Rutinitas

aldiantara.kata

 

Kata-kata memang ajaib. Suatu kali aku membaca buku Aleph – Paulo Coelho. Hingga aku sampai dalam buku itu disebutkan,

“Kenapa selama berbulan-bulan ini aku mengeluh soal kehilangan kontak dengan Energi Ilahi? Omong kosong apa itu! Kita selalu terhubung dengan Energi Ilahi; rutinitaslah yang membuat kita tidak merasakannya.”

Ada banyak yang bisa dijelaskan dari kata-kata tersebut, yang terbaik memang membaca dari awal hingga seorang menemukan muasal ungkapan tersebut. Namun, ada banyak momen di mana suatu bacaan pada konteks tertentu, mengalihkan pembacanya kepada konteks lain.

“Rutinitaslah yang membuat kita tidak merasakannya.”

Saat suatu perenungan memberi dialog mengenai ketidakadilan hidup, kebengisan, kekejaman, hal-hal tak diduga membuat seseorang berubah.

Hingga,

Suatu kali pula, perjalanan sederhana yang pernah kulakukan membawa inderaku melihat banyak kebaikan-kebaikan yang dilakukan manusia. Enggan untuk pamrih. I’tikad yang tak terdokumentasikan.

Pada malam hari, masih ada yang melarisi sapu pedagang yang bersandar duduk di dinding kampus putih. Masih ada pada siang terik seorang wanita berjilbab besar mengendarai sepeda motor membagikan nasi kotak kepada seorang Bapak pendorong gerobak loak.

“Rutinitaslah yang membuat kita tidak merasakannya.”

Bukankah selalu ada perspektif yang meruntuhkan, membantah, mengimbangi, menawarkan sesuatu yang sudah kadung pekat.

Beberapa kali tatapanku menemukan seorang ibu yang tabah di bawah hujan, berompi oranye, merapikan kendaraan-kendaraan terparkir persimpangan kota. Aku hanya bertanya perihal indera mataku ini. Dari mana muasal kasih-sayang? Bermula tatapan, bukan kasihan. Bagaimana mata kita beradu memandang hidup?

Aku tidak sedang mengatakan bacaan-bacaan membawa pembacanya kepada realitanya yang sesuai. Namun aku juga tidak menampik, realita yang mendahuluiku kusaksikan, mengamini bacaan yang kubaca kemudian, tentang ‘rutinitas yang membuat kita tidak merasakannya’, romansa hidup, yang banyak orang sebut kemanusiaan, terjadi di sekitar kita, melalui mata kesadaran.

Kalau rompi oranye merupakan simbol seorang kriminil, maka sebagian manusia barangkali merupakan tahanan rutinitasnya yang sempit.

Untuk menutup tulisan ini, aku hendak mengutip bacaanku dari novel Aleph – Paulo Coelho, mengenai rutinitas. Melalui bacaan tentu seseorang mendapatkan perspektif yang segar.

Rutinitas tidak ada hubungannya dengan pengulangan. Untuk menjadi sangat ahli dalam bidang apa pun, kau harus berlatih dan mengulang, berlatih dan mengulang, sampai teknik tersebut menjadi intuitif. Aku mempelajari hal ini saat aku masih kecil, di kota kecil di tengah Brazil tempat keluargaku biasa menghabiskan liburan musim panas. Aku terpesona dengan pekerjaan pandai besi yang tinggal dekat situ. Aku biasanya akan duduk berjam-jam lamanya, melihat ayunan palunya naik-turun menghantam baja merah panas itu, menebarkan percikan api ke sekeliling, seperti kembang api. Ia pernah berkata, “Kau mungkin beranggapan aku melakukan hal yang sama berulang-ulang, ya?”

“Ya,” kataku.

“Well, kau salah. Setiap kali aku menghantamkan palu, intensitas pukulannya berbeda; kadang lebih keras, kadang lebih pelan. Namun aku baru mengetahui hal itu setelah aku mengulang-ulang gerakan yang sama selama bertahun-tahun, sampai tiba momen saat aku tidak perlu berpikir lagi—aku hanya membiarkan tanganku yang bekerja.”

Hidup berarti mengalami berbagai hal, bukan hanya duduk-duduk dan memikirkan makna hidup. Tentu saja, tidak semua orang perlu menyeberangi Asia atau mengikuti Jalan ke Santiago. Aku kenal seorang kepala biara di Austria yang jarang sekali meninggalkan biaranya di Melk, namun ia memahami dunia jauh lebih baik daripada kebanyakan pengelana yang ku jumpai. Aku punya teman yang mendapatkan wahyu-wahyu spiritual luar biasa hanya dengan mengamati anak-anaknya tidur. Saat istriku mulai mengerjakan lukisan baru, ia menjadi seperti kesurupan dan berbicara pada malaikat penjaganya.