Oleh: Atropal Asparina
Untuk menjelaskan Iman, Islam dan Ihsan secara analogis (permisalan) saya sangat suka menggunakan teori bangunan. Begini bunyinya: Iman jika diibaratkan bagian dari bangunan (rumah, masjid, gedung, atau apapun) adalah ibarat fondasi. Sedangkan Islam ibarat bangunan di atas fondasi: ada dinding, pintu, jendela, sampai atap bangunan.
Sifat dari fondasi bangunan berada di bawah tanah. Kita tidak akan bisa melihat apakah fondasinya kuat atau keropos. Bentuknya bagaimana dan sebesar apa fondasi itu, tidak bisa ditakar oleh orang lain. Tidak bisa pula fondasi itu dituduh tidak ada ketika bangunan di atasnya terlihat runtuh—misalnya. Demikianlah Iman atau keimanan. Letaknya di dalam hati dan tidak bisa dihakimi sebagai lemah atau bahkan dituduh tidak ada oleh siapapun.
Selama seseorang mengaku beragama atau—sebutlah—mengaku Islam, kita harus mengakui keimanan orang tersebut. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana jika orang tersebut secara moral sangat buruk, seperti korupsi, selingkuh, curanmor, dan melakukan perilaku buruk lainnya, apakah masih harus diakui sebagai beriman? Jawabannya, “Ya!” Orang itu tetap harus diakui sebagai orang beriman, apapun kondisinya, selama dia mengaku beragama (misalnya mengaku Islam). Mengapa demikian? Sebab bukan tugas manusia menentukan apakah orang tersebut imannya sah atau tidak, benar atau tidak. Semua itu adalah tugas Yang Maha Bijaksana di atas sana. Lantas pertanyaan susulannya, jika begitu adakah tugas lain manusia untuk memperbaiki kualitas keimanan dirinya dan orang lain?
Islam lain lagi, sebab Islam ibarat bangunan yang berdiri di atas fondasi. Jika fondasi tidak bisa dinilai orang lain (karena berada di bawah tanah) maka Islam bisa dengan mudah dinilai oleh orang lain, seperti halnya dinding bangunan, jendela, pintu sampai atap. Kita bisa dengan mudah berkomentar tentang “keislaman” seseorang.
Islam sebagai agama yang dianut—baik disadari atau tidak—secara otomatis memberi identitas (pengenal bagi orang lain) bagi si pemeluk (Muslim). Identitas keislaman seorang Muslim bisa berbentuk sangat materiil dan bisa berbentuk non-materiil (karakter/akhlak). Masalahnya, jika identitas keislaman itu “hanya” berupa materiil saja, seperti model pakaian, gaya rambut, gaya bicara, tanpa sedikit pun mengadopsi identitas karakter-moral Islam, maka Islam sebagai agama petunjuk keselamatan dunia-akhirat tidak diterima atau tersampaikan dengan baik. Artinya, banyak halangan atau gangguan yang menyebabkan ajaran Islam diterima secara semangat di satu sisi (seperti tampilan atau gaya) dan diabaikan di sisi lainnya (seperti akhlak Islami). Mengapa bisa terjadi fenomena demikian? Apa yang harus diupayakan? Apakah fenomena itu baik atau tidak? Itulah Islam, bisa dinilai, dianalisis bahkan dikritisi, seperti halnya sebuah bangunan.
Sebiadab bagaimana pun seseorang, selama dia mengaku beragama (Islam) dan pernah meski setahun sekali mengerjakan shalat (Hari Raya), atau bahkan pernah hanya sekali shalat (saat diajari waktu kecil), maka dia tetap harus diakui sebagai Muslim. Kita sebagai sesama Muslim harus memperlakukannya sebagai seudara se-Islam. Artinya, jika dia sakit maka dijenguk, didoakan. Jika dia meninggal maka dikafani, dishalati, dan dikebumikan sesuai tata aturan Islam. Itulah Islam, menjadikan siapapun yang memiliki identitas Muslim (baik materiil atau non-materiil atau keduanya) atau yang mengaku Muslim atau diketahui sebagai Muslim meski hanya dari KTP-nya saja, harus diperlakukan secara Islam oleh sesamanya.
Ihsan
Secara bahasa kata Ihsaan berasal dari kataأحسن) ) ah-sa-na [jika mengikuti wazan fi‘il tsulatsi mujarrad], yang mempunyai arti “berbuat baik, melakukan dengan baik, melampaui atau mengetahui dengan baik”. Adapun kata Ihsaan bisa juga berasal dari kata حسن) ) ha-su-na [jika mengikuti wazan tsulatsi majid], yang berarti “baik atau bagus”.
Pertanyaanya sekarang, lantas ketika Ihsan menjadi salah satu rukun agama, dengan megikuti makna bahasanya, seberapa penting terma Ihsan sesungguhnya? Jawaban singkatnya mari kita lanjutkan analogi bangunan di atas.
Jika Iman adalah fondasi dan Islam adalah bangunan di atas fondasi, maka apakah gerangan Ihsan? Dari sinilah posisi penting Ihsan dalam beragama terlihat jelas. Ihsan merupakan upaya membaguskan keimanan dan keislaman. Apakah anda yakin akan menempati bangunan yang dinding batanya belum diplester dan dicat? Terus mengapa setiap pintu rumah atau jendela selalu dibuat sebagus (se-Ihsan) mungkin disertai hiasan ukiran sedemikian rupa. Bahkan pegangan pintu juga mencari yang paling enak dipandang. Keramik untuk lantai dipilih yang paling mengkilat. Itulah Ihsan, membaguskan—meski tanpa diperintah atau diancam—Iman dan Islam.
Kembali pada kasus orang yang asal mengaku beragama dan Islam KTP di atas. Asal mengaku beragama/beriman adalah lebih baik ketimbang kafir. Begitupun seseorang yang mengaku Islam lebih baik ketimbang kafir atau memusuhi Islam sehingga bertindak mengerikan. Dalam konteks kajian Iman dan Islam, hal-hal itu sudah cukup dan sah (“asal” Iman dan Islam). Tapi pertanyaanya adalah, apakah keimanan dan keislaman orang tersebut sudah Ihsan? Termasuk kita semua, apakah keimanan dan keislaman kita sudah Ihsan? Sudah dibuat sebagus-sesempurna mungkin meski tanpa terbebani perintah atau ancaman? Seperti yang selalu dilakukan pada bagunan rumah atau pakaian kita—misalnya?
Seorang yang Iman dan Islam-nya sudah Ihsan, pasti selalu akan berbuat sebaik mungkin dalam segala hal. Shalat yang sejatinya hanya diwajibkan lima waktu sehari semalam, akan selalu ditambah dengan shalat rawatib, meskipun tidak melakukan rawatib-pun tidak ada ancaman siksa. Membayarkan zakat fitrah sebanyak 2,5 kg beras, bagi si Ihsan belumlah dikatakan terbaik, sebab ukuran itu adalah batas minimal kewajiban. Si Ihsan dengan sadar-tulus akan senantiasa melampaui batas minimal itu demi kebaikan yang lebih dan lebih besar baik bagi dirinya dan yang lain, begitu seterusnya.
Demikianlah, sebagaimana yang selalu Nabi Muhammad saw. lakukan. Setiap aktivitas dibuat sebaik mungkin tanpa terbebani oleh perintah atau ancaman. Sebab itu, Ihsan melampaui konsep benar-salah, adil-zalim, wajib-haram. Ketika melakukan sesuatu, si Ihsan bukan tak memerhatikan benar-salah, tapi sudah tak “terbebani” oleh diperintahnya benar dan dilarangnya salah. Ia begitu menikmati melakukan sesuatu itu, sampai hal terkecil sekalipun.
Dari sini sangatlah masuk akal, jika kemudian berdasar hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, secara istilah Ihsan adalah “begitu dekat dan selalu menyadari kehadiran Tuhan”. Redaksinya: an ta’buda Allah ka annaka tarahu fa in lam takun tarahu fa innahu yaraka (Engkau beribadah [beraktivitas kebaikan di dunia] seolah selalu melihat Allah, dan jika engkau tak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah melihatmu). Bukankah Tuhan adalah Dzat Yang Maha Segalanya, bukankah selalu dekat-diperhatikan oleh-Nya adalah kenikmatan yang tak terkira? Bukankah bekerja dengan tulus-ikhlas-semangat sambil “ditemani” yang Maha Segalanya adalah dahsyat? Tapi sayangnya, kebanyakan kita memang masih berada dalam maqam goblok.