Aku bahkan percaya bahwa di antara seni mencintai kekasih adalah medium pertengkaran. Mencintai dan menjalani hidup tanpa pertengkaran bersama kekasih adalah kemapanan ekonomi. Rasa lapar dapat sirna dengan mengabulkan semua keinginan.
Aku ingat kala kau marah. Sendu menahan tangis. Kita yang sesungguhnya sibuk memikirkan takdir kita sendiri. Namun aku salut bahwa kita mampu menjalani hidup dengan berani.
Kau yang sering marah tanpa menyapa. Aku pun demikian. Hingga rindu bersamaan menuntun kedua tangan kita pada suatu pertemuan yang canggung. Marahku tetiba duduk pada angka 0 melihat senyum. Senyummu mengembang tanpa rencana. Tatapanmu datang tanpa bimbingan wahyu. Sayangmu bahkan tiba tanpa takdir dan ramalan. Cintaku tumbuh sungguh tanpa pupuk dan siraman air. Rasa sayang padamu hadir tanpa restu diri.
Kau sesungguhnya mudah marah. Benci untuk menunjukkan rasa sayang berperantara kata. Tidak jarang kita bertengkar. Kau katakan bumi, aku katakan langit. Semakin dalam tatapan hingga tak sadar berada dalam dasar atmamu, aku justru semakin sadar kita begitu berbeda. Sempat terjebak kala memandang bola matamu berwarna cokelat. Aku terperdaya bahwa jalan takdir kita akan sejalan.
Bahkan bila garis hidup kita tak sejalan. Dalam relung aku bersyukur bahwa di antara hebat tengkar kita, terlalu akbar rindu yang memegang amarah. Umpatan kasar yang hanya melahirkan air mata sesal. Serta perpisahan yang menguatkan rindu.
Menyukai ini:
Suka Memuat...