aldiantara.kata
Membaca Ramadhan K.H. melalui Priangan Si Jelita: Kumpulan Sajak 1956. Pustaka Jaya, 2006.
Baru saja daku diantarkan pada pembuka, Ajip Rosidi menuntunku kepada bahasa yang buatku rindu kampung halaman, yang juga sedang merantau.
Ajip Rosidi katakan, “Perpisahan sementara dengan tanah kelahiran, akan memberikan kesempatan buat suatu pertemuan kembali yang lebih mesra. Karena perpisahan akan menyadarkan seseorang pada kehadiran sesuatu yang selama ini dilupakan. Karena perpisahan sering menyebabkan kita sadar akan arti sesuatu yang selama ini tak pernah kita pedulikan kehadirannya di sisi kita. Sering kita baru sadar akan arti sesuatu kalau sesuatu itu sudah tak ada lagi di samping kita.”
Aku menemukan Ramadhan K.H. yang bercerita dalam sajak Tanah Kelahiran IV,
Berbelit membiru jalan
ke Gede dan Pangrango
lewat musim pengujan
Gadis-gadis menyongsong pagi
di pucuk-pucuk teh yang menggeliat
di katil orang lain menanti
Berbelit membiru jalan
ke Gede dan Pangrango
lewat angin dari selatan.
Ceritanya masih mengalir, sajak Tanah Kelahiran V,
Hijau tanahku,
hijau Tago
dijaga gunung-gunung berombak
Dan perawan sendirian
disamun ditujuh jalan
dikira orang menyanyi,
tangiskan lagu kinanti,
Dalam cerita Ajip Rosidi dalam pengantarnya, sajak-sajak Priangan Si Jelita disusun setelah perjalanan Ramadhan K.H. ke Eropa pada tahun 1952. Selama dua tahun berada di luar negeri itulah menjadi benih kerinduan Ramadhan K.H. terhadap tanah kelahirannya bersemai.
Ramadhan K.H. “mengagumi, dan mencintai keindahan alam Priangan yang hijau, lembah-lembah yang subur. Namun, kekaguman dan cinta itu tidak begitu dia sadari artinya, sebelum dia berangkat ke luar negeri.” Cerita Ajip Rosidi.
Setelah menunggu cukup lama, Ramadhan K.H. tampil juga di atas podium, bersikap tenang seolah tak kenal gugup, mencari nafas awal ‘tuk bacakan beberapa sajak. Beliau tahu bahwa kini bukan lagi tahun 1958, apakah bila kini bumi Priangan menampakkan diri, kehijauannya dirawat dengan pembangunan. Apakah sudi beliau merubah diksi?
Ramadhan K.H. mulai membacakan sajak-sajaknya.
Sajak Dendang Sayang III
Bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas tali-tali kayu berlubang.
Sumur segala derita,
bersamaan semua berpelukan.
Bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas hati-hati dara berluka.
Sumur segala sayatan,
penampung tangis bertukaran.
Sajak Dendang Sayang IV
Kamboja putih di senja hari,
Rama-rama hitam jatuh di pangkuan janda muda.
Kemerahan di ufuk barat,
Membawa menyusur dari pantai ke pantai.
“Tengok dataran tanah priangan,Gadis manis”.
Ayah dipaku di lima tempat,
Bunda berlari dari tepi ke tepi,
Tiada menemu teratak lengang.
“Tengok dataran tanah priangan,Gadis manis”.
Dan si dara tiada bisa berkata,
Pacar gugur tiada menemu kuburannya.
Dan si dara hanya bisa meraba,
Membelitkan kalung kenangannya.
Pembakaran II
Kalung melati kemenangan
dibelitkan di leher jenjang,
tapi cuma bulan yang merayu,
kemarin dan hari ini tetap gerah merebah.
Dan tenggelamnya matahari
hanya malam menyepi,
kurban dinantu menyendiri
untuk di hari pagi.
Patahnya malam,
hanya berarti pengungsian
ditusuk di bagian yang paling lunak.
Dara!
Kalau mau ganti cerita,
Jangan menanti turunnya hujan!
Dara!
Kalau mau ganti warna,
mesti ada pembakaran!
Pembakaran IV
Siapa cinta anak,
jangan jual
tanah sejengkal
Siapa cinta tanah air,
jangan lupakan
bunda meninggal.
Siapa ingat hari esok,
mesti sekarang
mulai menerjang.