aldiantara.kata
“Kenangan adalah fosil—tidak akan bisa menjadi abu”
“Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar saputangan yang telah ditenunnya sendiri.
Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.
Bagaimana mungkin.”
“Siapa pula yang bisa menjamin bahwa ada yang pasti, bahwa ada yang selesai, bahwa ada yang tuntas dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki?” (Pingkan)
Sudah setengah jam berlalu semenjak aku dan kamu berteduh di depan swalayan, akhir-akhir ini cuaca sewaktu-waktu bisa berubah dengan segera. Pagi ini saja aku seharusnya sudah berada di kampus lantaran harus mewawancarai seorang dosen untuk sebuah penelitian sosial. Hujan membuat gerakan kita spontan menepi.
Tidak bisa bahkan jika harus memaksa mengayuh sepeda dalam keadaan cuaca seperti ini. Sepeda kita berdua disandarkan pada pada tempat yang lengang. Tanpa kunci, tanpa titip. Lalu kita berubah menjadi liliput lalu hinggap pada lampu kota yang tetap menyala. Suasana pagi nampak seperti sore. Lebih gelap. Pada tempat yang lebih nyaman, kaca penutup lampu yang diusapi hujan, udara yang menjadi sejuk, wangi tanah yang khas.
Kamu mulai membuka isi tas, aku selalu mengecemu sebagai dorami yang selalu membawa tas penuh berisi macam-macam. Meski begitu, hehe, aku tertawa duluan, sebab kau tau bahwa kau membawa pesananku: roti isi selai coklat kesukaanku yang kau potong kecil-kecil.
“Sampai di mana tadi obrolan kita?” tanyamu.
Mulutku masih dipenuhi roti.
Apa iyaya, kalo orang pacaran harus selalu mengobrol dan banyak pembahasan? Pertanyaan itu tiba-tiba, terbetik melalui suara yang hanya dapat kudengar. Aku tak mengutarakannya.
“Jadi, setelah kau dengarkan podcast Sapardi Djoko Damono di YouTube?”
“Ah iya, Sapardi bilang, Sastra itu bukan isinya (yang terpenting), sastra itu cara menyampaikannya…isi itu orang menulis sajak cinta itu kan sejak Nabi Adam nulis sajak kepada Hawa itu kan sudah sajak cinta. Cara (menyampaikan) itulah yang berkembang terus, (seperti) cara menyampaikan cinta, cara memarahi orang…cara itulah yang menjadi ciri dari setiap seniman…’ ”
“Mana lebih dulu, apakah Sapardi menciptakan puisi Hujan Bulan Juni atau konsep cerita Sarwono dan Pingkan dalam trilogi novel Hujan Bulan Juni?”
“Bahkan dalam novelnya penamaannya harmonis nan serasi, ujung penamaannya dengan “O”, Katsuo, Sarwono, Solo, Manado, Kyoto, Okinawa…” Aku tak merespon pertanyaanmu.
Apa yang kita baca menjadi sebentuk cara Eyang Sapardi menerangkan Cinta, melalui cerita Sarwono dan Pingkan, Katsuo dan Noriko dalam novel trilogi ini.
“Orang Jepang mengagumi mekarnya sakura dan juga merayakan gugurnya bunga yang hanya berumur seminggu itu.” Kau mulai membuka-buka catatan pinggir buku yang sudah kau tandai.
“Aku jadi teringat pula hal yang membuatku kagum pada negeri Jepang melalui novel Aleph- Paulo Coelho, kata seorang tokoh bernama Yao bercerita, ‘Waktu tinggal di Jepang, aku mempelajari keindahan hal-hal sederhana. Dan hal paling sederhana sekaligus paling menakjubkan yang kualami adalah minum teh. Aku barusan pergi untuk mengulang pengalaman itu dan untuk menjelaskan bahwa terlepas dari semua konflik kita, semua kesulitan, semua sikap kejam dan juga murah hati, kita masih bisa tetap mencintai hal-hal sederhana dalam hidup. Samurai biasanya meninggalkan pedang-pedang mereka di luar sebelum masuk ke rumah, duduk dalam posisi tegak sempurna, lalu ambil bagian dalam upacara minum teh dengan berbagai tata caranya. Sepanjang upacara itu, mereka bisa melupakan perang dan mengabdikan diri untuk memuja keindahan…’ ”
Buku trilogi Hujan Bulan Juni rasanya tidak saja indah dan menarik menyaksikan percintaan segitiga antara Sarwono, Pingkan dan Katsuo, namun juga perihal untaian kalimat indah yang dialamatkan terhadap kota-kota seperti Solo dan Jakarta.
“Ada alasan ke Jakarta sekarang, kata Sarwono kepada dirinya sendiri. Ia rupanya kangen sama Jakarta yang semakin macet, yang semakin senang bikin rame-rame, yang semakin tidak bisa dikendalikan, yang mau tidak mau harus dengan ikhlas diterima sebagai tempat berteduh bagi semua yang mau atau terpaksa tinggal di sana. Jakarta merasa sesak nafas tapi tetap saja siap menerima siapa pun yang sayang atau benci padanya. Baginya sama saja. Kota yang baik hati dan lapang dada itu suka berpikir, lampu neon ternyata yang selama ini menjadi daya tarik laron dari kota dan pulau lain. Jakarta yang bijak itu sesekali merasa agak repot memikirkan bagaimana mengubah para pendatang itu menjadi benar-benar urban. Setelah menjadi wargaku, mereka harus diurbankan…”
Gambaran mengenai Jakarta dalam “Jakarta Itu”,
Jakarta itu debu
Jakarta itu macet
Jakarta itu banjir
Jakarta itu motor
Jakarta itu yel-yel demo buruh
Jakarta itu mal
Jakarta itu pedagang kaki lima yang mati-matian membela kios-kiosnya
Jakarta itu rumah kumuh yang berderet sepanjang rel kereta yang satu demi satu dibongkar polisi tata kota
Jakarta itu berangkat subuh pulang magrib
Jakarta itu pedagang keliling burger yang menyulap Für Elise menjadi ikon oditorinya
Jakarta itu ondel-ondel
Jakarta itu Pak Ogah yang setia menunggu di tikungan jalan
Jakarta itu jerit klakson mobil Jakarta itu angkot tua yang batuk-batuk dan mogok persis di tengah jalan
Jakarta itu petugas pe-elen yang gugup ketika mengusut sekring mana yang ngadat sehingga aliran listrik melupakan tugas sehari-harinya
Jakarta itu wajah-wajah yang mulutnya ditutup masker warna-warni sehingga terhambat ketika mau meneriakkan semboyan “Hidup Jakarta!”
Jakarta itu terhimpit pintu ka-er-el yang menunggu sinyal keberangkatan.
Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas, kata Pingkan kepada dirinya sendiri sambil mengingat-ingat wajah Sarwono ketika melambaikan tangan dari balik dinding kaca ruang keberangkatan. Itu bukan pepatah, itu klise yang bersikeras untuk menjelma kembali ke habitatnya yang purba sebagai larik puisi. Pingkan selalu menarik napas dalam-dalam setiap kali mengucapkan itu diam-diam sambil menambahkan, Jakarta itu kasih sayang.
Percakapan “Masih ingat jalan ke Solo?” (dalam buku ketiga, Yang Fana adalah Waktu) antara Pingkan dan Sarwono benar-benar membuat orgasme pembacanya. Tentang peta menuju Solo, jalan menujunya saling dititipkan di alam bawah sadar keduanya. Tentang jalan lurus di mana jalan tersebut dihiasi dengan berbagai pemandangan agar kekasihnya bisa betah. Serta keinginan untuk tersesat bersama dengan kekasihnya.
Raut wajahmu ternyata tak bisa menyembunyikan rasa kagum setelah membaca buku trilogi Hujan Bulan Juni tersebut. Bahasa cinta yang dingin, sekaligus menggebu-gebu, namun tetap disampaikan dengan bahasa yang indah. Di dalamnya juga digambarkan Sarwono sebagai antropolog yang berkelana menyelesaikan proyek penelitian kampusnya di Universitas Indonesia; menguraikan permukiman Kali Code sebagai contoh masyarakat pinggiran, meneliti ke Tobelo untuk meneliti perihal konflik agama, ke Kyoto menyampaikan makalah dan menjelaskan masalah liyan dan diaspora di Indonesia, hingga memerhatikan wajah calon mertuanya yang berasal dari Sulawesi Utara dengan memerhatikan bentuk wajahnya berdasarkan bangsa Mongol Utara.
Meskipun demikian, dalam perjalanan panjang penelitiannya, justru menarik lantaran pada prosesnya selain percakapan baik langsung, WhatsApp atau bahkan percakapan imajiner para pecinta itu yang saling bertaut, tidak saja dipenuhi di dalamnya bahasa-bahasa cinta yang indah, melainkan banyak nilai di dalamnya, terdapat di antaranya muatan kritik sosial sebagai peneliti namun sekaligus pula menunjukkan keoptimisannya, dikatakan, “Ia (Sarwono) sadar, hasil laporannya hanya menjadi bukti selesainya pekerjaan oleh si pemberi dana proyek sering tanpa niat untuk membaca dengan cermat apa yang tersirat. Namun, ia yakin suatu saat nanti laporannya akan dibaca oleh seorang atau dua atau tiga orang cerdas yang bisa ‘membaca’-nya sebagai protes terhadap keadaan absurd yang terasa semakin lama semakin memberati masyarakat.”
Muatan kritik sosial di dalamnya juga nampak ketika pada suatu waktu Sarwono menjumpai anak sekolahan yang pulang cepat lantaran guru-guru sibuk rapat, juga perihal ‘keseragaman’. Mendengar jawaban si anak sekolahan,
“Sarwono tertawa, tukang becak tertawa, anak-anak tampak seperti bingung lalu ikut-ikut tertawa. Seragam tertawa. Dan semuanya berlalu begitu saja seolah tidak ada kejadian apa-apa, seolah-olah tidak ada yang tadi tertawa. Sejak menjadi mahasiswa ia sering berpikir mengapa semuanya harus seragam, mulai dari baju sekolah sampai cara berpikir yang dikendalikan kurikulum yang seragam, yang harus ditafsirkan secara seragam juga. Tadi pun, mereka seragam tertawa seragam. Bangsa ini tampaknya akan menghasilkan anak-anak yang seragam.”
Selain itu, kritik sosial juga nampak ketika Sarwono sebal lantaran tiga buah puisinya yang dimuat pada sebuah surat kabar seakan tak dihargai dengan tata letaknya berada di sudut halaman, “kalah meriah dibanding berita politik, kriminal, gambar-gambar yang semakin lama semakin berdesak-desak, dan iklan.”
Kamu bercerita pula kisah cinta antara Sarwono dan Pingkan, sementara keduanya berbeda, Sarwono beragama Islam dan Pingkan beragama Katolik,
“Begitu keluar dari kota kedua orang muda Jakarta itu menyaksikan adegan yang biasa mereka saksikan di Jakarta: beberapa kelompok orang mencegat mobil untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan Rumah Tuhan. Bedanya adalah, di Jakarta Rumah Tuhan itu mesjid, di Menado tentu saja gereja.”
Pada hari Jumat, “Pingkan melihat jam tangannya, mendadak bilang, ‘Sar, ini kan dah jam setengah 12, Jumat. Pergi sana kamu ke Mesjid Gedhe. Nanti telat lho. Yen kowe telat, dongamu ora bakal ditampa. Naik becak yang tadi dipakai aja, biar cepat.’ … Selama mendengarkan khotbah di Mesjid Gedhe ia (Sarwono) tetap mendengar kata demi kata Pingkan di sela-sela seruan pengkhotbah untuk tidak memanfaatkan agama sebagai alat untuk mencapai apa pun, kecuali untuk mendekatkan diri dengan Allah. Itu perintah Allah, itu perintah Muhammad SAW, itu yang menjadi dasar keyakinannya sebagai orang yang harus menghargai keyakinan orang lain, yang selalu mengingatkannya untuk mengharamkan kata ‘liyan’ dalam cara berpikirnya, Biarlah kata itu tetap ada di kamus, tetapi tidak perlu digunakan untuk mencibir, apa lagi menyiksa orang lain.”
Bahkan mengenai nasionalisme Sarwono ketika ditawari untuk tinggal di negeri lain, “Ia (Sarwono) tidak ingin tinggal di mana pun kecuali di negeri yang menyenangkan karena selalu geger ini. Ia masih harus menuntaskan keinginan untuk blusukan dari pulau ke pulau agar bisa menghayati hal-hal pelik yang tidak akan bisa diuraikan, apa lagi ditata, tanpa didasari keikhlasan untuk memahami dan menerimanya.”
“Ketika terdengar suara gitar John Williams memainkan ‘Concierto de Aranjuez’, keduanya sepenuhnya diam mendengarkan, Pingkan mencium rambut Sarwono”, “…ada Paco de Lucia, Pepe Romero, dan bahkan Joaquin Rodrigo sendiri, tapi bagiku sentuhan jari-jari Williams mewakili siutan angin Firdaus.”, “Tak tahu kenapa, aku ingat lirik lagu Norwegian Wood yang pernah kaubilang kau suka itu, she asked me to stay, and she told me to sit anywhere, so I looked around, and I noticed there wasn’t a chair”, “Ia merindukan Sarwono, yang suka berbagi earphone kalau sedang cari-cari bahan di perpustakaan kampus sambil mendengarkan “The Swan” versi jazz Bob James adaptasi yang dicuplik Le carnaval des animaux karya Camille Saint-Saëns. Ia benar-benar merindukannya.”, Arthur’s Theme dinyanyikan Rumer, menjadi playlist Pingkan ketika merindukan Sarwono.
Aku menunjukkan kepadamu ceklis catatan pinggirku. Setiap di mana Pingkan atau Sarwono mengutip sebuah judul lagu, maka aku berhenti membaca sejenak, mencari lagu tersebut lalu dengarkan. Kupikir aku menyukai lagu-lagu para pecinta yang mabuk asmara. Sepertinya aku sedang menikmati kisah cinta gila ‘Layla Majnun’ tanah air ini.
Kau mengangguk.
Yang kumaksud adalah aku begitu menyenangi bahasa cinta baik Pingkan atau Sarwono baik yang terucap ataupun tidak oleh keduanya. Tersampaikan atau hanya tergumam sebagaimana para pecinta yang masih menyembunyikan perasaannya terdalam. Seperti Pingkan yang suatu kali menyandarkan tubuhnya lebih rapat ke Sarwono, berbisik kepada dirinya sendiri, “Apa dosa dan salahku maka telah mencintai laki-laki Jawa yang sering zadul mikirnya ini?”
Tentang kepekaan Pingkan yang meminta petugas restoran untuk mengecilkan suara musik lantaran memahami ekspresi Sarwono yang terlihat tidak nyaman. Atau Sarwono yang tanpa mengindahkan tata cara naik pesawat terbang, begitu mendarat Sarwono mengirim WhatsApp pada Pingkan, “aku rindu kamu, Ping.” Kecemburuan Sarwono pada Katsuo dengan memanggilnya Sontoloyo. Pingkan yang tak menjawab ucapan Sarwono melainkan merangkul Sarwono dan bertubi-tubi menciuminya di warung kampus. Pingkan yang cemburu kepada Dewi, asisten peneliti Sarwono. Pingkan yang hanya mau dengan Sarwono, “Maunya Sarwono, Pingkan hanya sama dia. Bodoh ya gak apa-apa, pokoknya sama dia saja.”.
Pingkan yang merasa cengeng pernah diam mendadak dan ingin menangis ketika Tante Keke membujuknya untuk meninggalkan Sarwono. Atau dalam rindunya Pingkan bilang, “ ‘Aku kangen, Sar’, disertai selfi yang sudah dikrop sehingga hanya tampak bola matanya yang seperti memantulkan kuntum sakura... Dan semua yang telah dilakukannya di Kyoto, semua kalimat dan gambar yang dikirimnya lewat dunia maya tidak lain adalah ungkapan dan sumpahnya bahwa ia mencintai sahabat kakaknya itu—tanpa walaupun tanpa meskipun.”
Pingkan yang selalu memakai jaket ketika keluar malam lantaran ingat anjuran Sarwono. Pingkan yang tak berhenti menulis surat untuk Sarwono sebab ingin kertas berisi tulisan tangannya menjadi tanda kasihnya. “Aku sangat capek tapi harus nulis terus. Sar! Aku Pingkan, Sar, yang waktu masih SMP pernah nitip surat ke Toar dan dia bilang, ‘Kamu gila apa? Kan bisa WA atau e-mail aja ke Sar.’ Ya tapi aku ingin kau memegang kertas yang ada tulisan tanganku aku ingin kau merabanya dan membayangkan apa pun yang ingin kaubayangkan tentangku. Sar!”
Membaca itu malah kubayangkan ‘Pingkan’ Velove Vexia yang tergila-gila pada Adipati ‘Sarwono’ Dolken sebagaimana filmnya. Tak bisa membayangkan yang lain. Ini mungkin kekurangan kenapa aku malah menonton itu terlebih dahulu baru kemudian membaca novelnya.
Meski demikian, sesekali dibuatnya aku cemburu sebagai pembaca ketika Pingkan dan Katsuo waktu di Kyoto. “Pingkan hampir mabok ketika menyusuri sungai yang membelah Kyoto pinggirnya dipenuhi bunga sakura. Masih terasa dingin, dan Katsuo dibiarkannya memeluknya untuk mengusir hawa yang bisa mengurangi nafsu makan itu.” “Dan tampaknya gadis itu (Pingkan) malah merasakan sedikit rasa tenteram sehingga tidak ingin melepas tangannya. Ada yang dirasakannya mengalir lambat-lambat lewat jari-jari Katsuo menyusup ke telapak tangannya, semacam butir-butir halus selembut pasir yang turun lewat gelas waktu yang lehernya sangat sempit dan panjang berkelok-kelok persis spiral yang ujungnya di bawah tidak ketahuan wujudnya.”
Hujan pada bulan Juni segera berakhir. Sementara langit, tetap menjadi tempat aku dan kamu menengadah, butiran air bak mutiara yang turun berangsur reda. Kau mencuri pandang kepadaku, sementara aku bertanya, “Apa ada yang indah selain dari puisi Hujan Bulan Juni?”
“Banyak!”
Catatan pinggir tersisa pada bukumu kemudian berbicara dalam benak kita berdua. Tubuh kita beranjak normal, lalu kita tuntun sepeda yang sedari tadi terparkir di swalayan di atas genangan air dengan bias cahaya warna dan warni yang menyelimuti tanah.
“Bahwa kasih sayang ternyata tidak cabul, ternyata terasa semakin pesat lajunya walau waktu yang selalu tergesa-gesa terasa berhenti, ternyata bukan godaan untuk mendesah dan terengah.
Bahwa kasih sayang ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan senyap sebagai satu-satunya harap yang semakin khusyuk pelukannya kalau senyap yang tanpa aroma tanpa warna tanpa sosok tanpa asesori mendadak terbanting di lantai kemudian melesat terpental ke langit-langit untuk turun perlahan sangat perlahan memeluk dan mem bujuk mereka berdua agar tidak usah mengatakan sepatah kata pun sedesis huruf pun sebab kata cenderung berada di luar kasih sayang
Dan kasih sayang tidak bisa disidik dengan kata sekalipun berupa sabda bahwa ketika berpelukan, mereka merasa seperti dituntun untuk sepenuhnya mempercayai bahwa kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa kertas tanpa aksara tanpa surah dan ayat tanpa parabel tanpa kanon tanpa nubuat tanpa jalan tanpa karma tanpa gerak tanpa siut yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan dan betina yang saling menggosok-gosokkan lehernya di perbukitan ilalang yang menjanjikan tempat bertengger bagi butir-butir embun terakhir kalau cahaya matahari pertama bersinggungan dengan cakrawala.”
Tiga Sajak Kecil
di jantungku
sayup terdengar
debarmu hening
di langit-langit
tempurung kepalaku
terbit silau
cahayamu
dalam intiku
kau terbenam
“Selalu ada yang terjadi tidak untuk bisa dipahami, tampaknya.
Selalu ada saat ketika kita tidak memiliki keberanian untuk bertanya dengan tulus kepada diri sendiri kenapa ini begitu dan kenapa itu begini.
Selalu ada saat ketika kita tidak memiliki kemampuan untuk menatap tajam mata kita sendiri dan bertanya, Kenapa kau menyiasatiku begitu? Pertanyaan retoris yang sejawabannya tak lain, Kenapa kau menatapku tajam begitu?
Selalu ada saat ketika kita tidak sempat bertanya kepada sepasang kaki sendiri kenapa tidak juga mau berhenti sejak mengawali pengembaraan agar kita bisa memandang sekeliling dan bertahan semampu kita untuk tidak melepaskan air mata menjelma sungai tempat berlayar tukang perahu yang mungkin saja bisa memberi tahu kita, Kesana, Saudara, ke sana.”
“Hanya ada kasih sayang yang tidak diatur oleh siapa pun kecuali mereka yang berada di ruang kedap suara
Hanya ada perpisahan yang sejenak menyesakkan tapi yang segera disusul dengan jerit pertemuan kembali yang menjadikan langit mendadak tampak lebih biru dan laut kelihatan lebih cemerlang seperti cermin di bawah langit yang tak selesai-selesainya bersolek.”
Sumber Kutipan:
Novel Trilogi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono