Tag: puisi

Martir

Bahkan jika memang seorang telah berada dalam lorong-lorong gelap, jika secercah harapan itu tiba, serupa api kecil, yang rawan padam, pada awal bulan penghujung tahun yang dingin, masih sepi dari bunyi rintik-rintik hujan.
Yang sepaginya ranting-ranting sisa unggun telah lama padam didekap embun. Serta rusa kecil menari dan menghilang dalam kabut menuju hutan. Batang-batang pohon yang tak lagi menakutkan. Tak ada guratan-guratan padanya sebagai mitos.
Tidak ada kehidupan nyaman bagi seorang martir. Yang telah mengingatkan seorang yang mabuk kecubung kekuasaan. Ada pada bibir waktu, semua doa-doa baik menyertai sang martir, setelah menjadi sejarah, setelah tragedi berdarah.

Kursi Kosong

Adalah kursi kosong, menjadi tatapan khalayak. Adakah setelah sebelum terisi, para pendukung menjadi kian fanatik dan anti-kritik,

Atau mengharapkan keindahan musim gugur, dengan berjalan mundur dan membatalkan semua praduga yang telah lama ia peluk.

Meninggalkan keyakinan lamanya, untuk bersikap arif dan mencatat pada sebuah buku yang ia punya, kelusuhan begitu sering dibuka, serta pena dengan tinta yang tersisa sedikit, menuliskan penerimaan-penerimaan terhadap orang lain, serta membuka simpati atas nama kemanusiaan.

Kini,

Tersisa, perdebatan melawan suara dalam pikiran sendiri, suara hati yang tak terdengar kedalamannya di dalam palung.

Semua menjadi tegang, tiada pembacaan puisi-puisi yang memancing rahmat.

Terpisah Jarak Di Bawah Hujan

Betapa malang, burung-burung kenari, terpisah jarak di bawah hujan, mencuitkan asumsi-asumsinya sendiri, kegamangan-kegamangannya sendiri, kehampaan-kehampaannya sendiri, kesepian-kesepiannya sendiri, kerinduan-kerinduannya sendiri. Tanpa berani mengadu di depan paruhnya, lantaran enggan bertaruh.

Ia bertengger di atas dahan secara bebas, namun terkungkung oleh pikirannya sendiri, tanpa nyali, tanpa berani.

Jatah Rindu

aldiantara.kata

 

Sore tadi, katamu, setelah membaca pesanku, aku mengutip puisi Sapardi, yang engkau baca lamat-lamat,

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada

Engkau tidak bertanya, engkau meminta, di mana kata-katamu,

Malam tadi, katamu, setelah membaca pesanku, aku mengutip puisi Chairil Anwar, yang engkau baca dengan nada lirih,

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka,
Antara kita mati datang tidak membelah

Engkau tidak bertanya, engkau meminta, di mana syair-syairmu,

Hari ini, adakah sudah sampai pada bibir jendela kamar, katamu begitu rapat. Engkau hanya bisa amati melalui kursi meja belajar surat yang terbaring pada ujung-ujung bingkainya yang berdebu.

Boleh saja jika kita menanti hujan, yang akan membuat embun, serta tempias air yang melelehkan kertas dan tinta, memberi kepada kita kisi-kisi terhadap gubahan syair di dalamnya. Yang akan engkau baca dan screenshot.

Kita hanya bisa mengambil jatah rindu, pada sebuah kehidupan yang bukan milik kita, yang kita ambil sedikit demi sedikit.

Tarian Musim Hujan

aldiantara.kata

 

Padahal, musim hujan belum tiba.
Kini bala doa, panjatan puja-puji, tak ada bedanya,
dengan menjilat.
Tuhan dan kekuasaan.
Saat Tuhan bingung,
Gemleleng lihat manusia yang hilang kemanusiaannya.
Saat manusia kelimpungan,
Siapkan sesaji, penentu nasib, memasang pin di dada
menjadi mandor atas kaum papa.
Rupanya sang mandor terlalu optimis,
meminta kaum papa mengais rongsong sejak pagi,
sementara mereka mengorok, terbangun oleh ajudan,
ingatkan tanda tangan.

Padahal musim hujan belum tiba,
di Tugu Adipura, anak-anak (pelajar?) meminta kondektur
bunyikan klakson. (sambil mengangkat kamera)

Padahal musim hujan belum tiba,
yang duluan turun adalah baliho-baliho politik.
yang meminta disirami agar dulang sura-suara cuan,
pada ujung bambunya.

Mendung,
adalah ruang diskusi yang bisu.
Makalah-makalah di meja kuliah yang dibantu robot,
yang lebih pandai dari penciptanya sendiri.

Daripada berdebat perihal konstruksi sosial Berger,
adakah sepisin pancake, dan segelas teh.
Lindungi dari cuaca panas,
dan kemaraunya Bumi dari sikap-sikap bajik.

Barangkali kita perlu mengeja kembali kata-kata,
pada sebuah buku, pada sebuah rak baris kedua.
Dibaca di atas karpet yang tergulung,
tiada suara lain, selain suara bibirmu,
sedikit terbata-bata, disinari matahari sebelum ia pamit.

Pada sebuah tempat makan, di samping lampu merah,
engkau heran dengan seorang perempuan yang mengajarkan kepada kedua anaknya sebuah tarian menyambut musim hujan,
tanpa sebuah panduan, tanpa sebuah aba-aba.

Pada Sebuah Buku Sastra yang Kau Peluk Malam Ini

aldiantara.kata

Pada sebuah buku sastra yang kau peluk malam ini. Adakah kau bernafsu dalam mencari kata-kata? Masih menuduh penyair-penyair yang gemar menjual kesedihannya. Atau mencari padanan kesedihan agar sama seperti penyair-penyair seperti yang kau baca?

Pada sebuah buku sastra yang kau peluk malam ini. Kita berlari pada rentang jarak, mencari tempat yang nyaman agar menemukan tempat memanjai syair dengan membacanya berulang-ulang. Sebagaimana kopi panas yang dinikmati ketika cuaca dingin dan kabut.

Kata-kata dapat berbicara ketika ia dibaca pada suasana gaduh, namun terkadang butuh sebuah sepi, terkadang perlu beriring alunan nada, terkadang ingin sambil mendengarkan orang-orang lain yang sedang bercakap pada konteks yang tak dimengerti, bahkan jika itu hanya suatu igauan, bisikan ucapan selamat tidurmu.

Pada sebuah buku sastra yang kau peluk malam ini. Ada jarak dan spasi di antara bait. Ada rentang waktu sebagai penanda syair-syair. Ada kata-kata yang tersembunyi. Ada kata-kata yang teramat samar.

Pada sebuah buku sastra yang kau peluk malam ini. Aku mengeja bait-bait syair pada pejam matamu.

Perihal Menikah

Oleh: Azki Khikmatiar

Kapan menikah?
Mengapa belum menikah?
Apakah masih percaya pernikahan?
Ah, Sial ! Mengapa semua orang
selalu bertanya perihal menikah?
Bukankah pernikahan bukanlah satusatunya tujuan kehidupan?

Hei ! Menikah bukan lomba lari; dimana yang tercepat adalah yang terbaik
Menikah adalah sebuah perubahan
Dan kita tau bukan? Bahwa setiap
perubahan seringkali menakutkan?
Takut memulai babak hidup baru
Takut mengambil langkah pertama
Takut menghadapi kemungkinan
yang sebelumnya tak pernah kita tau
Takut membawa serta yang tersisa
Ah! Pasti berat rasanya!

Tapi, kita juga tau bukan?
Bahwa setiap awal yang baru
adalah sebuah kesempatan?
Kesempatan mendapat ruang
untuk saling tumbuh bersama
Kesempatan mempelajari kesalahan
yang sebelumnya pernah kita lakukan
Kesempatan menyiapkan serangkaian perjalanan yang butuh perencanaan
Kesempatan menjalani kehidupan sebagaimana yang kita inginkan
Ah! Pasti sangat menyenangkan!

Negri Para Bedebah, 26 Juli 2022

Istirahatlah Cinta

Oleh: Abenza’idun

Istirahatlah cinta
Riuh Para Bedebah bersumpah-sampah
Liar lidah meludah-ludah
Mengingkar atas ikrar, bersandiwara palsu yang asu.

Engkau lelah dikata-kata
Melangitlah ke singgasana lentera
Dalam rengkuh sang Raja
Menelan gulita

Biarkan insan-insan itu yatim-piatu tanpamu
Atau
Biar mati sekalian kehilangan sukma
Tinggal raga tak bisa apa-apa

Jangan membumi,
Selagi mereka belum bersuci

Abenz, Ungaran, 31 Mei 2022

9.30

oleh: Ibnu Masykur

Pukul sembilan lebih 30 menit
Di luar, angin berhembus tawarkan gigil masa silam
Di dalam, belasan puntung rokok saling tindih tak bergerak
Hanya hela tipis asap dari tiap ujungnya sesekali masih menguar ke udara
Ku pejamkan mata
Sementara kata-kata saling bersenggama
Kenangan dan degup dada saling menerkam
Dan sepi, sepi menjelma menjadi kawanan serigala
Melolong pada remah purnama yang tak sempurna
Mengoyak samar bangkai ingatan tentang kita
Tentang apa saja yang mengendap di dalam rasa
Aku
Juga cangkir-cangkir kopi itu