aldiantara.kata
Ayat-Ayat Hujan: Sastra Buya Hamka (Puisi Hujan #12)
Pandanganku masih tertuju memperhatikan lalu lalang manusia di Tugu, malam hari.
Taman kecil mengelilinginya dengan bangku taman yang menyala dengan lampu-lampu hias menyala. Tidak ada gemuruh malam itu.
Musisi bekerja menghibur pasangan muda-mudi. Aparat belum waktunya bertugas membubarkan kerumunan. Yang sebelumnya sedang membubarkan kesepian hatinya.
Angin malam bertiup silih berganti seperti memberi tanda.
Hujan.
Manusia-manusia menepi. Berlindung pada tingginya atap. Sederas-deras hujan, manusia tak sampai menutup telinga. Air menghujam tanah menjadikannya senandung.
Tak lama segera mereda, kini menyisakan rintik-rintik kecil, meski bangku taman sudah telanjur basah. Tak lama pula aku mendengar suatu suara yang tak kukenali,
“Hujan jatuh ke bumi menjadi tiga macam: semacam ialah yang menyiram basah seluruh bumi sebagai biasa. Semacam mengendap di gunung-gunung, lalu berkumpul menjadi sungai dan mengalir. Dan semacam lagi mengendap ke bawah tanah.”
Itu. Seperti kutipan yang tak asing, pernah kubaca. Tapi di mana?
Seseorang yang misterius mendatangiku seperti cahaya.
“Hujan ialah kesuburan sesudah kering, kemakmuran sesudah kemarau. Peladang-peladang telah lama sekali menunggu hujan turun, agar sawah ladang mereka memberikan hasil yang baik kembali.
Mereka mengharapkan hujan turun, tetapi mereka takut oleh mendung gelapnya, takut suara guruhnya dan cahaya kilat, dan petirnya yang sambung menyambung di udara. Padahal tiap-tiap hujan lebat sebagai penutup kemarau panjang, mestilah diiringi oleh gelap, guruh kilat dan petir. Kebenaran ilahi akan tegak di alam.
Kebenaran itu adalah laksana hujan. Untuk mengelu-elukan datangnya mestilah gelap dahulu. Yang menggelapkan itu bukan kutuk laknat, tetapi karena bumi itu dilindungi oleh air yang akan turun. Dan guruh berbunyi mendayu dan menggarang; artinya peringatan-peringatan yang keras seiring dengan kedatangan hidayat Ilahi.”
Buya Hamka! Itu merupakan kutipan dari kitab tafsir Al-Azhar!
Bila Buya Hamka menulis-selesaikan kitab tafsir Al-Azhar ketika beliau berada di penjara, bukankah ungkapan keindahan itu hanya bisa diungkapkan oleh seorang yang daripada dadanya diliputi oleh keindahan?
Siapakah seorang ini? Rasanya tak kuasa bila harus melihat wajahnya. Aku takut sikap ketidaksopananku membuatnya lenyap. Aku hanya duduk ditemaninya tanpa menimpalinya.
“Manusia dan binatang ternak sama-sama gembira, bahwasanya hujan yang turun ini akan membawa berkah.”
“Lintuh rasanya tulang, lunglai segala persendian apabila Tuhan memperingatkan ini kepada kita. Betapa pun lengah dan lalai makhluk, betapa pun mereka melupakan Tuhan, bahkan kadang-kadang mempersekutukan-Nya dengan yang lain, namun hujan turun juga dan bumi pun subur, pohon-pohon berbuah. Kita hanya tinggal memetik buah.
Kehidupan manusia di seluruh dunia sangat bergantung dengan turunnya air hujan; kesuburan bumi yang akan mendatangkan hasil, demikian juga makanan bagi manusia sendiri dan binatang-binatang ternak. Bahaya besar menimpa suatu negara kalau sekiranya di sana terjadi kemarau panjang, sehingga manusia kelaparan dan binatang ternak pun habis mati. Sedang zaman modern yang disebut tergantung kepada industri itu pun masih menghendaki hujan. Misalkan saja pabrik wol (bulu) yang akan dijadikan orang pakaian, yang begitu besar di Benua Australia, akan terkaparlah segala pabrik itu kalau sekiranya hujan lama tidak turun sehingga binatang ternak habis mati.
Manusia sendiri pun bagaimana majunya di zaman modern ini, masih saja menghendaki memakan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang segar. Gandum, beras, dan segala makanan yang menghasilkan vitamin dan kalori, semua pada hakikatnya bergantung kepada hujan. Maka diatur Tuhan langit yang berada di atas kita, lalu menurunkan hujan, dan bumi menampungnya dan makhluk hidup di atasnya.”
Kalau kita di zaman modern ini hidup di kota besar, dengan memutar kran air saja, air telah memancar berapa kubik yang kita sukai, maka kenangkanlah betapa ribut penduduk kota kalau sekiranya sentral air itu rusak, sehingga terhenti mengalir ke setiap pipa. Betapa gelisahnya orang di kota ketika itu. listrik tidak jalan. Segala kegiatan terhenti. Ketika itu terasalah bahwa bukan kita yang menguasai air.
Demikian juga kalau musim kemarau telah panjang, sehingga sawah-sawah menjadi kering dan padi yang baru akan besar mati karena kering. Adakah pada waktu itu manusia mempunyai simpanan air sendiri (reservoir) yang mencukupi?
Bukankah manusia kembali menunggu belas kasihan hujan?”
Ternyata, kitab suci tidaklah sederhana berisi perintah dan larangan. Ini soal kehidupan manusia yang pelik dan dinamis. Tidak hanya ancaman, namun juga keindahan-keindahan, obat hati, membuat manusia merenung. Berefleksi. Berdiantarakata. Aku suka sekali diksi seorang ini, “Bukankah manusia kembali menunggu belas kasihan hujan?”
“Kadang-kadang kita telah mengharap hujan akan jatuh di bumi kita sebelah sini, karena tanam-tanaman sudah sangat kering tiba-tiba dia jatuh di tempat lain. Maka kedengaran guruh dan guntur, dan kilat pun sabung-menyabung, demikian dahsyatnya hingga mata pun bisa silau memandangnya.
Memang apabila kita naik kapal udara dalam perjalanan yang jauh, benar-benar kelihatanlah kadang-kadang awan itu besar dan tinggi laksana gunung, bahkan lebih besar dari gunung, maka terasalah kecil kapal terbang yang kita tumpangi itu di celah-celah awan-gumawan. Awan-awan laksana gunung itulah persediaan yang disediakan Tuhan buat hidup kita di atas dunia fana ini, karena senantiasa memerlukan air.”
Narasi-narasi keindahan dalam beragama, sebagai kekuatan pembebas, pemersatu manusia, peneguh solidaritas, kekuatan penggalang aksi kemanusiaan.
Malam semakin larut, aku pernah membaca kutipan Buya Hamka mengenai malam. Sebab bagi Buya Hamka, malam adalah puisi.
Dalam sebuah ayat, “Dan Dia yang telah menjadikan malam itu untuk kamu menjadi pakaian, dan tidur untuk istirahat dan siang untuk bangkit bangun kembali.”
Hamka jelaskan, “Alangkah halus ibarat yang dinyatakan Tuhan pada ayat ini. apabila segala tenaga dan energi kita telah kita tumpahkan bagi kepentingan hidup kita di siang hari, bertani, berniaga, berusaha, berkantor, berpejabat dan belajar. Berjuang ke medan hidup dipelopori oleh cita dan cinta, beransur sebagai beransur turunnya matahari, tenaga pun mulai habis dan hari pun mulai senja, kita kembali ke rumah kita. Kita tinggalkan segala haru-hari yang membisingkan kepala.
Dan hari pun mulai malam.
Cahaya matahari berganti dengan cahaya lampu-lampu. Dengan tidak disadari maka keteduhan malam menenteramkan kembali jiwa dan raga kita. Bercengkerama dengan anak dan dengan istri. Kita bertawajjuh dan bermunajat kepada Tuhan mensyukuri nikmat-Nya. Dan semuanya itulah pakaian (libaas) yang sejati. Pakaian-pakaian yang kita pakai siang hari telah kotor kena keringat dan telah kita tanggalkan. Dan bila hari telah malam, kita mulai melekatkan pakaian yang bersih; bersih lahir dan batin. Kita hidup bersenyum simpul dengan istri teman hidup kita. Kita adalah pakaiannya dan dia adalah pakaian kita.”
Aku hendak bertanya, apakah ketika Buya Hamka menuliskan ini, beliau sedang menatap istrinya terkasih yang masih tertidur lelap?
“Hujan pun turun, sejuk dingin, kelayuan hilang baik pada orang ataupun pada binatang, atau pun pada tumbuh-tumbuhan. ‘Supaya Kami hidupkan suatu negeri yang telah mati, dan Kami beri minum segala makhluk, baik binatang atau manusia yang banyak itu.’
Bila hujan telah turun, walaupun hanya sejam dua jam, bahkan kadang-kadang seperempat jam saja, kelihatan desa yang telah mati menjadi hidup kembali. Kegembiraan terbayang pada segala mata.”
Suatu tafsir terhadap ayat “dibuat pada pagi hari Arba’a tanggal 17 Juli 1963, 26 Safar 1383. Sudah hampir sebulan di Jakarta tidak turun hujan, segalanya kelihatan lesu, kebetulan penyaringan air di Pejompongan rusak pula, sehingga air saluran untuk rumah-rumah penduduk terpaksa dibatasi, sumur mulai kering, bahkan aliran listrik pun sebab air yang menekan meskin listrik telah kurang pula tenaganya. Tiba-tiba pada malamnya hujan sejenak, kira-kira setengah jam. Setelah hari pagi, tanaman-tanaman di hadapan rumah kelihatan menghijau, membayangkan kegembiraan, dan rumput di halaman Mesjid Agung Al-Azhar mengangkat muka, menengadah langit mengucap syukur!”
Buya Hamka teringat pada sebuah ayat, ‘Dan sesungguhnya telah Kami edarkan (hujan itu) di antara mereka agar mereka kenangkan.’ Agar mereka ingat bahwasanya kekacauan sedikit saja dari turunnya hujan itu akan sangat besarlah pengaruhnya atas kehidupan mereka dan sandang pangan mereka.”
“Aku adalah apa yang kamu pikirkan.” Ucap seorang yang datang sebagai cahaya itu menyadarkanku, aku tak sadar bahwa itu merupakan ungkapannya yang terakhir pada pertemuan malam itu.
Buya. Aku tahu bila hujan adalah keberkahan. Hujan seperti doa tetumbuhan kepada Tuhan yang menjadikannya hujan. Kini alam telah menjadi rusak. Manusia barbar memperkosanya tanpa bertanggung-jawab. Bencana hampiri silih berganti, hujan masih deras mengairi apa. Inikah sebentuk tangis hujan menyelami kesedihan kekasihnya di bumi?
Tiada jawaban. Lenyap. Tak ada seseorang di sisiku.
Menyukai ini:
Suka Memuat...