Tag: Puisi Hujan

Terpisah Jarak Di Bawah Hujan

Betapa malang, burung-burung kenari, terpisah jarak di bawah hujan, mencuitkan asumsi-asumsinya sendiri, kegamangan-kegamangannya sendiri, kehampaan-kehampaannya sendiri, kesepian-kesepiannya sendiri, kerinduan-kerinduannya sendiri. Tanpa berani mengadu di depan paruhnya, lantaran enggan bertaruh.

Ia bertengger di atas dahan secara bebas, namun terkungkung oleh pikirannya sendiri, tanpa nyali, tanpa berani.

Jatah Rindu

aldiantara.kata

 

Sore tadi, katamu, setelah membaca pesanku, aku mengutip puisi Sapardi, yang engkau baca lamat-lamat,

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada

Engkau tidak bertanya, engkau meminta, di mana kata-katamu,

Malam tadi, katamu, setelah membaca pesanku, aku mengutip puisi Chairil Anwar, yang engkau baca dengan nada lirih,

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka,
Antara kita mati datang tidak membelah

Engkau tidak bertanya, engkau meminta, di mana syair-syairmu,

Hari ini, adakah sudah sampai pada bibir jendela kamar, katamu begitu rapat. Engkau hanya bisa amati melalui kursi meja belajar surat yang terbaring pada ujung-ujung bingkainya yang berdebu.

Boleh saja jika kita menanti hujan, yang akan membuat embun, serta tempias air yang melelehkan kertas dan tinta, memberi kepada kita kisi-kisi terhadap gubahan syair di dalamnya. Yang akan engkau baca dan screenshot.

Kita hanya bisa mengambil jatah rindu, pada sebuah kehidupan yang bukan milik kita, yang kita ambil sedikit demi sedikit.

Tarian Musim Hujan

aldiantara.kata

 

Padahal, musim hujan belum tiba.
Kini bala doa, panjatan puja-puji, tak ada bedanya,
dengan menjilat.
Tuhan dan kekuasaan.
Saat Tuhan bingung,
Gemleleng lihat manusia yang hilang kemanusiaannya.
Saat manusia kelimpungan,
Siapkan sesaji, penentu nasib, memasang pin di dada
menjadi mandor atas kaum papa.
Rupanya sang mandor terlalu optimis,
meminta kaum papa mengais rongsong sejak pagi,
sementara mereka mengorok, terbangun oleh ajudan,
ingatkan tanda tangan.

Padahal musim hujan belum tiba,
di Tugu Adipura, anak-anak (pelajar?) meminta kondektur
bunyikan klakson. (sambil mengangkat kamera)

Padahal musim hujan belum tiba,
yang duluan turun adalah baliho-baliho politik.
yang meminta disirami agar dulang sura-suara cuan,
pada ujung bambunya.

Mendung,
adalah ruang diskusi yang bisu.
Makalah-makalah di meja kuliah yang dibantu robot,
yang lebih pandai dari penciptanya sendiri.

Daripada berdebat perihal konstruksi sosial Berger,
adakah sepisin pancake, dan segelas teh.
Lindungi dari cuaca panas,
dan kemaraunya Bumi dari sikap-sikap bajik.

Barangkali kita perlu mengeja kembali kata-kata,
pada sebuah buku, pada sebuah rak baris kedua.
Dibaca di atas karpet yang tergulung,
tiada suara lain, selain suara bibirmu,
sedikit terbata-bata, disinari matahari sebelum ia pamit.

Pada sebuah tempat makan, di samping lampu merah,
engkau heran dengan seorang perempuan yang mengajarkan kepada kedua anaknya sebuah tarian menyambut musim hujan,
tanpa sebuah panduan, tanpa sebuah aba-aba.

Hujan yang Ramah kepada Turis

aldiantara.kata

Hujan belum beranjak dari senja kita. Ia tiba dari hafalan kita terhadap senja serta mendung langit. Apakah sebab ia merasa sepi, hingga masih bertaut pada musim kemarau, yang seharusnya kunjung tiba.

Jalan menuju nol KM seperti merayakan kebebasan dari pandemi. Mereka berpesta dan mengadu polemik. Soal politik hingga kitab suci. Jengah sepertinya berdebat melalui layar-layar gawai. Sebagian kelompok beradu strategi mengklaim atas penguasaan agamanya. Mereka menutup mata terhadap perbedaan-perbedaan yang sejatinya manis.

Hujan.

Hujan di kota ini. Bagaimana ada, tempat populer dan tidak. Padahal nafkah hujan tak pandang tujuan turun. Entah kepada pendatang luar kota atau mereka yang telah lama menetap. Penjaja menawarkan jas hujan berwarna-warni, seperti kerlap lampu juga kerlip ragam bunyi bersahutan.

Hujan, seperti ramah kepada turis. Mau menepi, setelah mencium aroma jahe susu?

Atau duduk pada kursi yang telanjur basah. Sambil bercerita tentang bagaimana kehidupan berikan berkat kepada kita. Bakpia yang dicari keberadaannya. Atau penjual baju oleh-oleh kota yang semua sudah pindah ke satu lokasi. Tidak pada sepanjang jalan biasanya. Mungkin turis datang bergiliran, saling membuat janji dan membayangkan pada waktu yang dipikirkan jalanan akan lengang.

Tidakkah kau merasa sekalipun bosan pada kota ini? Suatu tanya yang kualamatkan kepada tiap pengisi hiruk pikuk yang entah apakah setiap mereka sama, setiap harinya.

Namun nampaknya aku keliru, sebuah tanya menyusul, “Memang siapa yang bukan turis? Kita semua adalah turis!”

Pengembara. Yang turut berteduh. Kota ini milik siapa, berikut berkat kenang-kenang. Siapa yang mengaku memiliki?

Atraksi Sembur Api

aldiantara.kata

Atraksi sembur api di lampu merah. Segmen ketiga setelah manusia silver dan boneka mampang. Manusia silver di bawah terik panas dan deras hujan. Sebagian berwarna silver, kulihat masih berbaju merah. Cekikik bergerombol di bawah jembatan janti mengabai dingin. Boneka mampang gilirannya melepas tutup kepala lalu membakar rokok.

Si atraksi api? Apa? Saban pagi digoda hujan. Mereka hanya dibekali mereguk dan menyembur api. Tanpa sedikit pengetahuan pun tentang cuaca mendung dan jadwal hujan kapan tiba. Api akan padam, atraksi takkan asik lagi.

Langit beratraksi api. Basyar berhamburan. Abu vulkanik tinggalkan duka. Lantas siapa yang menyembur hujan. Beratraksi berpura melawan api dari awang-awang.

Kesedihan hanya tontonan, bagi mereka yang diperbudak jabatan – Iwan Fals, Bongkar

Lagu Musim Penghujan

aldiantara.kata

Reda-reda musim penghujan adalah gerimis
Dingin-dingin musim kemarau adalah udara yang tetap panas
Panas dingin kerinduan adalah kemarau yang merindukan musim penghujan

Anak-anak yang bermain di lapangan diludahi hujan. Bermain sesekali menyeka basah wajah, gatal mata, serta asin keringat sendiri hampiri tepi lidahnya.

Aku rindu, melihatmu yang menyandarkan kepala, kepada daun jendela. Bola mata yang berwarna cokelat, abaikan aku pemerhati jalan tatapanmu, yang sepi.

Aku masih mencari sunyi. Dengarkan teman yang bercerita perihal yang lain, yang memutar ulang lagu-lagu menjelang tidur. Atau rokok yang masih tersisa setengah.

Temanku, Ombo, bercerita bahwa kehidupan adalah belantara yang tak bisa diterka titik akhirnya. Pria paruh baya, tiba-tiba menceritakan kesendiriannya setelah berpisah dari istri dan anak semata wayang. Seakan memulai lagi kehidupan dari awal. Kembali kepada orang tua, yang menerima anak tanpa syarat. Cerita-ceritanya membuat temanku merasakan kenikmatan rokok seakan saat pertama kali.

I’ve said it too many times and I still stand firm
You get what you put in and people get what they deserve.
Still I ain’t seen mine, no I ain’t seen mine
I’ve been givin’, just ain’t been gettin’

Kid Rock, Only God Knows Why.

Lagu-lagu musim penghujan. Lagu-lagu yang seseorang putar menjelang malam. Dalam reda atau derasnya naung musim penghujan. Titik terang cerita tersimpan. Abadikan sebuah fragmen melalui kata-kata. Kesan mengena yang berbeda dibalik setiap lagu.

Apakah berarti seorang pluviophile? Istilah bagi pecinta hujan. Bisa ya dan tidak. Namun petrikor selalu menjadi petanda tergesa. Agar mencari tempat bernaung. Menemukan lawan bicara atau melanjutkan aktivitas. Atau pikiran yang tak henti dibersamai masa lalu.

Wiper mobil menyeka kaca. Antri kendaraan. Mengganti lagu yang tepat. Turut bernyanyi menebalkan lirik-lirik populer. Atau melodi lagu yang ditunggu-tunggu. Eargasm. Menikmati lagu. Dengan sangat. Ada cerita antara kamu, lagu dan musim penghujan? Boleh aku turut mendengarkan?

Televisi masih menyiarkan berita-berita. Kau tahu bahwa mendengarkan musik adalah kebebasan yang patut disyukuri. Meskipun lagu-lagu musim penghujan tidaklah mesti lagu-lagu populer yang bisa didengar lalui media streaming. Ia juga berarti puisi-puisi yang seorang gubah sebagai upaya mengabadikan waktu.

Taliban membunuh dua tamu pernikahan yang kedapatan mendengarkan musik  bulan Oktober lalu. Lagu penyampai pesan dengan indah nan teduh harus berhadap senjata pembunuh.

Bersyukur di negeri ini aku masih dengan bebas dengarkan lagu.

Sungguh bicara denganmu tentang segala hal yang bukan tentang kita. Selalu bisa membuat semua lebih bersahaja… Malam jangan berlalu. Jangan datang dulu terang. Telah lama kutunggu. Kuingin berdua denganmu.

Payung Teduh, Mari Bercerita.

Yakin tetap tidak mau bercerita? Mengenai kapan terakhir menikmati sebuah lagu. Pesan-pesan terselubung yang membawamu kepada suatu waktu. Ada kalimat yang belum selesai. Diksi yang belum mengena kepada maksud. Outline lisan maupun tulisan yang belum rapi tersusun. Tentang ia yang bersemayam pada permadani ingatan. Nyaman dan tak tersentuh.

Tanyakan kepada gugup bagaimana bertanya melalui mata. Mencuri pandang. Momen yang kerap terlewatkan. Terlalu cepat ucapkan pamit.

Lizzy McAlpine malah sudah duduk di atas meja. Setelah mengetahui aku telah lama menatap jendela menatap langit yang melulu mendung. Ia membantuku berkata, melalui nada pada Pancakes for Dinner.

And what was that song about?
I’ll try to hide the way i feel.
But i’ll just wanna shout.
What do i have to lose right now?
I Wanna eat pancakes for dinner.
I wanna get stuck in your head.
I wanna watch a TV show together
And when we’re under the wheather we can watch it in bed.
I wanna go out on the weekends.
I wanna dress up just to get undressed.
I think that I should tell you this.
In case there is an accident.
And I never see you again.
So please save all your questions for the end.
And maybe I’ll be brave enough by then
”.

Tidak ada ‘pada akhirnya’ pada tulisan ini. Perjalanan baru sebatas tanya kepada koma, belum sampai kepada titik. Barangkali menyembunyikan rasa adalah kepengecutan untuk tidak memilih. Untuk tidak memutuskan.

Kepada, nya, yang membuatku mengejar hingga membutuhkan jeda waktu. Atau, nya, yang zahir menyayangiku, mencemburui.

Kepada, nya, yang mulai mencintai sedari waktu yang menunggu ‘halal’. Atau, nya, yang menemaniku dalam lelah.

Ayat-Ayat Hujan: Buya Hamka

aldiantara.kata

Ayat-Ayat Hujan: Sastra Buya Hamka (Puisi Hujan #12)

 

Pandanganku masih tertuju memperhatikan lalu lalang manusia di Tugu, malam hari.

Taman kecil mengelilinginya dengan bangku taman yang menyala dengan lampu-lampu hias menyala. Tidak ada gemuruh malam itu.

Musisi bekerja menghibur pasangan muda-mudi. Aparat belum waktunya bertugas membubarkan kerumunan. Yang sebelumnya sedang membubarkan kesepian hatinya.

Angin malam bertiup silih berganti seperti memberi tanda.

Hujan.

Manusia-manusia menepi. Berlindung pada tingginya atap. Sederas-deras hujan, manusia tak sampai menutup telinga. Air menghujam tanah menjadikannya senandung.

Tak lama segera mereda, kini menyisakan rintik-rintik kecil, meski bangku taman sudah telanjur basah. Tak lama pula aku mendengar suatu suara yang tak kukenali,

“Hujan jatuh ke bumi menjadi tiga macam: semacam ialah yang menyiram basah seluruh bumi sebagai biasa. Semacam mengendap di gunung-gunung, lalu berkumpul menjadi sungai dan mengalir. Dan semacam lagi mengendap ke bawah tanah.”

Itu. Seperti kutipan yang tak asing, pernah kubaca. Tapi di mana?

Seseorang yang misterius mendatangiku seperti cahaya.

“Hujan ialah kesuburan sesudah kering, kemakmuran sesudah kemarau. Peladang-peladang telah lama sekali menunggu hujan turun, agar sawah ladang mereka memberikan hasil yang baik kembali.

Mereka mengharapkan hujan turun, tetapi mereka takut oleh mendung gelapnya, takut suara guruhnya dan cahaya kilat, dan petirnya yang sambung menyambung di udara. Padahal tiap-tiap hujan lebat sebagai penutup kemarau panjang, mestilah diiringi oleh gelap, guruh kilat dan petir. Kebenaran ilahi akan tegak di alam.

Kebenaran itu adalah laksana hujan. Untuk mengelu-elukan datangnya mestilah gelap dahulu. Yang menggelapkan itu bukan kutuk laknat, tetapi karena bumi itu dilindungi oleh air yang akan turun. Dan guruh berbunyi mendayu dan menggarang; artinya peringatan-peringatan yang keras seiring dengan kedatangan hidayat Ilahi.”

Buya Hamka! Itu merupakan kutipan dari kitab tafsir Al-Azhar!

Bila Buya Hamka menulis-selesaikan kitab tafsir Al-Azhar ketika beliau berada di penjara, bukankah ungkapan keindahan itu hanya bisa diungkapkan oleh seorang yang daripada dadanya diliputi oleh keindahan?

Siapakah seorang ini? Rasanya tak kuasa bila harus melihat wajahnya. Aku takut sikap ketidaksopananku membuatnya lenyap. Aku hanya duduk ditemaninya tanpa menimpalinya.

“Manusia dan binatang ternak sama-sama gembira, bahwasanya hujan yang turun ini akan membawa berkah.”

“Lintuh rasanya tulang, lunglai segala persendian apabila Tuhan memperingatkan ini kepada kita. Betapa pun lengah dan lalai makhluk, betapa pun mereka melupakan Tuhan, bahkan kadang-kadang mempersekutukan-Nya dengan yang lain, namun hujan turun juga dan bumi pun subur, pohon-pohon berbuah. Kita hanya tinggal memetik buah.

Kehidupan manusia di seluruh dunia sangat bergantung dengan turunnya air hujan; kesuburan bumi yang akan mendatangkan hasil, demikian juga makanan bagi manusia sendiri dan binatang-binatang ternak. Bahaya besar menimpa suatu negara kalau sekiranya di sana terjadi kemarau panjang, sehingga manusia kelaparan dan binatang ternak pun habis mati. Sedang zaman modern yang disebut tergantung kepada industri itu pun masih menghendaki hujan. Misalkan saja pabrik wol (bulu) yang akan dijadikan orang pakaian, yang begitu besar di Benua Australia, akan terkaparlah segala pabrik itu kalau sekiranya hujan lama tidak turun sehingga binatang ternak habis mati.

Manusia sendiri pun bagaimana majunya di zaman modern ini, masih saja menghendaki memakan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang segar. Gandum, beras, dan segala makanan yang menghasilkan vitamin dan kalori, semua pada hakikatnya bergantung kepada hujan. Maka diatur Tuhan langit yang berada di atas kita, lalu menurunkan hujan, dan bumi menampungnya dan makhluk hidup di atasnya.”

Kalau kita di zaman modern ini hidup di kota besar, dengan memutar kran air saja, air telah memancar berapa kubik yang kita sukai, maka kenangkanlah betapa ribut penduduk kota kalau sekiranya sentral air itu rusak, sehingga terhenti mengalir ke setiap pipa. Betapa gelisahnya orang di kota ketika itu. listrik tidak jalan. Segala kegiatan terhenti. Ketika itu terasalah bahwa bukan kita yang menguasai air.

Demikian juga kalau musim kemarau telah panjang, sehingga sawah-sawah menjadi kering dan padi yang baru akan besar mati karena kering. Adakah pada waktu itu manusia mempunyai simpanan air sendiri (reservoir) yang mencukupi?

Bukankah manusia kembali menunggu belas kasihan hujan?”

Ternyata, kitab suci tidaklah sederhana berisi perintah dan larangan. Ini soal kehidupan manusia yang pelik dan dinamis. Tidak hanya ancaman, namun juga keindahan-keindahan, obat hati, membuat manusia merenung. Berefleksi. Berdiantarakata. Aku suka sekali diksi seorang ini, “Bukankah manusia kembali menunggu belas kasihan hujan?

“Kadang-kadang kita telah mengharap hujan akan jatuh di bumi kita sebelah sini, karena tanam-tanaman sudah sangat kering tiba-tiba dia jatuh di tempat lain. Maka kedengaran guruh dan guntur, dan kilat pun sabung-menyabung, demikian dahsyatnya hingga mata pun bisa silau memandangnya.

Memang apabila kita naik kapal udara dalam perjalanan yang jauh, benar-benar kelihatanlah kadang-kadang awan itu besar dan tinggi laksana gunung, bahkan lebih besar dari gunung, maka terasalah kecil kapal terbang yang kita tumpangi itu di celah-celah awan-gumawan. Awan-awan laksana gunung itulah persediaan yang disediakan Tuhan buat hidup kita di atas dunia fana ini, karena senantiasa memerlukan air.”

Narasi-narasi keindahan dalam beragama, sebagai kekuatan pembebas, pemersatu manusia, peneguh solidaritas, kekuatan penggalang aksi kemanusiaan.

Malam semakin larut, aku pernah membaca kutipan Buya Hamka mengenai malam. Sebab bagi Buya Hamka, malam adalah puisi.

Dalam sebuah ayat, “Dan Dia yang telah menjadikan malam itu untuk kamu menjadi pakaian, dan tidur untuk istirahat dan siang untuk bangkit bangun kembali.

Hamka jelaskan, “Alangkah halus ibarat yang dinyatakan Tuhan pada ayat ini. apabila segala tenaga dan energi kita telah kita tumpahkan bagi kepentingan hidup kita di siang hari, bertani, berniaga, berusaha, berkantor, berpejabat dan belajar. Berjuang ke medan hidup dipelopori oleh cita dan cinta, beransur sebagai beransur turunnya matahari, tenaga pun mulai habis dan hari pun mulai senja, kita kembali ke rumah kita. Kita tinggalkan segala haru-hari yang membisingkan kepala.

Dan hari pun mulai malam.

Cahaya matahari berganti dengan cahaya lampu-lampu. Dengan tidak disadari maka keteduhan malam menenteramkan kembali jiwa dan raga kita. Bercengkerama dengan anak dan dengan istri. Kita bertawajjuh dan bermunajat kepada Tuhan mensyukuri nikmat-Nya. Dan semuanya itulah pakaian (libaas) yang sejati. Pakaian-pakaian yang kita pakai siang hari telah kotor kena keringat dan telah kita tanggalkan. Dan bila hari telah malam, kita mulai melekatkan pakaian yang bersih; bersih lahir dan batin. Kita hidup bersenyum simpul dengan istri teman hidup kita. Kita adalah pakaiannya dan dia adalah pakaian kita.”

Aku hendak bertanya, apakah ketika Buya Hamka menuliskan ini, beliau sedang menatap istrinya terkasih yang masih tertidur lelap?

“Hujan pun turun, sejuk dingin, kelayuan hilang baik pada orang ataupun pada binatang, atau pun pada tumbuh-tumbuhan. ‘Supaya Kami hidupkan suatu negeri yang telah mati, dan Kami beri minum segala makhluk, baik binatang atau manusia yang banyak itu.’

Bila hujan telah turun, walaupun hanya sejam dua jam, bahkan kadang-kadang seperempat jam saja, kelihatan desa yang telah mati menjadi hidup kembali. Kegembiraan terbayang pada segala mata.”

Suatu tafsir terhadap ayat “dibuat pada pagi hari Arba’a tanggal 17 Juli 1963, 26 Safar 1383. Sudah hampir sebulan di Jakarta tidak turun hujan, segalanya kelihatan lesu, kebetulan penyaringan air di Pejompongan rusak pula, sehingga air saluran untuk rumah-rumah penduduk terpaksa dibatasi, sumur mulai kering, bahkan aliran listrik pun sebab air yang menekan meskin listrik telah kurang pula tenaganya. Tiba-tiba pada malamnya hujan sejenak, kira-kira setengah jam. Setelah hari pagi, tanaman-tanaman di hadapan rumah kelihatan menghijau, membayangkan kegembiraan, dan rumput di halaman Mesjid Agung Al-Azhar mengangkat muka, menengadah langit mengucap syukur!”

Buya Hamka teringat pada sebuah ayat, ‘Dan sesungguhnya telah Kami edarkan (hujan itu) di antara mereka agar mereka kenangkan.’ Agar mereka ingat bahwasanya kekacauan sedikit saja dari turunnya hujan itu akan sangat besarlah pengaruhnya atas kehidupan mereka dan sandang pangan mereka.”

“Aku adalah apa yang kamu pikirkan.” Ucap seorang yang datang sebagai cahaya itu menyadarkanku, aku tak sadar bahwa itu merupakan ungkapannya yang terakhir pada pertemuan malam itu.

Buya. Aku tahu bila hujan adalah keberkahan. Hujan seperti doa tetumbuhan kepada Tuhan yang menjadikannya hujan. Kini alam telah menjadi rusak. Manusia barbar memperkosanya tanpa bertanggung-jawab. Bencana hampiri silih berganti, hujan masih deras mengairi apa. Inikah sebentuk tangis hujan menyelami kesedihan kekasihnya di bumi?

Tiada jawaban. Lenyap. Tak ada seseorang di sisiku.

Puisi Hujan #13

aldiantara.kata

 

Dengarkan hujan ingin berkata apa? Ia terdengar menekan. Kali ini ia beritme. Ketukan-ketukan. Keras dan lembut.  Apakah ia bahasa alam? Ia tidak seperti percakapan lirih yang disebut curahan, atau bisikan yang disebut doa, hujan pagi ini seperti kera menyerang manusia yang merusak habitatnya. Apakah hujan marah? Penjual gorengan yang mendorong gerobak berdua dengan kekasihnya, menahan nafas, berhenti jeda dari jalan menanjak. Pengais sampah yang terkulai terpejam melipat setengah bajunya ditamui hujan. Mengatur nafas dari paru-parunya yang tak lagi muda.

Dengarkan hujan ingin berkata apa? Ia terdengar menekan. Hujan pertama pada awal tahun. Rintik yang tak sama. Membawa ragam tafsiran-tafsiran. Lembaran baru. Harapan yang akan membawa pada hari di akhir masa, yang membawa sesal tiada guna, yang segera dibasuh hujan kepekatan silam.

Akhir dari Cerita Hujan (2020)

aldiantara.kata

 

Kau tau sebab manusia senang dengan momen rewind? Suatu tanda manusia senang berefleksi. Mengingat-ingat. Bukankah benar suatu ungkapan bahwa seseorang tidak bisa merubah masa lalu, namun bisa merencanakan masa depan?

Rintik hujan selalu punya sejarah.

Masih dengan lagu-lagu yang sama, perasaan yang dipaksa untuk merasa lega.

“Tafsir terhadap hujan: turunlah hujan atas kuasa Tuhan agar sang penjaja koran dan sang pengamen mampu berteduh di tempat khalayak ramai. Agar nurani manusia saling merangkul. Agar khalayak tahu pentingnya menyalurkan hartanya kepada mereka, tanpa menegaskan siapa yang dermawan, siapa dhuafa.” (Puisi Hujan #2)

“Tiga hari ini hujan datang pada pagi hari. Adakah seseorang menemani. Manusia datang menghampiri berbincang dengan bahasa yang tidak dimengerti. Sudah kukatakan bila hujan datang sebagai teman. Ia turun mewakili air mata yang memilih untuk tidak dialirkan mata. Bahkan seorang kesepian enggan menjadikan air matanya sebagai temannya sendiri.” (Puisi Hujan #3)

“Kepada hujan yang kelak datang menjelang fajar…
Ubahlah rindu menjadi kesyahduan yang tersampaikan pada kekasihnya.”
(Puisi Hujan #4)

Hujan adalah pesan. Hujan adalah bait doa.

“Hujan. Posisimu berada lebih dekat dengan Tuhan. Bungkuslah makanan-makanan surga-Nya dengan lapisan air. Agar si yatim dan piatu bisa makan buah pada musim hujan. Bungkus pula batang-batang emas surga-Nya dengan lapisan air. Agar si Bapak mampu membayar bunga rentenir yang kian mencekik guna keperluan pendidikan anaknya.” (Puisi Hujan #5)

Hujan adalah tragedi manusia tanpa kenal reda.

Kala musim hujan, setiap manusia membuat tenda ketjil di depan rumah-rumah mereka. Agar para musafir bisa berteduh dan mengunyah goreng pisang panas dan sebuah jeruk, serta segelas teh manis panas.” (Tenda Hujan)

Kekasih. Bila keesokan pagi kau temukan air yang tergenang di depan rumahmu sisa semalam, barangkali airnya mengandung pesan puisi yang mengetuk pintu hatimu. Bila malam ini kau sulit tidur, dengarlah rintik-rintiknya, meski diksi-diksi ini tak seagung air dari langit. Tak se-syahdu malam yang menyatukan para pecinta di bawah derasnya.” (Puisi Hujan #6)

Hujan adalah rayuan.

“Hujan tlah dan sebelum
Bumi basah tanah terinjak
Kau datar menjadi alas bagi demonstran juga aparat.
Kau yang tak berpihak tanpa sebut sepatah kata
Kau yang punya cinta tanpa mau buka suara
Kini kau sibuk bersetubuh dengan hujan tanpa mau berpuisi”
(Puisi Hujan #7)

Bila hujan mengusap jejak langkahmu agar aku tak bisa mengikuti,  jangan bersedih sebab isak tangismu tlah tertinggal di banyak bekas baju sisa pelukan. Menuntunku menjadi pelabuhanmu meski enggan dikau bersuara apa sebab.

Izinkan aku menjadi hujan dalam deras dan rintiknya. Membuatmu tertegun sesaat, mengenangku lalu, dalam ketiadaan. Menyambut pelangi sebagai tanda permulaan baru. Terlupaku.” (Puisi Hujan #8)

Hujan adalah bekas air yang mengering terinjak, terlupa.

Rindu merupakan kepedihan dari rintik menuju deras hujan, yang takkan pernah terbasahi. Setelah sekian lama rentang waktu tak bertemu, tak bisa luka rindu terobati dalam esa pertemuan. Ia akan terus mencari sabtu, dan waktu.” (Puisi Hujan #9)

Seseorang mengatakan kepada sang gadis, “Jalan menuju rumahmu yang berandanya berdebu dahulu merupakan jalan rusak, tengoklah, kini tiada lagi jalanan berlubang dan berbatu tajam ke arahmu, kini sudah diperbaiki. Bahkan kini rintik menziarahi tiap jengkalnya.” (Puisi Hujan #10)

Hujan menjadi perantara penyembuh ajaib!

“Meski rintik yang ditemani angin menggerakkan tirai-tirai jendela, mengapa suaranya tak sampai pada indera pendengaran. Tak terdengar. Apa mungkin ia terhalang pikiran manusia yang padat. Kesibukan yang menghiraukan sekeliling. Ambisi menjadi kapas menulikan. Hingga hirau kepada suara alam.” (Puisi Hujan #11)

Hujan menjadi…cerita yang terlupa. Diantarakata.

Puisi Hujan #11

aldiantara.kata

 

Hujan mengencani malam dengan intim. Tanpa busananya, memburu dengan gairah. Desahan bercinta mereka yang menjadi terapi sulit tidur. Kecuali trauma yang sulit disembuhkan. Atau kecemasan yang buat mata enggan terpejam. Dada yang tak berhenti berdebar. Hati tak kunjung bersabar. Dirimu yang tak jua sadar.

Langit hari kembali nyanyikan nada instrumental. Orkestra langit yang hanya bisa direkam manusia dengan alat-alat kekinian, tanpa bisa ditiru romansanya.

Meski rintik yang ditemani angin menggerakkan tirai-tirai jendela, mengapa suaranya tak sampai pada indera pendengaran. Tak terdengar. Apa mungkin ia terhalang pikiran manusia yang padat. Kesibukan yang menghiraukan sekeliling. Ambisi menjadi kapas menulikan. Hingga hirau kepada suara alam.

“Tidak. Ini adalah hal biasa. Apa mungkin kau sahaja lah yang tak punya kerja. Terlalu banyak waktu untuk menjadi peka. Tak biasa beraktifitas rutin.” Jawab waktu.

Seperti terdapat dua pilihan di masa depan, wajah pekerja dengan job deskripsi kerja yang sama, atau berhenti lantaran pekerjaan lama tersingkirkan tenaga muda.

Pada abad ini, mudah sekali orang menjadi iri. Senyum yang terlihat lewat feed medsos tak menularkan kebahagiaan bagi yang melihatnya. Pemandangan indah latar foto tak buat orang ingat penciptanya. Semakin menyadarkan agar kembali kepada rutinitas dan bekerja lebih keras! Dapat uang lalu cari pemandangan bagus.

Suara hujan kini tak lebih dari suara musik latar kafe yang berlalu. Hujan adalah isyarat alam yang ditakuti menjelang sore. “Keburu hujan.”

Adalah tanda orang panik selamatkan diri. “Yah.”

Hujan yang tak dinanti.

Bawa aku kembali kepada memori silam, bersama orang-orang yang berarti.

Hujan tlah kembali. Tidak lagi menyeruak wangi tanah. Tlah berganti dengan bau hand sanitizer.

Wangi hujan yang samar oleh bau tajam alkohol, kelamin dan pejuh. Sekaligus.