“Seorang akademisi, mereka itu pasti bicara by literature menurut mereka, artinya sumber-sumber yang dipercaya menurut mereka. Kan tidak perlu semua orang percaya dengan sumber-sumber mereka, saya juga punya sumber sendiri…hanya keberaniannya ada atau tidak? Keberanian untuk mengungkapkan yang berbeda dan logis.” –Budi Setiawan a.k.a. Budi Dalton, Dosen-Aktor.
“Tapi saya pikir hadiah terbesar yang diberikan pada saya dan banyak dari kita adalah kesempatan untuk menggunakan suara kita untuk mereka yang tidak bersuara…saya pikir, kita takut akan ide perubahan personal, karena kita mengira bahwa kita harus mengorbankan sesuatu, melepaskan sesuatu. Tetapi manusia terbaik adalah yang sangat inventif, kreatif dan pandai. Saya pikir ketika kita menggunakan cinta dan kasih sayang sebagai prinsip, kita bisa membuat, mengembangkan, dan mengimplementasikan sistem perubahan yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup dan lingkungan.” Joaquin Phoenix dalam pidatonya ketika memenangi Oscar Best Actor 2020 melalui film Joker.
Tidak terasa. Sudah banyak sarjana diwisuda. Setelah sekian waktu orang bertanya kapan. Bukan aku. 2 KB 2 GB. Data mengalir yang kini tertuju pada pidato pertama rektor baru disaksikan secara online.
Dengan gaya nyeleneh kekinian. Pernah memamerkan sebuah lukisan melalui salah satu medsosnya. Apakah Pak Rektor tertarik menjadikan melukis atau teater menjadi matakuliah wajib perkuliahan?
Siapa tahu mahasiswa bukan saja pandai melukis tentang gunung kembar dengan matahari di antara keduanya atau laut dan pohon kelapa. Namun juga pandai menggambar klepon atau martabak.
Belajar dengan Bapak sebelum menjadi rektor sangatlah menyenangkan. Sebelum menjadi rektor, aku menyalami Bapak, padahal ketika itu aku sedang bersiap futsal, dengan kaos futsal oranye namun masih memakai celana jeans. Bapak bilang, “Bajunya bagus. Kalau kamu masuk kelas saya, ndak apa-apa.”
Penasaran. Singkatnya, setelah mengambil matakuliah beliau, tidak ada aturan di kelasnya kecuali mahasiswa yang masuk harus punya bekal bacaan yang cukup. Tidak ada presentasi: yang ada, Bapak hanya menunjuk acak mahasiswa, lalu tanya: “Anda membaca apa?” Lalu mahasiswa yang ditunjuk menjelaskan bla bla bla. Kalo hasil bacaannya singkat, biasanya dikomen, “Udah? itu saja?” atau kalau cukup bagus, “Nah ini baru mahasiswa saya.”
Namun karena sudah tau triknya. Pokoknya yang penting asal ngomong panjang. Biasanya beliau respon dengan pura pura tidur atau pura pura berpikir. Berkuliah begitu sederhana namun menggugah. Kuliah berarti sharing soal bacaan beragam yang tak terbatas. Layaknya kritik pada kelas perkuliahan kebanyakan yang monolog dari dosen atau presentator yang mirip khutbah Jum’at dibanding diskusi ilmiah. Di buka dengan doa. Di akhiri dengan doa. Tidak ada bantahan-perdebatan, atau ide segar muncul ke permukaan. Malu malu tai biawak Tunisia. Malu malu tai kadal Aljazair.
Seakan beliau katakan tak penting baju yang dikenakan, tapi persiapan atau ide yang mahasiswa geluti.
Ah, kok aku malah tulisanku mengalir dengan damai berbicara soal wisuda dan suasana perkuliahan. Padahal aku mau curhat moodku memburuk ketika mendengar seorang teman yang ditolak judul skripsi oleh dosennya. Teman kirimkan screenshot percakapannya. “Ganti judl sj mas geh. Cari tokoh yang otoritatif di bidang tafsir ya. Gak meyakinkan tokoh yang dikaji. Tidak ada diskursus akademik yg cukup signifikan utk dikaji.”
Barangkali lantaran aku yang sudah membaca cukup banyak karya-karya tokoh tertolak dalam proposal skripsi temanku itu, prasangka buruk ku katakan sang dosen belum cukup membaca tokoh kajiannya. Aku ngga mengatakan Eko Prasetyo (Ekopras) seorang mufasir. Dalam karya terbarunya “Tafsir Progresif Al-Ashr” beliau katakan memang karyanya bukan tafsir, juga sebetulnya dikatakan hal senada dalam karya-karya sebelumnya, Al-Alaq dan Kitab Pembebasan. Namun sebagai seorang aktifis, Bung Ekopras berusaha memahami ayat-ayat al-Qur’an menurut kemampuannya. Aku hanya berpendapat gagasan-gagasannya layak diteliti.
Bukankah semua soal perspektif atau problematisasi. Apa karena beliau bukan seorang ‘ulama’, tidak paham bahasa Arab serta syarat-syarat mufasir lain yang ketat.
Pikiranku berkelana menuju tulisan Ingrid Mattson. Dikatakan di dalamnya: “Tuhan memberi kaum muslim, individual maupun kolektif, penglihatan dan pendengaran, dan kecerdasan untuk mempelajari konteks linguistik dan historis al-Qur’an. seseorang tidak mungkin menguasai semua aspek ajaran al-Qur’an meskipun ia habiskan seluruh masa hidupnya…Memang, banyak orang Islam paling berpengaruh (secara positif atau negatif) yang membuat klaim tentang al-Qur’an pada abad ke-20 tidak dididik sebagai ulama.
(Ingrid Mattson mencontohkan) Sayyid Qutb dikenal sebagai penulis yang menarik perhatian orang Arab dengan pemaparannya tentang keputus-asaan banyak orang terhadap para penguasa di Timur Tengah yang sombong dan menindas. Ia menuliskan kegelisahannya itu dalam tafsirnya yang terkenal, Fi Zhilal al-Qur’an.
Abu al-A’la al-Maududi pendiri Jemaat-e-Islami di India…adalah seorang jurnalis. Dengan diterimanya argumentasi bahwa pintu ijtihad harus dibuka dan bahwa ijma’ harus diperluas sehingga bisa mencakup suara orang-orang nonpakar, para penulis seperti Qutb dan Maududi tidak merasa terhalang oleh latar belakang keilmuannya untuk menerangkan makna al-Qur’an.”
Sialnya aku dalam tulisan ini seperti mencari pembenaran dan pembelaan. Tapi kurangajar juga dosen itu. Seorang temanku yang lain bermaksud meneliti teori maqashidnya setelah pengukuhan guru besarnya. Dosen itu girang dan menunjukkan langkah-langkah selanjutnya agar teorinya bisa diangkat sebagai penelitian. Oh, apa karena Ekopras bukunya tak berjudul bahasa Arab, atau namanya tidak ada Abu atau ada Al Al nya, bacaan dosennya bermasalah atau aku yang bebal.
Berapa banyak skripsi membahas mengenai Sayyid Qutb atau Maududi. Ahsudahlah.
Pikiranku mengembara pada tulisan Ziauddin Sardar mengenai Otoritas Penafsiran. Sebelumnya, padahal melalui dosen itu dalam ruang perkuliahan yang selalu menekankan bahwa teks al-Qur’an terbatas, sementara konteks yang melibatkan tafsir al-Qur’an harus selalu aktual seiring dengan berkembangnya zaman. Mengkritik tafsir al-Qur’an tidak sama dengan mengkritik al-Qur’an.
Dalam tulisan Sardar: “Untuk mempertahankan dominasi mereka atas orang yang mungkin menafsirkan al-Qur’an atau membacanya dengan cara yang berbeda, para ulama itu menggunakan sejumlah taktik. Mereka mereduksi konsep al-Qur’an tentang ‘ilm, yang merujuk pada semua jenis pengetahuan, menjadi hanya berarti pengetahuan agama. Kemudian, mereka menyatakan bahwa orang yang punya pengetahuan agama lebih mulia daripada orang yang tidak memilikinya. Mereka mereduksi konsep Islam tentang ijma’ yang berarti kesepakatan semua orang menjadi kesepakatan segelintir ulama pemilik hak istimewa, yang dicapai melalui proses yang panjang dan berat. Pengertian itu menutup pintu ijtihad atau penafsiran baru.”
Ohya, kutipan di atas bisa jadi berbahaya bila dipahami serampangan, seakan secara bebas dan tanpa keilmuan apapun memahami kitab suci, bahkan dipelintir demi kepentingan praktis atau tujuan tertentu yang mencederai kemanusiaan. Namun, coba saja baca tafsir progresif Ekopras mengenai Kisah dalam al-Qur’an, Surah Al-Alaq atau karya terbarunya Tafsir Progresif Al-Ashr. Dari asbabun nuzul, makna harfiah hingga kritik sosial kepada kondisi kini dibahas didalamnya. Tidak jarang juga beliau kutip pandangan mufassir kenamaan seperti Thabari, Sayyid Qutb, Hamka hingga Quraish Shihab, dll.
Kondisi sosial yang terus bergerak, sementara sebagian penafsiran yang kolot cenderung merepitisi penjelasan-penjelasan lampau, agama cenderung pasif merespon, bukan mengilhami kreatifitas-kreatifitas yang cenderung baru. Ah apa karena buku Ekopras terbitan Yogyakarta, bukan terbitan Beirut Lebanon? Konteks seringkali tak menunggu kondisi seorang yang memahami al-Qur’an harus ‘mapan keilmuannya’. Sisalah agama yang ompong dan menjelma sebagiannya menjadi brand bisnis dan keuntungan laba pasar.
Dalam tafsir progresif al-Ashr, seseorang mengkritik dengan memahami bahwa rugilah waktu manusia yang dihabiskan untuk memenuhi seluruh keinginannya. Seseorang mengkritik melalui pemahamannya terhadap Surah Al-Ashr, “…manusia memahami waktu dalam konsep yang ekonomistik: bertambah usia, bertambah dewasa, bertambah kaya. Bahkan waktu manusia dikuras untuk mengumpulkan, mengakumulasi, dan menyambut hidup dengan perhitungan laba dan rugi. Manusia telah menyetarakan waktu dengan nilai uang yang selalu menjadi kiblat kegiatan manusia sehari-hari. Padahal waktu itu tak sama dengan uang.”
Tak usah kusebut siapa “seseorang” dengan pemahaman di atas. Karena orang tersebut bukan tokoh otoritatif. Ia tidak signifikan untuk diteliti. Andai pemahaman tersebut keluar dari pemahaman ‘ulama otoritatif’, dosen itu mesti berkomen: “Geh. Geh. Saya kira ini menarik, Mas.”
Ah. aku memang bebal dan emosional. Memang dilematis, namun pada keadaan ini tiba-tiba aku jadi muak dengan arogansi otoritas.
Pak Rektor. Aku cukup senang pembayaran UKT mundur. Tapi nominal tagihan tak berubah. Sebagai rektor baru yang progresif dan mencintai hal-hal baru dan unik. Buatlah kami tantangan sebagai pengganti UKT. Misal dengan berkolaborasi dengan mahasiswa membuat festival makanan jadul paradigma integrasi-interkoneksi. Lumayan untuk menyambut new normal dengan tetap berpegang pada protonkol. Prokotol. Eh. Protokol kesehatan.
Di dalamnya bisa misal memadukan klepon isi gula merah yang kapir dengan klepon isi kurma atau minyak zaitun. Keuntungan lumayan sekaligus promosi kampus, bukan? Atau dengan membuat film atau konten media dengan target 1000 like dan subscribe. Siapa sesuai target bebas UKT.