Sumber Gambar: Pixabay
Sudah makan?
Ngomong-ngomong, aku jalankan nasihat kakakku, kalau sudah mikir berat, segera harus cari makan enak. Ada betulnya, setidaknya ketika makan lalu menyeruput es jeruk, pikiran jadi agak terdistract. Tidak betulnya, aku tidak pernah merasa pernah berpikir berat. Jangan-jangan memang aku saja yang lemah, berpikir hingga satu titik saja dah puyeng.
Aku pun baru sadar, bahasa lokal mungkin memang memiliki diksi-diksi yang tiada padanannya di bahasa nasional. Sebulanan ini kurang tidur. Project tugas akhir belum menemukan titik kesimpulan. Ngga apa-apa aku ungkapkan di sini. Siapa tau tahun-tahun kedepan aku bakal bernostalgia membaca ini. Imbasnya, jam sarapan harus dirapel dengan makan siang. Setelah aku membaca salah satu cerpen Nukila Amal “Smokol”, juga obrolan dengan J’tahid, kawanku, makan di jam-jam nanggung di Manado itu istilahnya “Smokol”. Sebulanan ini aku smokol.
Menyebalkan rasanya bila terbangun dan kehilangan momen pagi. Menjadi nocturnal. Mata lengket minta digisik. Pola makan berantakan. Kantung mata menghitam. Pada saat yang sama ketika harus menahan lapar, aku menemukan orang-orang yang sama: Bapak menggendong anaknya yang lemas, bersandar pada tembok kampus atau seorang anak ketjil pemulung dengan membawa karung isi barang yang besarnya melebihi ukuran badannya. Duduk di trotoar perempatan CFC, dekat pos polisi bertuliskan KTL UIN. Aku kira banyak teman memiliki frekuensi yang sama dalam menebak akronim KTL. Namun setelah googling, KTL berarti Kawasan Tertib Lalu Lintas.
Ah, aku benci pikiranku.
Hingga pada suatu acara smokol, prasmanan pada sebuah tempat makan. Menaksir harga sebuah tempat makan relatif dilihat dari kendaraan yang parkir dan penampilan para pengunjungnya. Sepertinya ngga ada orang berwajah susah di rumah makan ini. sekalipun beriwayat penyakit, itupun penyakit elit seperti jantung, nyeri sendi atau batu ginjal. Sepertinya nyaris tiada yang punya riwayat asam lambung atau maag, kecuali aku dan pekerja kasar yang mengurus taman gazebo.
Bersama teman-teman, mengantri prasmanan ambil piring dan nasi, pilih lauk, lalu membayarnya. Namun ada kejanggalan. Narasi hidup ini kurang asyik. Meski harga makan di rumah makan prasmanan ini relatif terjangkau mahasiswa, tentu tidak bisa sering-sering ke tempat ini.
Rumah makan ini sepertinya tidak cocok untuk korban debt collector. Harganya juga tidak bersahabat dengan seorang Bapak yang mendorong gerobak kosong. Di samping kampus. Kepalanya bersandar pada tangannya sendiri pada besi pegangan gerobak. Menu-menunya terlalu mewah dan lezat bagi pengamen jalan yang berjoged koplo gunakan pakaian badut Upin Ipin di lampu merah. Kulihat sang Bapak sedang beristirahat dengan bermandi keringat, pakaian badutnya dijemur pada sebuah pagar rumah kosong samping lampu merah.
Marilah bergabung pada perjamuan prasmanan yang akan kita rancang dengan bumbu imajinasi absurd: seorang pelanggan menyodorkan piringnya berisi nasi, kikil, pecel, mie dan ayam goreng. Sang kasir kemudian menilik-nilik perawakan dan penampilan luarnya yang terlihat mapan, sang kasir mulai menghitung untuk pembayarannya melalui cash register, jemarinya mulai menari menekan setiap tombol-tombol yang berbunyi wik wik wik wik wik WIK menjumlahkan….69 ribu yang harus dibayarkan. Selanjutnya, dalam antrian prasmanan, giliran di depanku seorang anak yang kemarin malam berbaring pada sebuah trotoar tengah jalan yang dipenuhi tanaman, perempatan lampu merah Gejayan. Memeluk beberapa koran dengan mata terpejam. Kini giliran ia yang menyodorkan piringnya pada kasir. Isinya tidak jauh berbeda dengan pelanggan sebelumnya, bahkan ditambah dua jenang jagung dan dua dadar gulung. Mesin Cash register berbunyi wik wik wik wik WIK. “Total 6 ribu 9 rupiah.”
Aku terkejut. Prasmanan yang pancasilais. Suatu keadilan sosial!!! Tentu saja ini tidak Real. Mungkin karena aku fans Barcelona yang kini sedang puyeng dengan masa depan Messi yang mungkin akan segera hengkang. Heuheuheu.
Pada suatu malam aku tertidur. Bermimpi: dua badut berkostum Upin-Ipin berjoged dengan lagu yang asing di lampu merah, beberapa pengendara terlihat menyisihkan sebagian uangnya kepada mereka berdua. Tak lama, aku termangu. Sebab di kostum badut Upin bukan tertulis huruf “U”, melainkan sebuah poster bertuliskan, “Bagaimana bila aku ini anakmu?” Sementara di kostum badut Ipin bukan tertulis huruf “I”, melainkan sebuah poster bertuliskan, “Pendidikan terakhirku S2”.
Dan dalam mimpi itu, kulihat spion motorku, aku sedang mengenakan seragam pegawai pizza yang harus segera bergerilya menawarkan produk di pinggir jalan yang tidak sejuk.
Anu, ada yang tau kemana arah menuju rumah makan prasmanan terdekat?