Tag: Perjalanan

Perjalanan Rasa

aldiantara.kata

 

Kini, aku tak takut kehilanganmu. Setelah waktu berlalu cukup lamanya, selalu ada masa di mana perasaan menjadi dingin diantarakata, diantarakita.

Kita saling membaca buku-buku jiwa yang sudah lama tak kita sentuh. Aku mungkin ingin tahu apa yang sesungguhnya kau tulis, namun kita sesungguhnya merupakan seorang pengembara yang bertemu di jalan yang berdekatan. Kita berbagi perbekalan, yang terkadang membiarkan kafilah lain berjalan mendahului.

Meski sesekali, atau lebih, kita duduk saling membelakangi, kau menghadap pada cakrawala yang berlainan, namun aku selalu merasa matamu tertuju lurus pada punggungku.

Apakabar?

Langit biru laut, sehabis hujan rintiknya masih terdengar melalui atap bangunan yang kini menaungiku.

Aku tahu mungkin kini kau sedang mendengarkan lagu-lagu original soundtrack drama. Kita boleh berbeda selera, bukan? Heuheuheu.

Rasanya, kau pun tidak terlalu suka pada sastra, meski kau mengaku membeli banyak buku yang sudah lama tak kau baca. Katamu. Berdebu berada pada raknya.

Dalam perjalanan hidup kita, banyak sekali percakapan-percakapan yang kauhindari. Enggan menjawabnya.

Banyak orang bertanya dan memastikan bahwa aku sudah mengenalmu dengan baik sekali, cukup lama sekali. Dalam rangka meresponnya, seringkali aku melempar senyum simpul. Tak bisa menjawabnya. Semakin banyak aku melakukan banyak perjalanan denganmu, kupikir, kita sama-sama misterius, tak banyak bicara, memendam rahasia saling. Semakin banyak aku tak mengetahui tentangmu.

“Aku hendak mengutarakan sesuatu kepadamu, tetapi tidak sekarang, waktu pada masa kini belumlah tepat.” Sudah tak bisa dihitung berapa kali kau mengutarakan pernyataan itu.

Kau pikir aku seorang peramal? Seakan masa depan merupa waktu yang akan berpihak kepada kita. Sementara saat ini adalah perjalanan searah yang kebetulan kita tempuh.

Bagaimana pun, toh aku tidak bisa memaksakan kehendakku, aku tidak ingin sampai kau bercerita dengan penuh tekanan. Indah juga dalam perjalanan kita, yang sesekali sama-sama diam memandangi pemandangan malam sambil mendengar deru suara kendaraan bermesin solar.

Bila kau seorang peramal yang baik, tentu itu menjadi kejutan untukku, sekaligus anugerah untuk kita.

Bila tidak?

Dengan senang hati kita akan sama-sama menerima rahasia masing-masing. Menguburkannya dalam-dalam. Meski demikian, aku selalu merasa kau selalu tahu apa yang kusembunyikan, kau pun mengaku demikian bahwa aku selalu tahu keresahanmu.

Hmm. Rahasia terbesar adalah semesta raya. Tuhan pun memiliki rahasia? Rahasia berharga mahal, sudah banyak menjadi judul-judul buku. Namun, bila sudah banyak orang tahu, apakah buku tentang “rahasia” akan beralih nama menjadi “pengetahuan umum”? Pada saat yang sama, suatu rahasia terkuak, menjadikannya embrio telur bagi rahasia-rahasia baru yang dalam. Begitu mungkin seterusnya hingga salah satunya terpecahkan. Rahasia baru akan selalu bermunculan.

Sebelum kita melakukan perjalanan bersama, kita pernah saling bertukar surel. Saling berkirim pesan, balas seminggu kemudian, mengabar keadaan. Hingga suatu waktu kau menggunakan emoticon ‘^^’ sebagai pertanda kau menggurat senyum. Kemudian teknologi dan kemajuan peradaban menggandeng kita kepada keautisan anyar. Emoji-emoji yang dinamis.

Garis takdir bersinggungan sebagaimana halnya dalam pelajaran matematika yang kita pelajari di bangku sekolah. Namun hal ini berupa garis abstrak yang tak bisa orang pelajari. Luap asmara meletup. Dua garis bertemu membentuk X. Lambat laun bertransformasi bersinggungan lurus sebuah garis. Kita pun sama-sama menyadari sedang melakukan perjalanan dengan tujuan yang sama.

Kita menepi mengunjungi banyak tempat yang indah, menapaki jalan berdekorasi debu, guguran daun yang baru jatuh. Tempat makan kesukaanmu, hingga menenggak air pada gelas yang sama.

Di antara hal yang belum kita lakukan adalah bercinta dan berkembang biak. Tapi tidak apa-apa. Aku selalu punya cara dan variasi melampiaskannya.

Kita adalah pasangan yang tidak suka ada masalah. Daripada membahas kepada hal-hal yang membuat kita tidak nyaman satu sama lain, banyak pilihan topik pembicaraan menyenangkan yang mampu membungkam masalah. Menekannya dengan keras.

Hingga obrolan-obrolan yang selalu memanjang bermuara kepada kejemuan kita, mengabaikan satu hal bahwa suatu pasangan terkadang lebih banyak membutuhkan tatapan daripada kata-kata, canda-canda yang membuat terpingkal daripada harus mengerut kening berpikir dalam, lebih banyak membutuhkan pelukan daripada sekedar basa-basi dengan topik yang dicari-cari.

Kita lebih membutuhkan keheningan-keheningan yang secara alami ada. Kita sesungguhnya hanya perlu menerimanya. Hingga masalah tak terelakkan untuk kita hadapi, muncul. Endapan-endapan masalah kian menumpuk menyumbat metabolisme hubungan.

Kita tidak bisa lagi berpura-pura bahwa hubungan kita baik-baik saja. Kita terlalu takut memiliki masalah. Terlalu takut hingga memikirkan bahwa pada penghujung masalah hanya ada perpisahan. Jangan lagi menghindar, kita perlu berbicara dalam tekanan, suasana yang tidak nyaman, kegugupan-kegagapan dalam menjelaskan. Tidak ada “pokoknya ” dan “yang penting.” Kita perlu berbicara dengan sabar.

Ada yang pernah berkata bahwa dengan saling memberi hadiah maka akan menumbuhkan benih cinta. Namun lambat laun, ketersalingan kita dalam memberi tidak lagi menumbuhkan benihnya. Benih-benih melimpah namun tidak memiliki jarak untuk tumbuh, ia menjadi belantara yang sesak, tak ada ruang untuk berkembang. Saling memberi dalam hubungan kita tak lagi menjadi cinta dan persembahan, kini menjadi kalkulasi yang harus selalu dibalas satu per satu.

Rasa-rasanya. Aku kangen kamu. Sebelum kita melakukan perjalanan, acapkali kau menyiapkan perbekalan. Roti dengan selai coklat. Molen nanas dan ketan yang masih hangat dan renyah. Segelas yoghurt yang sebagiannya masih membeku, hingga kau yang bahkan tak membawa apa-apa, keberadaan dirimu sudah membuatku senang.

Dengan tiba-tiba aku terbangun dan berada pada sebuah keramaian. Namun, kau tak berada disisiku. Aku memikirkanmu. Aku bahkan tak ingat bagaimana sebelum ini aku bisa tertidur. Kapan terakhir bertemu denganmu, saling bertukar perbekalan hingga mendengar cerita dengan suaramu yang sedikit melengking kala bercerita di tengah belantara malam.

Meski nyawaku belum terkumpul, siang hari, rasanya aku kesepian di tengah keramaian. Entah mengapa yang ada pada dekapanku adalah buku diary diantarakata yang penuh dengan tulisanku. Seingatku, aku lebih sering berpikir daripada menulis. Aku bisa meniru tulisan yang ada dalam buku ini hingga aku menyimpulkan segera bahwa ini adalah buku diary diantarakata-ku.

Aku mencari tahu pada buku ini apakah kamu meninggalkan suatu pesan. Atau tanda bibir sebagai pesan terakhir yang kau kecup pada tubuh buku. Kau pernah bilang bahwa bukumu ajaib, sebab bisa mendengar apa yang menjadi keluh kesahmu kemudian tiba-tiba dengan ajaib suara-suaramu sudah terekam menjadi tulisan yang menjadi gaya penulisanmu. Sepertinya kita sepakat bahwa menulis menjadi cara melampiaskan keruwetan pada alam pikir dan belantara rasa.

Setelah kutelusuri, sepertinya tidak ada tanda-tanda pesanmu dalam bukuku.

Kau berada di mana? Apa kau sudah melanjutkan perjalanan? Menemukan saudagar kaya? Atau jangan-jangan kau sudah tiba di negeri Syam. Menungguku? Aku kini tak takut kehilanganmu, karena memang sejak awal kau sudah merencanakan ini? Apakah ini suatu ghosting yang sedang ramai dibicarakan pada keramaian akhir-akhir ini?

Aku belum berani menyimpulkan. Aku hanya harus kembali membaca diantarakataku. Tunggu sebentar.

Perjalanan

aldiantara.kata

 

Bahkan headset tak bersamaiku dalam perjalanan pulang. Biasanya aku kerap habiskan waktu perjalanan sembari mendengarkan banyak lagu, lalu aku tenggelam pada laju waktu yang tak bisa kuraba. Sudah terlalu kangen rasanya untuk segera pulang. Bahasa ibu yang menjadi suatu pertandaku menjadi percakapan-percakapan sopir kondektur, ia seperti memeluk telinga lalu turun ke palung hati.

Aku dibawa oleh kafilah bid’ah, jika pada zaman Nabi. Bermesin modern, beroda empat, bertarif pandemi. Kendaraan-kendaraan yang menyemut, di bawah atap langit manusia berlari diburu waktu.

Menjelang siang, kusaksikan petani-petani menepi sejenak dari terik sekedar menenggak air. Jalanan membelah sawah, manusia-manusia berbagi kemaslahatan atas tanah. Antara yang berlalu dan menetap.

Aku berada di bus yang sama, kekasih. Apakah masih ingat bahwa dikau pernah menemani perjalanan malamku? Kita saling berbagi pandangan mata. Aku berbagi apa yang kulihat di perjalanan, sementara dikau berbagi apa yang kausaksikan di langit kota.

Satu-satunya yang kita abaikan adalah sepi disisi. Hingga salah satu dari kita terlelap, lalu bangun saling mencari. “Sudahkah terlelap?” tanya kita dalam ketersalingan. Besar hati ingin menyelimuti, namun cinta akan semakin kuat dengan kesendirian.

Pentingnya teman perjalanan agar sejenak melupakan kesedihan kala tinggalkan tanah perantauan. Pada titik itu butuh sedikit candaan agar redakan kesedihan. Di perjalanan kita bertemu teman lama. Mengabar keadaannya, hingga terdengar suatu kabar terkait teman-teman yang telah wafat.

Pada sebuah perjalanan klasik, arah jalan yang dirasa tepat. Sikap yang baik barangkali dengan cara tidak memikirkan tujuan. Membiarkan alam berlalu dengan datangnya keindahan baru, melalui pemandangannya yang tak pernah sama. Aku tak sedang tergesa menuju maghrib, mohon jangan dulu sampai tujuan sebelum ini hanya menjadi ingatan yang dikenang.

Pada sebuah angkutan umum, lama tak terdengar seorang ibu-ibu yang menaiki kendaraan ini dengan kaki kanan dan membaca, “Bismillah” berbisik lirih. Pada pintu masuk kendaraan terpampang sticker doa naik kendaraan yang digandeng sponsor calon wakil rakyat daerah berikut nomor pencoblosan. Dari semula aku membayar tiga ratus perak hingga kini menjadi tiga ribu rupiah. Penumpang saling menggeser pantatnya bila supir menyisi mengangkut orang.

Kendaraan ini berlalu melewati sebuah Mesjid Sayyidah Khadijah. Penamaan yang bagus, segera kusimpan-simpan di memori ingatan. Tentu saja menarik penamaan mesjid yang dinisbatkan kepada istri tercinta Nabi Shalallah ‘alaihi wa salam.

Dari supir angkutan umum aku belajar bahwa kesemuan cinta sebagaimana lirikannya kepada gadis desa yang menjadi penumpangnya. Lalu dipaksa pasrah kala sang gadis sudah sampai pada tujuannya. “Kiri!” sang gadis lalu turun memberikan uang. Sang supir dipaksa lupa untuk menjemput ‘kekasih’nya yang lain.

Di perjalanan, aku menyaksikan ada cukup banyak para manusia yang membuang makanan. Bukan berarti lantaran sudah tidak layak. Tapi karena sudah tidak diinginkan, atau karena sudah terlalu kenyang dan malas membungkusnya lagi yang tinggal menyisakan sedikit.

Apa yang kulihat dan rasa selama perjalanan, menjadi suatu yang kutuangkan melalui tulisan ini. berawal pada suatu buku catatan yang kubuka. Aku memikirkan suatu hal. Mengapa buku yang hendak dibaca harus terbuka. Kupahami bahwa sekali sebuah buku dibuka kemudian dibaca, maka ia terbuka dengan konteks sekitarnya. Ia harus berdialog dan terbuka pada hal-hal baru. Meskipun tinta mengering untuk waktu yang semakin melampau. Meninggalkan konteks yang semakin baru.

Sebelum suatu buku berhadap dengan realitas, ia terlebih dahulu menjadi penasihat dan teman yang baik bagi diri manusia. Seperti Sujiwo Tejo yang suka sekali membaca surat Al-Fatihah. Surat tersebut membuatnya terbuka, membuka diri dari berbagai hal. Beliau bergaul dengan siapa pun. Demikian halnya buku menjadi bagian tubuh manusia yang tak disempurnakan Tuhan ketika lahir. Namun Ia perintahkan melalui wahyu pertama kepada Sang Nabi yang agung, perintah Iqra’ ! Renungilah apa yang berada di sekitar, berefleksilah!