Tag: Perempuan Hebat

Mana Mana Dah

Mana mana adalah bahasa Cila yang artinya terserah. Cila kisah dua orang sahabat seperti satu jasad. Mereka mengajarkanku di dunia ini, bahwa hidup adalah suatu anugerah yang wajib untuk disyukuri. Maka nikmatilah kebebasan itu. Hingga mereka lupa menerobos jalan satu arah Sudirman Kota Gudeg. Polisi menyuruh mereka untuk minggir.

Cila bercerita mengenai teman sedaerahnya yang berjalan kaki dari bandara lama menuju kampusnya. Gila! Kau bilang. Tapi kukatakan, bukankah bangsa kita susah berjalan kaki? Kau jawab iya. Cila biasa berjalan kaki di mall. Malam semakin larut. Cila mengambil yang katanya rokok jablay. Asapnya membumbung bersamaan dengan perenungannya akan kehidupan. Kau bilang, aku sampai pada satu titik di mana malas pacaran. Satu putus setelah tujuh tahun, satu menahun hanya menjadi teman.

Langit sudah berganti terang. Pesepeda menerobos lampu merah hampir tertabrak pesepeda motor laju cepat lampu hijau. Seorang Ibu menemani anaknya berlatih sepeda roda tiga.

Cila menahan kantuk dalam obrolan. Materi ceritanya tidak habis-habis. Namun terkadang diam menunggu aba-aba. Mana mana dah. Cila bercerita temannya yang seorang pelukis, harus membakar semua karya lukisannya karena ditakut-takuti dalil agama yang menakutkan penafsirannya, hingga teman kampusnya yang asik threesome.

Sebagai seorang psikolog, belum lama ini Cila mendengar keluh kesah seorang temannya yang mengaku gay yang kehilangan harapan hidup. Setelah diajaknya menonton di bioskop semalam, keesokan harinya bahkan lelaki itu katakan sudah menyiapkan minuman bunuh diri. Cila memeluknya. Lalu ia katakan kepadaku, “Apakah dosa bila psikolog sepertiku memeluknya?”

Cila adalah dua orang perempuan bersahabat. Berbeda suku dan agama. Aku suka sekali dengan kehidupan yang berwarna-warni. Bukan melulu soal mengalir mematuhi aturan-aturan yang membosankan. Kebahagiaan umpama toples ketjil yang ekslusif. Cila yang berhasil menciptakan kebahagiaannya dengan caranya. Cila juga bercerita tentang temannya yang patah hati membawa sebuah buku kosong, lalu menuliskan semua keluh kesahnya di Warung Ijo Kaliurang atas. Suasana yang syahdu. Cila katakan padaku pula, “Kamu sedang belajar patah hati.” Suka-suka nah, Cil.

 

 

Sumber gambar: Pixabay

FTV

Sebuah Film Televisi (FTV). Berjudul “Kejebak Cinta Neng Jamu Gendong” (2016). Bercerita mengenai seorang Ibu penjual jamu, memiliki seorang gadis. Sang Ibu sakit. Digantikan anak gadisnya berjualan.  Bertemu dengan seorang pria yang ternyata merupakan asisten dosen Bahasa Indonesia di mana sang gadis berkuliah.

Begitu kreatifnya kehidupan (di FTV), sang asisten dosen pun ternyata mendaftar les karate yang ternyata mengharuskan ia dimentori oleh sang gadis.

Lantaran perkenalan kehidupan antara sang gadis dan asisten dosen diawali dengan momen yang kurang baik, suatu kali sang asisten dosen mengerjai sang gadis dengan menyuruhnya untuk membacakan suatu puisi di depan kelas. Sementara sang dosen hanya mencontohkan dengan membacakan bait-bait puisi tentang senja dan embun.

Cut Cut! Kini giliran Aldiantara Kata yang jadi sutradaranya. Bait puisi mengenai temaram senja atau embun kadang membosankan.

Aldiantara Kata pun membagikan buku Nyanyian Akar Rumput yang merupakan kumpulan puisi Wiji Thukul kepada seluruh mahasiswa kelas. Maka kuminta pada sang asisten dosen untuk memulai kembali adegan. Sebagian mahasiswa geleng-geleng kepala dengan nama asing Wiji Thukul. Adegan ini sengaja dipilih Aldiantara Kata secara ndadak agar proses film terlihat natural.

Sementara para mahasiswa sibuk membaca puisi-puisi Wiji Thukul diberi waktu tiga puluh menit untuk memilih puisi yang hendak dibaca.

Setelah tiga puluh menit berlalu.

Seorang mahasiswa kedepan membacakan puisi berjudul Kuburan Purwoloyo. Dengan penghayatannya dan penekanan yang kuat, sang mahasiswa membacakan:

Di sini terbaring
Mbok cip
Yang mati di rumah
Karena sakit
Tak ada biaya
Di sini terbaring
Pak Pin
Yang mati terkejut
Karena rumahnya digusur
Di tanah ini terkubur orang-orang yang
Sepanjang hidupnya memburuh
Terisap dan menanggung utang

Ah, mahasiswa dalam ruang kelas terlihat merenung, mengingatkan pada buruh-buruh pabrik di sekitar tempat tinggal mereka dengan kehidupan yang terlihat biasa saja, ternyata menyimpan segudang permasalahan di belakangnya.

Selanjutnya, seorang mahasiswa maju dengan membacakan puisi berjudul Catatan 88:

Saban malam
Dendam dipendam
Protes diam-diam
Dibungkus gurauan

“Protes diam-diam. Dibungkus gurauan.” Para mahasiswa senyum-senyum sendiri. Berlanjut dengan seorang mahasiswi yang membacakan puisi berjudul Sajak Ibu, suasana ruangan perkuliahan semakin panas dengan puisi-puisi Wiji Thukul yang menggugah.

Ibu tak bisa memejamkan mata
Bila adikku tak bisa tidur karena lapar
Ibu akan marah besar
Bila kami merebut jatah makan
Yang bukan hak kami
Ibu memberi pelajaran keadilan
Dengan kasih sayang

Mahasiswa semakin merasa bahwa ruangan perkuliahan terlalu kecil bagi idealisme dan semangat mereka. Terlebih setelah seorang mahasiswa yang maju dan membacakan puisi berjudul Ucapkan kata-katamu.

Jika kau tak berani bertanya
Kita akan menjadi korban keputusan-keputusan
Jangan kau penjarakan ucapanmu.
Jika kau menghamba pada ketakutan
Kita akan memperpanjang barisan perbudakan

Mahasiswa bertepuk tangan mengamini. Puisi yang relevan untuk masa kini. Namun pembacaan puisi belum selesai. Masih ada si gadis pemeran utama yang terlihat geram dan berapi-api terbawa suasana. Sang sutradara, Aldiantara Kata, semakin girang bukan tante, lantaran ekspresi, mimik dan suasana sangat natural betul-betul akan menjadi FTV yang unik menarik. Dalam bayangnya.

Sang gadis menyingsingkan lengan bajunya, maju ke depan. Para mahasiswa memperhatikannya. Ia pun memberi prolog bahwa yang ia bacakan bukan dari Wiji Thukul, melainkan puisi pribadinya. Sepertinya belum diberi judul. Sang gadis langsungs saja membacakan:

Tidak kepala desa. Tidak Camat. Bupati atau Pemimpin lain.
Harus mandi junub!!

HAHAHA. Pecah tawa seluruh mahasiswa. Namun segera mereka kembali menata kembali perhatian menunggu kelanjutannya.

Bukan karena pejuh
Atau menstruasi
Tapi karena dosa biarkan rakyat lapar!

Sekian.

Dalam pikiran Aldiantara Kata selaku sutradara: “Rating. Rating. Rating.” Ah ternyata tidak sampai dua jam. Polisi meringkus sang Sutradara sebelum filmnya tayang, ternyata suasana shooting yang terlalu natural membuat sang sutradara tidak menyadari sebagian mahasiswa merekam adegan pembacaan puisi dan menyebarkannya lewat media sosial.

Sang sutradara gadungan pun ditangkap dengan tuduhan menghasut para mahasiswa yang “penurut dan taat aturan” untuk mencintai keadilan dan keberanian hidup.

Eh, eh. Cerita belum selesai. Sang gadis pembaca puisi terakhir ternyata termasuk 10 besar dalam ajang pencarian bakat acara Sumberwaras Idol. Malam ini ia akan tampil membawakan sebuah lagu. Setelah tampil dengan membawakan Bunga Terakhir dari Bebi Romeo, sang pembawa acara DJ Daniel seperti biasa bertanya-tanya tentang suatu hal pada peserta, “Eh tapi sepertinya aku lihat mata kamu berkaca-kaca banget ketika membawakan lagu ini, bisa ngga kamu ceritakan apa ada kenangan khusus atau pengalaman pribadi tentang lagu ini?”

Sang gadis menjawab: “Aku capek!!!” teriak sang gadis. “Aku jengah harus menjadi komersil iklan, harus mengiklankan produk makanan gang-bang. berpura-pura tersenyum dan membuat orang lain senang. Aku tidak mau jadi kacung industri yang membuat diriku sendiri terasa asing.”

 

 

 

Sumber Gambar: Pixabay

Wiji Thukul, Nyanyian Akar Rumput, diterbitkan oleh Kompas Gramedia pada tahun 2014. Puisi Wiji Thukul di atas merupakan kutipan singkat, untuk membacanya secara utuh silakan untuk membaca bukunya secara langsung.

Gender Mainstreaming Gaib

Konten tulisan ini jangan diharapkan apa-apa. Kategorinya termasuk judul singa analisis kutjing. Di dalamnya belum lepas dari dampak yang dibawa oleh corona. Bisa disebut latepost. Tetapi memang pengalaman ini masih hangat.

Karena tidak boleh mudik, ayahku seorang pegawai kantoran memiliki kontrol yang ketat dari pekerjaannya. Setiap hari tidak bisa tidak untuk meng-update posisi. Tentu hal ini untuk memastikan yang bersangkutan tidak sedang berada di luar kota.

Lebih parah lagi tetanggaku, ancaman dari atasannya, kalau mudik, ya langsung pemutusan hubungan kerja alias PHK.

Selalu ada cara dibalik aturan ketat sekalipun, kenalan Ibuku justru tetap keluar kota melepas rindu dengan orang tuanya, sementara handphonenya dititipkan pada tetangga yang akan mengupdate posisinya agar terpantau tetap dalam kota.

Mudik yang menjadi tradisi tahunan, keluargaku selalu meluangkan waktu tiga sampai enam hari untuk ‘liburan di rumah nenek’. Heuheu.

Tahun ini luangan waktu tersebut tidak tepat dimulai selepas shalat ‘Id. Namun, setelah mendapat izin dari atasannya, berangkat juga.

Melalui media mainstream dan khalayak yang sedang sibuk bahas new normal atau titik puncak pandemi corona, di kampung halaman seperti tak terjadi apa-apa. Tak satu jiwa pun bermasker. Tak seorang pun menjaga jarak.

Corona seperti pandemi perkotaan. Hampir tak memiliki dampak apapun di kampung halamanku.

Aktifitas biasanya tidak jauh dari pertemuan keluarga, orang tua memberi nasihat kepada anak cucunya.

Memasuki usia satu setengah abad lebih. Nenek menjadi tempat kembali bagi anak dan cucunya. Sebagai cucu, ucapan yang lahir dari untaian katanya adalah nasihat kehidupan. Usia yang sudah dijalani yang belum tentu aku mengalaminya.

Nasihatnya menguatkan agar cucu-cucunya berbakti kepada kedua orang tua dan berpegang teguh kepada agama.

Namun di antara nasihat-nasihat indahnya, Nenek katakan, “lalaki migawe pagawean istri, ibadah.” Artinya kurang lebih lelaki yang mengerjakan pekerjaan perempuan (ranah domestik) itu bagian dari ibadah.

Nenek tidak pernah marah pada cucu-cucunya meski Ibu ceritakan karakternya yang galak, tidak pernah menyuruh apapun, yang ada menunjukkan keteladanan tanpa pamrih. Bertahun-tahun Nenek meng-handle ‘urusan domestik’.

Untaian kata yang menjelma seperti mu’jizat. Menundukkan segala ke’aku’an. Melemahkan ego diri. Terngiang pada alam pikiran. Menyisakan malu dan berpikir dalam. Diantarakatanya sangat berat.

Sejauh ini Nenek menimba pengetahuan agama dari Abah—kakekku, juga pengajian-pengajian rutin yang tak pernah absen untuk didatangi di kampung.

Kesadaran akan keadilan gender (secara sederhana) ini meninju muka ‘kaum terpelajar’ sepertiku. Tamatan sekolah dasar saja tidak, mengenal Pramoedya saja tidak, namun sudah adil sejak dalam pikiran.

Nasehat Nenek seperti Gender Mainstreaming gaib. Gaib lantaran diinternalisasikan melalui sekolah kehidupan yang tak ternilai rupiah.

Tak hendak mengatakan sekolah gender tidak penting, namun melihat permasalahan ini tanpa sentuhan pengalaman hidup rasanya kurang mengena’.

Belasan tahun sebelumnya, ketika aku sering berkelahi dengan kakak. Setelah melerai, Nenek sampaikan berulang-ulang hadis man laa yarham, laa yurham. Siapa yang tidak menyayangi, ia tidak akan disayangi.

Hanya sedemikian. Belasan tahun berikutnya, dalam bangku perkuliahan dosen sampaikan konteks hadis mengenai Nabi Muhammad saw. pun ikut membantu urusan domestik, ikut membantu pekerjaan istri, termasuk di antaranya menggendong anak. Sesuatu yang ketika itu tabu, bukan urusan lelaki.

Ah, Nenek. Sayangnya engkau memang tak pandai berkata-kata. Ucapanmu adalah keteladanan. Kata-katamu adalah perbuatan yang kusaksikan.

Pesan Mawar Kepada Tanah: Hari Kartini

Aku sudah melihat banyak perempuan-perempuan hebat di negeri ini. Hanya dalam perspektif sempitku. Mawar perlambang cinta dan keindahan, duri harga dirinya, berdiri di atas tanah merdeka. Tumbuh besar mengkritik pembangunan dan kesenjangan sosial. Berkembang melawan ketidakadilan. Mawar kini bertangkai besi. Berhati lembut mewarisi kerahiman Tuhan. Mawar suci berani bermandikan lumpur dan bangkai. Lelaki-lelaki banyak memilih menjadi caleg daripada mengabdi kepada bangsa negara. Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati. Sebuah lagu. Apakah kini Ibu Pertiwi sudah menjadi janda dan lemah ekonominya? Menggadaikan dirinya untuk kepentingan-kepentingan dapur. Anak-anaknya banyak, namun diwarisi banyak hutang. Di mana kah Bapak Pertiwi? O, jiwa Bapak Pertiwi mungkin sedang menulis tulisan ini. Salah-satunya. Kini Ibu sedang lara, tidak hanya merintih berdoa. Ibu Pertiwi menjelma menjadi mawar bertangkai besi.

Aku melihat mawar merah. Tumbuh menentang otoritas keagamaan yang kolot dan tidak adil. Mawar merah merupakan jamaah pengajian mingguan, di dalamnya wadah pembelajaran al-Qur’an juga kajian tauhid. Wadah tersebut tidak cukup berhenti di forum, masing-masing berefleksi dengan keadaan sosialnya: Banyak disekeliling kaum dhuafa yang perlu diberdayakan.

Bulan suci Ramadhan menjadi titik balik. Bunga suci ini adakan santunan anak yatim dan fakir miskin. Refleksi yang berbuah amal nyata sebagaimana pesan universal semua kitab suci manusia. Mawar-mawar merah bertangkai besi ini meminta kepada manusia ‘berada’ untuk memberikan hak kaum dhuafa yang terdapat di dalam harta-harta mereka. Sekeras apapun para dhuafa bekerja dengan mengasong dan berkeliling, bahkan menjadi ‘budak’ di rumah orang lain, tidak sama kesempatan yang diperoleh dari orang-orang ‘berada’ yang bekerja dengan struktural yang sudah mapan dan koneksi yang bagus.

Bulan berikutnya, mawar merah adakan khitanan massal kaum dhuafa. Seremonial-seremonial tersebut diikuti dengan penggalangan donatur, kemudian dialokasikan kepada keluarga yang terlilit hutang rentenir, biaya konsumsi keluarga dhuafa, hingga pemberian beasiswa agar anak-anak bisa bersekolah. Mawar merah. Mawar merah. Ketika masjid tidak secara merata membagikan daging qurban. Bahkan dhuafa yang tinggal 10 meter di sebelah masjid. Diabaikannya. Qurban seperti hajat pengurus dewan kemakmuran masjid. Dhuafa hanya melihat prosesi penyembelihan dibalik pintu sembari memegang perut sendiri. Tanpa ditanya. Perempuan-perempuan hebat yang menjelma menjadi mawar bertangkai besi bergerak. Menyembelih dua ekor sapi di tempat pejagalan. Kemudian menjadi gerakan alternatif dengan membagi-bagikan daging kepada mustahiq korban ketidakadilan.

Perempuan-perempuan hebat mawar-mawar merah bertangkai besi. Membetulkan rumah dhu’afa yang hampir roboh, memberi suntikan semangat kepada orang yang putus harapan berselimut penyakit. Memberi makan kepada orang yang lapar. Memberi keterampilan agar korban PHK berwirausaha. Melunasi bunga-bunga rentenir yang bengis menyita rumah. Terlebih saat tulisan ini berjalan, wabah corona belum menunjukkan tanda-tanda penurunan jumlah korban. Korban PHK di kota besar bertambah. Sebagian orang kehilangan pekerjaan lantaran dipaksa untuk berdiam di rumah. Perempuan-perempuan hebat bergerak sebagai perpanjangan Tangan Tuhan di bumi.

Perempuan-perempuan hebat bagai mawar bertangkai besi kini menamai diri mereka sebagai Amanah Ummat. Komunitas kecil beranggotakan inti lima orang. Komunitas itu yang kini memiliki dua belas koordinator. Setiap koordinatornya memiliki kurang lebih lima puluh dhuafa. Mawar tidak perlu diajari oleh mahasiswa atau bahkan dosen berwawasan gender mengenai kecerdasan dan kesetaraan. Mawar yang tidak menahbiskan dirinya sebagai dermawan, bergerak dengan nafas ajaran agamanya dan kemanusiaan. Kini mereka pun ikut andil seperti mawar-mawar lain berusaha menutupi perut orang lapar. Setidaknya ketika memasuki bulan suci Ramadhan ada bagi mereka untuh sahur.

Kalau kini marak kriminal dan penjarahan, jangan berikan bogem mentah. Yang sulit kini adalah menekan keinginan diri untuk konsumtif, menurunkan standar hidup serta menutupi kebutuhan-kebutuhan wong cilik. Cara terbaik hidup di tengah wabah kini adalah dengan saling menutupi kebutuhan sesama.

Aku melihat mawar putih. Yang bergerak mensejahterakan guru-guru agama yang diupah kecil. Mensejahterakan tidak dengan menarik bayaran dari anak didiknya, melainkan dengan mencari para donatur. Agar guru-guru agama tidak usah repot-repot memikirkan dapur, dan segera berfokus kepada pengajaran agama kepada murid-muridnya. Juga agar menjadi guru agama bukanlah pekerjaan sampingan. Melainkan upaya serius menyampaikan pesan-pesan keagamaan yang indah dan menyentuh relung kemanusiaan.

Berseteru dengan dewan kemakmuran masjid perihal doa anak-anak yang dikeraskan dianggap mengganggu jamaah yang lain. Berseteru dengan dewan kemakmuran masjid perihal tempat yang dianggap mengganggu jamaah yang lain. Mawar putih dicurigai radikal lantaran berjilbab besar. Bahkan penuduhnya sendiri menjadikan kitab sucinya pajangan di lemari kamarnya.

Manusia tercipta dari tanah. Mawar tumbuh dari tanah. Manusia-manusia bermental feodal-patriarkhal tak boleh remehkan kekuatan Mawar bertangkai besi. Pesan mawar kepada tanah senada: wabah corona tidak saja berimbas pada bidang kesehatan, namun juga dampak serius ekonomi masyarakat. Anggota DPR terpilih tolong untuk turun ke masyarakat. Lihat secara langsung bagaimana kondisi masyarakat. Bagi mawar bertangkai besi, satu nyawa rakyat yang mati, penjara bagi mereka. Agar mereka bisa merenung bahwa menjadi pemimpin bukanlah sebuah profesi, melainkan sebuah pengabdian. Kalau amanah, Mawar tidak perlu repot-repot berafiliasi dengan dukun santet. Tinggal memilih apa mau membersamai rakyat, atau dengan paku payung berkarat bersarang di perut?