Kalau pertemuan bukanlah kebetulan, perjumpaan adalah takdir, serta apa yang didepan mata tidaklah selalu bagian dari yang direncanakan, seharusnya manusia tidak berhenti berefleksi diantara kata-nya. Klise tersebut menjadi mata melihat kenyataan dihadapannya kini.

Seorang pengaku intelektual yang kehilangan takdir melihat fajar hari itu. terbangun menghadap matahari setengah tinggi, serta udara yang sudah bercampur baur dengan kuantitas kendaraan yang jumlahnya tidak bisa dikuantifikasi. Tatapannya samar, mahasiswa itu menatap pekerja kasar yang sedang membangun parkiran kos-kosan.

Mataku melihat para pekerja perlahan, rasa malu menahan senyum yang biasanya terkembang di bibirku. Sementara mereka tak berekspresi apapun menatapku. Dalam pikirku seharusnya, jangan sampai aku kalah kerja keras dengan mereka. Bisikan lain katakan untuk menghibur diri, ‘Untuk menggapai sesuatu, tidak bisa tidak harus ada yang dikorbankan. ‘Penelitian’ ini demi kesejahteraan umat manusia, IPK dan kesuksesan diri.’

Mengobati diri yang biasanya akan lebih memuaskan jika bergandeng dengan lecehan. “Etos kerja tinggi, tetap saja percuma kala penghasilan berakhir untuk modal judi dan minuman. Bukankah lebih baik dinar-dinar itu dialokasikan pada modal usaha?” Diri menjadi sedemikian pongah. Merasa bahwa pelajar selalu bisa melihat peluang sesuatu yang dianggap stagnan, menjadi perkembangan signifikan.

Motor-motor yang terparkir seringkali berantakan. Tak beratap, kendaraan bersentuh langsung dengan terik panas hingga deras hujan. Sesekali harus memindahkan motor ke tempat yang lebih teduh. Para pekerja sementara sudah beraktifitas separuh hari. Duduk menghisap rokok dan menyeruput air putih. Kumasih berusaha mengembalikan kesadaran yang lama terlelap, sesekali menyapu kosnya yang basah lantaran dosa, merapikan kartu remi yang berantakan, serta membersihkan gelas berisi ampas kopi yang telah dimasuki cicak.

Sesekali mata bertemu dengan mata seorang Pekerja. Memunculkan abstraksi kata nyaris terucap, namun menyisakan perenungan dan diskusi kasat mata. Realita yang menghakimi lewat diskusi imajiner. Seolah ingin mengatakan penjaga peradaban saat ini adalah tukang bangunan. Para pekerja ini. Sebab intelektual kini tunduk pada pesanan penelitian, jurnal bejibun yang telah menjadi berhala baru pendidikan tinggi. Terbit jurnal membuat diri puas seakan perubahan telah terjadi, padahal tak sepersen prosentase ekonomi menurun, atau ketimpangan sosial disembuhkan, sudah membuat cara berjalan dengan tegap dan pongah. Seakan telah berbuat banyak dan paling tahu.

Para pekerja sebagai penjaga peradaban sebab yang laris saat ini adalah bisnis properti. Menjaga peradaban berarti menjaga agar pembangunan fisik bangunan terus berlangsung. Bahkan sarjana teknik sipil banyak merambah menjadi pebisnis kuliner, guru agama hingga trader forex. Tapi, siapa peduli para pekerja ini sebagai penjaga peradaban?

Salah seorang pekerja yang tak dikenal tetiba memperhatikan tangan kananku. Kemudian bertanya sesuatu yang sejujurnya tidak terlalu penting namun mengejutkan. ‘Aku masih heran apa rahasia dibalik gaya tulisanmu yang kerap berubah-ubah. Kadang miring, dalam waktu lain lurus, kadang bersambung, ukuran dan penempatannya pun berlainan.’ Pekerja itu tahu kebiasaanku! Barangkali dia pun tahu bahwa dalam perkuliahan, aku tidak suka menggunakan font Times New Roman yang begitu kaku. Sontak aku heran. Belum kujawab diantara kata-nya.

Saat dalam diskusi imajiner ini, cuaca yang biasanya amat terik, kini lebih syahdu, agak mendung jadinya. Masih belum kujawab, entah apa yang membuatku memperhatikan diantara kata-nya. Pekerja itu masih berbicara banyak hal. Sesekali menghisap sebatang di tangan kanannya. Beliau katakan sesuatu hal sederhana. ‘Mahasiswa jangan merasa cukup bertemankan buku. Sesekali bertebaran di tengah khalayak ramai. Jalan-jalan.’

Agar seseorang tahu bagaimana ruang sosial hidup dan terlihat dengan mata sendiri. Membaca problem tidak dari perspektif bacaan yang ditulis oleh orang lain meski itu sebuah fakta sosial. Melalui mata kita sendiri, pengalaman kita sendiri, objek kenyataan diterima oleh seseorang secara langsung, tanpa perantara apapun. Karena menceritakan pengalaman dan keresahan sendiri perihal sesuatu secara langsung dan original (pengalaman pribadi) merupakan sesuatu yang memuaskan.

Bosan rasanya perkuliahan diisi oleh penelitian-penelitian tanpa jiwa didalamnya. Aku hendak mengatakan bahwa indah sekali rasanya penelitian bermula dari problem sosial yang dialami dan rasakan oleh penelitinya. Peneliti harus memiliki keresahan pribadi atas keadaan sosialnya. Aku sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa hal ini tidak mudah. Rasanya, berbanggalah lingkungan akademik ini dapat dimanfaatkan menyusun penelitian pribadi guna memecahkan problem sosial di lingkungan di mana ia tinggal dan dibesarkan.

Cerita yang kuingat, sang Pekerja bercerita tentang seorang Perempuan yang berhenti menempuh pendidikan di menengah atas. Kehilangan Ayahnya yang seorang militer karena sakit. Tersisa di sampingnya seorang Ibu dan dua adik-adik perempuannya yang masih bersekolah dasar. Pekerjaannya silih berganti dari mulai penyanyi cafe, penjaga stand makanan, atau karyawan salah satu toko di mall.

Pemasukan dari pekerjaannya tidak mencukupi biaya sekolah adik, Ibu dan sehari-hari. ‘Apa yang bisa kulakukan selain mendengar keluhnya? Aku tidak bisa meminjamkan modal.’ Keluh Pekerja. Keluarganya tidak tahu kalau Perempuan yang tegar ini tetap berdiri tanpa rasa takut. Ia mencari lelaki hidung belang dengan mahar menutupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Saban malam pulang membawa kabar gembira dengan tentengan lauk makan malam.

‘Pada nyatanya, ia tak sekuat itu.’ Pekerja mencari korek menyambung rokoknya. Kemudian melanjutkan cerita. Mata kami tak bertemu, kepalanya mendongak ke atas menuju ranting pohon mangga. Pandanganku menatap ke bumi sembari memainkan kerikil. Sang Ibu dari Perempuan itu pada akhirnya menikah lagi agar ekonomi lebih stabil serta ada yang melindungi keluarga. Namun benar adanya bahwa ‘sabar’ bagi wong cilik adalah nafas hidup. Ayah tirinya ternyata seorang pengangguran. Meminjam dana pada rentenir untuk modal usaha angkringan. Akan tetapi perempuan yang kuat ini harus pontang-panting menutupi hutang.

Lelaki belang masih menjadi salah satu sumber penghasilan bagi sang Perempuan. Masalah baru muncul. Ayah tirinya kerap kali melakukan perilaku kekerasan pada Ibu dan kedua Adiknya. Terkadang pulang dalam keadaan mabuk. Geram sekali Perempuan ini. sang Pekerja sesekali menunjukkan ekspresi dan tatapan yang menirukan wajah sang Perempuan. Tangan kanan sang Perempuan memegang foto sang Ayah yang terlihat memakai seragam militer. Rindu. Teriak hatinya dalam bayang keputus-asaan. Air matanya tertahan. Ia tahu bahwa hidup harus dilanjutkan. Segenting apapun, seburuk apapun. Terkadang perempuan ini harus maju memasang badan melawan lelaki yang ia insafi sebagai Ayah tirinya. Kekerasan takkan pernah dibenarkan. Atas nama apapun.

‘Sebuah kabar buruk dan baik datang bersamaan.’ Sambung sang Pekerja. Beliau mematikan rokoknya yang sudah mulai panas dirasa tangan. Sang perempuan telah berhasil menemukan cintanya dan orang yang mencintainya. Lelaki tersebut adalah kiwirnya. Seseorang yang menjadi ‘pelanggan tetap’. Perempuan telah hamil. Tidak lama setelah itu, dilaksanakan pernikahan.

Buah hati yang kini telah lahir seakan menjadi oase di tengah penderitaan yang takkan kunjung sembuh. ‘Bahkan kini perempuan yang kini menjadi seorang Ibu membuat status whatsapp memperlihatkan perkembangan buah hatinya.’ Tulisnya: ‘Jagoannya Bunda dan Ayah. Jadilah anak sholeh, berbakti kepada orangtua.’ Bahkan di tengah kabut, cahaya mungkin akan muncul. Di tengah penderitaan, harapan pasti akan datang.

‘Rubahlah sesuatu, Pemuda. Jangan sampai kertas penelitianmu jadi bungkus nasi kucing yang kami makan ini.’ Ah kupikir aku bahkan tidak sedang benar-benar melakukan penelitian.

Buku yang kubaca ini bisa jadi produk zaman, yang suatu waktu akan berlalu. Sementara konteks sosial kehidupan selalu berubah dan pelik. Buku hadir merespon zamannya. Jiwa terdidik tidak boleh berhenti sebagai pemerhati sosialnya. Kesejahteraan sejati mungkin berat mewujudkannya. Tapi jangan sekali-sekali mengkhianati tugas dan amanah intelektual. Ilmu tidak bisa untuk ilmu.

Jika hari ini sebagian pelajar bekerja menjadikan penelitian sebagai ‘bisnis’, tidak sedikit juga dana yang ‘dilipat’ dalam penyelenggaraan kegiatan. Apa bedanya pelajar dan orang-orang proyek yang bekerja sesuai pesanan dan motif ekonomi. Maka kini bukan saja tentang etos kerja, melainkan orientasi pendidikanku yang harus berpihak kepada kaum tertindas. Aku padamu, Pekerja. Tiada ada beda diantara kata dan perilaku kita. Dalam kebrengsekan, kita yang selalu turut pada atasan kita, yang memberi kita uang. Dalam keresahan, kita yang sama merasa puas setelah ini dibicarakan, mengangguk tanpa berdiri melakukan perubahan.

Aku pun sadar dengan diskusi imajiner ini. Kulihat para pekerja tetap lugu dan menerima takdir. Aku harus segera pergi ke kampus, segera, tugasku belum selesai, agar dapat nilai A, me(rasa)njadi pintar, lalu kembali pada tidurku yang terlalu malam. Hingga kutemukan para pekerja lain. Pekerja lama bahkan menyelesaikan proyeknya demi kebaikan sosialnya. Sementara aku menjadi peneliti bunglon, yang menyesuaikan permintaan dosen.*