Tag: pembangunan

Ditugu

Sudah bukan lagi pemain calung yang menghibur pengendara di lampu merah. Di perempatan Gramedia, pemain saksofon membawakan lagu-lagu yang tak kukenal. Sesekali para pemainnya melirik pengendara mengambil perhatian. Kuning, lalu hijau. Kendaraan melaju. Suaranya mengetjil lalu terngiang dalam alam pikir.

Pikiranku malah hinggap pada suara saksofon Film Ada Apa Dengan Cinta 2 berlatar Brooklyn, New York. Awal ketika Nicholas ‘Rangga’ Saputra muncul.

Pikiranku juga malah mengembara pada film Titanic pada tahun 1997an, di mana terdapat grup musik masih bermain biola di antara para penumpang yang panik menyelamatkan diri kapal yang karam. Hingga salah seorang dari grup musik The Unfinished berkata, “What’s the use? Nobody’s listening to us anyway.” Seorang yang lain meresponnya, “Well, they don’t listen to us at dinner, either. Come, on. Let’s play. Keep us warm.” Kemudian mereka memainkan “Orpheus”.

Sudah lama tak duduk sambil melihat tugu kala malam. Banyak orang melakukan hal serupa sambil bergurau. Padahal malam sudah larut. Teh panas dipesan sudah menjadi dingin. Aku malah memesan es jeruk dan dua tusuk tempura bakar.

Lampu merah menyala. Selalu ada kendaraan berhenti menunggu. Seseorang menggodaku agar berpose ikonik seperti The Beatles yang sedang menyeberang di atas penyeberangan pejalan kaki di Abbey Road, London.

Pada akhirnya malam menggoda agar manusia menceritakan nasibnya yang kelam. Seseorang menyanyikan lagu Let It Be, “And when the broken hearted people living in  the world agree, there will be an answer, let it be. For though they may be parted, there is still a chance that they will see. There will be an aswer, let it be.”

Kuning menuju merah. Kendaraan berhenti. Seorang kakek dengan gerobak sampah. Memegangi perutnya yang kelaparan, dihantam dingin malam. Pikiranku lagi-lagi berkelana pada kisah Nabi Sulaiman as. yang hendak memberi makan makhluk darat dan laut. Tuhan tak mengizinkannya. Kenyataannya kekayaan dimiliki tidak bisa mengenyangkan makhluk-Nya.

Apalah aku yang miskin namun dengan keinginan sebesar Sulaiman as!!! Apakah dengan air mata mampu mengenyangkan perut-perut mereka yang dendam terhadap pembangunan membabi buta?

Kekasih. Kau tau bila aku mencintaimu. Kau pun mungkin menyayangiku. Keberadaanmu entah di mana, sementara ku mencari kejelasan hubungan kita yang kau abaikan.

Bila saja, seseorang mencintaiku dan membuatnya lupa akan dirinya, apa kau masih mengharapkan keberadaanku? Dengan kuasa apa kumenolak cintanya? Hatiku tidak terbuat dari besi dan baja mall dekat kampus kita.

Hijau ke merah. Kendaraan berhenti. Bubar bubar!!! Satpol PP sudah datang membubarkan kerumunan. Meminta para pengunjung agar kembali ke rumah, sembahyang dan menulis hasil perenungan lalu suarakan perlawanan terhadap kesenjangan sosial. Sementara di hotel dekat tugu, seorang wanita dipaksa kekasihnya untuk mengeram pejuh dimulutnya. Buang!!!!

Terang kota tak lagi sama. Sudah saatnya kau tengok puing yang tertinggal. Bau wangi hujan tak lagi sama. Sudah saatnya kau jemput musik yang tertinggal. Ingat waktu itu ku bertanya. Aku mau dengar jawabnya. “Sesuatu Di Jogja” – Adhitia Sofyan.

Pulang.

Pak Ogah Gesikan Jadi Rektor

Tukang becak berkomentar kalau mobil kampus kini suara mesinnya tidak halus lagi. Kata tukang cilok wajar saja karena fasilitas kampus tersebut memang lama tak dipakai, jarang dipanasin. Tukang bengkel girang bukan tante. Tidak perlu menunggu durian musim panen, mobil-mobil plat merah itu tentu akan mangkal di bengkelnya.

Ah mahasiswa memang sudah hobinya berburuk sangka. Masa sebagian dari mereka bilang kalau kampus ndak mau turunkan harga UKT (Uang Kuliah Tunggal) gegara banyak kendaraan yang harus diservis.

Padahal kampus tidak seburuk itu, bukan? Meskipun kondisi perekonomian masyarakat pincang adanya, kampus harus tetap stabil, dan kalau bisa, adakan pembangunan! Berpikir saja kalau pembangunan dilakukan, ada berapa banyak pekerja kuli bangunan dipekerjakan dan diberi pemasukan. Itu untuk pembangunan ekonomi rakyat secara tidak langsung.

Hadirin bertepuk tangan. Hadirin bertepuk tangan.

Memasuki bulan pertengahan tahun, mahasiswa tingkat akhir tidak perlu diinsafi lagi untuk lebih giat mengerjakan tugas akhirnya. Lantaran mengejar tenggat waktu agar tidak bayar UKT lagi. Di tengah perekonomian masyarakat yang tengah lesu, surat edaran kampus menunjukkan “wajah kemanusiaan”-nya.

Isi surat edaran tersebut membuat hati begitu sumringah. Membuat hati mahasiswa baik yang taat atau “suka berburuk sangka” berkaca-kaca. Biaya UKT terdapat potongan 50%! Selain itu pembiayaan bisa diangsur hingga akhir tahun.

Hadirin bertepuk tangan. Hadirin bertepuk tangan.

Eh. Eh. Tapi, sepertinya para pejabat kampus belum pernah merasakan hidup susah: belum pernah menjaja koran, menggendong gerobak cuanki, atau rumah yang disita lantaran utang rentenir.

Setelah surat edaran tersebut dibaca dengan teliti oleh para mahasiswa yang sering berburuk sangka nan dangkal pengetahuannya, diskon 50% UKT tersebut ternyata untuk mahasiswa tingkat akhir yang terancam drop out (DO). “Wasyem. Lha lagian emangnya meskipun diangsur sampai akhir tahun akan menjamin perekonomian akan membaik?” kata Sutijan, mahasiswa magister semester empat yang kini sibuk jualan lotis.

Selain itu, memangnya jumlah mahasiswa tingkat akhir yang terancam DO yang mendapat keringanan itu jumlahnya lebih banyak dari mahasiswa lainnya? Bukankah kelesuan ekonomi ini bagi semua mahasiswa tak mengenal semester awal atau akhir?

Sutiyem, mahasiswi penjual lotek lalu membisikiku, “iri bilang, Bos!”

Surat edaran kampus mengenai Dispensasi Pembayararan UKT dan Diskon 50% UKT untuk mahasiswa menjadi clikbait yang biasa digunakan oleh banyak YouTuber. Mirip juga seperti foto viral sebuah warung laundry yang stand banner nya bertuliskan, “Lee Min-Ho Pernah Londry Di sini”. Padahal kalau dicermati di antara kata Lee Min-Ho dan Pernah terdapat kata “Tidak” dengan ukuran font yang lebih kecil sehingga seharusnya dibaca menjadi Lee Min-Ho tidak pernah Londry Di sini.

Dengan demikian, petinggi kampus sudah sepandai pebisnis. Pertanyaanku, untuk apa mempertahankan pejabat kampus yang memiliki gelar doktor bidang sosial, doktor bidang agama, doktor bidang ekonomi, guru besar di bidang sains, guru besar di bidang keagamaan, guru besar di bidang ekonomi?

Mari kita jujur, guru besar dan doktor tidak perlu ditaruh menjadi petinggi kampus. Taruh saja para pebisnis kelas kakap untuk menjadi “pemimpin perguruan tinggi.” Toh kebijakan dari otak akademisi senior dengan bejibun gelar dan pebisnis nyatanya tiada berbeda. Bergelar akademisi pun tak jamin melahirkan kebijakan yang membela kerakyatan.

Ah, tuh kan jadinya malah ketahuan bahwa aku salah satu mahasiswa nyinyir yang passion berburuk sangka pada pemangku kebijakan.

Hadirin: “Boooooooo. sok sok-an kritis padahal masih butuh juga gelar dari kampusnya.” Heuheuheuheuheu.

Sementara itu, di Gesikan Godean di suatu perempatan, di tengah jalan berdiri Polisi Cepek atau Pak Ogah yang ‘mengatur’ lalu lintas dengan imbalan uang seikhlasnya dari pengguna jalan.

Setahuku, Pak Ogah berdiri pada suatu kondisi jalan yang biasanya ramai. Tetapi di tempat tersebut justru sebaliknya, cenderung sepi, para pengguna jalan dari dua arah biasanya melaju dengan kecepatan tinggi.

Meski demikian, tidak jarang juga ada kendaraan yang hendak menyeberang, dibantulah oleh Pak Ogah. Kuperhatikan cukup lama dari kendaraan yang menyeberang, tidak ada yang memberi Pak Ogah uang. Meskipun kebanyakan yang dibantu Pak Ogah adalah kendaraan bermotor.

Ah iya-iya (baca: jangan-jangan) menjadi Pak Ogah sudah menjadi passionnya si bapak? Yang senang membantu orang. Bahkan aku pernah lewat pada pukul 23.00 malam, ternyata beliau masih berdiri di sana. Dengan kondisi jalan yang teramat sepi: cukuplah jika bermain satu permainan karambol untuk menunggu satu kendaraan lewat.

Seandainya Pak Ogah ini menjadi rektor, beliau tentu akan mengambil jalan yang sepi. Kebijakan nyentrik, di saat kampus lain berusaha mempertahankan stabilitas finansialnya, bahkan mengambil sedikit keuntungan. Pak Ogah akan tetap konsisten dalam berdedikasi untuk membantu semua pengguna jalan, diberi upah atau tidak. Akan tetap konsisten membantu para mahasiswa, untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, bangkrut atau tidak ‘dapurnya’ kelak.

Sutijah tiba-tiba membisikiku, “Jangan-jangan Pak Ogah itu sebetulnya seorang pebisnis yang menyamar?”

Mochtar Lubis: Diantara Kata Gambaran Manusia Indonesia

Bacalah dengan penuh keterpaksaan, negeri ini darurat membaca.

Buku ini merupakan ceramah Mochtar Lubis pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki Jakarta yang dibukukan. Diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, pada tahun 2013. Dibanding sebuah sinopsis, resensi dan semacamnya, lebih tepat jika dikatakan bahwa tulisan ini merupakan sebuah ringkasan, di antara kata dan kalimatnya yang saya anggap menarik dan penting untuk dicatat.

Meskipun belum tentu seluruhnya benar dan salah, Mochtar Lubis tentu tidak sembarangan memunculkan stereotip mengenai manusia Indonesia ini. Ada observasi hingga pengalaman beliau. Sebelum Mochtar Lubis dan penilaiannya mengenai manusia Indonesia,  pada zaman VOC orang Belanda menilai manusia Indonesia kurang sanggup melakukan kerja otak yang tinggi (hooge geestarbeid), “inlander” umumnya sedang-sedang saja (‘middlematig’) dalam beragama, gairah kerja, kejujuran, rasa kasihan, dan rasa terimakasihnya. Meskipun masih diakui bahwa manusia Indonesia bersifat hormat, tenang, dapat dipercaya, baik, royal, ramah pada tamu, dan lembut.

Mochtar Lubis memaparkan mengenai enam ciri dari manusia Indonesia. Menurut Mochtar, ciri pertama manusia Indonesia yang cukup menonjol adalah Hipokritis/Munafik. “Orang tambah pandai menyembunyikan kata hatinya, perasaan, pikiran yang sebenarnya, dan malahan keyakinan yang sesungguhnya. Orang belajar mengatakan tidak dengan cara-cara yang lain, hingga kata tidak itu diselimuti dan diberi berbagai topeng, hingga tidak lagi dapat dikenali. Demikian pula dengan sikap tidak setuju, atau sikap mengkritik dan mencela, semuanya diselubungi, dirumuskan secara lain.”

Lucunya, Mochtar mencontohkan hipokrisi kita mengenai seks. Di depan umum kita sangat mengecam penghidupan seks yang terbuka atau setengah terbuka, tetapi pada saat yang sama kita membuka tempat mandi uap dan tempat pijit, kita mengatur tempat-tempat prostitusi, melindunginya, menjamin keamanan sang prostitut.

Akibat dari kemunafikan ini, dampak dari sikap kita terkenal dengan sikap ABS-nya (asal bapak senang). Sikap ABS ini telah berakar jauh ke zaman dahulu, ketika tuan feodal Indonesia merajalela di negeri ini, menindas rakyat dan memperkosa nilai-nilai manusia Indonesia. Untuk melindungi dirinya terpaksalah rakyat memasang topeng ke luar, dan tuan feodal, raja, sultan, sunan, regent, bupati demang, tuanku, laras, karaeng, teuku, dan tengku, dan sebagainya, selalu dihadapi dengan inggih, sumuhun, ampun duli tuanku, hamba patik tuanku. Sikap ini juga telah mendorong terjadinya pengkhianatan intelektual di negeri kita.

Ciri kedua yang menonjol ialah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan seterusnya. “Bukan saya” dan “Saya hanya melaksanakan perintah dari atasan!” adalah kalimat yang cukup populer di mulut manusia Indonesia.

Sebaliknya jika pada sesuatu yang sukses, maka manusia Indonesia tidak segan untuk tampil kedepan menerima bintang, tepuk tangan, surat pujian, padahal jika ditelisik lebih dalam, akan bertemu dengan orang-orang yang mendapat bintang gerilya (tanpa berhak menerimanya). Sementara pegawai kecil dan rendah yang tekun bekerja, menahan segala rupa kesukaran hidup, di tempat-tempat yang jauh, jarang sekali mendapat penghargaan yang selayaknya harus mereka terima.

Adapun ciri ketiga: Jiwa feodal. Sikap ini berkembang dengan cemerlangnya di kalangan atas maupun di kalangan bawah. Di kalangan atas mengharapkan agar manusia-manusia di bawah kedudukannya hormat, takut, menerima serta melakukan segala hal yang menyenangkan bagi si bapak. Sebaliknya, si bawahan juga tidak kalah semangat atau jiwa feodalnya untuk mengabdi kepada si bapak.

Maka dampaknya, yang berkuasa sangat tidak suka mendengar kritik, dan orang lain amat segan untuk melontarkan kritik kepada atasan. Akibatnya di masa dulu, pusat-pusat kekuasaan putus atau sangat sedikit komunikasinya dengan rakyat banyak. Hubungan antara penguasa dengan rakyat, adalah hubungan dari atas ke bawah, jalan satu arah.

Keadaan seperti ini sangat mempersulit proses-proses perkembangan manusia dan masyarakat dalam dunia kita kini, di mana keselamatan satu bangsa atau satu masyarakat tergantung sekali pada lamban atau derasnya arus informasi yang dapat diterimanya mengenai keadaan dan perkembangan ekonomi, politik, pengetahuan, teknologi, dan sebagainya di dunia ini.

Tidak dilakukannya koreksi, baik dari bawah ke atas, maupun dari atas ke bawah. Proses yang umumnya dapat terjadi adalah tindakan represif dari atas ke bawah, jika terjadi hal-hal yang tidak disenangi penguasa. Bawahan takut mengemukakan pikiran-pikiran baru yang berlainan dari yang disenangi kaum “establishment”, dan tidak berani mengeluarkan kritik atau peringatan-peringatan agar jangan terus salah jalan, tidak berani menyampaikan fakta-fakta yang akan tidak menyenangkan sang bapak, sedang bapak-bapak sudah merasa puas diri serta merasa benar.

Ciri utama keempat manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, hingga sekarang, Indonesia masih percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau karang, pohon, patung, bangunan, keris memiliki kekuatan gaib, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua.

Ironi disampaikan Mochtar, bahkan hingga kini manusia yang modern pun, manusia Indonesia berpendidikan modern sekalipun masih juga membuat jimat, mantera, dan lambang. Kemudian kita membuat mantera-mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Kita pun lalu mengaso, penuh keyakinan dan kepuasan, bahwa setelah mengucapkannya, maka masyarakat Pancasila itu telah tercipta.

Karena ini semua manusia Indonesia cenderung menyangka, jika telah dibicarakan, telah diputuskan, dan telah diucapkan niat hendak melakukan sesuatu, maka hal itu pun telah terjadi. Saya yakin, laci kantor pemerintah, organisasi swasta, dan sebagainya yang tidak pernah dilaksanakan. Sekarang kita membikin takhayul dari berbagai wujud dunia modern.

Di sinilah hal menarik, ujar Mochtar di antara katanya, modernisasi adalah salah satu takhayul baru, demikian perkembangan ekonomi, model dari negeri-negeri industri maju jadi takhayul dan lambang baru, dengan segala jimat dan manteranya, dan kita gagal melihat kerusakan-kerusakan pada nilai-nilai, kebahagiaan manusia, kerusakan dan peracunan lingkungan dan sumber alam oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang terjadi pada masyarakat-masyarakat berindustri maju. Kita tidak banyak bicara tentang distribusi yang adil dan merata. Kita tidak banyak memeriksa segi-segi negatif dari segala apa yang hendak kita tiru dan pindahkan ke masyarakat kita.

Ciri kelima yang menonjol manusia Indonesia adalah artistik. Sejak dari ratusan tahun lampau sampai kini hasil daya cipta artistik manusia Indonesia telah diboyong ke luar tanah air, dan kini di museum penting-museum penting di Eropa, Amerika dan berbagai negeri lain koleksi tembaga, tenun, batik, patung batu, dan kayu, ukiran kayu, tenunan Lampung, Batak, Toraja, Sumba, Ukiran Bali, kerajinan perak dan emas, Kalimantan, Maluku, merupakan koleksi yang dibanggakan dan amat digemari. Musik, seni, tari, folklore, menunjukkan daya imajinasi yang sangat kaya dan subur, daya cipta yang amat besar.

Adapun ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Manusia Indonesia kurang kuat memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Dengan demikian kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.

Tidak berhenti pada ciri keenam, pada bab selanjutnya, ciri lain yang dipaparkan Mochtar, di antaranya, manusia Indonesia cenderung boros. Pandai mengeluarkan terlebih dahulu penghasilan yang belum diterimanya, atau yang akan diterimanya, atau yang tidak pernah akan diterimanya. Senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.

Selanjutnya, manusia Indonesia cenderung tidak suka bekerja keras, kecuali kalau terpaksa. Banyak orang ingin menjadi milyuner seketika dengan cara instan. Dengan mudah mendapat gelar sarjana, memalsukan gelar sarjana, hingga membeli gelar sarjana.

Jadi priayi (pegawai negeri) adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi. Orang menjadi pegawai negeri bukan karena didorong rasa hendak mengabdi pada rakyat banyak. Bukan untuk memajukan masyarakat. Hal ini dapat kita nilai betapa enggannya pegawai-pegawai tinggi dan rendah dipindahkan ke luar Pulau Jawa, atau ke luar kota-kota besar. Mereka bicara soal daerah atau tempat kering atau basah, gemuk atau kurus.

“Generasi muda juga tidak terkecuali; semuanya mau seketika jadi kaya, berpangkat, jadi wartawan ulung, jadi pengarang kelas satu, jadi pelukis terkenal, jadi jago ini dan jago itu, tanpa harus bersusah payah, menderita dahulu puluhan tahun sebelum mencapai sukses.”

Manusia Indonesia kini sudah jadi orang kurang sabar. Ciri lain adalah manusia Indonesia kini jadi tukang menggerutu. Tetapi menggerutunya tidak berani secara terbuka, hanya jika dia dalam rumahnya, antara kawan-kawannya yang sepaham atau sama perasaan dengan dia. Manusia Indonesia juga cepat cemburu dan dengki terhadap orang lain yang dilihatnya lebih dari dia. Orang kurang senang melihat orang lebih maju, lebih kaya, berpangkat, berkuasa, pintar, terkenal dari dirinya.

Selanjutnya, gampang senang pada kata-kata mutiara dalam berbagai sastra suku bangsa Indonesia melimpah-limpah dengan nilai-nilai yang bijaksana, tetapi sayang sekali tidak diamalkan dan dihayati, dahulu maupun sekarang. Ki Hajar Dewantara tak penat-penatnya mengatakan. “Luwih becik mikul dhawet rengeng-rengeng, tinimbang numpak mobil mrebesmili utawa nangis nggriyeng = lebih baik hidup sebagai tukang cendol, namun bahagia, daripada kaya tapi menderita.”

Ciri lain dari manusia Indonesia adalah sikap tidak atau kurang peduli dengan nasib orang, selama tidak mengenai dirinya sendiri atau orang yang dekat dengannya. Kita seakan tidak punya hati nurani mengenai nasib orang lain. Keadaan serupa ini sebenarnya bertentangan dengan ciri-ciri manusia Indonesia asli. Masyarakat Indonesia yang berkembang dari teknologi produksi dari padi di sawah basah, yang memerlukan sistem pembagian air yang teratur dan terpelihara mengharuskan orang bekerja sama dengan baik, tolong-menolong, saling menjaga.

Manusia Indonesia pada dasarnya berhati lembut dan suka damai. Punya juga rasa humor yang cukup baik, dapat tertawa dalam kesulitan dan penderitaan. Ciri lain yang merupakan modal utama bagi keselamatan bangsa kita adalah kasih ibu dan bapak pada anak-anaknya, dan pula sebaliknya. Ikatan kekeluargaan yang mesra, asal jangan dicampur aduk dengan jabatan, adalah sesuatu nilai manusia Indonesia yang harus dipertahankan. Manusia Indonesia juga dikenal cepat belajar, otaknya cukup encer.

Manusia dibentuk oleh lingkungannya, masyarakatnya, alam hidupnya, dan berbagai nilai-nilai yang didukung masyarakat dan anggota masyarakat, oleh pendidikan dan teladan yang didapatnya di sekolah, rumah, dunia kawan-kawannya, dan sebagainya. Bagaimana manusia dapat melepaskan dirinya dari jagad gede, menguasai jagad kecilnya, sedang dia menghadapi dari hari ke hari segala rupa pengaruh, rayuan dunia fana seperti seribu cukong yang menawarkan emas dan uang berpeti-peti.

Istilah jagad gede dan jagad kecil dimunculkan Mochtar setelah ia menjelaskan rumusan manusia ideal menurut alam pikiran Jawa, “Sepi ing pamrih rame ing gawe, amemayu ayuning bawana = bekerja keras tanpa mencari keuntungan, manusia memajukan dunia.” Seorang manusia yang telah menguasai jaga cilik (dirinya sendiri), yang berdasar pada manusia mengambil jarak dari dunia (jagad gede), dan melakukan konsentrasi ke dalam dirinya yang telah jadi murni, maka manusia menjalankan hidupnya jadi utusan dewata, utusan yang mahakuasa dalam dunia.

Mochtar merefleksikan secara kritis melalui karakter manusia Indonesia yang telah dipaparkannya, beliau khawatir manusia Indonesia akan menjadi korban dalam perkembangan dunia. Pembawaan sinkretisme dengan mudah seseorang menerima hal-hal yang serba bertentangan (paradox). Akibatnya seseorang merasa senang dan nyaman mengatakan sesuatu, kemudian berbuat yang bertentangan dengan ucapan diri sendiri, atau menerima segala rupa hal-hal yang saling bertentangan, misalnya seseorang mengatakan kita menegakkan hukum, tetapi pada waktu yang sama kita juga senang memperkosa hukum.

Mochtar mencontohkan pergantian nama rumah penjara dengan Lembaga Pemasyarakat. Pada praktiknya, bagi Mochtar, kita hanya memasang satu lambang hampa yang baru. Seakan di sana mereka yang telah melanggar hukum, yang telah menjadi penjahat selama ini, sedang dalam proses pemasyarakatan, untuk mendidik mereka kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.

Apa yang sebenarnya terjadi? Rumah Penjara atau LP masih saja tetap merupakan sekolah kader untuk melakukan kejahatan segala rupa. Siswa pencopet akan jadi pencopet lebih ulung setelah keluar dari hukuman penjara, enam atau setahun kemudian. Tukang rampok akan keluar dengan teknologi baru yang lebih terampil. Kita tidak menciptakan iklim baru yang segar dalam penjara. Mochtar menyebut keadaan penjara kita lebih buruk dari zaman penjajahan Belanda, baik makanan, perlakuan, perhatian, terhadap orang tahanan maupun orang hukuman.

“Orasi” Mochtar belum usai. Beliau katakan, semangat revolusi ’45 kita telah kendor, telah jatuh ke dalam proses degenerasi, dan hampir-hampir tidak kelihatan lagi bekas-bekasnya kini dalam diri maupun dalam masyarakat kita. Semangat kita yang begitu bersatu dahulu bersama rakyat, besar dan kecil, yang berat sama dipikul, dan ringan sama dijinjing semangat penuh keberanian dan kerelaan untuk berkorban, jika perlu nyawa sendiri pun, demi kemerdekaan bangsa dan tanah air, kesucian dan kejujuran perjuangan, kesediaan melupakan kepentingan diri sendiri, atau kepentingan kelompok, kesediaan melupakan rasa dengki, prasangka yang tidak beralasan, perlombaan hendak berkuasa sendiri, kerakusan hendak mengumpul harta benda sebanyak mungkin dalam sesingkat mungkin waktu, dan semangat tolong menolong, bantu membantu, beri memberi, semangat bela-membela, semuanya kini telah pudar dan sirna.

Kita biarkan elite kita ini memperkaya diri mereka dari tahun ke tahun, melakukan korupsi dan mencuri hak dan milik rakyat, semakin lama semakin besar. Elite kita yang berpretensi memimpin rakyat, karena perbuatan mereka sendiri pada hakikatnya bertambah jauh dari masyarakat, dan komunikasi antara mereka dengan rakyat tambah hari tambah juga tambah seret dan sukar.

Sebuah lambang baru yang kini (masih) populer pada kita adalah perkataan dalang. Jika mahasiswa bergerak, maka lalu ada tuduhan, “Siapa dalangnya?” “Tentu ada yang mendalangi.” Mochtar di antara katanya, kita seakan tidak percaya mahasiswa  kita sudah bisa berpikir sendiri, mengumpulkan informasi dan data sendiri, membikin analisis dan kesimpulan sendiri, dan memutuskan untuk mengambil sikap sendiri. Padahal universitas dibangun dan dikembangkan untuk membuat mereka jadi pintar, bukan?

“Kita harus memakai hati kita untuk mencari sasaran lain untuk kebahagiaan dan damai hati dan kebajikan bangsa ini.”

Mochtar bilang, kita sekarang hendak mencipta lapangan kerja, tapi kita biarkan modal asing masuk teknologi kapital-intensif. Akibatnya pabrik besar hanya mengerjakan belasan orang, dan bukan ratusan jika pakai teknologi labour-intensif (padat karya).

Jika dikatakan, bahwa tujuan terakhir manusia adalah untuk mengabdi kepada Tuhan.  Mochtar bertanya, apa rumusan mengabdi kepada Tuhan? Apakah ke gereja dan sembahyang ke mesjid menurut ajaran agama Nasrani dan Islam, dan melakukan segala kewajiban syariat agamanya, telah berarti mengabdi kepada Tuhan? Kita perlu memerlukan pengawasan sosial dilembagakan terhadap sumber-sumber alam kita, terhadap modal, pemakaian tenaga manusia, terhadap ilmu dan teknologi, terhadap ancaman-ancaman yang mungkin terjadi terhadap keseimbangan ekologi, terhadap pencemaran alam kita.

Pada bagian akhir ciri-ciri lain dari manusia Indonesia, Mochtar mengutip pendapat Chris Siner Key yang merupakan seorang mantan ketua PMKRI, mengenai keadaan dunia mahasiswa. “…Perasaan apatis yang meluas, kehilangan motivasi, orientasi yang kabur, visi yang mengkeret, kehilangan idealisme dan nilai spirituil, krisis identitas, kekurangan kreativitas dan tak berdaya berpikir kritis. Juga tak berdaya berpikir logis. Ini disebabkan oleh ketakutan, apati, frustasi, perasaan tak berdaya, dan merasa selalu diamati dan dikejar-kejar.”

Sebelum menuju kesimpulan, Mochtar menulis Bab mengenai Dunia kini. Makna modernisasi jelas harus pula kita rumuskan kembali untuk keperluan bangsa dan masyarakat kita. Apakah modernisasi itu hanya harus bercermin dalam peralatan teknologi modern, seperti komputer, pabrik baja raksasa, roket dan sebagainya, ataukah modernisasi harus kita artikan suatu sikap jiwa dan pikiran yang rasionil, dan yang senantiasa mencoba untuk mencari penyelesaian-penyelesaian masalah hidup manusia secara rasionil dan menyeluruh?

Mungkin tuntutan untuk membuat berbagai teknologi yang kini kelihatan merusak ekologi dan cepat menghamburkan sumber-sumber alam dunia yang sudah menciut akan dianggap sikap yang paling modern dalam sepuluh-dua puluh tahun yang akan datang. Sangat modern untuk menuntut agar jangan lagi pohon kayu dipotong dan hutan rimba dipotong semena-mena. Kehancuran rimba di banyak bagian di dunia yang sedang terjadi kini juga akan menimbulkan akibat-akibat bencana terhadap pola curah hujan, banjir, penghanyutan tanah, dan sebagainya.

“maju ekonomi” secara definisi jangan hendaknya kita kejar serupa dengan “maju ekonomi” negara-negara kaya sekarang dengan segala segi-segi negatif dan bencana yang ditimbulkannya terhadap manusia, alam, dan nilai-nilai kemasyarakatan dan manusia. Maju ekonomi hendaknya berarti jangan ada manusia Indonesia yang lapar, cukup pakaian dan rumah tinggal, punya kesempatan bersekolah dan belajar yang formal maupun non-formal, ada kesempatan bekerja yang layak.

Jika tujuan “maju ekonomi” kita adalah di tingkat pertama untuk memenuhi syarat-syarat minimum makanan bergizi cukup, pakaian dan perumahan yang memadai, kesempatan belajar yang sama bagi setiap orang, maka daftar “priorita” kita akan lebih “sederhana”. Pola industrialisasi kita juga akan berlainan. Mungkin kita akan memusatkan perhatian dan penanaman modal kita ke pedesaan, pedalaman, mengembangkan industri pertanian dalam arti industri kecil membuat segala rupa alat pertanian, pemuliaan bibit, pupuk organis, melawan hama, mengembangkan produksi pertanian berupa bahan makanan pokok seperti beras, jagung, kacang-kacangan, sayuran, perikanan darat dan laut, hingga pada buah-buahan, tidak saja untuk kita makan sendiri, tetapi juga untuk diekspor.

Semakin kita mengikuti arus konsumerisme negara-negara kaya, semakin kita menggantungkan diri kita pada bantuan mereka baik modal, maupun teknologi mereka, semakin kita menggantungkan diri pada bantuan mereka baik berupa modal, teknologi, semakin kita menggantungkan keselamatan kita pada alat persenjataan mereka, maka semakin kita tidak berdaya memasang perlindungan terhadap kepribadian kita sebagai bangsa dan manusia, dan semakin kita jatuh lebih tergantung pada mereka.

Jika kita sebagai manusia Indonesia tidak mengubah cara berpikir dan berbuat, mengubah nilai-nilai yang membimbing kehidupan dan tingkah laku kita, dikhawatirkan kita akan menjadi kuli kasar belaka bagi perusahaan-perusahaan multinasional Jepang, Amerika, Jerman, Belanda, Perancis, Inggris dan sebagainya di tanah air sendiri.

Pada buah kesimpulan, Mochtar katakan, “Kita di Indonesia agar bersikap lebih manusia terhadap sesama manusia kita.” Tulisan ini tentunya tidak mampu mewakili keseluruhan isi buku yang hendak disampaikan oleh Mochtar Lubis dalam “Manusia Indonesia”. Harapan semoga tulisan ini mengantarkan untuk membaca secara langsung kepada buku tersebut.

Kacamata Di antara Pembangunan

Seingatku, saat masih duduk di bangku SD, antara kelas satu sampai kelas enam,  di antara teman-teman tidak ada yang menggunakan kacamata. Hingga suatu saat ada seorang menggunakan. Benda tersebut sudah menjadi identitasnya. “Itu lho si Jarmin yang pakai kacamata itu!” terang temanku.

Semakin bergulirnya waktu, orang-orang berdalih, “Ini nggak minus, kok. Kacamata gaya!”

Katanya, Perempuan yang berkacamata itu cantiknya double. Saat ia gunakan kacamatanya juga saat ia melepaskannya. Meskipun begitu, namanya selera, beda kepala tentu beda imajinasi. Seorang teman menasihatiku agar tidak punya pacar yang berkacamata. Sebab saat terbangun dari tidurnya, yang pertama kali dicari adalah kacamata. Hehe.

Bagiku, kini seseorang berkacamata, terlepas dari tren budaya, ialah suatu fenomena lantaran jarak pandang mata yang terbatas. Tak tembus cakrawala, sudah menabrak bangunan tinggi. Tidak menembus angkasa, sudah menembus kos-kos ekslusif, hotel, pabrik, rumah, dan bangunan semen dan beton lain. Mata manusia jadi cepat ‘rusak’. Aku yang sempat hidup dengan lumpur sawah dan sungai yang sudah agak kotor, penat dengan bangunan yang kerap menghalangi sinar matahari masuk.