Tag: Pekerjaan Alternatif

Corona: Pekerjaan Alternatif (4)

Kabar mengenai Bora yang ‘ribut’ di PSK sudah terdengar ke telinga Pak bos. Nablisi Cahyo sendiri sudah serahkan asistennya tersebut. Pak bos sampai geleng-geleng. Diajaklah Bora berbincang. Meskipun banyak mendapat materi-materi keislaman yang cukup ‘liberal’, namun Pak bos heran dengan sikap Bora yang sangat reaktif seperti Islam garis sweeping. Namun sebenarnya Bora sudah jengah dengan pengkotak-kotakan agamanya ini. Ada garis lucu, garis keras, ada Islam kanan, Islam kiri, Islam tengah. Dan lain-lain.

Memang bukan cuma soal pekerjaan, menghadapi masalah pun membutuhkan jam terbang. Namun, kesimpulan Pak bos, Bora punya kesehatan mental. Maka diajaklah Bora berkeliling Kampung. Hingga akhirnya tiba pada suatu tempat: Rumah Sakit Liberal Jaya. Sebelah bangunan tersebut: Rumah Sakit Konservatif Saklek.

Kini giliran Bora yang geleng-geleng. Kampung macam apa ini. Apakah Pak bos semua yang menjadi otak pembangunan kampung Sumberwaras? Jangan-jangan Pak bos fans berat Mbah Sujiwo Tejo, dan sudah menamatkan berkali-kali Kitab Suci Republik Jancukers. ‘Penodongan’ biaya administrasi publik untuk bikin KTP di Desa atau ngurus surat di Kepolisian bukan hal yang tabu. Tapi kok ini malah polisi punya atasan emak-emak.

Rumah sakit liberal terlihat megah. Rumah sakit konservatif terlihat syahdu. Kata Pak bos, bukan cuma sakit fisik yang harus diobati, pemikiran seseorang bahkan bisa jauh lebih mematikan. Bahkan bisa ‘menular’. Memasuki RS Liberal, dilihat Bora seorang lelaki paruh baya yang didorong oleh kursi roda sambil berteriak, “Jihad! Jihad! Allahuakbar!”. Seorang perawat di belakangnya berusaha menenangkan lelaki tersebut, “Sabar, Bapak. Jihad itu kan tidak mesti dengan pergi ke Suriah yang masih bergejolak. Apakah Bapak masih mempunyai orang tua? Berbakti kepada keduanya termasuk bagian dari jihad lho.”

Setelah berjalan beberapa saat, Bora mendengar percakapan antara dokter dan pasiennya, ia mengeluhkan keadaan yang akhir-akhir ini resah dan gusar. Cukup lama Bora mendengarkan percakapan mereka, sementara si dokter terlihat mengangguk-angguk, sesekali tersenyum. “Bapak, sudahlah, jangan terlalu dipikirkan mengenai poligami. Istri sudah begitu setia dengan Bapak, anak pun Bapak sudah empat. Itu sudah ‘investasi yang sangat bagus lho untuk akhirat kelak. Jelas saja ketika Bapak memberikan buku tentang poligami kepada istri, sang istri merespon dengan merobek buku tersebut kecil-kecil, sedikit-sedikit, itu ekspresi kekecewaan. Monogami juga sunnah Nabi. Memang berapa lama Nabi saw. melangsungkan monogami dengan Khadijah ra.? 25 tahun! Toh masih banyak sunnah-sunnah Nabi yang lain yang bisa diamalkan.”

Bora pun kini sampai di Rumah Sakit Konservatif Saklek. Pada ruangan yang terbuka, Bora pun mendengar percakapan antara seorang pasien dan dokternya. Belum juga si pasien baru memperkenalkan dirinya, belum mengutarakan keluhannya, “Kamu atlet apa?” tanya dokter. Pasien bertopi ‘sutra’ tersebut menjawab, “atlet billiard, Dok”. Dokter jawab, “Mungkin (cedera ini) ada faktor kelalaian, tetapi bagi saya ini teguran dari Allah swt. Kamu tahu ndak olahraga yang disunnahkan itu apa?”. Pasien terlihat diam mendengarkan. Dokter melanjutkan pembicaraannya, bercerita bahwa yang syar’i itu tiga hal; memanah, berenang, serta berkuda. Mengira dirinya baru mengetahui hal itu, pasien tersebut menanggapi, “Setahuku, bukankah ketiga hal tersebut juga bermakna simbolik? Berkuda berarti menguatkan otot, keseimbangan tubuh. Berenang berarti melatih pernafasan dan memanah berarti meningkatkan fokus. Maka, olahraga lain pun jika sejalan dengan beragam manfaat ketiga olahraga tadi berarti bol…” “Mas.” Dokter menyela. “Tidak bermakna simbolik, itu juga bisa pula futuristik kok. Kelak di akhir zaman kita akan kembali ke zaman memanah dan berkuda. Tidak ada yang namanya teknologi atau yang aneh-aneh. Hal ini membuktikan kecerdasan Nabi. Bagaimana lagi, Mas. Teksnya tertulis begitu. Dipahami begitu saja.”

Bora berlalu. Menyisakan pertanyaan di kepalanya. Bagaimana cara masing-masing rumah sakit ‘merekrut’ pasien-pasiennya? Seorang pasien sakit di rumah sakit liberal jaya akan dipandang sehat di rumah sakit konservatif saklek. Begitupula sebaliknya. Ah, kesimpulannya mungkin setiap manusia mungkin penyakitan.

Latar belakang keagamaan keluarga Bora disadarinya beragam. Ibunya dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyyah, namun kemudian menjadi Salafiy. Ayahnya Nahdhatul Ulama. Bora dan kakaknya besar dalam lingkungan Muhammadiyyah tulen, namun sebagian besar teman-temannya juga Nahdliyyin. Peran ibunya dalam menginternalisasi nilai-nilai keagamaan dalam keluarganya begitu dominan. Ibunya sering berpesan dan berharap agar Bora menjadi seorang mujahid bagi agamanya. Meskipun terdidik dalam Universitas Islam, tidak jarang Ibunya khawatir anaknya menjadi liberal. Bora trauma ketika berdialog dengan orangtuanya dahulu perihal sunnah Nabi saw. dalam memanjangkan janggut. Bora berkelakar, “Abu Jahal dan Abu Lahab saja berjanggut.” Ujar Bora sambil mengusap janggutnya yang tak kunjung tumbuh-tumbuh kendati usianya melewati kepala dua. Sontak membuat kedua orangtuanya geram dengan sikap liberal anaknya. Ayahnya merespon, “Bor, jangan nyeleneh! Kamu itu sudah jadi sarjana agama, harusnya memberi pencerahan kepada masyarakat. Jangan membuat masyarakat menjadi bingung.” Ibunya menambahkan, “Ya begitu. Di sekolah hanya bergelut dengan metodologi, tapi hatinya kering.”

Bora merasa jengah. Ibunya menilai perkuliahan Bora hanya membuatnya menjadi liberal dan kering hatinya, sementara dalam hati Bora memberontak bahwa pemahaman ortunya terlalu kaku. Namun tak pernah disampaikannya. Sudah menjadi rutinitas selepas subuh di mana ibunya memberikan kajian tauhid di rumahnya. Bora jengah lantaran di luar pun, pengkotak-kotakan antara pemahaman tekstual dan kontekstual memiliki pengikut ‘fanatik’ masing-masing. Tidak jarang Bora perhatikan tulisan teman-temannya yang kerap menyerang kaum tekstualis, menyebutnya garis keras, dan sindiran-sindiran lain. Bora merasa jengah, apakah dengan tujuan ini ia menjadi seorang yang terdidik? Hanya memihak kepada salah satu kelompok dan menjadi lawan pihak lain? Bahkan Bora ingat dengan perkataan Buya Syafi’i Ma’arif yang mengatakan pengkotak-kotakan ini sebagai ashabiyah, fanatisme golongan, hingga berhala.

Berdiri di antara dua kubu tekstualis dan kontekstualis membuat Bora berada di Punk Hazard (Kartun Onepiece). Secara pemikiran, Bora sudah banyak bergelut dalam pendidikannya dan menyadari metodologi yang ia pelajari dalam mengkaji teks keagamaannya membuatnya menjadi progresif dan aktual merespon zaman. Namun, Bora merasa semakin penat. Bahwa ‘Salafiy’ yang dipahami Ibunya sangatlah unik. Outputnya adalah terbentuknya komunitas pengajian perempuan di kampungnya, yang sangat progresif.

Hm. Saatnya pergi ke bioskop. Rumah sakit liberal jaya atau rumah sakit konservatif saklek bukanlah pilihan bijak.

Corona: Pekerjaan Alternatif (3)

Bos besar terlihat sudah nyaman dalam petualangan imajinatifnya dalam suasana temaram. Bora dan teman-temannya dari Kampung Sumberwaras mulai beranjak dari sofa. Pembantu terlihat buru-buru namun tetap menjaga agar langkah setengah buru-burunya tak menimbulkan kegaduhan. Sembari menyodorkan tiga amplop cokelat, amanah dari bos besar.

Di perjalanan pulang, ketiganya membuka amplop tersebut. Segepok uang. Merah semua. Teman-teman Bora tersebut mengambil beberapa lembar uang di dalamnya, mengambil perkakas dalam tas, kemudian memaku uang-uang tersebut di atas tanah. Lalu pergi.

Pagi harinya, setelah laporan pada Pak bos, Bora ditanyai mengenai pengalaman dalam pertanian. Sebagai fresh-graduate, memahami satu buku saja tak tuntas, hidup tak punya inisiatif, bekerja fisik pun belum pernah, tentu saja mengenai perkakas seperti cangkul dan arit belum pernah Bora berhubungan intim dengan perkakas-perkakas tersebut. Malah ketika liburan di rumah, daripada membantu ayahnya membenarkan genteng bocor, atau sekedar membantu Ibunya mencari dan memukul tikus, Bora lebih senang mencuci piring di dapur.

Kebetulan sekali Pak bos meminta untuk mengerjakan joblist berikutnya. Yakni mengunjungi PSK. Alias Pusat Studi Kampung Sumberwaras. Bora diminta untuk menemui dan mengamati seorang peneliti bernama Nablisi Cahyo. Memang agak mirip dengan seorang peneliti terdahulu: An-Nablusi. An-Nablusi merupakan seorang peneliti, pada tahun 1997 melakukan eksperimen di perkebunan Fakultas Sains. Beliau menjelaskan bahwa pohon dan tumbuh-tumbuhan sama seperti benda-benda langit. Mereka bisa merasa, mendengar, bereaksi, dan merespons, baik negatif maupun positif, terhadap pengaruh-pengaruh luar yang berada di sekelilingnya. Hal tersebut merupakan konklusi penelitian yang dilakukannya. Bahwa dengan dibacakan bacaan-bacaan dari surah kitab suci, terdapat pertumbuhan 44% gandum lebih banyak daripada tanaman yang tumbuh standar.

Kini, Nablisi Cahyo melakukan hal yang mirip-mirip dengan An-Nablusi. Pada eksperimen ini, Nablisi membuat empat rumah plastik dengan ukuran yang sama lalu di dalamnya ditanami tanaman gandum jenis tertentu. Keempat rumah plastik ini diisi tanah dengan jumlah yang sama lalu ditanami tanaman gandum dengan kedalaman yang sama, diberi pupuk dalam jumlah yang sama dan dari jenis pupuk yang sama, dan disirami dengan jumlah air yang sama. Beliau lalu menugasi tiga asistennya dengan tugas yang berbeda-beda. Seorang beliau tugaskan untuk membaca beberapa surah dari al-Qur’an, yaitu surah Yasin, al-Fatihah, dan ayat Kursi, dua kali dalam seminggu di dalam rumah plastik yang pertama. Seorang yang kedua beliau tugaskan Bora untuk datang ke rumah plastik kedua dua kali dalam seminggu sambil membawa beberapa tumbuhan yang selanjutnya Bora potong-potong dan ia “siksa” di hadapan tanaman yang ditanam dalam rumah plastik tersebut sambil mengucapkan kata-kata yang kasar dan tidak pantas. Seorang yang ketiga ia tugaskan untuk memukul-mukul tanaman yang ditanam di rumah plastik ketiga  serta memangkas daun-daunnya. Jadi, ada tanaman gandum yang diperlihatkan dihadapannya “penyiksaan” terhadap tanaman lain, ada tanaman gandum yang menerima “siksaan”, dan ada tanaman gandum yang dihadapannya dibacakan ayat-ayat al-Qur’an. Adapun rumah plastik yang keempat tidak diapa-apakan dan dibiarkan tumbuh biasa yang untuk selanjutnya diberi label ‘standar’.

Memang agak prosedural, sesuatu yang membuat Bora memang menghindari hal-hal berbau eksak. Dulu saja ketika Ujian Nasional SMA-nya, ketika ujian fisika, kimia, biologi dan matematika, ia malah pamer-pameran dengan teman di belakangnya kalau ia mengerjakan ujian pelajaran tersebut tak perlu melihat lembar soal. Setelah mengisi data pribadi, Bora malah asik menyusuri lembar jawabannya, memberikan kepercayaan kepada pensil agar berbuat sesukanya. A, A, B, B. C, D, C, D. A, B, C, D. Sambil membayangkan Mie Ayam Mang Olih favoritnya setelah selesai ujian.

Memang tugas untuk jadi asisten Nablisi ini tidak sulit. Ia berpikir bagaimana cara efektif agar makian-makiannya terdengar ada penjiwaan nan penghayatan. Agar makian dan umpatan kata-kata tak pantas ini terlihat natural. Sehingga penelitian ini tidak main-main. Bora ndilalah punya ide. Sebelum bertugas, ia berikan list kebutuhannya pada Nablisi.

Keesokan harinya.

Bora kini punya asisten. Seorang napi koruptor dan seorang dukun. Sebagaimana tugas bora dalam penelitian ini: datang ke rumah plastik kedua, dua kali dalam seminggu sambil membawa beberapa tumbuhan yang selanjutnya Bora potong-potong dan ia “siksa” di hadapan tanaman gandum yang ditanam dalam rumah plastik tersebut sambil mengucapkan kata-kata yang kasar dan tidak pantas.

Setelah beberapa tumbuhan dipotong-potong dan ‘siksa’ di depan tanaman gandum, ketika hendak mengucapkan kata-kata kasar dan tidak pantas, Bora jalankan skenarionya. Sang dukun memegangi tengkuk leher sang napi koruptor, kemudian ia pun memijiti tengkuknya, tiba-tiba sang napi terlihat mual dan katakan: “proyek, proyek, proyekRakyat, anggaran, anggaran…pengajian, pengajian, sapi, kambing, undangan, buku, rakyat, rakyat, rakyat, demi bangsa dan negara……..” “Kampreeett..” sontak Bora dan sang dukun sama-sama kaget. Kode korupsi macam apa ini!?! Ujar Bora. Sementara sang dukun masih memijiti tengkuk sang napi. “Proyek, liqo, liqo, liqo, satu juz, dua juz, tiga juz, empat juz, kiai, ustad, pesantren, proyek, rakyat, demi bangsa dan negara”. “Anjiiiinnggg…” Umpat Bora. “Astaghfirullaah” pekik sang dukun, padahal selama ini dikenali warga tak beragama. Bora tak bisa menahan emosinya. Bora terlihat reaktif mendengar simbol-simbol agamanya diusik. Kekerasan tak terhindarkan. Berbagai jenis combo, hits, pukulan, menghujani tubuh tak berdaya sang napi. Seakan Bora mempraktikkan jurus-jurus Bakuryu, Gado, sesekali Shen Long di game Bloody Roar 2 yang ia mainkan di PS 1 saat dia masih SD, diselingi pukulan seperti Paul di game Tekken. “Jancooookk..sabar Mas. Sabar Mas.” Teriak sang dukun berusaha melerai.

Sepertinya tugas Bora sebagai asisten Nablisi Cahyo berjalan sangat lancar. Tidak hanya memaki dan menyiksa tanaman tersebut. Bahkan menyiramnya dengan darah manusia. Natural sekali.

Corona: Pekerjaan Alternatif (2)

Sementara itu, di sekolah dasar dan menengah Sumberwaras, setelah ujian tidak langsung libur. Tetapi ada sepekan refleksi mengenai hasil pembelajaran, evaluasi ujian dan refleksi dua arah guru dan murid. Tentunya sekalian…negosiasi nilai.

Polisi di kampung ini memang tetap punya atasan, tetapi atasan tertingginya adalah Ibu-Ibu. Polisi manapun di Sumberwaras lebih mendahulukan panggilan seorang ibu dibanding laporan pada atasan strukturalnya. Kadang ya disuruh manjat kelapa, sekedar menemani belanja di pasar, atau mengangkat jemuran di rumah karena si ibu yang sedang perpanjang STNK. Sepulangnya polisi biasa pulang dibekali pisang rebus, kacang rebus, atau sepotong bolu pisang. Konon, bahkan polisi yang berpangkat sekalipun manut manut jadi ‘anak angkat’ Ibu-ibu. Konon pula gratifikasi tetiba menurun. Daripada harus menodong uang yang tak seberapa, lebih baik hati gembira makan pisang rebus pemberian buibu.

Belum lama ini seorang ibu harus meminta bantu pada seorang polisi karena anaknya yang badung tetap keluyuran di tengah wabah corona abaikan pepatah mutiara. Tanpa repot-repot dibentuklah satgas gabungan untuk cari anak yang sia-siakan air mata orang tuanya.

Melihat bahagia nya polisi menikmati pisang rebus di pinggiran jalan, Bora sampai hampir tak sadar bahwa ia harus menyerahkan bundelan kertas ke tukang ojek pangkalan Sumberwaras. Si ojek sudah paham itu amanat dari Pak bos. Di samping membantu transportasi warga, ojek pangkalan juga punya tugas untuk membeli logistik yang berisi kebutuhan-kebutuhan pokok warga kampung. Toh joblist berikutnya tidak terlalu merepotkan. Hanya melihat-lihat kegiatan di Kampung Sumberwaras.

Sembari ngobrol-ngobrol dengan ojek, Bora diberitahu bahwa dirinya merupakan maling yang ke-25 yang tertangkap di Kampung Sumberwaras. Pak bos pun mempekerjakan mereka dengan joblist yang tak kalah unik. Seperti memberi makan semut, mencari ikan gendot, budidaya kunang-kunang, tongeret dan papatong, hingga membantu menguras air di rumah-rumah warga yang kebanjiran karena hujan sangat deras. Meski demikian, begitulah cara Pak bos menggaji para pekerjanya, kata salah seorang ojek pangkalan.

Yang tersulit memang menekan keinginan, menurunkan standar hidup manusia. Zaman sudah seperti ini. iklan dan gelombang besar produksi membuat keinginan manusia memberontak. Andai Pak bos berikan uangnya, warga kampung akan gelagapan mengatur keinginan dan kebutuhan, kata tukang ojek. Padahal di antara ke-24 maling yang tertangkap di Sumberwaras, beberapa di antaranya ternyata masih pelajar. Pak bos girang bukan tante. Setelah kontrak kerja diperpanjang, Pak bos tidak puas dengan kinerja mereka yang tidak kreatif. Mungkin pelajar hari ini dididik untuk berjiwa patuh dan menghafal banyak hal, bukan bertanya dan berpikir kritis.

Bora seperti menemukan sesuatu yang baru, sembari berjalan sore, ia melihat pendopo yang dipenuhi gadis-gadis beragam usia dari anak hingga remaja yang berlatih tari. Antara kagum dan penuh birahi si Bora mengamatinya. Melihat remaja mengenakan kebaya yang memperlihatkan lekuk pinggang yang montok menjadi fetish Bora sejak lama, tak terkecuali tatapannya melihat susu emak-emak muda anak satu. Entah bagaimana Bora bersyukur telah diberi kesempatan ini oleh Pak bos. Sementara di teras pendopo, sebagian remaja asyik membaca sastra.

Malam harinya, ia dihubungi Pak bos untuk pergi menuju suatu alamat. Dengan berpikir pendek ia segera laksanakan instruksi. Sudah menunggu di lokasi sepasang lelaki dan perempuan. Melihat kedatangan Bora, pasangan tersebut tidak banyak basa-basi, segera menuju suatu kamar pada sebuah rumah mewah. Ketiganya disambut seseorang yang masih mengenakan pakaian kantor. Terlihat bukan seperti orang kaya biasa. Bora masih berpikir maksud instruksi Pak bos. Threesome? Tentu saja pikiran Bora menuju hal yang iya-iya. Ia sudah baca tentunya novel fenomenal Jakarta Undercover, membayangkan kebiasaan sebagian bos besar perusahaan yang punya fetish aneh-aneh.

Sepertinya pasangan laki dan perempuan ini sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Setelah mandi, gunakan piyama, bos besar ini menuju kasur dan tarik selimut. Di sebelah kasurnya terdapat sofa besar dan di sanalah bora dan sepasang lelaki dan perempuan itu duduk. Dengan suara perlahan si perempuan membuka obrolan ringan. Memperkenalkan diri bahwa sebetulnya mereka bukan pasangan suami istri, hanya saja mereka pasangan yang dikenal cerewet di Kampung Sumberwaras. Bora heran dengan pekerjaan alternatif yang ia kerjakan. Tugas mereka bertiga hanya berbincang-bincang santai. Lima menit kemudian datanglah pembantu bos besar ini membawa teh panas dan cemilan. Konon lantaran pekerjaan yang berat hingga tiap malam bos besar tidak bisa tidur. Sudah beragam obat diminumnya, tidak mempan juga. Ternyata obat yang sejauh ini ampuh adalah tidur sembari mendengarkan obrolan-obrolan manusia secara langsung. Ada suara obrolan disahut dengan yang lain. Suara perlahan. Diselingi dengan tawa yang ditahan. Sesekali Pak bos ikut bertanya, kemudian diam lagi.

Teh dalam cangkir-cangkir sudah menuju ambang dasar. Pembantu segera menyadari kemudian menawarkan minuman. Lelaki sebelah Bora mengisyaratkan cukup karena Pak bos sudah mulai terlelap sesekali terbangun gelisah.

Corona: Pekerjaan Alternatif

Bora, alias Borangan, merupakan salah satu warga di suatu daerah asing di provinsi Ambora, alias Amboradul. Ditilik dari namanya saja ada mirip-mirip. Jelas sudah orang tak meragukannya lagi sebagai warga pribumi.

Akhir-akhir ini Bora menjadi bulan-bulanan warganya. Sebagai mahasiswa yang kuliah di jurusan agama, ia justru kedapatan mencuri mushaf al-Qur’an mushalla Kampung Sumberwaras. Tanpa kenal ampun, meskipun di tengah wabah kian menukik angka positif di Provinsi Ambora, warga akhirnya memperlakukan koruptor ini—maksudnya pencuri ini, sejalan dengan amanat pemerintah di tengah wabah corona, dengan dilakukannya Physical Distancing. Terbebaslah si anak dari bogem mentah.

Namun jika dirunut ke belakang, maling-maling lain yang kedapatan basah curanmor di Kampung Sumberwaras. Justru diperlakukan dengan baik. Dikasih makan; diberi suguhan-suguhan khas yang tidak ada di negeri lain, sebut saja cimplung, misro, awug, blukoja dan lain-lain, bahkan disediakan pula tempat istirahat.

Sebelum pulang si maling akan ditanya mengenai dalang dibalik perbuatannya, dicarilah orang tersebut. Konon, si dalang kriminal pun, yang membawahi jaringan maling kelas teri, tidak diberi bogem mentah oleh tim intelijen Sumberwaras. Akan tetapi hanya dipisah-pisahkan saja setiap organ tubuhnya.

Ndilalah, mushaf yang diambil Bora rencananya akan digunakan untuk pembinaan anak-anak kos. Katanya tidak efektif kalau melalui aplikasi android, sementara mushaf dibiarkan dihormati debu, ketimbang oleh lisan manusia.

Warga Sumberwaras sebenernya ngga kagetan. Baru semalam tadi ada curanmor. Ngga ada penggebugan. Motifnya murni kelaparan. Yang ada, si maling mengeluh, “Di kampung para warga (selalu shalat) jama’ah, ada kajian pula, tetapi masyarakatnya ngga peduli wong cilik seperti saya.”

Fresh-graduate pengangguran hal biasa. Si Bora yang semestinya boyong bulan depan, sepertinya harus menunda kepulangan. Para warga sepakat untuk membawa Bora ke hadapan seorang tokoh berpengaruh di Kampung Sumberwaras. Tokoh tersebut dikenal dengan nama Pak Boosoek. Bahkan selama ini sosoknya misterius, tidak dikenal apa pekerjaan dan identitasnya. Yang jelas, ketika berhadapan dengan tokoh tersebut. Semua warga segan kepadanya.

Setelah berhadapan dengan Pak Boosoek. Orangnya bahkan biasa-biasa. Tidak nampak aura-aura kharismatik, apalagi aura kesucian seorang pandita atau pemuka agama. Menurut rumor yang beredar, justru tokoh ini yang ‘menjamin’ perekonomian warga Sumberwaras. Namun tidak ada seorang pun yang tahu apa pekerjaannya. Dilihatnya si Bora, keduanya bertatapan. Tanpa basi-basi, sebagai hukuman, Pak Boosoek meminta Bora untuk menjadi pegawai kontrak bawahannya. Tidak bisa menolak. Toh juga (masih) fresh graduate pengangguran. Tidak ada ‘hitam di atas putih’. Pak Boosoek meminta Bora untuk datang besok pagi-pagi sekali ke rumahnya.

‘Bagaimana bisa pekerjaan si Bapak saja tidak jelas, apalagi bisa memberiku pekerjaan.’ Lamunan si Bora membayangkan pekerjaan apa yang akan dilakoninya dalam masa hukuman besok. Tidak lama, keesokan harinya. Tepat waktu Bora sampai. Pak Boosoek terlihat sudah sibuk ketak-ketik depan laptop.

Tanpa melihat ke arah si Bora. Pak Boosoek hanya menyodorkan list tugas yang harus dikerjakannya. Tetiba mengernyitkan dahi. Si Bora justru heran dengan apa yang harus dilakukannya. Menuju nomer pertama saja, antara yakin dan tidak. Ini adalah sebuah pekerjaan alternatif! Tanpa baca berulang-ulang. Ia sudah tau apa yang harus dilakukan.

Joblist nomer satu: menghitung jumlah rumah berwarna ungu di Kampung Sumberwaras. Meski terdengar konyol, lumayan juga harus berkeliling kampung seluas wilayah 20 km². Dua kilometer lebih besar dibanding kota Magelang. Bermodalkan onthel, satu buku-pulpen serta smartphone. Tidak mungkin ia harus meminta bantuan search engine internet. Ia hanya harus mengerjakan tanpa banyak bertanya. Setelah menjelang maghrib, selesailah joblist pertama. Laporan dokumentasi serta hasil dikirimkan pada Pak bos. Alias Pak Boosoek.

Joblist nomer dua: mencari 20 pemain sepakbola yang bisa mencetak gol pada menit yang sesuai dengan nomer punggungnya. Kemarin bekerja bak kuli bangunan, kini bak pegawai kantoran. Cukup duduk mantengin cuplikan-cuplikan gol-gol sepakbola streaming-an. Sebagai penikmat bola, rasa-rasanya memerhatikan menit saat terjadinya gol hanya ketika gol datang pada menit-menit akhir. Tidak penting!

Gila saja. bahkan Lionel Messi atau Gareth Bale yang dawam mencetak gol saja belum tentu memerhatikan menit yang tepat untuk mencetak gol. Apalagi harus pas pada menit 10 atau 11 sesuai nomer punggungnya. Namun mau tidak mau, pekerjaan alternatif ini harus dilakoni dengan dengan lapang suntuk, ketimbang lapang dada. Dirinya pun tak yakin, secapek ini bekerja memangnya si Pak bos bisa gaji berapa. Setelah dipikir-pikir, toh ini karena dia ketangkep basah jadi maling. Palingan dia hanya diupahi makan siang bareng.

Belum selesai pekerjaan, Bora sudah melihat list pekerjaan selanjutnya yang tak kalah mengherankan. Namun, pada akhirnya, joblist kedua dapat diselesaikan selama dua hari semalam. Baru saja hendak dikirimkan, tetiba dapat telepon Pak bos.

Besok gajian!?

Kata Pak bos, bagi fresh-graduate menyedihkan seperti Bora, menerima gaji pertama sangatlah berkesan. Meski Bora sudah tak berharap apa-apa. Hadiah apa pun takkan terlupakannya. Setelah berbincang dengan Pak bos. Makin lemaslah sarjana itu. Benar saja Pak bos tak memberinya uang. Ia hanya menyodorkan selembar kertas kosong. Lalu meminta untuk menuliskan semua kebutuhan pokok selama sebulan. Si Bora makin yakin bahwa ada yang tidak beres dengan otak Pak bos ini. Meski sadar ini merupakan ‘pekerjaan’ pertama, Bora sepenuhnya yakin tidak ada pekerja yang diberi gaji seperti ini sebelumnya.

Akhirnya mau iya mau, ia tuliskan kebutuhannya dari mulai listrik pulsa yang pajaknya lebih mahal daripada isi kwh-nya, beras kualitas standar, gula yang melambung tinggi harganya, uang sampah lantaran belum bisa mengurus sampahnya sendiri, telur, sayuran, dan lain-lain.

Baru saja selesai tuliskan semua. Hendak menyodorkan. Pak bos terlebih dahulu menyodorkan selembar kertas kosong serupa. Rupanya ia meminta agar Bora sekalian antarkan kertas tersebut pada pekerja bangunan masjid yang sedang sibuk renovasi kejar tayang agar rampung saat Ramadhan. Pak bos cerita bahwa ketika ia melewati masjid tersebut menjelang dzuhur, ia melihat seorang jama’ah masjid di pelataran memperhatikan pekerja bangunan yang ngecat. Pakaiannya lusuh. Kusam. Badannya kekar. Pak bos tak suka. Berbeda dengan jama’ah tersebut yang wangi dan rapih. Pak bos bilang tak suka dengan cara jama’ah tersebut menatap. Pak bos bilang tatapannya seperti melihat siamang di kebun binatang!

Bora terlihat masih gelisah. Sepertinya ada kebutuhan yang lupa ia tulis. “Yakin ini saja, cukup?”. Si Bora mengambil kertas dari tangan Pak bos, menulis dalam ingatan remang berselimut ragu. Poin baru. Ia tuliskan dalam kebutuhannya. Poin dua belas. Biaya kos. Poin tiga belas……………………Kondom.