Tag: Paulo Coelho

Paman Coelho yang Sejatinya Dekat

aldiantara.kata

Renungkan! Betapa Paman Coelho (Paulo Coelho), asal dari benua Amerika Latin itu yang membisikkan kata-kata ajaibnya lintas samudra hingga Asia. Ia menulis buku, penerjemah mengalih-bahasakan, terbaca hingga ku salah satunya. Memang benar kiranya jika seseorang yang menulis hakikatnya ia sedang bekerja menuju kepada keabadian.

Secara sederhana, keabadian itu berupa ide-ide, yang dapat dipahami, relate dengan keadaan pembacanya, kemudian mengenang terhadap penulisnya. Begitu kagumku, jika telah sampai pada titik orgasme saat membaca, termenung, menikmati sejenak pikiran-pikiran yang menggelinjang, terbang pada alam imajinasi, mengamini. Terlebih jika aku kemudian menceritakan ide-ide hasil membaca tadi kepada kerabat-kerabat dekat yang mau mendengarkan.

Padahal siang tadi, aku tak menghabiskan waktu lama untuk membaca buku Manual Do Guerreiro Da Luz, yang telah diterjemahkan menjadi berjudul Kitab Suci Kesatria Cahaya. Sekilas di antara kalimat-kalimat yang kubaca dan kuingat, “Dulu aku menjalani hidup semata-mata karena keharusan. Tetapi kini aku hidup karena aku seorang kesatria dan karena aku berharap suatu hari nanti aku akan tinggal bersama Dia yang menjadi tujuan perjuanganku selama ini.”

Entahlah, mungkin Kesatria Cahaya itu sedang mengutip kata-kata John Bunyan, seorang penulis asal Inggris.

Kesan pertamaku, kesatria yang dibayangkan adalah seorang prajurit yang gemar berperang, memakai baju zirah, menunggang kuda, serta tak memiliki rasa lelah. Namun jika direnungkan lebih dalam, yang dimaksud dengan kesatria cahaya yang dimaksud adalah kita. Kita hidup tak ayal sedang berada di ‘medan pertempuran’, menyelesaikan misi masing-masing.

Rasanya stimulus itu mencapai titik orgasme pemikiranku, barangkali bersamaan setelah aku mempelajari Sokrates, Plato, hingga Descartes. Rasanya hidup terlalu berharga jika dipandang sebagai suatu keharusan, bak aliran sungai yang mengalir tanpa berhenti dan bertanya. Kesatria cahaya tahu apa yang menjadi tujuan hidupnya, hingga tak berpuas diri dengan apa yang telah menjadi pencapaiannya.

Aku jadi teringat Eyang Sapardi pada sebuah podcast, ia ditanya sebagai seorang penyair mengenai puisi terbaiknya, Eyang Sapardi menjawab bahwa puisi terbaiknya adalah puisi yang belum dilahirkan. Puisi yang belum ia tuliskan.

Berarti?

Seorang Blogger yang baik, sejatinya tak merasa puas dengan halaman-halaman sejarah masa lalu, bahkan ketika tulisan ini di posting, bukan? Tetap menjalani proses, jauh dari menjadi. Dan ia harus kembali merasa bukan siapa-siapa, tanpa menoleh ke belakang.

Tertawalah dan Nikmati Hidup Ini

aldiantara.kata

Buku Paulo Coelho kali ini berjudul, “Saat-Saat Penuh Inspirasi” Jakarta: Gramedia, 2015. Demikianlah seorang penulis besar, seringkali menginspirasi pembacanya tidak mesti dengan sebundel novel yang dikarang secara demikian brilian dan menggugah. Buku ini merupakan kumpulan tweet Paulo Coelho yang dibukukan!

Namun tidak hanya kumpulan tweet-nya saja yang inspiratif, hal keren juga berikut ilustrasi-ilustrasi dalam buku ini yang membantu kita memahami tweet. Ilustrasi di dalamnya dibuat oleh Joong Hwan Hang.

Ah, aku tidak tahu apakah apa yang aku lakukan sesuatu yang melanggar hukum. Namun berikut ini merupakan di antara tweet mengena bagiku ketika membacanya hingga akhir. Sama?

Bagian I: Cinta Tak Pernah Berubah. Manusialah yang Berubah

  1. Lebih baik pernah mencintai dan kehilangan, daripada tak pernah mencintai.
  2. Cinta adalah halusinogen paling dahsyat di dunia. Cinta membuat kita melihat dan mendengar hal-hal yang tidak nyata.
  3. Jalanilah hidup tanpa penyesalan, mencintailah tanpa perlu menjelaskan.
  4. Jangan takut menutup lembaran lama. Kehidupan akan membantumu membuka lembaran baru.

Bagian II: Hindari kata-kata ini, “Suatu hari nanti”, “mungkin”, dan “Seandainya”.

  1. Trend untuk “sempurna dan lebih unggul” telah menjadi disfungsi sosial masa kini.
  2. Dengan menghakimi diri sendiri, kita menyakiti diri sendiri.
  3. Orang-orang hidup hanya untuk menyenangkan orang lain banyak disukai, kecuali oleh dirinya sendiri.
  4. Tidak perlu buku panduan untuk menjadi sukses. Kuncinya adalah orisinalitas.
  5. Orang melihat dunia bukan sebagaimana adanya, tapi sebagaimana diri mereka.
  6. Yakinlah pada jalan yang telah kita pilih, tanpa perlu membuktikan bahwa jalan orang lain keliru.
  7. Jangan melawan orang yang tidak layak menjadi musuhmu.
  8. Waktu bisa menyembuhkan hampir segala sesuatu. Tapi setelah sembuh, kita sudah terlalu tua untuk menikmatinya.

Bagian III: Orang-orang yang selalu patuh dan penurut sangat membosankan

  1. Berapa banyak orang menarik yang kita lewatkan, hanya karena orang tua kita menasihati supaya “jangan bicara pada orang tak dikenal”?
  2.  Kita tak sabar ingin cepat dewasa, lalu menyesal dan merindukan masa kecil kita.
  3. Luangkan waktu sejenak untuk berdoa mengucap syukur. Penderitaan akan berlalu. Sukacita akan bertahan.
  4. Jangan lupa: Kegilaan sesekali membuat hidup lebih berwarna. Orang-orang yang selalu patuh dan penurut sangat membosankan.
  5. Bagiku, tiap-tiap hari ibarat nada musik yang kugunakan untuk menciptakan simfoni kehidupanku.
  6. Waktu yang dinikmati tidak terbuang sia-sia.
  7. Mimpi-mimpi tak mungkin tercapai kalau kita selalu berkata, “Tidak bisa sekarang, saya sedang sibuk.”

Bagian IV: Apa gunanya kebijaksanaan kalau tak bisa diterapkan dalam hidup sehari-hari

  1. Mereka yang telah mengenal kesedihan lebih peka daripada mereka yang tak pernah merasakannya.
  2. Perbuatan baik yang kaulakukan hari ini, akan dilupakan orang besok. Seperti itulah kehidupan. Dan bukan hanya dirimu yang mengalaminya.
  3. Tuhan, bukalah mata kami supaya kami melihat tak ada apa pun yang terjadi secara kebetulan dalam hidup ini.
  4. Jangan menjadi orang yang mencari, menemukan, lalu melarikan diri.
  5. Kata-kata bisa menyakiti, namun mendiamkan juga bisa melukai
  6. Hidup ini singkat, sempatkan diri menyampaikan apa yang selama ini hanya dipendam di dalam hati.
  7. Tertawalah dan nikmati hidup ini
  8. Setelah lama menyetir, baru kusadari bahwa peringatan untuk tidak berhenti di tengah jalan juga berlaku dalam menjalani kehidupan.
  9. Mustahil itu sekadar pendapat.
  10. Ilmu pengetahuan membantu kita membuktikan fakta-fakta, sedangkan intuisi menuntun kita pada penemuan-penemuan.
  11. Kehidupan selalu menunggu sampai terjadi krisis, barulah dia menampakkan diri dalam seluruh kecemerlangannya.
  12. Penemuan-penemuan terjadi saat kita tidak membaca petunjuk-petunjuk yang telah disediakan
  13. Jadilah tuan atas kehendakmu sendiri, dan budak bagi hati nuranimu
  14. Kalau sudah tahu jalur yang harus ditempuh, jangan percaya pada GPS-mu.Rute yang paling singkat adalah yang paling lambat.

Bagian 5: Penderitaan hanyalah sementara. Menyerah berakibat untuk selamanya

  1. Banyak orang takut mengejar mimpi, sebab mereka merasa tidak layak memperolehnya.
  2. Kita memerlukan keberanian untuk menghadapi luka-luka kita dan menyembuhkannya.
  3. Saat kita mengira diri kita sudah siap, ternyata malah sudah terlambat.
  4. Kehidupan mempunyai dua cara untuk menguji tekad kita: 1) dengan tidak terjadi apa-apa; 2) Dengan membuat semuanya terjadi berbarengan.
  5. Saat mengejar apa yang kita cintai dalam hidup ini, jangan mau menerima jawaban “tidak”.
  6. Kesepian, apabila kita terima, adalah anugerah yang akan menuntun kita untuk menemukan tujuan hidup kita.
  7. Takut menderita lebih parah daripada penderitaan itu sendiri.
  8. Orang yang menjalani hidup ini sepenuh-penuhnya, hanya mati satu kali. Orang yang takut, akan mati oleh rasa takutnya hari demi hari.
  9. Banggalah akan bekas-bekas lukamu, sebab semua itu merupakan pengingat bahwa kau mempunyai tekad untuk hidup.

Bagian 6: Penghargaan atas karya kita bukanlah apa yang kita peroleh, melainkan pengalaman yang kita dapatkan.

  1. Dua kesalahan yang mungkin kita lakukan dalam perjalanan: 1) tidak memulai; 2) Tidak menuntaskan
  2. Mimpi-mimpi dan cinta hanyalah kata-kata semata sampai kita memutuskan untuk menjalaninya.
  3. Saat kedua kakimu sudah lelah, berjalanlah dengan hatimu, tetapi janganlah berhenti.
  4. Tekunilah jalanmu. Meski langkah-langkahmu tak pasti, meski seandainya kau tahu kau bisa berbuat lebih baik daripada yang kaulakukan saat ini.
  5. Debar-debar dan rasa cemas dalam bertualang, lebih baik daripada seribu hari yang tenteram damai.
  6. Kalau ingin aman, jadilah orang biasa-biasa saja. Kalau ingin menjadi yang terbaik, bersiap-siap menahan serangan.
  7. Dunia ini berada di tangan orang-orang yang mengambil risiko menjalani mimpi-mimpi mereka.
  8. Saat-saat ajaib Anda adalah hari ini, akankah Anda menghargainya atau melepaskannya begitu saja?
  9. Pergilah lebih jauh daripada rencana semula. Raihlah rembulan. Anda akan terheran-heran sendiri dengan hasilnya.
  10. Jalan itu tercipta setelah Anda memutuskan untuk melangkah

Bagian VII: Hidup ini ibarat memasak, sebelum memilih apa yang kita suka, kita mesti mencicipi dulu semuanya.

  1. Cinta ibarat hujan. Turun tanpa suara, datang tiba-tiba, tapi sanggup membuat sungai meluap.
  2. Para pembenci sesungguhnya adalah pengagum-pengagum yang bingung dan tidak paham mengapa orang-orang menyukai kita.
  3. Ada tiga tahap dalam hidup ini: masa kecil, masa dewasa, dan “kau tampak hebat!”
  4. Zombi adalah orang-orang yang bersama kita, tetapi sibuk sendiri bersama ponselnya.
  5. Air mata baik untuk jiwa, seperti tanaman membutuhkan hujan

Makna Baru, Al-Mujadalah Ayat Sebelas

aldiantara.kata

 

…Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” Al-Qur’an [58] ayat 11

Tuhan, meninggikan derajat orang yang berilmu, barangkali sama pentingnya ilmu pengetahuan berikut visi seorang berilmu dalam memajukan masyarakat.

Aku mendapat suntikan semangat baru, bahwa tafsir niat, kepekaan terhadap sosial menjadi basis awal. Kelak ilmu-ilmu yang dimaksud bukan saja ilmu yang dienyam lewat bangku sekolah, melainkan pada ilmu hidup, pengalaman hidup orang lain.

Aku merasa ayat ini hidup pada konteks yang baru. Visi progresif seorang da’i pabrik, aktivis, yang memiliki kepekaan terhadap sosialnya. Beliau seorang aktivis masjid, miliki andil dalam pembangunan masjid di pabriknya yang semula tidak pernah ada. Modal awal pembangunan ternyata bukan uang, tetapi visi progresif. Namun sebagian orang tersesat mencari modal setengah mati. Kemanusiaan dibiarkan mati suri. Meskipun pada akhirnya antara visi dan modal keduanya sangat penting.

Beruntung sekali daku, mengenal orang-orang ‘terlupakan’. Beliau turut andil dalam pembangunan masjid sebuah perusahaan (PT), karyawannya tidak kurang dari lima ribu. Dari sejumlah banyak itu seorang ini berdenyut dengan kuat.

Namun di samping visi progresif, derajat orang berilmu akan diangkat Tuhan, tentunya dengan berbekal spiritualitas tinggi. Allah Maha Melihat, Allah Maha Tinggi, Allah Maha Kaya.

Aku selalu kagum dengan orang-orang kecil yang menggerakkan hal-hal besar. Secara akal tak masuk. Nyatanya seorang ini tetap rendah hati, sederhana, aku bisa menemuinya pada sebuah surau kecil di Gang Kopi, berada di pojokan surau.

Selepas isya seorang Bapak aktivis berusia enam puluhan ini bercerita memberikan motivasi sederhana kepadaku, di mana pun seorang berada, bukan tiada maksud. Diri harus berpikir dan mencari peran kepada khalayak: berbuat baik. Sekecil apapun.

Pada sebuah pabrik tempat beliau bekerja belum dibangun sebuah masjid. Beliau terpanggil untuk melakukan lobi kepada atasan, mendesak agar segera dibangun tempat ibadah.

Seorang atasan yang berpengaruh belum yakin sebab belum pernah melihat karyawannya yang shalat. Bapak aktivis ini lalu meluangkan waktu disela pekerjaannya untuk berkeliling pada jam istirahat siang melihat karyawan-karyawan lain yang sedang melaksanakan shalat. Ia semakin terenyuh melihat diantara karyawan ada yang shalat dengan beralas kardus.

Kemudian Bapak aktivis ini menggalang kekuatan, membuktikan kepada atasan berpengaruh bahwa di antara sekian banyak karyawannya, memang mendesak membutuhkan sebuah tempat ibadah, terlebih pada hari Jum’at mesti mencari masjid di luar pabrik yang memakan waktu cukup lama, juga sedikit-banyak memakan jam kerja produksi.

Perjalanan yang tidak mudah dari lobi, survei lokasi pembangunan masjid hingga akhirnya diselenggarakannya pembangunan. Dalam jeda ceritanya aktivis ini mengutip al-Qur’an surat 58 ayat sebelas, mengenai keutamaan orang yang berilmu, akan diangkat derajatnya oleh Tuhan. Dalam perenunganku, anugerah derajat untuk orang-orang berilmu, harganya tidak murah, tidak cukup ilmu an sich, melainkan keresahan terhadap sekitar yang membawa jiwanya tergerak untuk merancang suatu pergerakan sosial yang baik.

Aku teringat diantarakata beliau, “Saya ini seorang karyawan, namun juga seorang aktivis dakwah. Saya berpikir apakah peran yang diberikan oleh Allah kepada saya di sini. Ini yang kemudian saya cari.”

“Lantas, Pernah ngga kamu bertanya kenapa kamu tiba-tiba harus jauh-jauh kuliah di Yogyakarta? Tuhan pasti punya sebuah maksud. Kamu mesti cari.” Lanjut beliau melempar tanya.

Beliau sadar bahwa kemampuan orang tentu berbeda-beda. Suatu hal yang menjadi fokus utamanya adalah mengenali peran kekuatan dirinya sendiri.

Ah, andai setiap ayat menemukan konteks yang segar. Berdialog dengan masa kini. Menemukan maknanya yang baru.

Paulo Coelho dalam Manuscrito Encontrado em Accra, mengatakan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang bisa membantu kita dalam menjalani hidup dan menghadapi tantangan hidup sehari-hari. Pengetahuan bukanlah apa yang kita pelajari dari buku-buku, yang hanya memicu debat-debat mubazir tentang hal yang telah atau akan terjadi; pengetahuan tinggal di dalam hati manusia, laki-laki dan perempuan, yang beriktikad baik.

Aku merenung dan berdoa, Bapak aktivis yang Allah pertemukan denganku seakan menjadi cerminan sebagai salah satu orang berilmu, yang memiliki ilmu, yang resah dengan keadaan sekitarnya, sehingga semoga diangkat derajat oleh-Nya. Penafsiran ayat-ayat suci tidak akan pernah selesai hingga akhir zaman, akan selalu dinamis dan indah, sebagaimana kehidupan manusia selalu membawa kejutan: masalah-masalah baru, penafsiran-penafsiran baru.

Rutinitas

aldiantara.kata

 

Kata-kata memang ajaib. Suatu kali aku membaca buku Aleph – Paulo Coelho. Hingga aku sampai dalam buku itu disebutkan,

“Kenapa selama berbulan-bulan ini aku mengeluh soal kehilangan kontak dengan Energi Ilahi? Omong kosong apa itu! Kita selalu terhubung dengan Energi Ilahi; rutinitaslah yang membuat kita tidak merasakannya.”

Ada banyak yang bisa dijelaskan dari kata-kata tersebut, yang terbaik memang membaca dari awal hingga seorang menemukan muasal ungkapan tersebut. Namun, ada banyak momen di mana suatu bacaan pada konteks tertentu, mengalihkan pembacanya kepada konteks lain.

“Rutinitaslah yang membuat kita tidak merasakannya.”

Saat suatu perenungan memberi dialog mengenai ketidakadilan hidup, kebengisan, kekejaman, hal-hal tak diduga membuat seseorang berubah.

Hingga,

Suatu kali pula, perjalanan sederhana yang pernah kulakukan membawa inderaku melihat banyak kebaikan-kebaikan yang dilakukan manusia. Enggan untuk pamrih. I’tikad yang tak terdokumentasikan.

Pada malam hari, masih ada yang melarisi sapu pedagang yang bersandar duduk di dinding kampus putih. Masih ada pada siang terik seorang wanita berjilbab besar mengendarai sepeda motor membagikan nasi kotak kepada seorang Bapak pendorong gerobak loak.

“Rutinitaslah yang membuat kita tidak merasakannya.”

Bukankah selalu ada perspektif yang meruntuhkan, membantah, mengimbangi, menawarkan sesuatu yang sudah kadung pekat.

Beberapa kali tatapanku menemukan seorang ibu yang tabah di bawah hujan, berompi oranye, merapikan kendaraan-kendaraan terparkir persimpangan kota. Aku hanya bertanya perihal indera mataku ini. Dari mana muasal kasih-sayang? Bermula tatapan, bukan kasihan. Bagaimana mata kita beradu memandang hidup?

Aku tidak sedang mengatakan bacaan-bacaan membawa pembacanya kepada realitanya yang sesuai. Namun aku juga tidak menampik, realita yang mendahuluiku kusaksikan, mengamini bacaan yang kubaca kemudian, tentang ‘rutinitas yang membuat kita tidak merasakannya’, romansa hidup, yang banyak orang sebut kemanusiaan, terjadi di sekitar kita, melalui mata kesadaran.

Kalau rompi oranye merupakan simbol seorang kriminil, maka sebagian manusia barangkali merupakan tahanan rutinitasnya yang sempit.

Untuk menutup tulisan ini, aku hendak mengutip bacaanku dari novel Aleph – Paulo Coelho, mengenai rutinitas. Melalui bacaan tentu seseorang mendapatkan perspektif yang segar.

Rutinitas tidak ada hubungannya dengan pengulangan. Untuk menjadi sangat ahli dalam bidang apa pun, kau harus berlatih dan mengulang, berlatih dan mengulang, sampai teknik tersebut menjadi intuitif. Aku mempelajari hal ini saat aku masih kecil, di kota kecil di tengah Brazil tempat keluargaku biasa menghabiskan liburan musim panas. Aku terpesona dengan pekerjaan pandai besi yang tinggal dekat situ. Aku biasanya akan duduk berjam-jam lamanya, melihat ayunan palunya naik-turun menghantam baja merah panas itu, menebarkan percikan api ke sekeliling, seperti kembang api. Ia pernah berkata, “Kau mungkin beranggapan aku melakukan hal yang sama berulang-ulang, ya?”

“Ya,” kataku.

“Well, kau salah. Setiap kali aku menghantamkan palu, intensitas pukulannya berbeda; kadang lebih keras, kadang lebih pelan. Namun aku baru mengetahui hal itu setelah aku mengulang-ulang gerakan yang sama selama bertahun-tahun, sampai tiba momen saat aku tidak perlu berpikir lagi—aku hanya membiarkan tanganku yang bekerja.”

Hidup berarti mengalami berbagai hal, bukan hanya duduk-duduk dan memikirkan makna hidup. Tentu saja, tidak semua orang perlu menyeberangi Asia atau mengikuti Jalan ke Santiago. Aku kenal seorang kepala biara di Austria yang jarang sekali meninggalkan biaranya di Melk, namun ia memahami dunia jauh lebih baik daripada kebanyakan pengelana yang ku jumpai. Aku punya teman yang mendapatkan wahyu-wahyu spiritual luar biasa hanya dengan mengamati anak-anaknya tidur. Saat istriku mulai mengerjakan lukisan baru, ia menjadi seperti kesurupan dan berbicara pada malaikat penjaganya.