Limurta berkata lirih, “Capek ikut orang, lebih baik jual es kelapa.” Mengeluhkan shift kerja malam yang buat badan remuk. Sepertinya menderita bila harus bertahan kerja, melewati malam, menjumpa pagi, namun tak dilihatnya langit dan suara alam. Dekam ruangan.
Di Seruni, pantai yang asri, sepi. Pasirnya yang tak ada bekas jejak lain selain kaki-kaki dua anjing berlari dengan ekornya yang bergoyang. Matahari tak lagi panas. Wanita-wanita paruh baya mencari kumpulkan rumput laut.
Marahlah seperti ombak, Kekasih, yang punya alasan. Debur ombak tak seperti senyum palsumu berpura baik-baik saja. Tunduklah pada rayu alam yang menggodamu sesekali. Air yang menggenangi kaki tanpa kau tahu rasa asinnya.
Marahlah seperti ombak, Kekasih, yang bergulung menghantam bibir pantai, buat manusia hasilkan puisi, bukan status WhatsApp yang saling sindir dan ciptakan salah paham.
Kemarilah kekasih, sentuh air laut itu. Bukankah kesombongan bila seseorang tak bahagia melihat lautan yang bicara sendiri. Bukankah arogan bila kita tak berpura berlari dikejar ombak. Langit menuju gelap, di ufuk terlihat setitik terang lampu kapal berlayar entah kemana. Sementara aku yang kebingungan menerka, mengapa kau tak ucapkan permohon maaf dan terimakasih kepada manusia-manusia yang telah baik kepadamu?