Tukang becak berkomentar kalau mobil kampus kini suara mesinnya tidak halus lagi. Kata tukang cilok wajar saja karena fasilitas kampus tersebut memang lama tak dipakai, jarang dipanasin. Tukang bengkel girang bukan tante. Tidak perlu menunggu durian musim panen, mobil-mobil plat merah itu tentu akan mangkal di bengkelnya.

Ah mahasiswa memang sudah hobinya berburuk sangka. Masa sebagian dari mereka bilang kalau kampus ndak mau turunkan harga UKT (Uang Kuliah Tunggal) gegara banyak kendaraan yang harus diservis.

Padahal kampus tidak seburuk itu, bukan? Meskipun kondisi perekonomian masyarakat pincang adanya, kampus harus tetap stabil, dan kalau bisa, adakan pembangunan! Berpikir saja kalau pembangunan dilakukan, ada berapa banyak pekerja kuli bangunan dipekerjakan dan diberi pemasukan. Itu untuk pembangunan ekonomi rakyat secara tidak langsung.

Hadirin bertepuk tangan. Hadirin bertepuk tangan.

Memasuki bulan pertengahan tahun, mahasiswa tingkat akhir tidak perlu diinsafi lagi untuk lebih giat mengerjakan tugas akhirnya. Lantaran mengejar tenggat waktu agar tidak bayar UKT lagi. Di tengah perekonomian masyarakat yang tengah lesu, surat edaran kampus menunjukkan “wajah kemanusiaan”-nya.

Isi surat edaran tersebut membuat hati begitu sumringah. Membuat hati mahasiswa baik yang taat atau “suka berburuk sangka” berkaca-kaca. Biaya UKT terdapat potongan 50%! Selain itu pembiayaan bisa diangsur hingga akhir tahun.

Hadirin bertepuk tangan. Hadirin bertepuk tangan.

Eh. Eh. Tapi, sepertinya para pejabat kampus belum pernah merasakan hidup susah: belum pernah menjaja koran, menggendong gerobak cuanki, atau rumah yang disita lantaran utang rentenir.

Setelah surat edaran tersebut dibaca dengan teliti oleh para mahasiswa yang sering berburuk sangka nan dangkal pengetahuannya, diskon 50% UKT tersebut ternyata untuk mahasiswa tingkat akhir yang terancam drop out (DO). “Wasyem. Lha lagian emangnya meskipun diangsur sampai akhir tahun akan menjamin perekonomian akan membaik?” kata Sutijan, mahasiswa magister semester empat yang kini sibuk jualan lotis.

Selain itu, memangnya jumlah mahasiswa tingkat akhir yang terancam DO yang mendapat keringanan itu jumlahnya lebih banyak dari mahasiswa lainnya? Bukankah kelesuan ekonomi ini bagi semua mahasiswa tak mengenal semester awal atau akhir?

Sutiyem, mahasiswi penjual lotek lalu membisikiku, “iri bilang, Bos!”

Surat edaran kampus mengenai Dispensasi Pembayararan UKT dan Diskon 50% UKT untuk mahasiswa menjadi clikbait yang biasa digunakan oleh banyak YouTuber. Mirip juga seperti foto viral sebuah warung laundry yang stand banner nya bertuliskan, “Lee Min-Ho Pernah Londry Di sini”. Padahal kalau dicermati di antara kata Lee Min-Ho dan Pernah terdapat kata “Tidak” dengan ukuran font yang lebih kecil sehingga seharusnya dibaca menjadi Lee Min-Ho tidak pernah Londry Di sini.

Dengan demikian, petinggi kampus sudah sepandai pebisnis. Pertanyaanku, untuk apa mempertahankan pejabat kampus yang memiliki gelar doktor bidang sosial, doktor bidang agama, doktor bidang ekonomi, guru besar di bidang sains, guru besar di bidang keagamaan, guru besar di bidang ekonomi?

Mari kita jujur, guru besar dan doktor tidak perlu ditaruh menjadi petinggi kampus. Taruh saja para pebisnis kelas kakap untuk menjadi “pemimpin perguruan tinggi.” Toh kebijakan dari otak akademisi senior dengan bejibun gelar dan pebisnis nyatanya tiada berbeda. Bergelar akademisi pun tak jamin melahirkan kebijakan yang membela kerakyatan.

Ah, tuh kan jadinya malah ketahuan bahwa aku salah satu mahasiswa nyinyir yang passion berburuk sangka pada pemangku kebijakan.

Hadirin: “Boooooooo. sok sok-an kritis padahal masih butuh juga gelar dari kampusnya.” Heuheuheuheuheu.

Sementara itu, di Gesikan Godean di suatu perempatan, di tengah jalan berdiri Polisi Cepek atau Pak Ogah yang ‘mengatur’ lalu lintas dengan imbalan uang seikhlasnya dari pengguna jalan.

Setahuku, Pak Ogah berdiri pada suatu kondisi jalan yang biasanya ramai. Tetapi di tempat tersebut justru sebaliknya, cenderung sepi, para pengguna jalan dari dua arah biasanya melaju dengan kecepatan tinggi.

Meski demikian, tidak jarang juga ada kendaraan yang hendak menyeberang, dibantulah oleh Pak Ogah. Kuperhatikan cukup lama dari kendaraan yang menyeberang, tidak ada yang memberi Pak Ogah uang. Meskipun kebanyakan yang dibantu Pak Ogah adalah kendaraan bermotor.

Ah iya-iya (baca: jangan-jangan) menjadi Pak Ogah sudah menjadi passionnya si bapak? Yang senang membantu orang. Bahkan aku pernah lewat pada pukul 23.00 malam, ternyata beliau masih berdiri di sana. Dengan kondisi jalan yang teramat sepi: cukuplah jika bermain satu permainan karambol untuk menunggu satu kendaraan lewat.

Seandainya Pak Ogah ini menjadi rektor, beliau tentu akan mengambil jalan yang sepi. Kebijakan nyentrik, di saat kampus lain berusaha mempertahankan stabilitas finansialnya, bahkan mengambil sedikit keuntungan. Pak Ogah akan tetap konsisten dalam berdedikasi untuk membantu semua pengguna jalan, diberi upah atau tidak. Akan tetap konsisten membantu para mahasiswa, untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, bangkrut atau tidak ‘dapurnya’ kelak.

Sutijah tiba-tiba membisikiku, “Jangan-jangan Pak Ogah itu sebetulnya seorang pebisnis yang menyamar?”