aldiantara.kata
Boneka mampang kian banyak jumlahnya. Boneka Upin yang sudah lusuh seperti sedang bersiap Olimpiade Tokyo cabor kartun moral.
Di halte yang menjadi tempat teduh depan rumah sakit, aku berjemur. Para perawat datang untuk pergantian shift. Tak ada orang yang berjalan kearahku, karena tak ada bus kota. Bus pengangkut karyawan beroperasi saban pagi. Angkutan kota banyak menepi menunggu sesak penumpang lalu jalan.
Aku seperti boneka tanpa kostum, yang ikut berjoged terhibur di selatan lampu merah. Musiknya terdengar dari kejauhan. Pemimpin negeri dengan plat merah 1 datang gunakan ‘boneka’ yang berjalan ke arah kota, boneka keras seperti tangannya yang besi membawanya bersama iring-iringan yang suara sirinenya kalahkan musik di lampu merah. Suaranya menakuti masyarakat yang belum berani menghadang dan bertanya, “Memangnya kerja, ya? Kok buru-buru amat.” Sementara pada dinding rumah sakit bersandar boneka mampang dengan kartun yang tak kukenal duduk, dengan sebuah ember kecil di depannya berharap kasih. “ember harapan”, agar pelawat berkenan bersumbang recehan.
“Kamu kenapa ngga joged?”
“Jangan-jangan kamu buzzerp yang dibayar agar tidak berjoged?”
Ia tak bergeming.
Ah, lucunya. Iring-iringan yang membawa pemimpin negeri itu harus berpapasan dengan ambulance. Sirine beradu. Tak ada yang mau mematikan, tak ada mau mengalah. Siapa mau duluan. Siapa lebih penting. Siapa mau meminta maaf?