Konten tulisan ini jangan diharapkan apa-apa. Kategorinya termasuk judul singa analisis kutjing. Di dalamnya belum lepas dari dampak yang dibawa oleh corona. Bisa disebut latepost. Tetapi memang pengalaman ini masih hangat.
Karena tidak boleh mudik, ayahku seorang pegawai kantoran memiliki kontrol yang ketat dari pekerjaannya. Setiap hari tidak bisa tidak untuk meng-update posisi. Tentu hal ini untuk memastikan yang bersangkutan tidak sedang berada di luar kota.
Lebih parah lagi tetanggaku, ancaman dari atasannya, kalau mudik, ya langsung pemutusan hubungan kerja alias PHK.
Selalu ada cara dibalik aturan ketat sekalipun, kenalan Ibuku justru tetap keluar kota melepas rindu dengan orang tuanya, sementara handphonenya dititipkan pada tetangga yang akan mengupdate posisinya agar terpantau tetap dalam kota.
Mudik yang menjadi tradisi tahunan, keluargaku selalu meluangkan waktu tiga sampai enam hari untuk ‘liburan di rumah nenek’. Heuheu.
Tahun ini luangan waktu tersebut tidak tepat dimulai selepas shalat ‘Id. Namun, setelah mendapat izin dari atasannya, berangkat juga.
Melalui media mainstream dan khalayak yang sedang sibuk bahas new normal atau titik puncak pandemi corona, di kampung halaman seperti tak terjadi apa-apa. Tak satu jiwa pun bermasker. Tak seorang pun menjaga jarak.
Corona seperti pandemi perkotaan. Hampir tak memiliki dampak apapun di kampung halamanku.
Aktifitas biasanya tidak jauh dari pertemuan keluarga, orang tua memberi nasihat kepada anak cucunya.
Memasuki usia satu setengah abad lebih. Nenek menjadi tempat kembali bagi anak dan cucunya. Sebagai cucu, ucapan yang lahir dari untaian katanya adalah nasihat kehidupan. Usia yang sudah dijalani yang belum tentu aku mengalaminya.
Nasihatnya menguatkan agar cucu-cucunya berbakti kepada kedua orang tua dan berpegang teguh kepada agama.
Namun di antara nasihat-nasihat indahnya, Nenek katakan, “lalaki migawe pagawean istri, ibadah.” Artinya kurang lebih lelaki yang mengerjakan pekerjaan perempuan (ranah domestik) itu bagian dari ibadah.
Nenek tidak pernah marah pada cucu-cucunya meski Ibu ceritakan karakternya yang galak, tidak pernah menyuruh apapun, yang ada menunjukkan keteladanan tanpa pamrih. Bertahun-tahun Nenek meng-handle ‘urusan domestik’.
Untaian kata yang menjelma seperti mu’jizat. Menundukkan segala ke’aku’an. Melemahkan ego diri. Terngiang pada alam pikiran. Menyisakan malu dan berpikir dalam. Diantarakatanya sangat berat.
Sejauh ini Nenek menimba pengetahuan agama dari Abah—kakekku, juga pengajian-pengajian rutin yang tak pernah absen untuk didatangi di kampung.
Kesadaran akan keadilan gender (secara sederhana) ini meninju muka ‘kaum terpelajar’ sepertiku. Tamatan sekolah dasar saja tidak, mengenal Pramoedya saja tidak, namun sudah adil sejak dalam pikiran.
Nasehat Nenek seperti Gender Mainstreaming gaib. Gaib lantaran diinternalisasikan melalui sekolah kehidupan yang tak ternilai rupiah.
Tak hendak mengatakan sekolah gender tidak penting, namun melihat permasalahan ini tanpa sentuhan pengalaman hidup rasanya kurang mengena’.
Belasan tahun sebelumnya, ketika aku sering berkelahi dengan kakak. Setelah melerai, Nenek sampaikan berulang-ulang hadis man laa yarham, laa yurham. Siapa yang tidak menyayangi, ia tidak akan disayangi.
Hanya sedemikian. Belasan tahun berikutnya, dalam bangku perkuliahan dosen sampaikan konteks hadis mengenai Nabi Muhammad saw. pun ikut membantu urusan domestik, ikut membantu pekerjaan istri, termasuk di antaranya menggendong anak. Sesuatu yang ketika itu tabu, bukan urusan lelaki.
Ah, Nenek. Sayangnya engkau memang tak pandai berkata-kata. Ucapanmu adalah keteladanan. Kata-katamu adalah perbuatan yang kusaksikan.