Sumber Gambar: Pixabay
Menulis ini pada tanggal 20.8.2020. Bakda asar. Pukul lima sore, lima belas tahun lalu, aku berlari menuju Warung Pak Haji Sadun menunggu bis kantor yang membawa Ayahku tiba pulang kerja, kupanggil ayahku: Abi. Bahagia sekali ketika Abi turun dari bis, melihatku, dan aku tertawa bahagia: minta uang jajan!
Yeah. Seribu. Kumasukkan ke dalam saku celana. Sangking baiknya, Abi sering ajakku mampir di warung Pak Haji Sadun. Tentu saja aku jajan teng-teng kacang dan nano-nano. Lalu setelah kupastikan Abi sampai rumah, aku kembali ke lapangan perumahan untuk main bola.
Pukul lima sore. Setiap hari dengan bahagia aku menjemput Abi di gapura. Menunggu bis kantor yang membawa ayahku tiba. Dengan tas kantor hitam, diselempangkan di lengan kiri. Biasanya membuka tangannya ketika aku berlari ke arahnya. Bersalaman.
Paling menyenangkan lagi, pukul lima sore. Hujan. Mama bekali aku dengan payung besar lalu aku berpetualang di bawah hujan menuju gapura. Kuinjakkan kaki-kakiku pada setiap genangan yang yang bergelombang ketjil mengarah padaku.
Di samping gapura, aku menunggu di bawah payung yang besarnya melebihi tubuhku yang kerempeng: bus kantor yang membawa Abi tiba. Lalu, bus pun datang. Abi turun dengan menutupi kepalanya dengan tas hitam berlindung dari hujan, aku dengan cepat-cepat berlari ke arahnya, lalu menyodorkan payung. Bersama Abi memayungiku. Berjalan dengan langkah kaki yang tak bersamaan. Masih terasa indra penciumanku mencium wangi keringatnya.
Bila hari jum’at. Biasanya sepulang Abi kerja, Abi selalu membawa sekotak susu ultra cokelat ukuran ketjil, yang kemudian dibagi-bagi untuk kakak, aku, dan adikku. Karena hari jum’at ada jadwal olahraga di kantor, jatah susu yang seharusnya untuk Abi, malah dibawanya ke rumah untuk anak-anaknya.
Mama Abi yang pengasih dan penyayang. Mama cerita tidak ada sosok ayah sepenyayang Abi. Bahkan Mama sering bercerita ada anak di perumahan yang tidak penah merasakan gendongan seorang ayah.
Lima belas tahun lalu, saat badung-badungnya, di masjid perumahan ketika sore hari, aku main-main dengan berjalan di atas pagar masjid hingga akhirnya terpleset, tangan kiriku sobek terkait pagar besi masjid. Aku menangis sejadi-jadinya. Darah membuatku pening mengalir dari tangan. Hingga tetangga yang mendapatiku mengantarku ke rumah.
Aku paham sekali Mama takut dengan keadaanku yang menyedihkan, mungkin sekaligus kesal karna aku sejak dulu berjuluk “cacing kepanasan” alias ngga bisa diam. Namun, Mama dengan berani mengurus luka dan memperbannya sementara. Abi akhirnya membawaku ke RSUD.
Dokter memberitahu harus menjahit tanganku. Aku panik. Tangan Abi yang memegang kepalaku entah membuatku tenang sekaligus berani. Ketika dijait, tangan Abi yang berusaha menutupi mataku agar tak penasaran melihat proses operasi.
Bukan itu saja pengalaman operasi. Ketika menginjak SMP, kaki kananku patah setelah jatuh dari ranjang tingkat dua di Pesantrian. Suatu malam aku tidur di ranjang tingkat dua, namun alam bawah sadarku mengira aku berada di ranjang bagian bawah.
Ketika mati lampu, aku panik dan ngelindur, hendak lari, namun nyatanya aku berada di ranjang atas. Jatuhlah. Kaki kanan menghantam ujung lemari kayu. Masih dalam keadaan tidak sadar, aku berusaha berdiri dan mulai sadar. Dan…kreekk. Ada yang tidak beres dengan kaki kananku. Aku berteriak sekencang-kencangnya.
Mama Abi menuju rumah sakit. Mama yang kulihat pertama kali datang, terlihat memaksa senyum meski harus menahan air mata. Seolah hendak menenangkanku, padahal diri Mama sendiri yang terguncang dan khawatir. Sementara Abi secara sempurna berpura-pura “terlihat dingin” menjengukku.
Meski sebetulnya dahulu Abi pernah fobia gelap, namun Mama cerita setelah Abi masuk STM, fobianya sudah sembuh sendirinya. Sementara aku hingga kini masih dengan fobia yang sama.
Dahulu di rumah Abi masih berlangganan majalah-majalah teknologi. Biasanya pada malam hari antara aku dan kakakku, setelah selesai belajar dan ngga ada kerjaan, bila menemukan sebuah majalah, biasanya mencari wajah orang di dalamnya, kemudian menggambarkan matanya seperti seorang bajak laut, lalu mengkumisi, menjenggoti atau menggambarkan tahi lalat. Parahnya tidak hanya terhadap artis pria, juga wanita sekalian.
Mama menegur. Mama bilang selama mengenal Abi, tidak pernah Abi mencoret-coret bukunya, bahkan hingga menggambari wajah orang lain di buku atau majalah. Alasannya sederhana dan lucu: takut orang yang di buku atau majalah bersangkutan datang main ke rumah. Barangkali pesan moralnya adalah harus menghormati buku. Namun aku setuju dengan Mama: bahkan dengan orang yang Abi ngga suka sekalipun, ketika Abi menceritakannya, Abi selalu mengembelinya dengan “Pak” atau “Bu”.
Dear, pembaca. Ketika tulisan ini diketik, sudah tanggal 21.08.2020. Barangkali engkau mulai bosan membaca kisah fragmen mengenai keluarga. Terlepas dari semua itu, memori-memori lama menyampaikan kepada tangan untuk kemudian kutuliskan. Pada tanggal duapuluh Agustus kemarin, usia Abi menginjak setengah abad lebih tiga tahun.
Abi cenderung sosok pendiam dan bicara seperlunya, terutama kepada anak-anaknya.
Dengan darah kesundaan tentu canda tawa tidak pernah lepas dari kesehari-harian. Dalam obrolan malam di ruang tengah, untuk memecah suasana biasanya Abi bercerita hal-hal yang jenaka. Memang terkadang beberapa di antaranya diulang, namun selalu saja hangat dan tawa kerap menemukan ruangnya.
Diantara cerita yang kuingat adalah tentang tentara dari Sunda yang komandannya berasal dari Maluku. Suatu ketika dalam upacara rutinan tentara. Semua tentara bersenjata lengkap. Tentara yang berupacara kebetulan kebanyakan dari suku Sunda. Seluruh tentara bersenjata lengkap. kemudian komandan menyiapkan pasukan: “Siaaaaaap Grakk !!!” semua tentara berbaris posisi siap. Lalu komandan berseru: “Letakkan senjataaaa…Grakk !!”. Namun lantaran diserukan dengan logat timur. Seruan terakhir sang komandan didengar oleh para tentara dari Sunda menjadi “Létakkan senjata”. Sementara terma létak dalam Sunda memiliki arti “jilat”. Sehingga yang dipahami berarti “Jilatlah senjata…Grakk !!” akhirnya sebagian dari tentara ada yang menjilati senjatanya. HAHAHA. Ini cerita lucu, intinya soal perbedaan dialek yang unik sekaligus indah. Namun meskipun berkali-kali Abi ceritakan pasti semua tertawa. Terlebih mimik Abi yang terbiasa kalem dan serius, namun ketika bercanda terlihat totalitas mengekspresikan tokoh konten ceritanya.
Sejujurnya, dalam keluarga, aku tidak dekat dengan siapapun. Namun, kalau ada apa-apa, aku lebih nyaman untuk mengutarakan pada Mama. Abi pun sebetulnya so sweet. Kalau pergi ke mana-mana, Mama harus selalu ikut. Bahkan hingga perjalanan dinasnya, Mama harus selalu ikut. Bahkan ketika Mama tidak bisa ikut, Abi malah ajak kawan pria sekantornya sebagai teman dalam perjalanan dinasnya. Pernah suatu ketika sedang makan malam, Abi pernah bilang pada anak-anaknya, “Hati-hati, nanti kalau kalian sudah bekerja dan ada dinas keluar kota, harus ajak istri atau suami.”
Konon kata Mama, sebelum menikah dengan Abi, Abi pernah patah hati dengan seorang perempuan. Namun, obat move on nya kata Abi, mungkin terdengar sedikit klise, “Kalau putus cinta, ibarat layangan putus, biarin aja, ngga usah dikejar lagi.”
Kini sudah tanggal 22.08.2020. Aku seperti memiliki kemampuan menyelami masa lalu yang detil. Duduk melingkar pengajian rumah yang diajari oleh Mama, hingga Abi yang mengantarku ke sekolah dasar hingga depan gerbang. Atau Mama Abi yang harus sabar meminta maaf kepada tetangga lantaran genting rumahnya rusak karena genting rumahku dan tetangga kujadikan wahana bermain layangan.
Kehangatan keluarga kusadari kini merupakan harta sesungguhnya.
Dulu, kata Mama, Abi seorang perokok berat. Hingga akhirnya menikah dengan Mama dan hamil anak pertama, Mama ngga mau Abi tetap merokok. “Ngidam” yang sangat mengerikan. Hihihi. Dengan hebat sejak itu Abi sama sekali tidak pernah menyentuh rokok hingga kini.
Dulu, aku memahami kehidupan yang begitu sederhana. Biasa saja. Pola-pola yang sudah ditebak. Sekolah hingga jenjang yang tinggi, mendapat pekerjaan yang layak lalu berkeluarga.
Hingga kurun 2002-2020, banyak peristiwa-peristiwa terjadi, dimulai dari Mama dan Abi yang memiliki kerja sampingan dengan menjual produk kosmetik. Hal menarik bagiku bukan persoalan untung atau ruginya. Tetapi modal koneksi. Dari usaha ini Mama Abi berkenal dengan berbagai macam keragaman, khususnya dari ormas keagamaan, Mama dan Abi bertemu kawan kawan dari berbagai kalangan seperti Persis, Muhammadiyah, NU, LDII, NII, MMI, dan lain-lain. Tidak jarang orang bertamu dan bercerita macam hal.
Sekitar tahun 2011an, meski usaha sampingan Mama Abi sudah selesai, namun koneksi dengan sebagian pelanggan yang berasal dari berbagai latar belakang tidaklah usai. Mama dan Abi tetap menjadi pendengar yang baik mendengar ragam cerita dan masalah yang diutarakan kepada mereka berdua.
Bertempat tinggal di kota industri, dalam pandanganku yang sempit, lowongan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan kesediaan SDM. Industri perusahaan tidak segan dalam memecat karyawannya, toh SDM pelamar melimpah. PHK pada kondisi tertentu menjadi hal biasa. Belum lagi dari cerita-cerita yang kudengar tanpa sengaja, banyak pula para debt collector yang menjadikan kondisi perekonomian kaum papa yang butuh modal usaha atau biaya sekolah anak-anaknya memperparah kondisi sosial sekitarku. Celakanya, pada suatu tempat yang spesifik nan sempit, di daerahku, beberapa debt collector memiliki keyakinan yang berbeda dari pada umumnya, hal ini memperkeruh dan meningkatkan intoleransi pada sebagian masyarakat terhadap penerimaan keberagaman.
Mama dan Abi keduanya sosok yang mudah tersentuh. Mama dan a tiny creative minority, semuanya perempuan, tidak lebih dari lima orang, pada awalnya merupakan jamaah pengajian, namun memiliki keresahan sosial yang sama, seperti mendengarkan cerita dari korban PHK, terlilit hutang atau yang membutuhkan dana pendidikan anaknya, atau bahkan konsumsi harian. Mama dan kawan-kawannya sering menggalang dana untuk kemudian menyalurkannya kepada yang membutuhkan.
Ini cerita tentang pergerakan kaum perempuan progresif. Yang membuatku menarik, para suami dari kelompok perempuan ini memiliki peran dalam mencari koneksi untuk penggalangan dana, entah dari baitul maal perusahaan, sumbangan dari dokter spesialis daerah, atau dari donatur-donatur yang berkenan menitipkan dana untuk disalurkan. Hingga jamaah pengajian ini membentuk komunitas yang bernama Amanah Umat.
Amanah Umat kini setahuku hampir berusia sewindu, atau bahkan lebih. Beragam acara sudah dilakukan, seperti pengajian ibu-ibu, santunan yatim piatu, sumbangan dana pendidikan, perbaikan rumah yang rusak, pembebasan dari debt collector, hingga mengadakan pelatihan soft skill pembuatan kue hingga kursus menjahit bagi para perempuan. Agar masyarakat berdaya dan survive mencari rezeki.
Aku belajar dari keteladanan itu. Meski pesan yang akan disampaikan ini terkesan receh, namun bagiku ini penting, tak perlu menunggu menjadi apa dan siapa untuk menjadi manusia yang memberi manfaat.
Tulisan ini memang seharusnya menjadi privasi. Aku meyakini bahwa semua orangtua mewarisi keteladanan bagi anak-anaknya. Semua orang tua adalah pahlawan bagi buah hatinya. Aku memang sedang menyelami masa lalu. Ayah pendiam yang dalam, Ibu yang juga poros inti keluarga. Tiada tradisi ucap mengucapkan selamat ulang tahun di keluargaku, tulisan ini semacam refleksi mengingat bahwa setiap orang tua kita adalah pahlawan.
Bila Abi membaca tulisan ini, Abi pasti sedang berada di ruang kerja atau sedang di kampus. semangatnya adalah keteladanan. Mama seorang sarjana tarbiyah, sementara Abi magister teknik yang menyelesaikan sarjana dan magisternya diusia kepala lima.
Sama seperti tidak perlu menunggu menjadi apa dan siapa untuk bermanfaat, maka tidak perlu menunggu sukses untuk mengucapkan terimakasih dan tindakan bhakti kepada orang tua.
Pukul 5 sore. Abi pulang lalu sampai di rumah. Hal yang bagiku romantis adalah setiap pulang kerja, Mama dan Abi selalu punya waktu 30 menit untuk menghabiskan waktu berdua, mengobrol, dengan suara-suara yang perlahan dan intim. Adik-adikku selalu punya cara untuk bermanja dengan tiduran dipangkuan Mama dan Abi.
Sementara aku, selalu gagal untuk bisa memeluk Abi atau Mama kala harus pergi jauh. Setelah dewasa. Entahlah. Setelah dewasa ini aku ingin sekali memberanikan diri untuk memeluk mereka. Namun pada saat yang sama aku takut momen tangis dan canggung.
Aku bahagia, kini aku berhasil memegang payung sendiri, memayungi Abi atau Mama kala sedang berjalan di luar rumah kala hujan. Menghindari genangan. Mendengar derap langkah masing-masing.
Bahagia rasanya tulisan ini bisa selesai, dengan cerita bejibun tak masuk isi materi, tereliminiasi karena kupikir terlalu privat atau bingung hendak menyambungkan pada narasi ini lewat mana. Tulisan ini sekaligus menjadi penutup pada bulan Agustus. Bulan kelahiranku dan Abi.
Aku mendengar lagu Dust in The Wind – Kansas juga Wind of Change – Scorpions. Kenangan di mana aku mendengarnya di mobil bersama keluarga. Malam-malam. Syahdu sekali.
Ahlan September.
Kapan aku sidang tesis? Aku hendak segera pulang, makan masakan Mama dan dengar cerita-cerita Abi.