Tag: Malioboro

Tenda Hujan

Biasanya aku memulai pembicaraan dengan: “Apakah di sini sudah lama hujan tak bertamu?” dengan seseorang. Akan tetapi pertanyaan tersebut kujawab sendiri. Hujan membutuhkan waktu berenung. Tumbuh-tanaman sudah hilang berganti, dirinya tak bisa menyirami semen dan gedung pencakar langit lagi.

Kala hujan turun, tanaman mendongakkan kepalanya ke atas. Menghadap langit, menunggu pesta minuman langit.

Kala musim hujan, setiap manusia membuat tenda ketjil di depan rumah-rumah mereka. Agar para musafir bisa berteduh dan mengunyah goreng pisang panas dan sebuah jeruk, serta segelas teh manis panas. Tidak perlu lagi repot-repot berlarian ke depan toko yang tutup, atau apotik yang menjual obat-obat yang mahal.

Tetapi aku sadar, tidak semua musafir yang berteduh akan menikmati hidangan tersebut di bawah tenda hujan. Sebagian meminta plastik untuk dibungkus, karena kenikmatan itu harus dibagi kepada istri dan anaknya yang juga lapar di rumah kontrakan ketjil, namun mereka sedang dinyanyikan sebuah senandung rintik hujan.

Keteraturan semesta layaknya pertunjukan sirkus, nyaris tanpa kesalahan. Hidup adanya bukanlah sirkus. Namun penuh sandiwara.

Rintik hujan yang turun seperti sirkus keteraturannya. Nyatanya hujan turun dengan kadar rintik yang beragam.

Seorang perempuan paruh baya memanggul sampah. Malam manakala Malioboro menyisakan jejak-jejak manusia yang t’lah berlalu, dipilihnya sebagai rezeki. Sementara makanan sisa setiap rumah sudah basi dan terbuang. Serakah merasa akan habis dimakan sendiri.

Office boy terlihat gontai masuk angin. Diupah dengan rendah. Sementara di seberang jalan sepasang kekasih bertengkar akan keinginan yang belum terpenuhi.

Kekasih. Kalau kita marahan karena sulit menembus birokrasi, bersyukurlah keadaan kita sebagai manusia biasa yang mampu bertahan memenuhi pangan pokok kita.

Lalu bercita-citalah mampu memberi makan orang banyak. Agar tercipta kemiskinan standar: orang miskin yang makan cukup, memiliki rumah, cukup makan buah, dan senang membantu orang.

Beragama secara sederhana, karena beragama dengan ‘pelik’ kini hanya akan menciptakan brand bisnis, bukan kesalehan yang lalu melahirkan kebajikan dan kepekaan sosial.

Cukup kita tunjuk orang kaya itu yang tak punya nurani. Hidup penuh dengan rasa takut jatuh miskin dan kalah pamor.

Mobil dan rumah mewahnya terdapat hak orang miskin yang semestinya kita rebut paksa!

Puisi Hujan #1

Hujan rintik bak doa.
Tuhan-kah pengabul doa penindas?
Mengabul kaya orang yang kaya?
Rintik hujan malam ini sebanyak rupiah yang tertahan untuk korban PHK.
Tuhan, Engkau jawab dengan air.
Air Kau tumbuhkan pohonan.
Namun, Si rakus menebang dan membakarnya!

Orang-orang proyek menghabiskan anggarannya di Malioboro
Kereta eksekutif melaju menembus hujan.
Uang itu subsidi kaum papa.
Sanak famili menerimanya sebagai kasih sayang Tuhan.
Oleh-oleh sebentuk kedermawanan
Pegawai Honorer tidak mampu membeli susu. Istrinya sedang hamil.
Tuhan, Engkau jawab dengan air.

Adakah Engkau dalam setiap rintiknya?
Kaum papa yang sudah kenyang dengan lafadz ‘kelak’ dan ‘nanti’ balasannya.
Sabar adalah lauk pauk sehari-hari.
Buah-buah t’lah punah bagi kaum papa kecuali tiga.
Mangga di tempat sampah.
Pisang yang sudah terlalu masak.
Kurma pada bulan Ramadhan.

Tuhan, Engkau jawab dengan air.
Hujan membuatku lapar.
Yang kenyang sedang berada di kereta malam itu.*

Jumat, 1 November 2019

Yang Meng-Aku

Menangis lagi, kau
Mengeluh gamam roda hidup, pasti
Kemanusiaan yang tak adil dan merana
Adalah satu, jalan hidup yang tak bisa kita terka

Tertawa lagi, kau
Kuat Emosi memuncak kala detiknya
Bimbang menimang angin, lalu
Mengikutinya, Kita

Bersama lagi, kita
Di antara Kata
Berdua lagi, karena
Kita berada di atas pedati yang sama
Dan roda hidup selalu menyajikan kegelapan
Sementara penerang adalah, kau
Yang meng-Aku