“Dia yang mencintai, tak pernah menyadari kedalaman dirinya sampai saat berpisah tiba.” Khalil Gibran
Selama wabah corona ini, sebagian waktu kumanfaatkan untuk menyelami kesahajaan Mahatma Gandhi. Seorang Mahaguru dari India. Seorang yang sejak kecil pemalu dan tidak suka berteman. Hanya buku-buku pelajaran yang menemani masa sekolahnya.
Gandhi kecil juga seorang penakut: maling, setan, ular. Ada juga beberapa kesamaan denganku, di antaranya takut gelap. Mustahil untuk tidur dalam keadaan gelap. Gandhi tidak bisa tidur tanpa lampu menyala.
Pada akhirnya, Gandhi dikenal tumbuh menjadi pemimpin spiritual serta sosok penting dalam Gerakan Kemerdekaan India. Gandhi pula sebagai sosok yang telah berhenti untuk membenci manusia hingga empat puluh tahun lebih.
Namun, yang hendak kuceritakan di sini bukan mengenai Gandhi secara personal, melainkan dalam penyelaman kesahajaan Gandhi, Ia menceritakan beberapa pengalamannya dengan buku.
Pertama, Gandhi bercerita, “Selama saya masih di bangku sekolah, secara praktis saya tidak membaca apa-apa kecuali buku teks dan setelah saya terjun kehidupan yang penuh dengan kesibukan waktu untuk membaca sedikit sekali. Oleh karena itu saya tidak berani mengatakan mempunyai pengetahuan banyak dari buku. Namun demikian, saya yakin bahwa saya tidak begitu rugi karena keterbatasan ini. sebaliknya, kesempatan membaca yang terbatas ini boleh dikatakan telah memungkinkan saya mencernakan secara menyeluruh apa yang saya baca.”
Kedua, Gandhi berkata, “Pengetahuan ilahi tidak dipinjam dari buku-buku, melainkan harus direalisasi dalam diri kita. Buku memang merupakan suatu bantuan, tetapi seringkali dapat merupakan hambatan.”
Ketiga, Gandhi bercerita, “Tentang buku-buku pelajaran yang begitu banyak dibicarakan orang, saya tidak pernah mempunyai keinginan apa pun untuk membicarakannya. Saya bahkan tidak ingat lagi apakah saya telah banyak menggunakan buku-buku itu yang ketika itu dapat diperoleh.
Menurut saya, para pemuda itu tidak perlu dijejali dengan sejumlah besar buku itu. Saya selalu merasakan bahwa buku pelajaran yang paling benar bagi seorang siswa adalah gurunya. Saya sungguh tidak mengingat banyak dari apa yang diajarkan oleh para guru dari sisi buku pelajaran, tetapi sampai sekarang pun saya masih ingat dengan jelas tentang hal-hal yang diajarkan oleh guru-guru, di luar guru pelajaran.
Anak-anak pada umumnya dapat menyerap hal-hal lebih banyak tanpa harus berusaha terlalu keras melalui telinga dibandingkan melalui mata mereka. Seingat saya, saya belum pernah membaca sebuah buku dari depan sampai habis bersama murid-murid saya. Tetapi saya memberikan kepada mereka, seluruh yang dapat saya cernakan dari berbagai buku yang telah saya baca, dengan menggunakan bahasa saya sendiri, dan saya yakin sedikit banyak mereka tetap menyimpan isi-isi buku itu dalam ingatan mereka. Sulit bagi mereka untuk mengingat apa yang mereka pelajari dari buku, tetapi apa yang saya tanamkan dalam diri mereka melalui kata-kata atau melalui mulut, mereka dapat mengulangnya dengan mudah.
Membaca merupakan tugas bagi mereka, tetapi mendengarkan kata-kata saya lebih disenangi selama saya tidak membuat mereka bosan karena tidak dapat menyajikan mata pelajaran itu menarik.” (diambil dari buku terjemahan Mahatma Gandhi: Semua Manusia Bersaudara, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, 2009)
Cerita Gandhi di atas tiba-tiba kuingat setelah kudengar kabar salah seorang Guruku, Dr. H. Syaifan Nur, M.A. wafat pada hari ini. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sedih mendalam. Keramahan dan kedalaman ilmu dalam filsafat dan tasawuf tidak menyisakan celah pintu keraguan untuk masuk. Kebaikan beliau terhadap sesama sudah harum tercium bahkan sebelum mengajarku pada matakuliah Pendekatan Studi Islam. Memang pertemuan dengan beliau dalam ruang perkuliahan tidak berlangsung lama.
Berjalan dengan tenang, tatapan yang tajam namun penuh simpati, serta senyum yang tak pernah tenggelam pancarannya melalui wajah beliau mendapat tempat mulia dalam memori pikiranku juga khalayak.
Tidak salah banyak mahasiswa yang menyebut beliau lebih dari sekedar guru/dosen, melainkan sebagai seorang ‘Ayah’.
Kaitannya dengan Gandhi di atas, “Saya selalu merasakan bahwa buku pelajaran yang paling benar bagi seorang siswa adalah gurunya.” Kata Gandhi. Bapak Syaifan Nur seorang dosen teladan. Dengan kedalaman keilmuannya, saat mengajarku, beliau ekstrak ratusan bacaan dalam memorinya ke dalam bahasa yang ringan kepada mahasiswa kala perkuliahan, tentu tak mengurangi bobot pembicaraan. Jarang-jarang bahkan tidak pernah beliau ‘pamerkan’ bahwa beliau membaca melalui buku A, B, C dan D yang menyebutkan bahwa bla..bla..bla.. Bahasanya membisiki, Diksi yang digunakannya menuntun, mahasiswa tidak sedang diajari.
Dalam perkuliahan sudah beliau berikan referensi-referensi penunjang matakuliah. Adapun selanjutnya lebih kepada nasihat untuk mahasiswa dan cerita-cerita perjalanan akademik, diselingi candaan sederhana yang mendidik, lalu kembali kepada pembahasan topik matakuliah.
Terkadang setelah cukup serius berdiskusi mengenai sebuah topik perkuliahan, beliau alihkan kepada pembahasan yang segar dan mengundang senyuman. Sang Ayah rupanya memahami kepenatan anak-anaknya. Mulai dari nasihat kepada para mahasiswa yang akan menikah dan menjadi suami istri, kemudian cerita masa kecil Bapak Syaifan Nur yang gemar membaca lewat komik Kho Ping Hoo, hingga life hack sehari-hari. Kehidupannya sendiri adalah teladan yang baik bagi para mahasiswanya.
Salah satu life hack yang diajarkan kepada mahasiswanya adalah resep membuat minuman teh terbaik. Beliau jelaskan dari mulai memanaskan air hingga mendidih. Kemudian teh dari berbagai merk dibuka isinya lalu dituangkan dalam satu wadah, dicampurkan, kemudian teh tersebut dimasukkan ke dalam air yang sudah mendidih. “Mantap. Jangan tambahkan gula.” Ujar beliau sembari mengangkat jempol kanan nya.
Bagiku bila direnungkan akan sangat filosofis sekali: Menerima (meracik) perbedaan (ragam merk Teh) apapun sekitar kehidupan manusia. Proses penerimaan perbedaan tentu memerlukan dialog dan konflik (tungku api) yang tidak mudah.
Selamat jalan Bapak Syaifan Nur. Keteladananmu abadi. Bukankah bahkan Tuhan sekalipun takkan mampu menahan aliran deras doa-doa tulus dari anak-anak semestamu ini untukmu, Ayahanda?