Tag: mahasiswa

Menolak Ingat

Semua berakhir di keuangan. Bangsa ini memang sudah merdeka, tapi mahasiswa masih terjajah di bagian keuangan. Bangsa ini sudah merdeka, tapi mahasiswa masih terjajah di penelitian.

Kata orang bijak antara ilmu dan pekerjaan memang soal lain. Tuntut ilmu saja terus, pekerjaan kelak adalah hal lain. Mahasiswa enggan penelitian, dosen apalagi. Mahasiswa sodorkan penelitian, dosen enggan koreksi.

Mahasiswa mumet dipekerjai.

Chrome, kawanku, katakan, apakah setelah punya jabatan, dosen enggan makan di kantin fakultas lagi? Biarkan saja ia beromong-omong di sambutan wisudanya. Seakan ada harapan, semua berakhir di bagian keuangan. kumpulkan saja quote-quote humanis yang unik. Tiada langkahnya yang berani. Kukira doktor, ternyata debt collector.

Lain kali, sebaiknya kampus tidak usah punya bisnis sampingan seperti hotel atau bisnis sewa gedung serbaguna untuk nikahan. Nanggung. Kampus harusnya punya bisnis pertambangan. Biar staff TU katakan pada mahasiswa, “Alah, Mas, Mas. Seikhlasnya saja bayar UKT-nya. Kampus ngga matok, kok. Kampus ini sudah kaya.”

Sudah bayar UKT, Mas?

Aku butuh gelar, aku butuh gelar. Dunia berbisik, “Lunasi tagihannya dulu, penelitian cuma bumbu.”

Aku gila, aku gila. Sekonyong dunia berteriak, “Karna kau ngga mau dituntut hukum ya, kisanak?”

Haa? Haa? Aku siapa… Aku siapa…

Menolak ingat, aku barusan ngomong apa.

Topeng Avengers

Sumber Gambar: Pixabay

 

Menanti hujan. Dua hari ini yang turun malu-malu. Gerimis. Lalu hilang tiada lagi. Merintik. Merindu. Menitip bekas setitik, cepat mengering berlalu. Disapu kendaraan.

Seperti bercermin pada genangan yang tak berair. Pada fase kehidupan ini. Entah mengapa semesta mempertemukan aku dengan beberapa manusia. Kuamat-amati, aku menilai seseorang di hadapanku ini seperti diriku. Ia sering tersenyum, menyimpan banyak luka.

Keesokan harinya bertemu dengan manusia lain, kuamat-amati, seperti diriku. Tak memiliki banyak teman dan berpura-pura bahagia. Tertawa keras ketika berkumpul, banyak merenung di ujung imajinasinya yang jauh dari keramaian.

Aku tak berusaha mengumpulkan orang-orang yang mirip sepertiku. Aku hanya berlalu. Menanti hujan yang turun malu-malu.

Sudah pagi.

Membuka pintu menghirup udara segar, lima kucing sudah melingkar entah sedang apa. Tiga beraut resah saling memberi isyarat pertarungan berebut wilayah, sementara dua hanya penonton berfose manis. Eh ngga tau ding. Mungkin perebutan selangkangan.

Sesekali seorang kucing melirikku sebagai seekor manusia. Malu-malu lakukan adegan.

Aku menghadap laptop lagi. Ingin kutulis bahwa rahasia hidup kadang harus tetap di dalam kotaknya. Tidak perlu diumbar, meski sudah berpola, biar manjing (manjur). Tapi aku malah hendak mengutarakannya. Seperti pesan Martodikromo, “Kalau mau buat acara, kalo semua mengiyakan, biasanya ngga akan jadi, tapi kalo ada pro-kontra justru acaranya biasanya bakal jadi. Itu ilmu hidup, Mas.”

Atau contoh lain seperti yang pernah kudengar pada sebuah podcast, usia seseorang semakin bertambah, lingkaran pertemanannya semakin sempit.

Kemarin lusa. Pada suatu malam. di pertigaan UNY, aku melihat seorang anak kecil bertopeng avengers Captain America, memeluk tiang listrik pinggir jalan. Entah mengapa itu yang terekam memori pikiranku. Seperti mengkritik keadaan saat ini. Menyuarakan keadilan kini tak memiliki kekuatan apa-apa. Bising. Akhirnya bisu. Semua sama-sama tahu. Sama-sama diam. Dunia memang benar-benar membutuhkan sosok pahlawan super. Lantaran tak tahu lagi bagaimana cara menjalani hidup normal, tak bisa lagi memecahkan permasalahan dengan cara yang normatif.

Di pertigaan UIN semalam, sebagian warga memprotes aksi mahasiswa yang sedang berunjuk rasa menolak Omnibus Law. Ah sial. Kenapa yang diberitakan di media itu harus berdiksi “Simpang Tiga UIN Sunan Kalijaga”. Kenapa tidak Simpang Tiga Museum Affandi. Atau Simpang Tiga CFC. Atau Simpang Tiga Wanitatama. Haruskah nama kampus yang tercoreng, suara mahasiswa makin tiada didengar lagi. Suara mahasiswa kini harus berhadapan tidak hanya horizontal dengan pemerintah, tapi juga dengan warga masyarakat.

Kini memang sedang ramai-ramainya sih. Orang membaca buku, mencari quote, untuk bahan promosi buku, menjualnya. Lalu mendapat omset besar, banyak follower medsos lantaran tajir, lalu suaranya “layak didengarkan”. Tidak semua memang. Namun, suatu kali berpikir bahwa membaca buku itu seperti aib, mungkin ide yang bagus. Agar membaca itu tak perlu diumbar-umbar di medsos. Biar manjing isi bacaannya. Mengkristal menjadi tingkah laku progresif. Heuheuheu.

Perempuan dengan rambut sepinggang, hitam kecokelatan, sedang sarapan. Setelah ia menikah nanti mungkin rambutnya akan dipotong hingga seleher. Ah, senyumannya kupikir mampu hentikan perang.

Limurta dah pulang. Kukira dia akan tidur lebih lama setelah menyaksikan kekalahan Barcelona di Liga Champion. Entahlah aku menyukai ketika menulis ditemani orang yang tidur. Semalam sudah ngopi dengan Ombo, Bahduki dan Limurta. Sepulangnya. Lupa foto momen. Entahlah. Yang tak sempat didokumentasikan justru kadang lebih menyenangkan.

Sama seperti berkenal-berbincang dengan seorang gadis di kereta. Berbicang. Hingga lupa meminta nomer Whatsapp.

Atau saling berbalas pandang dengan seorang asing di tempat makan, lalu saling melupakan.

Wong Bodo Sing Duwe Karep

Daendels dalam tampak jalan memukulku sebagai angin. Menjajah malam dalam bayang tentara perang. Malam purnama.

Aku bertamu pada Martodikromo.

Martodikromo, bicaranya selalu berbobot. Sebelum memulai pembicaraan, beliau dengarkan cerita kawanku, Bahduki, perihal tesisnya yang berbicara mengenai otentisitas tafsir isyari. Penafsiran terhadap suatu ayat yang lahir dari isyarat-isyarat tertentu yang ditangkap oleh mufasir. Seringkali mengabaikan makna dzahirnya.

Martodikromo kemudian bercerita mengenai ayat 26-27 Surah Ali Imran sebagai ayat perlawanan terhadap tiran. Hasil perenungan dan pergolakan batinnya. Ayat yang dibaca Martodikromo adalah ayat revolusi! Namun, kepasrahan Martodikromo adalah perjuangan tak kenal lelah, bukan berdiam diri. Melawan tiran yang merampas tanah rakjatnya. “Seperti itukah bentuk penafsiran isyari?” Tanyanya tersirat. Terpantul dari realita yang dihadapi Martodikromo.

Kukatakan kepada Martodikromo, beberapa buku yang kubaca serta dosen yang selalu katakan: teks kitab suci terbatas dan tidak mungkin berubah, sementara konteks selalu dinamis menuntun masalah yang pelik dan kompleks. Lantas bagaimana cara agar teks yang terbatas berdialog dengan konteks yang tak terbatas agar tertjipta kemaslahatan bagi kemanusiaan?

Kukatakan kepada Martodikromo, sebagai tokoh yang juga seorang aktifis, Eko Prasetyo dalam Kitab Pembebasan memahami kisah Musa as. melawan Fir’aun dalam al-Qur’an layaknya aktifis yang menentang Orde Baru yang tiran. Dalam kitab-kitab tafsir atau ayat-ayat dalam kitab suci sekalipun, pasti tidak akan ditemukan pembahasan mengenai konflik agraria yang dihadapi Martodikromo secara spesifik. Jika seorang hamba mau mencari, maka aku yakin bahwa Allah tentu akan berikan pemahaman kepadanya. Maka bagiku, keyakinan Martodikromo dengan menjadikan ayat revolusi sebagai pegangan jalan perjuangannya merupakan bagian dari jawaban dari Tuhan untuk Martodikromo yang selalu sulit tidur kala malam, kerap merenung, memperkuat ibadahnya, mempelajari sejarah tanah airnya, belajar ilmu hukum, serta taat sebagai santri kepada kiainya.

Banyak yang kukagumi dari sosok Martodikromo, salah satunya ketika mahasiswa datang bertamu. Beliau selalu berdiskusi dan bertanya mengenai penelitian mahasiswa, meminta file pdf. serta membacanya dengan teliti.

Martodikromo mengakui bahwa terkadang, agar menjaga kewarasan sebagai manusia, seseorang “dipaksa” menjadi “Wong bodo sing duwe karep” (Orang bodoh yang punya keinginan). “Karep” atau “keinginan” yang dimaksud kupahami: keinginan terciptanya kemashalatan sosial, yang timbul lantaran kegelisahan seseorang terhadap kondisi sosial yang dihadapinya.

Barangkali seperti Martodikromo, bukan Kiai yang hafal dan menguasai ratusan kitab otoritatif, bukan seorang sejarawan atau pakar hukum, namun konflik agraria menggerakkannya untuk mempelajari semuanya. Barangkali seperti Jerinx, seorang musisi, bukan pakar kesehatan, namun mengambil peran “antagonis” selama wabah corona agar bangsa ini terbebas dari rasa takut berlebihan terhadap wabah yang melemahkan kekuatan bangsa, sembari melakukan aksi sosial memenuhi perut orang-orang kelaparan yang belum miliki pekerjaan lagi. Barangkali seperti Eko Prasetyo, seorang aktifis, geram dengan sebagian pemuka agama yang lebih dekat dengan ‘dakwah pesanan’ industri hiburan, menjadikan pemahaman terhadap ayat al-Qur’an sebagai kritik bahwa beragama adalah merubah keadaan sosial menjadi lebih baik. Seperti aku yang “bodo, ra duwe karep” (bodoh dan ngga punya keinginan), namun perlahan muncul keinginan atau “karep” dengan meneladani tokoh-tokoh di atas semakin besar.

Otoritas selalu memiliki keterbatasan.

Biawak Tunisia, Kadal Aljazair

“Seorang akademisi, mereka itu pasti bicara by literature menurut mereka, artinya sumber-sumber yang dipercaya menurut mereka. Kan tidak perlu semua orang percaya dengan sumber-sumber mereka, saya juga punya sumber sendiri…hanya keberaniannya ada atau tidak? Keberanian untuk mengungkapkan yang berbeda dan logis.” –Budi Setiawan a.k.a. Budi Dalton, Dosen-Aktor.

“Tapi saya pikir hadiah terbesar yang diberikan pada saya dan banyak dari kita adalah kesempatan untuk menggunakan suara kita untuk mereka yang tidak bersuara…saya pikir, kita takut akan ide perubahan personal, karena kita mengira bahwa kita harus mengorbankan sesuatu, melepaskan sesuatu. Tetapi manusia terbaik adalah yang sangat inventif, kreatif dan pandai. Saya pikir ketika kita menggunakan cinta dan kasih sayang sebagai prinsip, kita bisa membuat, mengembangkan, dan mengimplementasikan sistem perubahan yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup dan lingkungan.” Joaquin Phoenix dalam pidatonya ketika memenangi Oscar Best Actor 2020 melalui film Joker.

 

 

Tidak terasa. Sudah banyak sarjana diwisuda. Setelah sekian waktu orang bertanya kapan. Bukan aku. 2 KB 2 GB. Data mengalir yang kini tertuju pada pidato pertama rektor baru disaksikan secara online.

Dengan gaya nyeleneh kekinian. Pernah memamerkan sebuah lukisan melalui salah satu medsosnya. Apakah Pak Rektor tertarik menjadikan melukis atau teater menjadi matakuliah wajib perkuliahan?

Siapa tahu mahasiswa bukan saja pandai melukis tentang gunung kembar dengan matahari di antara keduanya atau laut dan pohon kelapa. Namun juga pandai menggambar klepon atau martabak.

Belajar dengan Bapak sebelum menjadi rektor sangatlah menyenangkan. Sebelum menjadi rektor, aku menyalami Bapak, padahal ketika itu aku sedang bersiap futsal, dengan kaos futsal oranye namun masih memakai celana jeans. Bapak bilang, “Bajunya bagus. Kalau kamu masuk kelas saya, ndak apa-apa.”

Penasaran. Singkatnya, setelah mengambil matakuliah beliau, tidak ada aturan di kelasnya kecuali mahasiswa yang masuk harus punya bekal bacaan yang cukup. Tidak ada presentasi: yang ada, Bapak hanya menunjuk acak mahasiswa, lalu tanya: “Anda membaca apa?” Lalu mahasiswa yang ditunjuk menjelaskan bla bla bla. Kalo hasil bacaannya singkat, biasanya dikomen, “Udah? itu saja?” atau kalau cukup bagus, “Nah ini baru mahasiswa saya.”

Namun karena sudah tau triknya. Pokoknya yang penting asal ngomong panjang. Biasanya beliau respon dengan pura pura tidur atau pura pura berpikir. Berkuliah begitu sederhana namun menggugah. Kuliah berarti sharing soal bacaan beragam yang tak terbatas. Layaknya kritik pada kelas perkuliahan kebanyakan yang monolog dari dosen atau presentator yang mirip khutbah Jum’at dibanding diskusi ilmiah. Di buka dengan doa. Di akhiri dengan doa. Tidak ada bantahan-perdebatan, atau ide segar muncul ke permukaan. Malu malu tai biawak Tunisia. Malu malu tai kadal Aljazair.

Seakan beliau katakan tak penting baju yang dikenakan, tapi persiapan atau ide yang mahasiswa geluti.

Ah, kok aku malah tulisanku mengalir dengan damai berbicara soal wisuda dan suasana perkuliahan. Padahal aku mau curhat moodku memburuk ketika mendengar seorang teman yang ditolak judul skripsi oleh dosennya. Teman kirimkan screenshot percakapannya. “Ganti judl sj mas geh. Cari tokoh yang otoritatif di bidang tafsir ya. Gak meyakinkan tokoh yang dikaji. Tidak ada diskursus akademik yg cukup signifikan utk dikaji.”

Barangkali lantaran aku yang sudah membaca cukup banyak karya-karya tokoh tertolak dalam proposal skripsi temanku itu, prasangka buruk ku katakan sang dosen belum cukup membaca tokoh kajiannya. Aku ngga mengatakan Eko Prasetyo (Ekopras) seorang mufasir. Dalam karya terbarunya “Tafsir Progresif Al-Ashr” beliau katakan memang karyanya bukan tafsir, juga sebetulnya dikatakan hal senada dalam karya-karya sebelumnya, Al-Alaq dan Kitab Pembebasan. Namun sebagai seorang aktifis, Bung Ekopras berusaha memahami ayat-ayat al-Qur’an menurut kemampuannya. Aku hanya berpendapat gagasan-gagasannya layak diteliti.

Bukankah semua soal perspektif atau problematisasi. Apa karena beliau bukan seorang ‘ulama’, tidak paham bahasa Arab serta syarat-syarat mufasir lain yang ketat.

Pikiranku berkelana menuju tulisan Ingrid Mattson. Dikatakan di dalamnya: “Tuhan memberi kaum muslim, individual maupun kolektif, penglihatan dan pendengaran, dan kecerdasan untuk mempelajari konteks linguistik dan historis al-Qur’an. seseorang tidak mungkin menguasai semua aspek ajaran al-Qur’an meskipun ia habiskan seluruh masa hidupnya…Memang, banyak orang Islam paling berpengaruh (secara positif atau negatif) yang membuat klaim tentang al-Qur’an pada abad ke-20 tidak dididik sebagai ulama.

(Ingrid Mattson mencontohkan) Sayyid Qutb dikenal sebagai penulis yang menarik perhatian orang Arab dengan pemaparannya tentang keputus-asaan banyak orang terhadap para penguasa di Timur Tengah yang sombong dan menindas. Ia menuliskan kegelisahannya  itu dalam tafsirnya yang terkenal, Fi Zhilal al-Qur’an.

Abu al-A’la al-Maududi pendiri Jemaat-e-Islami di India…adalah seorang jurnalis. Dengan diterimanya argumentasi bahwa pintu ijtihad harus dibuka dan bahwa ijma’ harus diperluas sehingga bisa mencakup suara orang-orang nonpakar, para penulis seperti Qutb dan Maududi tidak merasa terhalang oleh latar belakang keilmuannya untuk menerangkan makna al-Qur’an.”

Sialnya aku dalam tulisan ini seperti mencari pembenaran dan pembelaan. Tapi kurangajar juga dosen itu. Seorang temanku yang lain bermaksud meneliti teori maqashidnya setelah pengukuhan guru besarnya. Dosen itu girang dan menunjukkan langkah-langkah selanjutnya agar teorinya bisa diangkat sebagai penelitian. Oh, apa karena Ekopras bukunya tak berjudul bahasa Arab, atau namanya tidak ada Abu atau ada Al Al nya, bacaan dosennya bermasalah atau aku yang bebal.

Berapa banyak skripsi membahas mengenai Sayyid Qutb atau Maududi. Ahsudahlah.

Pikiranku mengembara pada tulisan Ziauddin Sardar mengenai Otoritas Penafsiran. Sebelumnya, padahal melalui dosen itu dalam ruang perkuliahan yang selalu menekankan bahwa teks al-Qur’an terbatas, sementara konteks yang melibatkan tafsir al-Qur’an harus selalu aktual seiring dengan berkembangnya zaman. Mengkritik tafsir al-Qur’an tidak sama dengan mengkritik al-Qur’an.

Dalam tulisan Sardar: “Untuk mempertahankan dominasi mereka atas orang yang mungkin menafsirkan al-Qur’an atau membacanya dengan cara yang berbeda, para ulama itu menggunakan sejumlah taktik. Mereka mereduksi konsep al-Qur’an tentang ‘ilm, yang merujuk pada semua jenis pengetahuan, menjadi hanya berarti pengetahuan agama. Kemudian, mereka menyatakan bahwa orang yang punya pengetahuan agama lebih mulia daripada orang yang tidak memilikinya. Mereka mereduksi konsep Islam tentang ijma’ yang berarti kesepakatan semua orang menjadi kesepakatan segelintir ulama pemilik hak istimewa, yang dicapai melalui proses yang panjang dan berat. Pengertian itu menutup pintu ijtihad atau penafsiran baru.”

Ohya, kutipan di atas bisa jadi berbahaya bila dipahami serampangan, seakan secara bebas dan tanpa keilmuan apapun memahami kitab suci, bahkan dipelintir demi kepentingan praktis atau tujuan tertentu yang mencederai kemanusiaan. Namun, coba saja baca tafsir progresif Ekopras mengenai Kisah dalam al-Qur’an, Surah Al-Alaq atau karya terbarunya Tafsir Progresif Al-Ashr. Dari asbabun nuzul, makna harfiah hingga kritik sosial kepada kondisi kini dibahas didalamnya. Tidak jarang juga beliau kutip pandangan mufassir kenamaan seperti Thabari, Sayyid Qutb, Hamka hingga Quraish Shihab, dll.

Kondisi sosial yang terus bergerak, sementara sebagian penafsiran yang kolot cenderung merepitisi penjelasan-penjelasan lampau, agama cenderung pasif merespon, bukan mengilhami kreatifitas-kreatifitas yang cenderung baru. Ah apa karena buku Ekopras terbitan Yogyakarta, bukan terbitan Beirut Lebanon? Konteks seringkali tak menunggu kondisi seorang yang memahami al-Qur’an harus ‘mapan keilmuannya’. Sisalah agama yang ompong dan menjelma sebagiannya menjadi brand bisnis dan keuntungan laba pasar.

Dalam tafsir progresif al-Ashr, seseorang mengkritik dengan memahami bahwa rugilah waktu manusia yang dihabiskan untuk memenuhi seluruh keinginannya. Seseorang mengkritik melalui pemahamannya terhadap Surah Al-Ashr, “…manusia memahami waktu dalam konsep yang ekonomistik: bertambah usia, bertambah dewasa, bertambah kaya. Bahkan waktu manusia dikuras untuk mengumpulkan, mengakumulasi, dan menyambut hidup dengan perhitungan laba dan rugi. Manusia telah menyetarakan waktu dengan nilai uang yang selalu menjadi kiblat kegiatan manusia sehari-hari. Padahal waktu itu tak sama dengan uang.”

Tak usah kusebut siapa “seseorang” dengan pemahaman di atas. Karena orang tersebut bukan tokoh otoritatif. Ia tidak signifikan untuk diteliti. Andai pemahaman tersebut keluar dari pemahaman ‘ulama otoritatif’, dosen itu mesti berkomen: “Geh. Geh. Saya kira ini menarik, Mas.”

Ah. aku memang bebal dan emosional. Memang dilematis, namun pada keadaan ini tiba-tiba aku jadi muak dengan arogansi otoritas.

Pak Rektor. Aku cukup senang pembayaran UKT mundur. Tapi nominal tagihan tak berubah. Sebagai rektor baru yang progresif dan mencintai hal-hal baru dan unik. Buatlah kami tantangan sebagai pengganti UKT. Misal dengan berkolaborasi dengan mahasiswa membuat festival makanan jadul paradigma integrasi-interkoneksi. Lumayan untuk menyambut new normal dengan tetap berpegang pada protonkol. Prokotol. Eh. Protokol kesehatan.

Di dalamnya bisa misal memadukan klepon isi gula merah yang kapir dengan klepon isi kurma atau minyak zaitun. Keuntungan lumayan sekaligus promosi kampus, bukan? Atau dengan membuat film atau konten media dengan target 1000 like dan subscribe. Siapa sesuai target bebas UKT.

FTV

Sebuah Film Televisi (FTV). Berjudul “Kejebak Cinta Neng Jamu Gendong” (2016). Bercerita mengenai seorang Ibu penjual jamu, memiliki seorang gadis. Sang Ibu sakit. Digantikan anak gadisnya berjualan.  Bertemu dengan seorang pria yang ternyata merupakan asisten dosen Bahasa Indonesia di mana sang gadis berkuliah.

Begitu kreatifnya kehidupan (di FTV), sang asisten dosen pun ternyata mendaftar les karate yang ternyata mengharuskan ia dimentori oleh sang gadis.

Lantaran perkenalan kehidupan antara sang gadis dan asisten dosen diawali dengan momen yang kurang baik, suatu kali sang asisten dosen mengerjai sang gadis dengan menyuruhnya untuk membacakan suatu puisi di depan kelas. Sementara sang dosen hanya mencontohkan dengan membacakan bait-bait puisi tentang senja dan embun.

Cut Cut! Kini giliran Aldiantara Kata yang jadi sutradaranya. Bait puisi mengenai temaram senja atau embun kadang membosankan.

Aldiantara Kata pun membagikan buku Nyanyian Akar Rumput yang merupakan kumpulan puisi Wiji Thukul kepada seluruh mahasiswa kelas. Maka kuminta pada sang asisten dosen untuk memulai kembali adegan. Sebagian mahasiswa geleng-geleng kepala dengan nama asing Wiji Thukul. Adegan ini sengaja dipilih Aldiantara Kata secara ndadak agar proses film terlihat natural.

Sementara para mahasiswa sibuk membaca puisi-puisi Wiji Thukul diberi waktu tiga puluh menit untuk memilih puisi yang hendak dibaca.

Setelah tiga puluh menit berlalu.

Seorang mahasiswa kedepan membacakan puisi berjudul Kuburan Purwoloyo. Dengan penghayatannya dan penekanan yang kuat, sang mahasiswa membacakan:

Di sini terbaring
Mbok cip
Yang mati di rumah
Karena sakit
Tak ada biaya
Di sini terbaring
Pak Pin
Yang mati terkejut
Karena rumahnya digusur
Di tanah ini terkubur orang-orang yang
Sepanjang hidupnya memburuh
Terisap dan menanggung utang

Ah, mahasiswa dalam ruang kelas terlihat merenung, mengingatkan pada buruh-buruh pabrik di sekitar tempat tinggal mereka dengan kehidupan yang terlihat biasa saja, ternyata menyimpan segudang permasalahan di belakangnya.

Selanjutnya, seorang mahasiswa maju dengan membacakan puisi berjudul Catatan 88:

Saban malam
Dendam dipendam
Protes diam-diam
Dibungkus gurauan

“Protes diam-diam. Dibungkus gurauan.” Para mahasiswa senyum-senyum sendiri. Berlanjut dengan seorang mahasiswi yang membacakan puisi berjudul Sajak Ibu, suasana ruangan perkuliahan semakin panas dengan puisi-puisi Wiji Thukul yang menggugah.

Ibu tak bisa memejamkan mata
Bila adikku tak bisa tidur karena lapar
Ibu akan marah besar
Bila kami merebut jatah makan
Yang bukan hak kami
Ibu memberi pelajaran keadilan
Dengan kasih sayang

Mahasiswa semakin merasa bahwa ruangan perkuliahan terlalu kecil bagi idealisme dan semangat mereka. Terlebih setelah seorang mahasiswa yang maju dan membacakan puisi berjudul Ucapkan kata-katamu.

Jika kau tak berani bertanya
Kita akan menjadi korban keputusan-keputusan
Jangan kau penjarakan ucapanmu.
Jika kau menghamba pada ketakutan
Kita akan memperpanjang barisan perbudakan

Mahasiswa bertepuk tangan mengamini. Puisi yang relevan untuk masa kini. Namun pembacaan puisi belum selesai. Masih ada si gadis pemeran utama yang terlihat geram dan berapi-api terbawa suasana. Sang sutradara, Aldiantara Kata, semakin girang bukan tante, lantaran ekspresi, mimik dan suasana sangat natural betul-betul akan menjadi FTV yang unik menarik. Dalam bayangnya.

Sang gadis menyingsingkan lengan bajunya, maju ke depan. Para mahasiswa memperhatikannya. Ia pun memberi prolog bahwa yang ia bacakan bukan dari Wiji Thukul, melainkan puisi pribadinya. Sepertinya belum diberi judul. Sang gadis langsungs saja membacakan:

Tidak kepala desa. Tidak Camat. Bupati atau Pemimpin lain.
Harus mandi junub!!

HAHAHA. Pecah tawa seluruh mahasiswa. Namun segera mereka kembali menata kembali perhatian menunggu kelanjutannya.

Bukan karena pejuh
Atau menstruasi
Tapi karena dosa biarkan rakyat lapar!

Sekian.

Dalam pikiran Aldiantara Kata selaku sutradara: “Rating. Rating. Rating.” Ah ternyata tidak sampai dua jam. Polisi meringkus sang Sutradara sebelum filmnya tayang, ternyata suasana shooting yang terlalu natural membuat sang sutradara tidak menyadari sebagian mahasiswa merekam adegan pembacaan puisi dan menyebarkannya lewat media sosial.

Sang sutradara gadungan pun ditangkap dengan tuduhan menghasut para mahasiswa yang “penurut dan taat aturan” untuk mencintai keadilan dan keberanian hidup.

Eh, eh. Cerita belum selesai. Sang gadis pembaca puisi terakhir ternyata termasuk 10 besar dalam ajang pencarian bakat acara Sumberwaras Idol. Malam ini ia akan tampil membawakan sebuah lagu. Setelah tampil dengan membawakan Bunga Terakhir dari Bebi Romeo, sang pembawa acara DJ Daniel seperti biasa bertanya-tanya tentang suatu hal pada peserta, “Eh tapi sepertinya aku lihat mata kamu berkaca-kaca banget ketika membawakan lagu ini, bisa ngga kamu ceritakan apa ada kenangan khusus atau pengalaman pribadi tentang lagu ini?”

Sang gadis menjawab: “Aku capek!!!” teriak sang gadis. “Aku jengah harus menjadi komersil iklan, harus mengiklankan produk makanan gang-bang. berpura-pura tersenyum dan membuat orang lain senang. Aku tidak mau jadi kacung industri yang membuat diriku sendiri terasa asing.”

 

 

 

Sumber Gambar: Pixabay

Wiji Thukul, Nyanyian Akar Rumput, diterbitkan oleh Kompas Gramedia pada tahun 2014. Puisi Wiji Thukul di atas merupakan kutipan singkat, untuk membacanya secara utuh silakan untuk membaca bukunya secara langsung.

Pak Ogah Gesikan Jadi Rektor

Tukang becak berkomentar kalau mobil kampus kini suara mesinnya tidak halus lagi. Kata tukang cilok wajar saja karena fasilitas kampus tersebut memang lama tak dipakai, jarang dipanasin. Tukang bengkel girang bukan tante. Tidak perlu menunggu durian musim panen, mobil-mobil plat merah itu tentu akan mangkal di bengkelnya.

Ah mahasiswa memang sudah hobinya berburuk sangka. Masa sebagian dari mereka bilang kalau kampus ndak mau turunkan harga UKT (Uang Kuliah Tunggal) gegara banyak kendaraan yang harus diservis.

Padahal kampus tidak seburuk itu, bukan? Meskipun kondisi perekonomian masyarakat pincang adanya, kampus harus tetap stabil, dan kalau bisa, adakan pembangunan! Berpikir saja kalau pembangunan dilakukan, ada berapa banyak pekerja kuli bangunan dipekerjakan dan diberi pemasukan. Itu untuk pembangunan ekonomi rakyat secara tidak langsung.

Hadirin bertepuk tangan. Hadirin bertepuk tangan.

Memasuki bulan pertengahan tahun, mahasiswa tingkat akhir tidak perlu diinsafi lagi untuk lebih giat mengerjakan tugas akhirnya. Lantaran mengejar tenggat waktu agar tidak bayar UKT lagi. Di tengah perekonomian masyarakat yang tengah lesu, surat edaran kampus menunjukkan “wajah kemanusiaan”-nya.

Isi surat edaran tersebut membuat hati begitu sumringah. Membuat hati mahasiswa baik yang taat atau “suka berburuk sangka” berkaca-kaca. Biaya UKT terdapat potongan 50%! Selain itu pembiayaan bisa diangsur hingga akhir tahun.

Hadirin bertepuk tangan. Hadirin bertepuk tangan.

Eh. Eh. Tapi, sepertinya para pejabat kampus belum pernah merasakan hidup susah: belum pernah menjaja koran, menggendong gerobak cuanki, atau rumah yang disita lantaran utang rentenir.

Setelah surat edaran tersebut dibaca dengan teliti oleh para mahasiswa yang sering berburuk sangka nan dangkal pengetahuannya, diskon 50% UKT tersebut ternyata untuk mahasiswa tingkat akhir yang terancam drop out (DO). “Wasyem. Lha lagian emangnya meskipun diangsur sampai akhir tahun akan menjamin perekonomian akan membaik?” kata Sutijan, mahasiswa magister semester empat yang kini sibuk jualan lotis.

Selain itu, memangnya jumlah mahasiswa tingkat akhir yang terancam DO yang mendapat keringanan itu jumlahnya lebih banyak dari mahasiswa lainnya? Bukankah kelesuan ekonomi ini bagi semua mahasiswa tak mengenal semester awal atau akhir?

Sutiyem, mahasiswi penjual lotek lalu membisikiku, “iri bilang, Bos!”

Surat edaran kampus mengenai Dispensasi Pembayararan UKT dan Diskon 50% UKT untuk mahasiswa menjadi clikbait yang biasa digunakan oleh banyak YouTuber. Mirip juga seperti foto viral sebuah warung laundry yang stand banner nya bertuliskan, “Lee Min-Ho Pernah Londry Di sini”. Padahal kalau dicermati di antara kata Lee Min-Ho dan Pernah terdapat kata “Tidak” dengan ukuran font yang lebih kecil sehingga seharusnya dibaca menjadi Lee Min-Ho tidak pernah Londry Di sini.

Dengan demikian, petinggi kampus sudah sepandai pebisnis. Pertanyaanku, untuk apa mempertahankan pejabat kampus yang memiliki gelar doktor bidang sosial, doktor bidang agama, doktor bidang ekonomi, guru besar di bidang sains, guru besar di bidang keagamaan, guru besar di bidang ekonomi?

Mari kita jujur, guru besar dan doktor tidak perlu ditaruh menjadi petinggi kampus. Taruh saja para pebisnis kelas kakap untuk menjadi “pemimpin perguruan tinggi.” Toh kebijakan dari otak akademisi senior dengan bejibun gelar dan pebisnis nyatanya tiada berbeda. Bergelar akademisi pun tak jamin melahirkan kebijakan yang membela kerakyatan.

Ah, tuh kan jadinya malah ketahuan bahwa aku salah satu mahasiswa nyinyir yang passion berburuk sangka pada pemangku kebijakan.

Hadirin: “Boooooooo. sok sok-an kritis padahal masih butuh juga gelar dari kampusnya.” Heuheuheuheuheu.

Sementara itu, di Gesikan Godean di suatu perempatan, di tengah jalan berdiri Polisi Cepek atau Pak Ogah yang ‘mengatur’ lalu lintas dengan imbalan uang seikhlasnya dari pengguna jalan.

Setahuku, Pak Ogah berdiri pada suatu kondisi jalan yang biasanya ramai. Tetapi di tempat tersebut justru sebaliknya, cenderung sepi, para pengguna jalan dari dua arah biasanya melaju dengan kecepatan tinggi.

Meski demikian, tidak jarang juga ada kendaraan yang hendak menyeberang, dibantulah oleh Pak Ogah. Kuperhatikan cukup lama dari kendaraan yang menyeberang, tidak ada yang memberi Pak Ogah uang. Meskipun kebanyakan yang dibantu Pak Ogah adalah kendaraan bermotor.

Ah iya-iya (baca: jangan-jangan) menjadi Pak Ogah sudah menjadi passionnya si bapak? Yang senang membantu orang. Bahkan aku pernah lewat pada pukul 23.00 malam, ternyata beliau masih berdiri di sana. Dengan kondisi jalan yang teramat sepi: cukuplah jika bermain satu permainan karambol untuk menunggu satu kendaraan lewat.

Seandainya Pak Ogah ini menjadi rektor, beliau tentu akan mengambil jalan yang sepi. Kebijakan nyentrik, di saat kampus lain berusaha mempertahankan stabilitas finansialnya, bahkan mengambil sedikit keuntungan. Pak Ogah akan tetap konsisten dalam berdedikasi untuk membantu semua pengguna jalan, diberi upah atau tidak. Akan tetap konsisten membantu para mahasiswa, untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, bangkrut atau tidak ‘dapurnya’ kelak.

Sutijah tiba-tiba membisikiku, “Jangan-jangan Pak Ogah itu sebetulnya seorang pebisnis yang menyamar?”

Sekitar Hastag #KalijagaMenggugat, Dear Plt. Rektor: Pembacaan yang Sangat Pribadi

“#Kalijagamenggugat t’lah tiba..hore..hore..hore..hooore.” demikianlah bila lagu Tasya “Libur Tlah tiba’ dikontekstualisasikan pada momen ini.

Beberapa waktu silam jagad medsos sempat diramaikan dengan gambar-gambar meme berisi kritikan mahasiswa pada kampus UAD, UPI, dan UNY dan lain-lain, terkait mahalnya biaya pendidikan. Eh, kini giliran almamater saya menjadi viral.

Meski dikelilingi polemik mengenai UIN Suka liberal, pelarangan cadar serta disertasi Milkul Yamin, baik bung-bung gondrong rokok-an celana sobek atau akhi ughtea jenggot celana cingkrang hingga cadaran, semua sewarna dengan identitas almamater UIN sebagai kampus putih. Saya masuk ke UIN sejak 2013, hingga melanjutkan jenjang berikutnya di almamater yang sama pada tahun 2018 hingga kini.

Pada tahun 2013, sekitar bulan Agustus, baru saja mendaftar OPAK (kegiatan ospek kampus), senior-senior yang garang dan manja sudah menyuguhi maba aksi massa penolakan kedatangan Surya Paloh: demi mempertahankan kenetralan kampus dari parpol.

Seniorku juga katakan: “Anak UIN mah terkenal dengan mahasiswa-mahasiswanya yang kritis dan rajin demo. Harus kita kawal identitas kampus putih, kampus rakyat, kampus dengan biaya pendidikan murah. Kalau tidak: turun jalan menuju rektorat!!!!”

Eksternalisasi-internalisasi persepsi mendasar mengenai uang pendidikan murah tanpa uang pangkal menunjukkan komitmen besar mahasiswa di UIN tanpa ketjuali.

Kini komitmen-komitmen tersebut harus diuji dengan surat keputusan Plt. Rektor UIN Suka yang menetapkan pembayaran Dana Pengembangan Institusi (DPI) bagi mahasiswa baru ta. 2020/2021 sebesar 1500k. Menariknya, kebanyakan dari pembela maba ini sepertinya bukan dari maba itu sendiri, melainkan dari para senior-senior yang sudah tahu luar dalam kampusnya.

Ah bagi saya pribadi, keputusan menag berikut Plt. Rektor memang ditetapkan pada timing yang relatif kurang pas.

Dear Bapak Plt Rektor, tanpa mengurangi rasa hormat, perkenankan muridmu, sebagai anak bawang kehidupan ini mengungkapkan beberapa hal. Dengan mata telinga saya sendiri saya menyaksikan ribuan orang terdampak PHK massal dan kehilangan pekerjaan mereka. Sebagian teman pada masa pandemi ini salah satu ortunya meninggal dunia setelah positif covid-19. Tetanggaku sendiri ibunya seorang penjaja koran lampu merah dalam keadaan difabel kakinya. Anaknya maba berkuliah di UIN Suka. Apakah kiranya Bapak sampai hati menerapkan keputusan ini?

Semua memang mampu diusahakan, tetapi apa iya tega membiarkan orang tua berhutang kesana-sini. Syukur mendapat pinjaman dari orang baik. Bagaimana dengan lingkungan pemberi dana berkedok lintah darat?

Yang Terhormat, Bapak Plt. Rektor. Sudah bukan menjadi rahasia umum, sejak saya berkuliah pada tahun 2013, sosok Bapak sudah harum sebagai dosen yang karib dengan mahasiswa-mahasiswanya, bahkan tidak pernah tidak dalam membantu mahasiswanya kala ada masalah.

Saya juga termasuk dari mahasiswa yang terbantu. Ketika itu saya dianggap oleh sistem kampus belum membayar SPP sehingga tidak bisa lakukan input KRS. Ketika menghadap Bapak yang kala itu sebagai kaprodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, tatapan dingin Bapak masih teringat di benak. Tidak butuh lama waktu, Bapak membantu dengan memberikan selembar note ketjil agar saya berikan kepada Bapak Muhadi sebagai staff TU, bertandatangan Bapak, agar urusan saya dibantu. Dan…….Selesai lah.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Ketika saya mendengarkan ceramah perkuliahan yang disampaikan oleh Bapak, berulang-ulang Bapak sampaikan kepada mahasiswa: “Tuubuu” (Taubatlah kalian semua). Mahasiswa sudah paham. Yang dimaksud adalah taubat bahasa. Minimalnya Arab dan Inggris. Dengan nada suara yang pelan perlahan, Bapak sampaikan ceramah perkuliahan. Semua mahasiswa dengan khidmat mendengarkan suatu teori Ma’na cum Maghza sebagai suatu pendekatan alternatif dalam memahami al-Qur’an—dengan bahasa yang ringan, namun tidak mengurangi bobot materi. Teori tersebut juga merupakan salah satu teori yang digagas oleh Bapak.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Diamanahi jabatan strategis di UIN tidak mesti menjadi “pion” menteri agama dalam meng-iyakan isi surat keputusannya. Tetaplah di samping mahasiswa, meski harus “nakal” kepada atasan. Tidak perlu lagi sepertinya diingatkan mengenai kisah Nabi Yusuf dengan kebijakan brilian dalam mengelola pangan di tengah paceklik, atau kisah Nabi Ibrahim dan Ismail mengenai pentingnya membangun komunikasi yang baik dalam mengambil keputusan penting. Bahkan sekalipun perintah tersebut datangnya dari Tuhan. Apakah Menteri Agama Bapak anggap sebagai tuhan?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saya dan rekan-rekan mahasiswa lain mungkin menyadari bahwa Bapak dalam kondisi yang serba dilematis. Bapak pun dan jajaran rektorat memiliki pertimbangan-pertimbangan lain sebelum membuat keputusan.

Ah, bagaimana jika Bapak gunakan saja teori Ma’na cum Maghza yang sarat kontekstual ini dalam mengambil keputusan DPI. Bukankah jelas konteks yang dihadapi bersama adalah covid-19 yang berdampak besar kepada perekonomian masyarakat, berikut mahasiswa. Alih-alih membuat keputusan progresif dan maslahat, sebaliknya, malah menjadi keputusan represif dengan menarik biaya tambahan kepada mahasiswa.

Kisah Nabi Yusuf dan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail juga bisa Bapak lakukan penelaahan secara progresif. Kisah Nabi Yusuf mensyaratkan pengelolaan pangan yang baik di sekitar paceklik dan kekeringan. Konteks saat ini di tengah pandemi seakan memberi pesan kepada pemangku kebijakan agar mampu menghasilkan kebijakan yang bijak, menenangkan, meringankan, bahkan kalau perlu menghilangkan beban. Sementara kisah Nabi Ibrahim dan Ismail seakan memberi pesan pentingnya audiensi antara mahasiswa dan pihak rektorat dalam pengambilan keputusan.

Ah, saya sedang bicara apa ini. Terkesan sangat indah sekaligus utopis. Barangkali persepsi kita berbeda ya, Pak. Bahwa pendidikan saat ini seperti halnya jual-beli alias bisnis. Urusan mencerdaskan mahasiswa, itu perkara lain. Ah aku yakin para dosen (sebagiannya) di UIN Suka juga tidak setuju dengan adanya penambahan beban biaya ini, tapi bagaimana lagi. Menyuarakan suara alternatif yang berbeda dari suara mayoritas akan dianggap suatu pembangkangan. Orang banyak mengebiri suara hatinya daripada harus kehilangan pekerjaannya. Mengerikan.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saya juga tidak tahu apakah yang saya lakukan itu salah atau benar. Yang pasti saat ini penderitaan ekonomi rakyat benar adanya.

Kalaulah alasan Bapak Plt. Rektor bahwa uang DPI bisa dicicil selama tiga tahun, namun karena pendidikan kini berkedok komersialisasi dan bisnis, bukankah lebih baik jika kita bernegosiasi? Yang dihadapi Bapak yang terhormat bukanlah sekelompok siswa SD atau SMP yang penurut.

Dalam tenggat waktu tiga tahun seperti yang Bapak dalihkan, saya memiliki solusi alternatif. Konon, DPI ditetapkan untuk pengembangan sarana prasarana institusi. Pernahkah pula Bapak dengar desas desus bahwa lulusan UIN banyak menempati waiting list terbanyak dalam memperoleh pekerjaan? Alias susah kerja?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saran saya adalah daripada menarik uang sebanyak 1500k dan bisa dicicil dalam tenggat tiga tahun, lebih baik memberi modal kepada mahasiswa 1500k. Bukankah lulusan UIN tidak semua menjadi dosen? Tidak semua menjadi guru? Tidak semua memiliki pondok pesantren? Tidak semua memiliki modal? Daripada baru belajar ternak lele setelah lulus, lebih baik saat menjadi mahasiswa diberi modal dan pengetahuan untuk beternak sejak dini. Gunakan banyak relasi yang ada. Berikan modalnya.

Untuk apa para mahasiswa disuruh mengisi indeks prestasi yang pernah dicapai selama SMA atau sederajat pada Data Pribadi Mahasiswa di Sistem Informasi Akademik (SIA) kalau tidak dijadikan bahan analisis potensi masa depan. Buatlah cluster. Berikan modal untuk pengembangan. Jangan hanya yang juara karya tulis ilmiah yang diberikan modal pembinaan.

Daripada mahasiswa Bapak Plt. Rektor yang terhormat sibuk menikung pacar atau istri orang lain, sebaiknya manfaatkan potensi skill speak speak iblis dalam komunikasi ini untuk menjadi Youtuber. Menjadi host podcast. Berikan modalnya.

Daripada mahasiswa Bapak Plt. Rektor yang terhormat sibuk ngopi, sementara ide-ide brilian mereka menguap, berikan modal blog berbayar kepada mereka agar mereka bisa menumpahkan ide-ide mereka lewat tulisan.

Atau kumpulan-kumpulan tulisan terorganisir kemudian dengan nama besar Bapak salurkan kepada media-media massa.

Berikan modal juga kepada mahasiswa yang sudah biasa berjual buku-buku pemikiran, atau bisnis-bisnis lain.

Berikan pula mentor-mentor terbaik untuk mereka sebagai pendamping, pantau progres mereka. Keuntungan yang didapat oleh mahasiswa bisa dibagi hasil kepada kampus agar mengembangkan sarana dan prasarananya sebagaimana terencana. Dengan demikian, satu orang mahasiswa saya kira mampu mengumpulkan profit lebih dari 1500k yang diharus dibayarkan kepada kampus selama tiga tahun. Tanpa hutang sana sini. Tanpa membebani orang tua di kampung. Di samping itu, justru mahasiswa diberikan pengalaman kerja dan memperdalam passionnya.

Kalau modal kampus kurang, atau Bapak yang meragukan ide absurd ini. Tenang saja, Pak. Saya ada solusi alternatif lain, pertama, jual saja Pak beberapa mobil dinas kampus yang toh pejabat-pejabat kampus sebagian besarnya sudah memiliki kendaraan pribadi di rumahnya. Kedua, bisa gunakan saya dan mahasiswa yang spesialisasi demonstrasi untuk menuntut kepada Pak Menteri Agama agar cairkan dana untuk mahasiswa. Nah alternatif ketiga, bukankah rekan-rekan mahasiswa di antaranya ada yang memelihara……tuyul? Hohohoho.

Anyway, semua ini dengan maksud agar rekan-rekan mahasiswa ini sudah terbiasa bekerja, Pak. Daripada harus mengandalkan kartu prakerja yang nganu. Ruwet. Ruwet. Ruwet.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Apapun teknisnya nanti. Saya menunggu langkah progresif Bapak daripada harus menarik uang dari mahasiswa.

Tidak perlu banyak pikiran mengenai materi perkuliahan yang nanti akan tertinggal, Pak. Rekan mahasiswa sudah pintar-pintar. Materi perkuliahan untuk satu semester bisa dipadatkan untuk satu bulan. Toh bukankah mahasiswa selama ini dalam mengunyah dan mengejewantahkan materi perkuliahan banyak terbantu dengan Ctrl C dan Ctrl V?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Teori Ma’na cum Maghza yang digagas oleh Bapak saja sudah memantik banyak penelitian-penelitian jurnal atau tugas akhir. Saya pun bisa membayangkan bila langkah progresif Bapak tempuh. Hal ini mampu membuka mata khalayak ramai. Kebijakan kampus dekat dengan kemashlahatan masyarakat. Langkah utopis apapun tiada yang mustahil untuk dibumikan.

Di samping itu, kebijakan Bapak ini mampu memantik penelitian rekan-rekan mahasiswa, khususnya prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Agar tidak melulu berbicara konsep-konsep yang……Ruwet. Ruwet. Ruwet; Judul-judul yang cenderung dipaksakan. Melainkan kombinasi antara Al-Qur’an, teori Ma’na Cum Maghza, dan kebijakan publik, sosial-politik, sejarah, dan lain-lain, yang tentunya buah dari keteladanan Bapak.

Semoga Bapak sehat selalu dan dalam penjagaan Allah. Saya kangen mendengar cerita heroik Bapak dahulu ketika waktu silam menjadi saksi ahli dalam sidang BTP yang dinilai menistakan agama. Dengan pengetahuan Bapak yang mapan dan dalam mengenai al-Qur’an, Bapak berani menentang arus pandangan mainstream, membela yang tertindas, lantang mengatakan bahwa BTP dalam pengetahuan Bapak tidak bermaksud menistakan agama. Lantas, apakah saat ini Bapak sama beraninya dalam melindungi ‘anak-anak Bapak’ ini, mahasiswa-mahasiswi Bapak dengan mengambil kebijakan progresif? Barangkali jabatan Bapak sebagai Plt. Rektor tidak akan berlangsung panjang, buatlah murid-murid Bapak ini semakin bangga dengan langkah progresif yang ditunggu-tunggu.

Demikian tulisan ini dibuat. Mohon maaf atas semua kesalahan. Dari saya yang selalu menghormati Bapak Plt. Rektor.

Btw, kalau saya masuk parpol, parpol apa Pak yang cocok untuk saya? Heuheuheu.

Wisudawan dan Kemacetan, Saatnya Bupati Turun Tangan

Kamis, 14 November 2019. Hujan baru turun selepas maghrib di Papringan. Siang tadi terik, estimasi tiba di kampus menjadi tertunda dari jam tepat pada biasanya. Dua hari ini jadwalnya kampusku menggelar acara wisuda. Aku memang tidak terlalu suka keramaian. Setiap keramaian yang ada, kerapkali kuhindari, jika bukan mengadakan seminar yang mendatangkan tokoh-tokoh favorit. Jalanan macet. Bahkan sebagai pengendara motor pun tidak bisa mengambil jalan selap selip.

Wisudawan banyak. Lebih banyak lagi sanak famili yang mendampingi. Mirip seperti pesta rakyat. Tetapi make-up dan potret keabadian yang terambil dari kamera smartphone jumlahnya lebih banyak dibandingkan makanan. Padahal banyak orang-orang lapar.

Seketika mengingatkanku pada kutipan buku terjemahan dari Represetations of Intellectual Edward W. Said. ‘Apakah kaum intelektual sangat banyak jumlahnya, atau sebaliknya, sangat sedikit dan merupakan kumpulan orang yang sangat terseleksi?’ Manusia yang membangun kesadaran umat manusia, ujar Julien Benda. Mencipta tatanan masyarakat;  makhluk langka lantaran menjunjung tinggi standar kebenaran dan keadilan abadi. ‘Digerakkan oleh dorongan metafisis dan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.’ Intelektual memerangi korupsi, melindungi kaum papa, menentang otoritas yang menyimpang dan zalim.’

Pada sebuah kampus yang relatif tidak memiliki lahan yang luas, sudah hampir tujuh tahun rasa jengah tertahan kala acara wisuda. Mengapa harus diadakan di kampus? Seberapa banyak uang yang harus disiapkan/dipinjam oleh orang tua. Waktu yang terbuang. Belum lagi menghambat lalu lintas sekitar.

Pengabdian terhadap masyarakat bisa dilakukan berbagai macam cara. Namun, mahasiswa yang belajar di sebuah daerah belum tentu terlahir dari daerah tersebut. Terlebih di Yogyakarta, ada yang katakan sebagai miniatur Indonesia, tentu mahasiswa datang dari berbagai tempat di seluruh penjuru Indonesia. Bagaimana jika ceremonial diselenggarakan dengan cara lain yang lebih syahdu dan menjanjikan masa depan negeri ini.

Daripada oleh rektor universitas, wisuda alangkah indahnya jika bisa digelar di masing-masing daerah dan disambut oleh Bupati daerah. Mahasiswa dapat berdiri tanpa terlihat dari ‘institusi’ mana ia berasal. Ia berdiri sebagai putra daerah yang telah menyelesaikan studinya. Ia berdiri tidak mewakili universitasnya, melainkan pengetahuan yang siap berdialog masyarakat. Aku menyadari diskursus ‘intelektual’ seringkali bertentangan dengan term kekuasaan. Tetapi, untuk inilah penguasa ideal hadir.

Aku sudah membayangkan bagaimana Bupati dan tokoh-tokoh daerah membuat perayaan yang sesungguhnya ‘tidak diinginkan’. Bupati dan para tokoh secara tim mengajak mahasiswa berkeliling melihat realitas tanah kelahiran yang cukup lama ditinggal pergi, bahkan sebagian mahasiswa justru hanya ‘numpang’ lahir atau lebih lama di tempat lain. Tokoh-tokoh mengenalkan dan mendiskusikan permasalahan di daerahnya, ia melihat kemiskinan, kesenjangan, pengangguran karna PHK. Bahkan jika ini dipandang sesuatu yang muluk dan rumit, aku hanya katakan mengasah kembali kepekaan terhadap keadaan sosial.

Tanpa menyandang almamater apapun, setelah semua mahasiswa berkumpul kembali di satu tempat, seorang tokoh masyarakat berdiri dan menyampaikan: “Putra-putri daerah yang terhormat, tanah ini masih banyak dipenuhi oleh orang-orang yang lapar, tidak memiliki tempat tinggal, pengangguran serta orang rakus yang memperkaya diri sendiri. Apa yang bisa kita lakukan?”

Para Pekerja

Kalau pertemuan bukanlah kebetulan, perjumpaan adalah takdir, serta apa yang didepan mata tidaklah selalu bagian dari yang direncanakan, seharusnya manusia tidak berhenti berefleksi diantara kata-nya. Klise tersebut menjadi mata melihat kenyataan dihadapannya kini.

Seorang pengaku intelektual yang kehilangan takdir melihat fajar hari itu. terbangun menghadap matahari setengah tinggi, serta udara yang sudah bercampur baur dengan kuantitas kendaraan yang jumlahnya tidak bisa dikuantifikasi. Tatapannya samar, mahasiswa itu menatap pekerja kasar yang sedang membangun parkiran kos-kosan.

Mataku melihat para pekerja perlahan, rasa malu menahan senyum yang biasanya terkembang di bibirku. Sementara mereka tak berekspresi apapun menatapku. Dalam pikirku seharusnya, jangan sampai aku kalah kerja keras dengan mereka. Bisikan lain katakan untuk menghibur diri, ‘Untuk menggapai sesuatu, tidak bisa tidak harus ada yang dikorbankan. ‘Penelitian’ ini demi kesejahteraan umat manusia, IPK dan kesuksesan diri.’

Mengobati diri yang biasanya akan lebih memuaskan jika bergandeng dengan lecehan. “Etos kerja tinggi, tetap saja percuma kala penghasilan berakhir untuk modal judi dan minuman. Bukankah lebih baik dinar-dinar itu dialokasikan pada modal usaha?” Diri menjadi sedemikian pongah. Merasa bahwa pelajar selalu bisa melihat peluang sesuatu yang dianggap stagnan, menjadi perkembangan signifikan.

Motor-motor yang terparkir seringkali berantakan. Tak beratap, kendaraan bersentuh langsung dengan terik panas hingga deras hujan. Sesekali harus memindahkan motor ke tempat yang lebih teduh. Para pekerja sementara sudah beraktifitas separuh hari. Duduk menghisap rokok dan menyeruput air putih. Kumasih berusaha mengembalikan kesadaran yang lama terlelap, sesekali menyapu kosnya yang basah lantaran dosa, merapikan kartu remi yang berantakan, serta membersihkan gelas berisi ampas kopi yang telah dimasuki cicak.

Sesekali mata bertemu dengan mata seorang Pekerja. Memunculkan abstraksi kata nyaris terucap, namun menyisakan perenungan dan diskusi kasat mata. Realita yang menghakimi lewat diskusi imajiner. Seolah ingin mengatakan penjaga peradaban saat ini adalah tukang bangunan. Para pekerja ini. Sebab intelektual kini tunduk pada pesanan penelitian, jurnal bejibun yang telah menjadi berhala baru pendidikan tinggi. Terbit jurnal membuat diri puas seakan perubahan telah terjadi, padahal tak sepersen prosentase ekonomi menurun, atau ketimpangan sosial disembuhkan, sudah membuat cara berjalan dengan tegap dan pongah. Seakan telah berbuat banyak dan paling tahu.

Para pekerja sebagai penjaga peradaban sebab yang laris saat ini adalah bisnis properti. Menjaga peradaban berarti menjaga agar pembangunan fisik bangunan terus berlangsung. Bahkan sarjana teknik sipil banyak merambah menjadi pebisnis kuliner, guru agama hingga trader forex. Tapi, siapa peduli para pekerja ini sebagai penjaga peradaban?

Salah seorang pekerja yang tak dikenal tetiba memperhatikan tangan kananku. Kemudian bertanya sesuatu yang sejujurnya tidak terlalu penting namun mengejutkan. ‘Aku masih heran apa rahasia dibalik gaya tulisanmu yang kerap berubah-ubah. Kadang miring, dalam waktu lain lurus, kadang bersambung, ukuran dan penempatannya pun berlainan.’ Pekerja itu tahu kebiasaanku! Barangkali dia pun tahu bahwa dalam perkuliahan, aku tidak suka menggunakan font Times New Roman yang begitu kaku. Sontak aku heran. Belum kujawab diantara kata-nya.

Saat dalam diskusi imajiner ini, cuaca yang biasanya amat terik, kini lebih syahdu, agak mendung jadinya. Masih belum kujawab, entah apa yang membuatku memperhatikan diantara kata-nya. Pekerja itu masih berbicara banyak hal. Sesekali menghisap sebatang di tangan kanannya. Beliau katakan sesuatu hal sederhana. ‘Mahasiswa jangan merasa cukup bertemankan buku. Sesekali bertebaran di tengah khalayak ramai. Jalan-jalan.’

Agar seseorang tahu bagaimana ruang sosial hidup dan terlihat dengan mata sendiri. Membaca problem tidak dari perspektif bacaan yang ditulis oleh orang lain meski itu sebuah fakta sosial. Melalui mata kita sendiri, pengalaman kita sendiri, objek kenyataan diterima oleh seseorang secara langsung, tanpa perantara apapun. Karena menceritakan pengalaman dan keresahan sendiri perihal sesuatu secara langsung dan original (pengalaman pribadi) merupakan sesuatu yang memuaskan.

Bosan rasanya perkuliahan diisi oleh penelitian-penelitian tanpa jiwa didalamnya. Aku hendak mengatakan bahwa indah sekali rasanya penelitian bermula dari problem sosial yang dialami dan rasakan oleh penelitinya. Peneliti harus memiliki keresahan pribadi atas keadaan sosialnya. Aku sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa hal ini tidak mudah. Rasanya, berbanggalah lingkungan akademik ini dapat dimanfaatkan menyusun penelitian pribadi guna memecahkan problem sosial di lingkungan di mana ia tinggal dan dibesarkan.

Cerita yang kuingat, sang Pekerja bercerita tentang seorang Perempuan yang berhenti menempuh pendidikan di menengah atas. Kehilangan Ayahnya yang seorang militer karena sakit. Tersisa di sampingnya seorang Ibu dan dua adik-adik perempuannya yang masih bersekolah dasar. Pekerjaannya silih berganti dari mulai penyanyi cafe, penjaga stand makanan, atau karyawan salah satu toko di mall.

Pemasukan dari pekerjaannya tidak mencukupi biaya sekolah adik, Ibu dan sehari-hari. ‘Apa yang bisa kulakukan selain mendengar keluhnya? Aku tidak bisa meminjamkan modal.’ Keluh Pekerja. Keluarganya tidak tahu kalau Perempuan yang tegar ini tetap berdiri tanpa rasa takut. Ia mencari lelaki hidung belang dengan mahar menutupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Saban malam pulang membawa kabar gembira dengan tentengan lauk makan malam.

‘Pada nyatanya, ia tak sekuat itu.’ Pekerja mencari korek menyambung rokoknya. Kemudian melanjutkan cerita. Mata kami tak bertemu, kepalanya mendongak ke atas menuju ranting pohon mangga. Pandanganku menatap ke bumi sembari memainkan kerikil. Sang Ibu dari Perempuan itu pada akhirnya menikah lagi agar ekonomi lebih stabil serta ada yang melindungi keluarga. Namun benar adanya bahwa ‘sabar’ bagi wong cilik adalah nafas hidup. Ayah tirinya ternyata seorang pengangguran. Meminjam dana pada rentenir untuk modal usaha angkringan. Akan tetapi perempuan yang kuat ini harus pontang-panting menutupi hutang.

Lelaki belang masih menjadi salah satu sumber penghasilan bagi sang Perempuan. Masalah baru muncul. Ayah tirinya kerap kali melakukan perilaku kekerasan pada Ibu dan kedua Adiknya. Terkadang pulang dalam keadaan mabuk. Geram sekali Perempuan ini. sang Pekerja sesekali menunjukkan ekspresi dan tatapan yang menirukan wajah sang Perempuan. Tangan kanan sang Perempuan memegang foto sang Ayah yang terlihat memakai seragam militer. Rindu. Teriak hatinya dalam bayang keputus-asaan. Air matanya tertahan. Ia tahu bahwa hidup harus dilanjutkan. Segenting apapun, seburuk apapun. Terkadang perempuan ini harus maju memasang badan melawan lelaki yang ia insafi sebagai Ayah tirinya. Kekerasan takkan pernah dibenarkan. Atas nama apapun.

‘Sebuah kabar buruk dan baik datang bersamaan.’ Sambung sang Pekerja. Beliau mematikan rokoknya yang sudah mulai panas dirasa tangan. Sang perempuan telah berhasil menemukan cintanya dan orang yang mencintainya. Lelaki tersebut adalah kiwirnya. Seseorang yang menjadi ‘pelanggan tetap’. Perempuan telah hamil. Tidak lama setelah itu, dilaksanakan pernikahan.

Buah hati yang kini telah lahir seakan menjadi oase di tengah penderitaan yang takkan kunjung sembuh. ‘Bahkan kini perempuan yang kini menjadi seorang Ibu membuat status whatsapp memperlihatkan perkembangan buah hatinya.’ Tulisnya: ‘Jagoannya Bunda dan Ayah. Jadilah anak sholeh, berbakti kepada orangtua.’ Bahkan di tengah kabut, cahaya mungkin akan muncul. Di tengah penderitaan, harapan pasti akan datang.

‘Rubahlah sesuatu, Pemuda. Jangan sampai kertas penelitianmu jadi bungkus nasi kucing yang kami makan ini.’ Ah kupikir aku bahkan tidak sedang benar-benar melakukan penelitian.

Buku yang kubaca ini bisa jadi produk zaman, yang suatu waktu akan berlalu. Sementara konteks sosial kehidupan selalu berubah dan pelik. Buku hadir merespon zamannya. Jiwa terdidik tidak boleh berhenti sebagai pemerhati sosialnya. Kesejahteraan sejati mungkin berat mewujudkannya. Tapi jangan sekali-sekali mengkhianati tugas dan amanah intelektual. Ilmu tidak bisa untuk ilmu.

Jika hari ini sebagian pelajar bekerja menjadikan penelitian sebagai ‘bisnis’, tidak sedikit juga dana yang ‘dilipat’ dalam penyelenggaraan kegiatan. Apa bedanya pelajar dan orang-orang proyek yang bekerja sesuai pesanan dan motif ekonomi. Maka kini bukan saja tentang etos kerja, melainkan orientasi pendidikanku yang harus berpihak kepada kaum tertindas. Aku padamu, Pekerja. Tiada ada beda diantara kata dan perilaku kita. Dalam kebrengsekan, kita yang selalu turut pada atasan kita, yang memberi kita uang. Dalam keresahan, kita yang sama merasa puas setelah ini dibicarakan, mengangguk tanpa berdiri melakukan perubahan.

Aku pun sadar dengan diskusi imajiner ini. Kulihat para pekerja tetap lugu dan menerima takdir. Aku harus segera pergi ke kampus, segera, tugasku belum selesai, agar dapat nilai A, me(rasa)njadi pintar, lalu kembali pada tidurku yang terlalu malam. Hingga kutemukan para pekerja lain. Pekerja lama bahkan menyelesaikan proyeknya demi kebaikan sosialnya. Sementara aku menjadi peneliti bunglon, yang menyesuaikan permintaan dosen.*