Kamis, 14 November 2019. Hujan baru turun selepas maghrib di Papringan. Siang tadi terik, estimasi tiba di kampus menjadi tertunda dari jam tepat pada biasanya. Dua hari ini jadwalnya kampusku menggelar acara wisuda. Aku memang tidak terlalu suka keramaian. Setiap keramaian yang ada, kerapkali kuhindari, jika bukan mengadakan seminar yang mendatangkan tokoh-tokoh favorit. Jalanan macet. Bahkan sebagai pengendara motor pun tidak bisa mengambil jalan selap selip.
Wisudawan banyak. Lebih banyak lagi sanak famili yang mendampingi. Mirip seperti pesta rakyat. Tetapi make-up dan potret keabadian yang terambil dari kamera smartphone jumlahnya lebih banyak dibandingkan makanan. Padahal banyak orang-orang lapar.
Seketika mengingatkanku pada kutipan buku terjemahan dari Represetations of Intellectual Edward W. Said. ‘Apakah kaum intelektual sangat banyak jumlahnya, atau sebaliknya, sangat sedikit dan merupakan kumpulan orang yang sangat terseleksi?’ Manusia yang membangun kesadaran umat manusia, ujar Julien Benda. Mencipta tatanan masyarakat; makhluk langka lantaran menjunjung tinggi standar kebenaran dan keadilan abadi. ‘Digerakkan oleh dorongan metafisis dan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.’ Intelektual memerangi korupsi, melindungi kaum papa, menentang otoritas yang menyimpang dan zalim.’
Pada sebuah kampus yang relatif tidak memiliki lahan yang luas, sudah hampir tujuh tahun rasa jengah tertahan kala acara wisuda. Mengapa harus diadakan di kampus? Seberapa banyak uang yang harus disiapkan/dipinjam oleh orang tua. Waktu yang terbuang. Belum lagi menghambat lalu lintas sekitar.
Pengabdian terhadap masyarakat bisa dilakukan berbagai macam cara. Namun, mahasiswa yang belajar di sebuah daerah belum tentu terlahir dari daerah tersebut. Terlebih di Yogyakarta, ada yang katakan sebagai miniatur Indonesia, tentu mahasiswa datang dari berbagai tempat di seluruh penjuru Indonesia. Bagaimana jika ceremonial diselenggarakan dengan cara lain yang lebih syahdu dan menjanjikan masa depan negeri ini.
Daripada oleh rektor universitas, wisuda alangkah indahnya jika bisa digelar di masing-masing daerah dan disambut oleh Bupati daerah. Mahasiswa dapat berdiri tanpa terlihat dari ‘institusi’ mana ia berasal. Ia berdiri sebagai putra daerah yang telah menyelesaikan studinya. Ia berdiri tidak mewakili universitasnya, melainkan pengetahuan yang siap berdialog masyarakat. Aku menyadari diskursus ‘intelektual’ seringkali bertentangan dengan term kekuasaan. Tetapi, untuk inilah penguasa ideal hadir.
Aku sudah membayangkan bagaimana Bupati dan tokoh-tokoh daerah membuat perayaan yang sesungguhnya ‘tidak diinginkan’. Bupati dan para tokoh secara tim mengajak mahasiswa berkeliling melihat realitas tanah kelahiran yang cukup lama ditinggal pergi, bahkan sebagian mahasiswa justru hanya ‘numpang’ lahir atau lebih lama di tempat lain. Tokoh-tokoh mengenalkan dan mendiskusikan permasalahan di daerahnya, ia melihat kemiskinan, kesenjangan, pengangguran karna PHK. Bahkan jika ini dipandang sesuatu yang muluk dan rumit, aku hanya katakan mengasah kembali kepekaan terhadap keadaan sosial.
Tanpa menyandang almamater apapun, setelah semua mahasiswa berkumpul kembali di satu tempat, seorang tokoh masyarakat berdiri dan menyampaikan: “Putra-putri daerah yang terhormat, tanah ini masih banyak dipenuhi oleh orang-orang yang lapar, tidak memiliki tempat tinggal, pengangguran serta orang rakus yang memperkaya diri sendiri. Apa yang bisa kita lakukan?”