Tag: kritik

R.I.P

Oleh: Nenynenok

 

Dahulu, kita pernah punya mimpi
Pernah punya tekad api
Sembari menikmati secangkir kopi
Kita sering berdiskusi
Bahkan ketika maraknya korupsi
Dimana satu dari sekian banyak pejabat ingkar janji
Pergi kesana-kesini
Cuma untuk umbar materi
Ujung-ujungnya jadi cari simpati
Bilangnya untuk negeri
Nyatanya untuk diri sendiri
Janjinya mengayomi
Realitanya mengebiri
Tikus-tikus makin menjadi
Eh, si kucing malah dibui
Bagaimana ini?
Lihat dan lihatlah sendiri
Rapatnya sampai dini hari
Izinnya merevisi
Padahal kasih roti ke tikus tadi
Bahkan berulang kali
Dan malam ini
Ketika aku sendiri
Membawa koran paling berani
Sambil menyeruput secangkir kopi
Sama seperti ketika kita masih sibuk berdiskusi
Mungkin, kamu masih sibuk berkompromi
Mencari siasat yang paling aji
Dan untuk saat ini
Silahkan makan roti

 

Sumber Gambar: Pixabay

Yang Lupa Memberi Harapan, Yang Lelah Memberi Kritik

Ketika membuka dokumen-dokumen laptop, aku sempat lupa memiliki tulisan yang belum terpublish. Terakhir kuedit pada tanggal 23 Juni 2018. Sudah dua tahun berlalu. Tulisan ini muncul dalam konteks kampus yang selalu menjadi sasaran kritik keresahan masyarakat. Kala itu dalam rangka memperingati hari buruh berlangsung demo yang berakhir rusuh hingga diwarnai pembakaran pos polisi di “pertigaan revolusi”.

Yang Lupa memberi harapan, yang Lelah memberi kritik

Pagi-pagi sekali di gerbang barat kampus. Tetiba sudah tergantung beberapa bungkus makanan. Di antaranya ada brownies, ayam goreng, jajanan pasar, gudeg, serta berbagai jenis makanan lain. Tidak tahu, biasanya memang begitu. Banyak orang yang tak dikenal berlalu meninggalkan bungkusan-bungkusan yang asasi itu. Sebagian orang kemudian mengambil satu makanan, kemudian (bila tidak habis) mengembalikan ke tempat semula.

Sudah banyak berubah kampus yang dahulu sering dihujat ini.

Anehnya meskipun tidak tahu polanya seperti apa, tidak ada makanan basi yang berceceran. Masyarakat di kampus ini lebih banyak menolak makanan karena alasan kekenyangan daripada saling rebutan. Makanan seringkali tersisa dibawa ke rumah masing-masing untuk dibagikan ke sekitarnya.

Tidak hanya soal makanan, beberapa orang tua yang tinggal di sekitar kampus pada setiap sore membawa putra putri mereka meminta mahasiswa yang ditemui untuk diajari mengaji. atau mereka datang seorang diri datang untuk bertanya suatu persoalan baik mengenai agama atau sosial.

Andai para mahasiswa demo di “pertigaan revolusi”, para pengendara serentak menurunkan standar motor atau mematikan mesin mobil mereka. Bersama mereka berjalan di belakang mahasiswa, bersama-sama menyuarakan apa yang disuarakan sang orator. Karena mereka sadar bahwa suara mahasiswa adalah masalah masyarakat itu sendiri. Mendemo berarti mereka yang ingin menyeka air mata masyarakat yang tertindas, yang tidak berani menyuarakan di depan publik. Maka mahasiswa sebagai penyambung lidahnya.

Baliho-baliho dahulu yang berisi hujatan terhadap mahasiswa dan kampus, kini beralih menjadi bunga yang hampir setiap hari di kalungkan dan ditaburkan di sepanjang jalan kampus mulia ini. Testimoni positif tak henti diucapkan kepada perguruan tinggi ini.

Kriminalitas di sekitar kampus berkurang. Meskipun masih banyak pakaian compang-camping berlalu-lalang, tetapi mereka ada dalam keadaan kenyang. Pemerintah tidak lagi perlu memberlakukan undang-undang tentang larangan memberi uang di jalanan kepada pengemis dan gelandangan. Mereka dengan sendirinya akan pergi ke kampus. Mereka makan, diberi pakaian hingga pengetahuan.

Tidak heran jika ‘kampus putih’ sudah tidak lagi menjadi milik mahasiswa saja, atau kunjungan-kunjungan dari Sekolah Menengah Atas (SMA) yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun juga milik semua kalangan masyarakat. Slogan Jogja berhotel nyaman sudah agak lama tak lagi terdengar. Orang-orang yang kehabisan bekal atau sengaja berkunjung ke Jogja lebih nyaman untuk bermalam di ‘kampus putih’ ini. Basecamp dari banyak UKM menyediakan tempat khusus para tamu yang hendak menginap. Bahkan tidak sedikit mahasiswa membuka ruang diskusi malam.

Pantas saja masyarakat begitu dekat dengan mahasiswa. Kuliah Kerja Nyata (KKN) tidak dilaksanakan pada semester sebelum mahasiswa diberikan wahyu oleh rektorat dan bagian akademik untuk mengerjakan skripsi. Kini KKN dilaksanakan pada semester kedua, sementara pembagian kelompok dan pembekalan sudah terlebih dahulu dilakukan pada semester awal. Kurang dan lebih 4 – 5 tahun mahasiswa terjun ke masyarakat. Selama perkuliahan berlangsung, mahasiswa lebih stress kala menghadapi masyarakat berkonflik soal harta gono-gini, dibanding stress lantaran makalah dan presentasi di ruang kelas.

Skripsi dikerjakan dua tahun setelah terjun di masyarakat. Tema-tema penelitian terambil dari permasalahan-permasalahan yang ditemui di masing-masing tempat KKN. Masyarakat tidak lagi menangis melepas mahasiswa, karena mahasiswa sudah menjaminkan nyawanya kepada masyarakat tanpa pengkhianatan. Mereka tidak khawatir karena mahasiswa pasti akan mengunjungi mereka.

Sudah banyak berubah kampus yang dahulu sering dihujat ini.

Habislah kata untuk membangun harapanku, yang jengah mendengar banyak kritik. Suatu ilustrasi yang sedang, tidak berhenti hanya menjadi akan. Kejadian!

Sekitar Hastag #KalijagaMenggugat, Dear Plt. Rektor: Pembacaan yang Sangat Pribadi

“#Kalijagamenggugat t’lah tiba..hore..hore..hore..hooore.” demikianlah bila lagu Tasya “Libur Tlah tiba’ dikontekstualisasikan pada momen ini.

Beberapa waktu silam jagad medsos sempat diramaikan dengan gambar-gambar meme berisi kritikan mahasiswa pada kampus UAD, UPI, dan UNY dan lain-lain, terkait mahalnya biaya pendidikan. Eh, kini giliran almamater saya menjadi viral.

Meski dikelilingi polemik mengenai UIN Suka liberal, pelarangan cadar serta disertasi Milkul Yamin, baik bung-bung gondrong rokok-an celana sobek atau akhi ughtea jenggot celana cingkrang hingga cadaran, semua sewarna dengan identitas almamater UIN sebagai kampus putih. Saya masuk ke UIN sejak 2013, hingga melanjutkan jenjang berikutnya di almamater yang sama pada tahun 2018 hingga kini.

Pada tahun 2013, sekitar bulan Agustus, baru saja mendaftar OPAK (kegiatan ospek kampus), senior-senior yang garang dan manja sudah menyuguhi maba aksi massa penolakan kedatangan Surya Paloh: demi mempertahankan kenetralan kampus dari parpol.

Seniorku juga katakan: “Anak UIN mah terkenal dengan mahasiswa-mahasiswanya yang kritis dan rajin demo. Harus kita kawal identitas kampus putih, kampus rakyat, kampus dengan biaya pendidikan murah. Kalau tidak: turun jalan menuju rektorat!!!!”

Eksternalisasi-internalisasi persepsi mendasar mengenai uang pendidikan murah tanpa uang pangkal menunjukkan komitmen besar mahasiswa di UIN tanpa ketjuali.

Kini komitmen-komitmen tersebut harus diuji dengan surat keputusan Plt. Rektor UIN Suka yang menetapkan pembayaran Dana Pengembangan Institusi (DPI) bagi mahasiswa baru ta. 2020/2021 sebesar 1500k. Menariknya, kebanyakan dari pembela maba ini sepertinya bukan dari maba itu sendiri, melainkan dari para senior-senior yang sudah tahu luar dalam kampusnya.

Ah bagi saya pribadi, keputusan menag berikut Plt. Rektor memang ditetapkan pada timing yang relatif kurang pas.

Dear Bapak Plt Rektor, tanpa mengurangi rasa hormat, perkenankan muridmu, sebagai anak bawang kehidupan ini mengungkapkan beberapa hal. Dengan mata telinga saya sendiri saya menyaksikan ribuan orang terdampak PHK massal dan kehilangan pekerjaan mereka. Sebagian teman pada masa pandemi ini salah satu ortunya meninggal dunia setelah positif covid-19. Tetanggaku sendiri ibunya seorang penjaja koran lampu merah dalam keadaan difabel kakinya. Anaknya maba berkuliah di UIN Suka. Apakah kiranya Bapak sampai hati menerapkan keputusan ini?

Semua memang mampu diusahakan, tetapi apa iya tega membiarkan orang tua berhutang kesana-sini. Syukur mendapat pinjaman dari orang baik. Bagaimana dengan lingkungan pemberi dana berkedok lintah darat?

Yang Terhormat, Bapak Plt. Rektor. Sudah bukan menjadi rahasia umum, sejak saya berkuliah pada tahun 2013, sosok Bapak sudah harum sebagai dosen yang karib dengan mahasiswa-mahasiswanya, bahkan tidak pernah tidak dalam membantu mahasiswanya kala ada masalah.

Saya juga termasuk dari mahasiswa yang terbantu. Ketika itu saya dianggap oleh sistem kampus belum membayar SPP sehingga tidak bisa lakukan input KRS. Ketika menghadap Bapak yang kala itu sebagai kaprodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, tatapan dingin Bapak masih teringat di benak. Tidak butuh lama waktu, Bapak membantu dengan memberikan selembar note ketjil agar saya berikan kepada Bapak Muhadi sebagai staff TU, bertandatangan Bapak, agar urusan saya dibantu. Dan…….Selesai lah.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Ketika saya mendengarkan ceramah perkuliahan yang disampaikan oleh Bapak, berulang-ulang Bapak sampaikan kepada mahasiswa: “Tuubuu” (Taubatlah kalian semua). Mahasiswa sudah paham. Yang dimaksud adalah taubat bahasa. Minimalnya Arab dan Inggris. Dengan nada suara yang pelan perlahan, Bapak sampaikan ceramah perkuliahan. Semua mahasiswa dengan khidmat mendengarkan suatu teori Ma’na cum Maghza sebagai suatu pendekatan alternatif dalam memahami al-Qur’an—dengan bahasa yang ringan, namun tidak mengurangi bobot materi. Teori tersebut juga merupakan salah satu teori yang digagas oleh Bapak.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Diamanahi jabatan strategis di UIN tidak mesti menjadi “pion” menteri agama dalam meng-iyakan isi surat keputusannya. Tetaplah di samping mahasiswa, meski harus “nakal” kepada atasan. Tidak perlu lagi sepertinya diingatkan mengenai kisah Nabi Yusuf dengan kebijakan brilian dalam mengelola pangan di tengah paceklik, atau kisah Nabi Ibrahim dan Ismail mengenai pentingnya membangun komunikasi yang baik dalam mengambil keputusan penting. Bahkan sekalipun perintah tersebut datangnya dari Tuhan. Apakah Menteri Agama Bapak anggap sebagai tuhan?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saya dan rekan-rekan mahasiswa lain mungkin menyadari bahwa Bapak dalam kondisi yang serba dilematis. Bapak pun dan jajaran rektorat memiliki pertimbangan-pertimbangan lain sebelum membuat keputusan.

Ah, bagaimana jika Bapak gunakan saja teori Ma’na cum Maghza yang sarat kontekstual ini dalam mengambil keputusan DPI. Bukankah jelas konteks yang dihadapi bersama adalah covid-19 yang berdampak besar kepada perekonomian masyarakat, berikut mahasiswa. Alih-alih membuat keputusan progresif dan maslahat, sebaliknya, malah menjadi keputusan represif dengan menarik biaya tambahan kepada mahasiswa.

Kisah Nabi Yusuf dan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail juga bisa Bapak lakukan penelaahan secara progresif. Kisah Nabi Yusuf mensyaratkan pengelolaan pangan yang baik di sekitar paceklik dan kekeringan. Konteks saat ini di tengah pandemi seakan memberi pesan kepada pemangku kebijakan agar mampu menghasilkan kebijakan yang bijak, menenangkan, meringankan, bahkan kalau perlu menghilangkan beban. Sementara kisah Nabi Ibrahim dan Ismail seakan memberi pesan pentingnya audiensi antara mahasiswa dan pihak rektorat dalam pengambilan keputusan.

Ah, saya sedang bicara apa ini. Terkesan sangat indah sekaligus utopis. Barangkali persepsi kita berbeda ya, Pak. Bahwa pendidikan saat ini seperti halnya jual-beli alias bisnis. Urusan mencerdaskan mahasiswa, itu perkara lain. Ah aku yakin para dosen (sebagiannya) di UIN Suka juga tidak setuju dengan adanya penambahan beban biaya ini, tapi bagaimana lagi. Menyuarakan suara alternatif yang berbeda dari suara mayoritas akan dianggap suatu pembangkangan. Orang banyak mengebiri suara hatinya daripada harus kehilangan pekerjaannya. Mengerikan.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saya juga tidak tahu apakah yang saya lakukan itu salah atau benar. Yang pasti saat ini penderitaan ekonomi rakyat benar adanya.

Kalaulah alasan Bapak Plt. Rektor bahwa uang DPI bisa dicicil selama tiga tahun, namun karena pendidikan kini berkedok komersialisasi dan bisnis, bukankah lebih baik jika kita bernegosiasi? Yang dihadapi Bapak yang terhormat bukanlah sekelompok siswa SD atau SMP yang penurut.

Dalam tenggat waktu tiga tahun seperti yang Bapak dalihkan, saya memiliki solusi alternatif. Konon, DPI ditetapkan untuk pengembangan sarana prasarana institusi. Pernahkah pula Bapak dengar desas desus bahwa lulusan UIN banyak menempati waiting list terbanyak dalam memperoleh pekerjaan? Alias susah kerja?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saran saya adalah daripada menarik uang sebanyak 1500k dan bisa dicicil dalam tenggat tiga tahun, lebih baik memberi modal kepada mahasiswa 1500k. Bukankah lulusan UIN tidak semua menjadi dosen? Tidak semua menjadi guru? Tidak semua memiliki pondok pesantren? Tidak semua memiliki modal? Daripada baru belajar ternak lele setelah lulus, lebih baik saat menjadi mahasiswa diberi modal dan pengetahuan untuk beternak sejak dini. Gunakan banyak relasi yang ada. Berikan modalnya.

Untuk apa para mahasiswa disuruh mengisi indeks prestasi yang pernah dicapai selama SMA atau sederajat pada Data Pribadi Mahasiswa di Sistem Informasi Akademik (SIA) kalau tidak dijadikan bahan analisis potensi masa depan. Buatlah cluster. Berikan modal untuk pengembangan. Jangan hanya yang juara karya tulis ilmiah yang diberikan modal pembinaan.

Daripada mahasiswa Bapak Plt. Rektor yang terhormat sibuk menikung pacar atau istri orang lain, sebaiknya manfaatkan potensi skill speak speak iblis dalam komunikasi ini untuk menjadi Youtuber. Menjadi host podcast. Berikan modalnya.

Daripada mahasiswa Bapak Plt. Rektor yang terhormat sibuk ngopi, sementara ide-ide brilian mereka menguap, berikan modal blog berbayar kepada mereka agar mereka bisa menumpahkan ide-ide mereka lewat tulisan.

Atau kumpulan-kumpulan tulisan terorganisir kemudian dengan nama besar Bapak salurkan kepada media-media massa.

Berikan modal juga kepada mahasiswa yang sudah biasa berjual buku-buku pemikiran, atau bisnis-bisnis lain.

Berikan pula mentor-mentor terbaik untuk mereka sebagai pendamping, pantau progres mereka. Keuntungan yang didapat oleh mahasiswa bisa dibagi hasil kepada kampus agar mengembangkan sarana dan prasarananya sebagaimana terencana. Dengan demikian, satu orang mahasiswa saya kira mampu mengumpulkan profit lebih dari 1500k yang diharus dibayarkan kepada kampus selama tiga tahun. Tanpa hutang sana sini. Tanpa membebani orang tua di kampung. Di samping itu, justru mahasiswa diberikan pengalaman kerja dan memperdalam passionnya.

Kalau modal kampus kurang, atau Bapak yang meragukan ide absurd ini. Tenang saja, Pak. Saya ada solusi alternatif lain, pertama, jual saja Pak beberapa mobil dinas kampus yang toh pejabat-pejabat kampus sebagian besarnya sudah memiliki kendaraan pribadi di rumahnya. Kedua, bisa gunakan saya dan mahasiswa yang spesialisasi demonstrasi untuk menuntut kepada Pak Menteri Agama agar cairkan dana untuk mahasiswa. Nah alternatif ketiga, bukankah rekan-rekan mahasiswa di antaranya ada yang memelihara……tuyul? Hohohoho.

Anyway, semua ini dengan maksud agar rekan-rekan mahasiswa ini sudah terbiasa bekerja, Pak. Daripada harus mengandalkan kartu prakerja yang nganu. Ruwet. Ruwet. Ruwet.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Apapun teknisnya nanti. Saya menunggu langkah progresif Bapak daripada harus menarik uang dari mahasiswa.

Tidak perlu banyak pikiran mengenai materi perkuliahan yang nanti akan tertinggal, Pak. Rekan mahasiswa sudah pintar-pintar. Materi perkuliahan untuk satu semester bisa dipadatkan untuk satu bulan. Toh bukankah mahasiswa selama ini dalam mengunyah dan mengejewantahkan materi perkuliahan banyak terbantu dengan Ctrl C dan Ctrl V?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Teori Ma’na cum Maghza yang digagas oleh Bapak saja sudah memantik banyak penelitian-penelitian jurnal atau tugas akhir. Saya pun bisa membayangkan bila langkah progresif Bapak tempuh. Hal ini mampu membuka mata khalayak ramai. Kebijakan kampus dekat dengan kemashlahatan masyarakat. Langkah utopis apapun tiada yang mustahil untuk dibumikan.

Di samping itu, kebijakan Bapak ini mampu memantik penelitian rekan-rekan mahasiswa, khususnya prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Agar tidak melulu berbicara konsep-konsep yang……Ruwet. Ruwet. Ruwet; Judul-judul yang cenderung dipaksakan. Melainkan kombinasi antara Al-Qur’an, teori Ma’na Cum Maghza, dan kebijakan publik, sosial-politik, sejarah, dan lain-lain, yang tentunya buah dari keteladanan Bapak.

Semoga Bapak sehat selalu dan dalam penjagaan Allah. Saya kangen mendengar cerita heroik Bapak dahulu ketika waktu silam menjadi saksi ahli dalam sidang BTP yang dinilai menistakan agama. Dengan pengetahuan Bapak yang mapan dan dalam mengenai al-Qur’an, Bapak berani menentang arus pandangan mainstream, membela yang tertindas, lantang mengatakan bahwa BTP dalam pengetahuan Bapak tidak bermaksud menistakan agama. Lantas, apakah saat ini Bapak sama beraninya dalam melindungi ‘anak-anak Bapak’ ini, mahasiswa-mahasiswi Bapak dengan mengambil kebijakan progresif? Barangkali jabatan Bapak sebagai Plt. Rektor tidak akan berlangsung panjang, buatlah murid-murid Bapak ini semakin bangga dengan langkah progresif yang ditunggu-tunggu.

Demikian tulisan ini dibuat. Mohon maaf atas semua kesalahan. Dari saya yang selalu menghormati Bapak Plt. Rektor.

Btw, kalau saya masuk parpol, parpol apa Pak yang cocok untuk saya? Heuheuheu.

Kepenyairan WS. Rendra

Selesailah aku membaca buku Rendra: Ia Tak Pernah Pergi. Buku ini diberi kata pengantar oleh Ignas Kleden, diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2009. Buku ini merupakan rangkuman tulisan yang pernah dimuat di harian Kompas selama kurun 30 tahun terakhir. Penamaan buku tersebut barangkali diambil dari ucapan Sutardji Calzoum Bachri kala Rendra wafat, “Tetapi saya tidak bersedih atas meninggalnya Rendra karena ia sebenarnya tidak pernah pergi. Seniman besar tak pernah pergi. Karyanya selalu besar. Inilah orang besar di antara kita.” (hlm. 329)

Dulu di bangku Sekolah Menengah Pertama aku pernah mengikuti lomba baca puisi untuk tingkat kabupaten. Dari beberapa pilihan puisi, kupilih “Doa Orang Lapar” WS. Rendra. Tak disangka sebelas tahun kemudian justru aku menjadi pengagumnya. Perkenalanku dengan Rendra juga melalui sajaknya yang dibacakan oleh seseorang dalam channel youtube. Tulisan di bawah ini merupakan pembacaan pribadi; sebagian poin-poin penting/rangkuman dari apa yang kubaca dari buku Rendra: Ia Tak Pernah Pergi. Hampir keseluruhannya merupakan kutipan langsung, sebagiannya kuubah sedikit redaksinya.

Sajak adalah media perjuangan untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Tulisan Rendra selalu menyebabkan penikmatnya membayangkan suatu gambaran konkret menyentuh pengalaman. Itulah Willibordus Surendra Rendra, kelahiran Solo 7 November 1935. Tokoh Indonesia abad-20. Puisi bagi Rendra merupakan kekuatan bangsa menghadapi kekuatan-kekuatan yang dinilai sebagai musuh nurani bangsa itu sendiri. Rendra sempat menjadi lambang perlawanan Orde Baru. Puisi Rendra adalah puisi yang naratif, berkisah, dan menggali segi-segi yang terabaikan oleh dunia persajakan Indonesia. Tidak hanya sebagai penyair, Rendra juga dikenal sebagai teaterawan. Penggagas Bengkel Teater.

Seni tidak sebatas bentuk estetika, melainkan seruan hati nurani yang berfungsi kritis dan profetik. Seni harus kontekstual dan terlibat. Pembaca tulisan Rendra dibuatnya menjadi merenung, berefleksi, atau bercermin pada karya Rendra. Demikian menurut Bambang Sugiharto.

Rendra senantiasa mempertanyakan setiap gejala yang ditangkap inderanya, direnungkannya, dipertanyakannya kembali, dan seterusnya. Kumpulan-kumpulan puisinya menandai pergulatannya dengan situasi dirinya dan zamannya. Julukannya sebagai burung merak oleh Goenawan Mohammad. Lantaran sebagai seseorang yang pandai menari. Baik tubuh maupun kata-katanya.

Syu’bah Asa katakan, tidak ada seniman sejati yang tidak mencintai orang-orang papa. Putu Wijaya akrab dengan kawan-kawan gembelnya dan cekikikan bersama mereka, sementara Arifin C. Noer menyanyikan nasib para jelata dan nasib yang dihubungkannya dengan disain besar kosmis, adapun Rendra menggebrak untuk kepentingan orang-orang terlempar itu kepada dunia sebagai lingkungan nyata. Rendra barangkali seniman yang paling banyak berurusan dengan pemerintah, namun bukan karena ideologi.

Rendra menuturkan kesadaran untuk peduli terhadap lingkungan di sekitarnya pertama kali dikenalkan kepada dirinya oleh seseorang bernama Janadi, yang merupakan seorang pembantu dari kakeknya. “Mas Janadi menjadi guru pribadi saya sejak saya berumur 4,5 tahun.” Rendra menghabiskan masa kecilnya di Solo, Jawa Tengah. Pelajaran yang diberikan Mas Janadi dirumuskan dalam kalimat “Manjing ing Kahanan, nggayuh Karsaning Hyang Widhi” (Masuk dalam kontekstualitas, meraih kehendak Allah.) Bekalnya rewes (kepedulian) dan sih katresnan (cinta kasih). Pelajaran yang diberikan Janadi tersebut merupakan kunci proses kreatif Rendra.

Manjing ing Kahanan, nggayuh Karsaning Hyang Widhi” bermakna pula semangat untuk hadir dan mengalir. Hadir di tengah masyarakat, mengalir mengikuti perkembangan, hidup adalah universitas kehidupan bagi Rendra. Maka seorang kreatif harus selalu berusaha memiliki kepedulian terhadap lingkungan yang mengelilingi dirinya, dari saat ke saat. Mulai dari lingkungan-lingkungan terdekat: baju-bajunya, meja tulisnya, lemarinya, negaranya, segenap flora dan faunanya, tetangganya, bangsanya, bumi, langit, samudera, alam semesta raya. Janadi menganjurkan kepada Rendra bagaimana mengolah kesadaran pancaindra, kesadaran pikiran, naluri dan jiwa untuk lebih cermat dalam memedulikan lingkungan. Disiplin kepedulian harus dilanjutkan dengan langkah ngerangkul: keikhlasan untuk terlibat. Latihan keterlibatan ini harus dimulai dari lingkungan terkecil sampai jauh melebar.

Untuk melatih kepekaannya di dalam menyerap problematika sosial Rendra selalu mengaku memunculkan kesadaran indra, pikiran, hati dan naluri. “Ini harus jadi totalitas kesadaran.” Kata Rendra pula, “Saya heboh kalau sedang menulis, badan bergetar, bulu-bulu kuduk bisa berdiri. Tidak mungkin saya tuliskan kesedihan tanpa libatkan liver atau ginjal saya. Ekspresinya harus sertakan kelenjar-kelenjar tubuh, karena irama ada di situ.”

Tidak hanya bekerja di belakang meja, Rendra memasuki ruang-ruang sosial yang nyata yang sebelumnya tabu bagi citra romantisme kepenyairan kita. Bagi Rendra, Penyair harus berpihak dan tampil sebagai pembela martabat dan nurani manusia. Penyuara nurani bisa saja dibunuh, tetapi nurani itu sendiri tetap akan “hidup”, sebab setiap sejarah yang melahirkan ketidak-adilan, ia pun melahirkan martir-martir lain yang baru. “Dilarang dan tidak itu urusan pemerintah. Urusan saya adalah mencipta dan mencipta!”

Di Bengkel Teater diajari bagaimana lebur dalam kodrat alam semesta dan dalam kehendak Tuhan yang Maha Besar. Tiga tiang pokok yang dipelihara dan diperkembangkan adalah hukum akal sehat, hati nurani dan integritas pribadi. Sekolah seni terutama harus mengajarkan mata-mata kuliah yang bisa melatih kepekaan jiwa, pembentukan kepribadian-yang harus melewati peristiwa-peristiwa meditasi, pengajaran Yoga dan lain-lain. Kaun intelektual, seniman kreatif, selama ini keterlibatannya dalam seni kurang merupakan suatu keterlibatan hidup (kurang total, kurang jenuh, kurang utuh pribadi) senimannya. Rendra menggunakan teater sebagai pengendapan dari perasaan yang hidup dalam masyarakat pada zamannya. Dan, ini memang salah satu fungsi teater: refleksi dari masyarakat.

Rendra sosok penyair yang mengharuskan dirinya harus selesai dalam urusan ekonominya, alias harus mandiri. “Maka saya sekarang sudah beli kambing, sapi, Saya tahu, tak semua orang senang mengurus kambing dan sapi. Maka, saya bikin kursus bahasa Inggris, jadi kelak mereka bisa memperoleh penghasilannya dari keterampilannya…Saya tak percaya kesenian diajarkan dengan menarik bayaran. Kasihan, kan seniman hidupnya tidak pasti. Belum apa-apa sudah harus bayar. Akademi kerawitan masakan pakai uang segala. Padahal, nanti kalau lulus dari sana, belum tentu dapat imbalan sesuai dengan uang yang dikeluarkan…Pengajaran kesenian itu gratis…Makanya standar hidup harus diturunkan. Seperti sekarang ini teman-teman tidur di lantai, yang belum menikah tak punya kamar. Semua harus diusahakan pelan-pelan, tetapi yang penting harus dilakukan. Kalau tidak namanya meninggalkan kewajiban. Dengan adanya padepokan, saya ingin anggota Bengkel Teater punya kesejahteraan ekonomi yang mandiri, yang swasta…Memang tak semua orang punya rezeki seperti saya, dibantu anak istri untuk menjalani kepastian hidup. Yang tidak pasti saya bikin pasti. Pasti itu artinya hidup miskin. Orang miskin kan tidak perlu sengsara. Yang penting ada tikar ada atap. Buktinya saya lebih sehat dibandingkan orang yang tidur di tempat tidur.” Rendra membuat suasana luar biasa yang dibangun bersama bersama kawan-kawan Bengkel Teater seperti rajin membaca buku, menulis, mengekspresikan diri, tahan membaca, tahan diskusi, tahan seminar.

“Suatu impian, suatu cita-cita betapapun utopisnya, akan menuntun tangan kita untuk menarik garis yang mengacu ke sana dalam memetakan perencanaan di masa depan. suatu garis yang mungkin lain daripada arah yang secara robot kita ikuti, kalau enggan sejenak berkontemplasi.” ~Alfons Taryadi. Tak setiap orang punya keberanian untuk menyuarakan hati nuraninya, bahkan tak punya bakat dan kepekaan untuk menyuarakannya. Dari sekian ribu orang mungkin hanya sekian sastrawan, sekian politikus, dan kolumnis sosial-politik. Karenanya, sastrawan, politikus, dan kolumnis dinanti dan diharapkan setiap orang di setiap zaman. Sastrawan dan kesusastraan sosial-politik selalu dinantikan orang, selalu dirindukan generasi muda dari setiap dekade. Demikian menurut Beni Setia.

Rendra pernah ditanya mengenai masa depan Indonesia. Rendra menjawab, “Salah besar kalau Indonesia sudah tidak memiliki masa depan. selalu dan akan selalu ada masa depan buat Indonesia…belakangan saya mengamati makin banyaknya siswa SMU dan mahasiswa yang melalap habis buku-buku humaniora. Ini investasi budaya. Daya kritis tampak ketika mereka menggugat berbagai masalah kebangsaan dan lingkungan. Ini membanggakan.”

Bagi Rendra, kemajuan negara tidak mungkin diciptakan oleh penguasa. Yang bisa dilakukan penguasa paling jauh menyeret bangsanya maju setahap saja, tetapi perkembangan bertahap-tahap seperti di Inggris hanya bisa dicapai dengan kemampuan rakyat. Dan, itu bisa terjadi berkat dukungan daulat rakyat yang dilindungi oleh daulat hukum.

Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
(WS. Rendra)

“Dari kesusastraan, orang bisa banyak belajar banyak tentang manusia, kesadarannya, jiwanya, nalurinya, kelemahan-kelemahannya, lingkungannya, dan kebudayaannya. Masyarakat yang buta humaniora akan sulit beradaptasi dengan dunia modern dan akan babak belur dalam mengembangkan industrialisasi. Sebab menerapkan teknologi tanpa pengetahuan humaniora akan membawa dampak ketegangan sosial.”

“Rakyat Indonesia tidak pernah menjadi warga negara dengan hak yang penuh untuk bebas berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan, urusan pemerintahan, dan urusan kenegaraan…Rakyat yang tidak berdaya adalah rakyat yang kehilangan kemanusiaannya. Kekuasaan pemerintah yang absolut akan menjadi berhala. Ia bisa mengobrak-abrik tatanan moral dan peradaban.”

“Zaman revolusi, setiap orang biasa disapa dengan sebutan “bung” atau “saudara”. Akan tetapi kini, begitu kemerdekaan negara sudah mapan, mereka tak mau disapa seperti itu karena ingin disapa sebagai “bapak”. Kalau rakyat datang bertemu dengan birokrat disebut sebagai ‘menghadap’. Sikap birokrat yang sangat kurang ajar seperti itu, anehnya, sekarang ini malah disebut sebagai ‘tata tertib’…dalam perspektif budaya, reformasi politik-ekonomi takkan menjadi reformasi yang beneran bila tidak berhasil memberdayakan rakyat. Padahal setiap warga negara harus diberdayakan hingga masing-masing punya sumber nafkah, rumah tempat tinggal yang layak, dan seterusnya.”

Rendra kecil dikenalkan mengenai puisi oleh ayahnya sendiri, Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo. Dikenalkannya bentuk-bentuk puisi semacam soneta, pantun, stanza, dan sebagainya. Terlebih ketika diberikan pelajaran mengenai sandiwara. Ketika berulang tahun, ayahnya memberikan sebuah mesin tulis harapannya agar anaknya menjadi semakin produktif. Mulai saat itu sajaknya bermunculan. “Saya terlibat dalam pergerakan reformasi masyarakat sejak kanak-kanak, mengikuti ayah saya.” Ayahnya RSC Brotoatmodjo adalah guru bahasa Indonesia dan Jawa Kuno sebuah sekolah katolik dari Yayasan Kanisius, sementara ibunya seorang penari keraton. “Saya tumbuh dalam keluarga yang idealisasinya mengubah masyarakat untuk maju.”

Rendra seorang seniman sejati, sebagai kepala keluarga, hidup bersama dua istri dan tujuh anak, ibunya bahkan prihatin menyaksikan kehidupan putranya yang tanpa penghasilan tetap, selain dari honor bermain drama. Bahkan Rendra yang selalu menolak beberapa pemberian atau subsidi dari beberapa yayasan yang bermaksud bekerja sama dengan Rendra. Bagi Rendra, dalam gelimang uang dan kemewahan, orang bisa menjadi malas dan impoten. Rendra menolak malas-malasan dan kerja-kerja rutin yang tidak kreatif. Memilih untuk menelaan buku-buku, menjalani puasa serta seringkali tidur tanpa bantal, selain sepotong kayu yang keras.

Rendra meninggal setelah menderita serangan jantung koroner pada tanggal 6 Agustus 2009. Dimakamkan di TPU Bengkel Teater Rendra, Depok. Posisi seorang budayawan yang ideal itu tidak berpihak kepada apa pun dan siapa pun, tetapi kepada kebenaran. Rendra menyebut kelompok ideal seperti ini sebagai “mereka yang berumah di atas angin”.  Mengenang Rendra adalah mengenang keberaniannya menerobos batas dan kebebasannya berkreasi. Bukankah kebebasan berpikir dan keberanian melakukannya yang membawa perubahan?

Berikut salah satu puisi Rendra yang sarat akan kritik sosial;

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka.

Matahari terbit
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan

Aku bertanya.
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
………………………………….

Menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita-wanita bunting
antri uang pensiunan.
Dan langit
para teknokrat berkata:

Bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangunin,
mesti di-up-grade,
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor.

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala.
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………………………………………………..

Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku!
pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977
WS. Rendra

Disadur dari buku Potret Pembangunan dalam Puisi Karya WS. Rendra, diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Bandung. hal. 31.

Sumber gambar WS. Rendra: Kompas

Corona: Penjamin

Setelah hampir dua windu bekerja dan kontrak habis, terasa sekali bau menyengat nepotisme dikala seorang Bapak melamar pekerjaan. Saudara menejer utamakan sanak famili kerabat terdekat. Mengira gunakan sabda orang suci dalam konteks yang bermasalah. “Perhatikanlah orang-orang terdekatmu.” Orang biasa-biasa tak kenal koneksi, biasanya disuruh untuk bertawakkal dan shalat dhuha untuk didawamkan. Si Bapak anak lima mengelus dada menahan pahit.

Di masjid, semenjak Corona menyambangi manusia, tangan orang-orang diangkat lebih tinggi, berdoa. Hujan sepulangnya, Mas bakso pulang dengan kuyup dagangan habis. Ibu bercerita di kampung halamannya Mas cuanki berdagang ke luar kota, harus kembali karena dagangan tak laris.

Menyikapi wabah Corona, banyak manusia mengurung diri. Begitupula mas Cuanki dan keluarganya mengurung diri di rumah. Tidur menahan lapar. Mas becak yang tertidur melupakan nasibnya di belantara debu jalanan yang bosan menghinggapinya. Jangan andalkan filantropi mapan! Bahkan tak tahu apa perbedaan antara menyalurkan harta dan pencitraan membesarkan nama persyarikatan.

Berkahlah gerakan-gerakan alternatif. Sebut saja aliansi mahasiswa: Solidaritas Pangan Jogja. Kabar terbaru telah mendapat donasi hingga 100juta lebih dalam bentuk uang. Bermula dari ide sederhana dan perasaan mendalam kemanusiaan.

Nun jauh dari kota tersebut, kota kelahiranku menyisakan cerita lain. Tidak sedikit al-mahrum, kaum miskin struktural yang tak tega meminta-minta. Kini terpaksa untuk meminta. Youtuber bajingan belasan juta subsriber membuat penggalangan dana. Jancuk! Jual setengah asetmu! Tidak tahu malu pendapatanmu setara dengan pendapatan dua juta buruh pabrik kota besar yang kini sedang menyiapkan demonstrasi. Tiga juta buruh tani miskin. Masih pencitraan penggalangan dana. Tidak usah ajari manusia untuk berderma. Di kampungku masih ada kaum papa yang masih berkenan menampung orang difabel tuna wisma yang tak ia kenali.

Cukup ustadz. Barakallahu fikum. Tidak perlu ceramahi kami untuk bersabar. Hibahkan saja toko pakaian muslim, pakaian renang muslim, pakaian dalam muslim, yang kau promo-promo-kan di instagram.

Kini al-mahrum secara pribadi sudah memaksakan diri meminta. Stay at home tidak berlaku bagi pemulung, pedagang keliling dan ojeg pangkalan. Wabah corona tidak lebih menakutkan ketimbang kebutuhan pangan harian.

Dari sabda Nabi Muhammad saw., ‘Demi Rabb yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang hamba dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai tetangganya (atau saudaranya) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

Masyarakat sedang sulit. Kaum papa melamar kerja, sembari melawan rasa takut wabah. Corona tidak bisa menghentikan pedagang keliling agar tetap di rumah. Kaum borjuis gemetar menanti giliran positif terdamprat wabah. Aku memahami sabda Nabi di atas sebagai salah satu upaya yang bisa dilakukan. Seorang hendaknya menjamin tetangganya. Seorang perhatikan apakah mereka hari ini bisa makan. Apa yang menjadi kebutuhannya. Apa yang bisa meringankan beban kehidupannya. Tanpa wabah kehidupan sudah sulit. Terlebih lagi bila ada bunga rentenir yang melilitnya. Seorang yang lebih kaya menjamin dua hingga tiga keluarga. Seorang yang lebih kaya lagi menjamin lima keluarga. Penjaminan ini bahkan bukan sebagai keluarga dan tak memiliki ikatan darah apapun.

Penjaminan ini signifikan. Agar kaum papa yang berusaha mencari rejeki tidak pulang lunglai lemas menahan lapar. Agar hilang rasa cemas karena rumah yang tergadai karna hutang. Agar seorang pemberontak yang diPHK lantaran mengkritik atasannya yang zalim tetap mendapat jaminan hidup. Bahkan dosen sekalipun tak lagi mengompori mahasiswa untuk turun aksi atas kesewenang-wenangan, melainkan mereka sendiri yang memberi teladan. Semua penjaminan ini hendaknya diatur oleh seorang pemimpin yang terlebih dahulu dimiskinkan. Yang dibekali oleh masyarakat pemilihnya hanya dua fasilitas: sebuah pena dan buku. Siapa yang mau jadi pemimpin?

Hati Kahlil Gibran: Diantara Kata (2)

  1. Jiwaku mengajar dan mendidikku untuk mencintai apa yang orang lain benci dan menjadi teman bagi siapa yang dicaci-maki. Jiwaku menunjukkan pada diriku bahwa cinta juga merasa bangga terhadap dirinya, bukan hanya orang yang dicintainya. Lebih dari itu, juga kepada orang yang mencintainya. Sebelum jiwaku mengajariku, cinta hatiku seperti benang tipis yang terikat pada dua pasak. Tetapi kini cinta telah menjadi sebuah lingkaran keramat yang permulaannya adalah akhir, dan akhirnya adalah awal. Cinta itu mengelilingi setiap makhluk hidup dan perlahan-lahan berkelana kemana-mana, memeluk siapa saja yang dapat direngkuhnya.
  2. Jiwaku mengajariku dan mendidikku untuk mendengarkan suara-suara yang tidak terucap oleh lidah, taring, dan bibir.
  3. Kemarin kita menunduk-nunduk pada sang raja dan menundukkan kepala kita di hadapan sultan. Tetapi hari ini kita tidak menaruh hormat kecuali kepada kebenaran, dan tidak mengikuti seorang pun kecuali keindahan dan cinta.
  4. Kita adalah pikiran diam yang tersembunyi di pojok-pojok kelupaan.
  5. Aku juga bertanya, adakah di bumi ini orang yang tidak menyembah kata-katanya sendiri?
  6. Masih banyak lagi suku dan marga pembual yang jumlahnya tak terhitung. Yang paling aneh menurutku adalah suku penidur yang anggotanya selalu membuat onar dunia dengan dengkurannya, dan ketika bangun, selalu berteriak-teriak, “Betapa terpelajarnya kami ini”
  7. Seorang cendekiawan tidak dapat menjadi orang yang bersih sekaligus cerdas.
  8. Untuk apakah buku-buku dan berlembar-lembar catatannya yang membusuk dan segera menjadi debu itu? bukankah dia lebih baik bekerja sebagai pembantu, misalnya membantu seorang sopir, sehingga kesehatannya terjamin dan hidupnya lebih berguna?
  9. Akankah datang suatu masa ketika alam menjadi guru bagi manusia, kemudian manusia menjadi buku-bukunya dan kehidupannya menjadi sekolahnya?
  10. Bagaimana mungkin kemanusiaan hidup dapat memperoleh pengetahuan jika jiwa belum bebas dari ikatan dunia?
  11. Tidakkah diamnya malam meninggalkan sebuah lagu di kedalaman hati yang paling dalam dengan harapanmu untuk menemui sang fajar?
  12. “Wahai sang pecinta, di manakah aku bisa memperoleh ketenangan hati? Aku dengar dia datang bergabung denganmu di sini.”. dan sang putri cinta menjawab, “Ketenangan hati telah pergi menasihati pengikutnya, dimana ketamakan dan korupsi menjadi prioritas. Dan kita tidak membutuhkannya.” Keberuntungan tidak butuh ketenangan hati, sebab dia adalah harapan duniawi, dan hasratnya dipeluk oleh penyatuan dengan objek. Sementara ketenangan hati itu sia-sia, namun sepenuh hati. Jiwa yang abadi tidak pernah terisi, ia hanya mencari kemuliaan.
  13. Wahai manusia, perempuan itu adalah refleksi dirimu, dan apa pun engkau, di mana pun kau hidup, dia hidup. Dia laksana agama, dan jika tidak ditafsirkan oleh orang dungu, dia bagaikan bulan di saat benderang, dan laksana angin sepoi-sepoi andai tidak diracuni oleh polusi.
  14. Manusia dan aku adalah sepasang kekasih. Aku rindu padanya dan dia pun merindukanku.
  15. Kekasihku mencintai diriku. Dia mengatakannya padaku, tapi dia hanya menjumpaiku dalam tindakan Tuhan. Dia mencariku dalam gudang besar kemuliaannya yang dia bangun di atas tengkorak penderitaan orang lain. Dia juga mencariku di antara timbunan emas dan peraknya, tapi dia hanya dapat menemukan diriku dengan datang ke rumah kesederhanaan yang telah Tuhan bangun di atas gundukan aliran cinta.
  16. Aku akan memperkaya jiwaku dengan semua rasa cintaku. Kekasihku telah mengenali kegegeran dan kegemparan dari musuhku, yaitu benda. Aku akan mengajarinya meneteskan air mata dan kasih sayang dari padang-padang jiwanya melalui air mata keluh kesah kesenangan yang diungkapkan. Manusia adalah kekasihku. Aku ingin mereka memiliki diriku.
  17. Orang-orang yang menulis dengan tinta itu tidak seperti orang yang menulis dengan darahnya hati. Diam yang tercipta karena rasa bosan itu tidak seperti diam yang terwujud karena rasa sakit. Adapun aku, aku diam karena telinga-telinga manusia telah lari dari kaum lemah dan dari rintihan mereka. Manusia telah memperuntukkan kesenangan hawa nafsu dan hingar bingarnya, sedangkan hikmah-hikmah bagi orang yang lemah adalah diam ketika orang kuat yang berusaha berbicara tentang segala yang ada. Itulah orang kuat yang tidak rela dengan sesuatu selain meriam-meriam sebagai lisan, dan tidak menerima dengan selain bom-bom sebagai ucapan-ucapan.
  18. Alam telah kembali kepada fitrahnya yang suci murni, karena itu apa yang telah dibangun oleh generasi-generasi umat manusia berupa ilmu dan seni telah dirobohkan oleh manusia yang menuruti ketamakan dan hedonis. Karena itu keadaan kita hari ini adalah keadaan para penduduk goa yang tidak membedakan kita dengan mereka, kecuali alat-alat yang kita jadikan sebagai sesuatu indah untuk meruntuhkan, dan kecerdikan untuk menghancurkan.
  19. “Dan sesungguhnya aku, meskipun aku telah menjadi bagian paling akhir zaman, aku pasti datang dengan membawa segala sesuatu yang belum bisa dilakukan oleh orang-orang terdahulu.”
  20. Kini pandanglah aku, yang hanya berupa seuntai kata yang maknanya sangat samar dan membingungkan. Ia sering kali tak memiliki makna. Namun, seringkali pula ia mengerami jutaan makna.

Anak Pinggiran Kota Besar

Jatuhku tanpa beban. Ketika sore di usia belia kuiisi dengan hanya bermain bola di lapangan perumahan beralas rumput berbekal uang jajan. Keringat selepas main dibayar oleh air segar untuk mandi dan makanan yang siap di meja makan. Tidur tanpa rasa takut, pikiran hanya menuju: apakah guru akan memarahi akibat PR yang tidak kukerjakan sungguh-sungguh. Orang tua katakan untuk tidak lupa sarapan, sembari mewanti-wanti agar tidak sisakan makanan, minum susu, dan bersyukur kepada Tuhan. Dibekalinya roti dan uang.

Meski darah manusia berwarna sama, lagu nasib tidak semua merdu. Nasib seorang gelandangan yang berlari mengejar Bus Kopaja. Harus jatuh tersungkur di antara keramaian. ‘Anak’, pekikku dalam samudera hati. Bajumu tak membohongi takdirmu. Sejatuhnya dari bus kau bahkan tidak mengekspresikan rasa sakit atau sedih. Orang-orang didekatnya bahkan tak mengejar kemudian membangunkan dirimu. Bahkan preman meneriaki Bus, ‘Sudah tidak usah ditunggu’. Berbekal lap lusuh, dirimu membersihkan mobil plat merah yang bahkan tidak kotor. Memang tidak sedikit manusia mencintai benda dibanding sesamanya.

Anak. Apakah pipimu tidak terluka? Luka yang membekas di aspal jalan akan segera terhapus hujan. bagaimana caranya agar bisa sabar dan memaafkan manusia-manusia serakah. Hatimu begitu besar menerima takdir. Tidak ada yang tahu orangtuamu sudah wafat, bunuh diri lantaran bunga rentenir yang kian mencekik. Atau bahkan dirimu yang masih bertanggung jawab kepada adikmu yang lugu. Bagaimana bisa wajahmu tidak menyimpan dendam. Menangislah, Anak. Bahkan dunia harus mendengar tangismu. Terbuat dari apa hati manusia kini?

Sementara di seberang jalan, seorang Bapak paruh baya menawarkan buku-buku pada mahasiswa. Untuk sekardus buku, si Bapak membutuhkan uang dua ratus ribu rupiah. Sang mahasiswa merasa enggan karena uang yang tempo dulu belum kunjung dikembalikan. Buku-buku yang ditawarkan pun tidak sesuai dengan minatnya. Tidak sedikit Bapak-bapak yang demikian halnya, tidak bisa mengembalikan hutang, atau bahkan orang lain yang menipu. Menipu kini merupakan softskill bertahan hidup. Penipuan pertanda bangsa ini waras. Di samping lapangan pekerjaan yang sedemikian sulit, serta kesenjangan sosial membumi langit. Beruntung pelarian tidak sepenuhnya pada bunuh diri. Pekerjaan apa kini yang bebas dari menipu? Ah. Aku malah tidak bisa membedakan ‘menipu’ dalam denotasi dengan ‘kedok’ yang menjadi baju sehari-hari manusia.

Pada saat tanganku masih menyusun tulisan ini, aku bahkan masih mengingat-ngingat perjumpaan mataku melihat si Anak yang terjatuh dari bus tersebut. Dalam perjalanan menuju stasiun, aku kala itu tak bisa berbuat apa-apa. Anak yang menghabiskan waktunya dengan bekerja. Tempat tinggal yang kekurangan air bersih. Tidur dengan rasa takut. Pikiran menuju: jemput karunia Tuhan sepagi mungkin. Memeluk diri menggigil saat malam. Ternyata tulisan Kahlil Gibran membuat mataku melihat pada sudut-sudut dunia yang ‘terabaikan’. Manusia papa yang ‘kasat mata’ membuat orang-orang lebih memilih kesibukan dan ambisi kantor serta pabrik. Bekerja kini dilakukan demi terpenuhinya keinginan tak berdasar. Sementara industri tak henti-hentinya menyuguhkan barang dan promosi. Gibran dari abad-19 berbicara kepadaku agar manusia modern harus memperbanyak buku-buku sastra.

Gibran katakan, ‘Cinta lebih utama daripada kebaikan yang tak mengandung cinta; karena air mata cinta lahir dari kedalaman jiwa seperti makhluk bernyawa.’ Juga, ‘Harta yang yang jika tidak digunakan untuk kepentingan dan atas nama roh, akan lebih mengerikan daripada segala petaka dunia.’ Juga, ‘Apa yang dapat diperbuat untuk mereka yang sekarat? Penderitaan kita takkan melenyapkan kelaparan mereka. Dan air mata kita takkan memusnahkan kehausan mereka; Apa yang dapat kita perbuat untuk menyelamatkan mereka. Dari tengah-tengah cakar-cakar besi kelaparan? Saudaraku, kebaikan hati yang mendorongmu. Untuk memberikan sebagian dari hidupmu. Kepada seidkit manusia yang tengah berada dalam bayang-bayang kehilangan hidupnya. hanyalah kebajikan yang menciptakan bagimu cahaya siang dan kedamaian malam yang pantas. Ingatlah saudaraku, uang yang kau berikan ke dalam tangan lemah. Yang menadah ke arahmu. Hanyalah rantai emas yang mengikat hatimu yang kaya. Dari hati Tuhan yang penuh cinta.

Mendistribusikan harta tidak lantas membuat diri kekurangan. Sastra yang melembutkan hati, tidak hanya soal percintaan menuju pelaminan.**

Hati Kahlil Gibran: Diantara Kata

 

  1. ‘Cinta lebih utama daripada kebaikan yang tak mengandung cinta; karena air mata cinta lahir dari kedalaman jiwa seperti makhluk bernyawa.’
  2. ‘Harta yang yang jika tidak digunakan untuk kepentingan dan atas nama roh, akan lebih mengerikan daripada segala petaka dunia.’
  3. ‘Apa yang dapat diperbuat untuk mereka yang sekarat? Penderitaan kita takkan melenyapkan kelaparan mereka. Dan air mata kita takkan memusnahkan kehausan mereka; Apa yang dapat kita perbuat untuk menyelamatkan mereka. Dari tengah-tengah cakar-cakar besi kelaparan? Saudaraku, kebaikan hati yang mendorongmu. Untuk memberikan sebagian dari hidupmu. Kepada sedikit manusia yang tengah berada dalam bayang-bayang kehilangan hidupnya. Hanyalah kebajikan yang menciptakan bagimu cahaya siang dan kedamaian malam yang pantas. Ingatlah saudaraku, uang yang kau berikan ke dalam tangan lemah. Yang menadah ke arahmu. Hanyalah rantai emas yang mengikat hatimu yang kaya. Dari hati Tuhan yang penuh cinta.’
  4. ‘Orang-orang yang berduka akan menganggap ratapan sebagai kesenangan seorang pecinta yang menemukan hiburan di dalam gairah jiwanya, sementara orang yang tertindas merasa lega berada dalam doanya.’
  5. ‘Semua itu (harta kekayaan) sama sekali tidak berarti dibanding sekilas waktu berada dalam cinta sejati yang tak memiliki kekayaan apapun, tapi tetap agung’
  6. ‘Aku telah menyaksikan sendiri bagaimana kereta kuda milik suamiku, ditambah harta kekayaannya ruah di gudang harta, sama sekali tidak sebanding dengan kedip mata pemuda miskin yang telah ditakdirkan diciptakan untukku dan untuknya aku diciptakan. Ia begitu sabar menanti dalam duka serta menahan diri dalam perpisahan yang mencabik-cabik.’
  7. ‘Apa yang kalian cari, kaum sebangsaku? Apa yang kalian minta. Dari kehidupan yang tiada lagi. Menganggapmu putra pertiwi?’
  8. ‘Ilmu itu cahaya yang memperkaya. Siapapun boleh mencarinya. Tapi kalian, kaum sebangsaku. Mencari kegelapan dan menghindari cahaya. Menunggu air terbit dari batu. Dan kesengsaraan bangsamu. Adalah kejahatanmu. Tak kuampuni kalian dari dosa-dosamu. Sebab kalian menyadari apa yang dijalani.’
  9. ‘Kemanusiaan adalah sungai cemerlang. Yang bersenandung dalam tamasya riang. Membawa rahasia gunung tua. yang dialirkan ke dalam jantung samudra. Tapi kalian, kaum sebangsaku. Bagaikan genangan rawa-rawa. Yang dicemari hama. Dan ular berbisa.’
  10. ‘Sengsaralah kamu, musuh-musuh Yesus, yang menggerakkan bibirmu dengan doa-doa sementara hatimu ditumpuki nafsu birahi.’
  11. ‘Mereka memenjarakan badannya, tapi jiwanya berlayar bebas bersama angin semilir di antara bukit-bukit kecil dan padang rumput.’
  12. ‘Penyiksaan tak bisa melukai orang-orang yang tegak berdiri bersama kebenaran. Bukankah Socrates dengan bangga mengorbankan dirinya? Bukankah Santo Paulus dilempari batu demi menyelematkan kebenaran?’
  13. ‘Oh Yesus, mereka telah membangun gereja-gereja ini demi diri mereka sendiri dan menghiasinya dengan sutra bercampur emas. Mereka membiarkan makhluk-makhluk-Mu yang terpilih miskin dan dingin. Mereka memenuhi angkasa dengan asap kandil yang menyala dan kemenyan, tapi membiarkan makhluk-makhluk-makhluk-Mu yang beriman tanpa roti. Mereka yang mengalunkan suaranya dengan lagu-lagu pujian, tapi menulikan diri pada tangisan dan rintihan janda-janda dan anak-anak yatim.’
  14. ‘Adakah kedamaian? Adakah dia dalam mata bayi-bayi yang menyusu pada buah dada kering ibu-ibu mereka yang lapar di gubuk-gubuk dingin? Atau apakah dia dalam pondok-pondok kumuh kelaparan yang tidur di atas ranjang keras dan membutuhkan sepotong makanan yang oleh para pendeta dan biarawan diberikan kepada babi-babi gemuk mereka?’
  15. ‘Bagi kami hidup ini hanyalah sebuah sel gelap perbudakan’
  16. ‘Kalian begitu banyak dan aku hanya sendirian, maka bicaralah tentangku semau kalian. Biarpun serigala-serigala memangsa anak-anak domba dalam gelap malam, noda-noda darah akan tetap tinggal di atas bebatuan lembah hingga fajar menyingsing dan sang surya bersinar kembali.’
  17. ‘Gunung-gunung serupa elang kesepian dan melewatkan malam-malam pengembaraan di gurun-gurun pasir bagai singa yang gelisah. Maukah kau memedulikan seseorang yang memandang cinta hanya seperti seorang penghibur dan menolak menerimanya sebagai majikannya?’
  18. ‘Akankah kau menerima sebuah hati yang mencintai, namun tak pernah memberi? Yang membakar, namun tak pernah meleleh? Akankah kau merasa senang dengan jiwa yang menggigil di hadapan badai, namun tak pernah menyerah? Akankah menerima seseorang sebagai sahabat yang tak menciptakan budak-budak? Akankah kau memiliki diriku tapi bukan mempunyaiku dengan mengambil tubuhku dan bukan hatiku?’
  19. ‘Bangsaku mati karena kelaparan. Dan dia tidak binasa karena penderitaan kelaparan dibunuh dengan kiluan pedang. Dan aku di negeri yang jauh. Mengembara di tengah-tengah bangsa yang bergembira. Dan tidur di atas ranjang-ranjang lembut. Tersenyum pada hari-hari tersenyum padanya.’
  20. ‘Bangsaku mati kesakitan dalam kematian yang memalukan. Di sini aku hidup makmur dan damai. Inilah tragedi mendalam yang selalu bermain-main di atas panggung hatiku yang pedih. Sedikit orang yang mau menyaksikan drama ini. Karena bangsaku serupa burung-burung dengan sayap-sayap patah. Yang ditinggalkan oleh kawan-kawannya.’
  21. ‘Jika aku lapar dan hidup di tengah bangsaku yang sangat lapar. Tersiksa di tengah bangsa yang tertindas. Dibebani hari-hari kelam yang akan lebih bercahaya di atas mimpi-mimpi resahku. Dan kegelapan malam yang berkurang gelapnya di hadapan mataku. Dan ratapan hati dan jiwa yang luka. Karena dia yang menanggung dukacita dan penderitaan bersama kaum sebangsanya. Akan merasakan kesenangan tertinggi. Yang hanya diciptakan oleh penderitaan dalam berkorban.’
  22. ‘Tapi aku tidak hidup kelaparan dan menganiaya orang-orang. Yang berjalan dalam arak-arakan kematian menuju kesyahidan. Aku disini di seberang lautan luas. Hidup dalam bayang-bayang kesentosaan yang nyaman dan dalam matahari kedamaian. Aku jauh dari arena yang menyedihkan dan menderita. Tak bisa membanggakan sesuatu, karena bukan dari air mataku sendiri.’
  23. ‘Apa yang bisa dibuat seorang putra terbuang untuk bangsa yang tengah mati kelaparan. Dan apakah maknanya bagi mereka yang meratapi seorang penyair yang telah tiada?’
  24. ‘Aku telah berkata, ‘Mati demi kemerdekaan lebih mulia daripada hidup lemah. Karena dia yang memeluk kematian dengan pedang kebenaran dalam genggaman tangannya. Akan mengabdi bersama keabadian kebenaran. Karena kehidupan lebih lemah dari pada kematian. Dan kematian lebih lemah daripada kebenaran.’
  25. ‘Betapa menyakitkan kata-kata nasihat dari yang beruntung untuk hati yang sengsara! Dan betapa kesahajaan adalah kekuatan manakala ia berdiri sebagai penasihat di antara yang lemah!’
  26. ‘Inilah saatnya ketika orang-orang berlaku ramah kepada orang lain. Yang kaya mengingat si miskin dan yang kuat merasa kasihan kepada yang lemah.’
  27. ‘Manusia telah menyembah diri sendiri sejak permulaan, menyebut dirinya dengan gelar terhormat, hingga sekarang. Apabila ia menggunakan kata Tuhan berarti sama dengan dirinya.’
  28. ‘Tiada pidana yang lebih berat daripada yang dijalani oleh seorang wanita yang mendapati dirinya terperangkap antara seorang pria yang dicintainya dan seorang pria lain yang mencintainya.’

Utopia Cinta Berkeadilan Sosial

“Memang mau ngasih makan suami dan anak-anak, apa?” Dunia dan era modern dieluk-elukkan sebagai gejala positif. Ungkapan yang bertahan tetap saja, “Mau ngasih makan istri dan anak-anak, apa?” tanya kepada seorang lelaki lajang. Stigma dipertahankan, bahkan di benak seorang perempuan karir bergaji berlipat-lipat di atas UMR. Perempuan tidak sedikit menetapkan kriteria mutlak untuk menjadi pendampingnya agar ‘setara’ dari segi penghasilan, bahkan harus di atasnya dengan dalih lelaki bertanggung jawab terhadap segala hal dalam bangunan rumah tangga. Kalau pun memang ada pemikiran perempuan yang seperti ini, tentulah pemikiran tersebut menyebalkan.

Dengan sendirinya lelaki-lelaki bersaku egaliter terfilter. Lelaki mana memujanya berpikir keras agar menghasilkan gaji a la kapitalis. Oh oh cara instan memang berisiko. Tentu upaya membangun tidak dimulai dari logika perkulian. Membangun pondasi kuat dengan besi, semen, pasir, kerikil dan batu bata. Solusinya: begal, rampok dan korupsi. Sudahlah, cara tersebut memang terkesan mengada-ada…yang memang ada. Akan tetapi, poin penting tulisan ini, mengapa tidak familiar ungkapan, “Mau ngasih makan suami dan anak-anak, apa?”

Pasangan mana yang tak mengidamkan pernikahan sebagai langkah berikutnya setelah proses saling mencinta. Patut pula dipertimbangkan kata-kata Sujiwo Tejo, kurang-lebih ‘Menikah itu nasib, mencintai itu takdir, seseorang bisa merencanakan nikah dengan siapa, tetapi tidak bisa ia rencanakan cintanya untuk siapa’. Kupahami dengan akal dangkalku, cinta dan pernikahan memang tidak selalu berbanding lempeng, tetapi apakah salah satu penyebabnya adalah karena urusan perekonomian lelaki yang harus mapan. Tidak ada yang tahu. Aku pun tidak bisa meminta bantu kepada ilmuwan untuk menjawabnya lantaran sibuk menangani virus corona. Tidak pula kepada ‘ustadz’ karena takut dianggap kafir karena mengingkari ayat al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa.

“Mau ngasih makan suami dan anak-anak, apa?” sebuah ungkapan yang bukan dimaksudkan perempuan agar cuma bisa memasak. Lebih dari itu, hal ini persoalan mental dan kesadaran perekonomian tiada lain menjadi keniscayaan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Perempuan kaya menikahi lelaki kaya. Perempuan miskin tiada pilihan lain. Adakah cinta berkeadilan sosial, seperti halnya perempuan kaya menikahi lelaki miskin dengan itikad memajukan perekomian bangsa. Ah bullshit. aku lupa. Cinta memang hal rumit. Kata Sujiwo Tejo, ‘seseorang memang tidak bisa merencanakan cintanya untuk siapa’. Tetapi untuk menikah, nanti dulu. Cinta berkeadilan sosial barangkali hanya ada pada cinta seorang tante/janda kaya kepada brondong. Dan seorang Om pengusaha kepada wanita malamnya.

Pejalan Kaki

Manusia memuja kesempurnaan. Menghindari terik panas, memuja pada peradaban keberadaan majunya teknologi kekinian. Seorang pejalan kaki menghindari pemotor melawan arah. Pada pagi hari sekitar pukul setengah enam. Tidak ada pejalan kaki lain, selain…orang majenun. Apa sebab musabab orang gila terlihat ramai tidak seperti biasanya. Para pelajar tidak banyak berjalan kaki menuju bangku sekolahnya. Orang tua menitipkannya kepada ojek online. Banyak rumah yang hilang ketika seseorang di atas kendaraan. Bahkan tidak menyadari keberadaannya ketika ia sedang berjalan.

Seorang pelajar kini bangga menggunakan kacamata. Seseorang pada masa dahulu bahkan menyebutnya sebagai aib. Kacamata dahulu seakan simbol kecerdasan. Kini adalah isyarat kritik sosial terhadap pembangunan membabi-buta. Mata terbatas pandangannya. Kaum papa bersembunyi dibalik gedung pencakar langit. Buruh bangunan membangun hotel. Pada malamnya pondong rumah kehujanan genting bocor. Upah mereka diberi dengan guyon dan ucapan terimakasih. Anak bos perusahaan hotel sudah kaya sejak dalam kandungan. Uang dimonopoli. Santunan sebagai pencitraan dan penegasan kedermawanan.

Sebagian pelajar dasar diantar oleh Ayah menuju sekolahnya. Pemulung mengais rezeki melalui satu tong sampah menuju lainnya. Sampah menjadi permasalahan serius. Tidak desa-tidak kota. Tidak saja menjadi berita yang diblow-up mengalihkan permasalahan politik. Sampah kini menjadi ‘sahabat’ bagi ekologi. Sampah menjadi ‘kreatifitas’ gagal manusia dalam menjaganya. Sang pejalan kaki berkata dalam hatinya, ‘…Agar tidak menumpuk. Seharusnya sampah tidak dibuang. Manusia harus bisa mengolah sampahnya sendiri. Sampah jangan menjadi rezeki bagi manusia papa.’ Rumah-rumah kini tidak ada yang menyediakan tempat sampah.

“Maaf, Nak, Bapak ngga bisa antar kamu ke sekolah gunakan mobil. Ndak dapat izin dari kepolisian. Teman-temanmu sudah pergi duluan ke sekolah.” Seorang ayah tidak bisa gunakan mobilnya di jalanan. Mobil kapasitas empat orang, harus diisi empat atau lima orang agar mendapat izin kepolisian. Warga tidak bisa semena-mena gunakan kendaraannya. Dua hari silam polisi menilang kendaraan. Tidak lagi karena razia atau pelanggaran rambu lalu lintas, melainkan karena sebuah mobil hanya diisi oleh satu orang. Kepolisian mewajibkan jalan kaki atau onthel, dibanding harus ‘bermanja’ dengan kendaraan.

Anak harus terlambat ke sekolah karena berjalan kaki. Guru tidak memarahinya. Guru katakan, “Sepanjang perjalanan apakah kamu melihat orang yang lapar atau dilanda rasa takut?” Setelah menjawab, sang guru yang tak berpenampilan sepertinya halnya guru, mengumumkan pelajaran selanjutnya adalah pendidikan agama. Pertemuan sebelumnya membahas mengenai sirah Nabi Muhammad saw. Semua anak dari berbagai agama, dengan antusias mendengar cerita dari guru mengenai keteladanan Nabi dalam membela orang-orang lemah ekonominya. Giliran pertemuan kali ini adalah pembahasan mengenai agama hindu. Giliran Mahatma Gandhi menjadi pembahasan dan keteladanannya mengenai konsep ahimsa.