Tag: konsumerisme

Biawak Tunisia, Kadal Aljazair

“Seorang akademisi, mereka itu pasti bicara by literature menurut mereka, artinya sumber-sumber yang dipercaya menurut mereka. Kan tidak perlu semua orang percaya dengan sumber-sumber mereka, saya juga punya sumber sendiri…hanya keberaniannya ada atau tidak? Keberanian untuk mengungkapkan yang berbeda dan logis.” –Budi Setiawan a.k.a. Budi Dalton, Dosen-Aktor.

“Tapi saya pikir hadiah terbesar yang diberikan pada saya dan banyak dari kita adalah kesempatan untuk menggunakan suara kita untuk mereka yang tidak bersuara…saya pikir, kita takut akan ide perubahan personal, karena kita mengira bahwa kita harus mengorbankan sesuatu, melepaskan sesuatu. Tetapi manusia terbaik adalah yang sangat inventif, kreatif dan pandai. Saya pikir ketika kita menggunakan cinta dan kasih sayang sebagai prinsip, kita bisa membuat, mengembangkan, dan mengimplementasikan sistem perubahan yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup dan lingkungan.” Joaquin Phoenix dalam pidatonya ketika memenangi Oscar Best Actor 2020 melalui film Joker.

 

 

Tidak terasa. Sudah banyak sarjana diwisuda. Setelah sekian waktu orang bertanya kapan. Bukan aku. 2 KB 2 GB. Data mengalir yang kini tertuju pada pidato pertama rektor baru disaksikan secara online.

Dengan gaya nyeleneh kekinian. Pernah memamerkan sebuah lukisan melalui salah satu medsosnya. Apakah Pak Rektor tertarik menjadikan melukis atau teater menjadi matakuliah wajib perkuliahan?

Siapa tahu mahasiswa bukan saja pandai melukis tentang gunung kembar dengan matahari di antara keduanya atau laut dan pohon kelapa. Namun juga pandai menggambar klepon atau martabak.

Belajar dengan Bapak sebelum menjadi rektor sangatlah menyenangkan. Sebelum menjadi rektor, aku menyalami Bapak, padahal ketika itu aku sedang bersiap futsal, dengan kaos futsal oranye namun masih memakai celana jeans. Bapak bilang, “Bajunya bagus. Kalau kamu masuk kelas saya, ndak apa-apa.”

Penasaran. Singkatnya, setelah mengambil matakuliah beliau, tidak ada aturan di kelasnya kecuali mahasiswa yang masuk harus punya bekal bacaan yang cukup. Tidak ada presentasi: yang ada, Bapak hanya menunjuk acak mahasiswa, lalu tanya: “Anda membaca apa?” Lalu mahasiswa yang ditunjuk menjelaskan bla bla bla. Kalo hasil bacaannya singkat, biasanya dikomen, “Udah? itu saja?” atau kalau cukup bagus, “Nah ini baru mahasiswa saya.”

Namun karena sudah tau triknya. Pokoknya yang penting asal ngomong panjang. Biasanya beliau respon dengan pura pura tidur atau pura pura berpikir. Berkuliah begitu sederhana namun menggugah. Kuliah berarti sharing soal bacaan beragam yang tak terbatas. Layaknya kritik pada kelas perkuliahan kebanyakan yang monolog dari dosen atau presentator yang mirip khutbah Jum’at dibanding diskusi ilmiah. Di buka dengan doa. Di akhiri dengan doa. Tidak ada bantahan-perdebatan, atau ide segar muncul ke permukaan. Malu malu tai biawak Tunisia. Malu malu tai kadal Aljazair.

Seakan beliau katakan tak penting baju yang dikenakan, tapi persiapan atau ide yang mahasiswa geluti.

Ah, kok aku malah tulisanku mengalir dengan damai berbicara soal wisuda dan suasana perkuliahan. Padahal aku mau curhat moodku memburuk ketika mendengar seorang teman yang ditolak judul skripsi oleh dosennya. Teman kirimkan screenshot percakapannya. “Ganti judl sj mas geh. Cari tokoh yang otoritatif di bidang tafsir ya. Gak meyakinkan tokoh yang dikaji. Tidak ada diskursus akademik yg cukup signifikan utk dikaji.”

Barangkali lantaran aku yang sudah membaca cukup banyak karya-karya tokoh tertolak dalam proposal skripsi temanku itu, prasangka buruk ku katakan sang dosen belum cukup membaca tokoh kajiannya. Aku ngga mengatakan Eko Prasetyo (Ekopras) seorang mufasir. Dalam karya terbarunya “Tafsir Progresif Al-Ashr” beliau katakan memang karyanya bukan tafsir, juga sebetulnya dikatakan hal senada dalam karya-karya sebelumnya, Al-Alaq dan Kitab Pembebasan. Namun sebagai seorang aktifis, Bung Ekopras berusaha memahami ayat-ayat al-Qur’an menurut kemampuannya. Aku hanya berpendapat gagasan-gagasannya layak diteliti.

Bukankah semua soal perspektif atau problematisasi. Apa karena beliau bukan seorang ‘ulama’, tidak paham bahasa Arab serta syarat-syarat mufasir lain yang ketat.

Pikiranku berkelana menuju tulisan Ingrid Mattson. Dikatakan di dalamnya: “Tuhan memberi kaum muslim, individual maupun kolektif, penglihatan dan pendengaran, dan kecerdasan untuk mempelajari konteks linguistik dan historis al-Qur’an. seseorang tidak mungkin menguasai semua aspek ajaran al-Qur’an meskipun ia habiskan seluruh masa hidupnya…Memang, banyak orang Islam paling berpengaruh (secara positif atau negatif) yang membuat klaim tentang al-Qur’an pada abad ke-20 tidak dididik sebagai ulama.

(Ingrid Mattson mencontohkan) Sayyid Qutb dikenal sebagai penulis yang menarik perhatian orang Arab dengan pemaparannya tentang keputus-asaan banyak orang terhadap para penguasa di Timur Tengah yang sombong dan menindas. Ia menuliskan kegelisahannya  itu dalam tafsirnya yang terkenal, Fi Zhilal al-Qur’an.

Abu al-A’la al-Maududi pendiri Jemaat-e-Islami di India…adalah seorang jurnalis. Dengan diterimanya argumentasi bahwa pintu ijtihad harus dibuka dan bahwa ijma’ harus diperluas sehingga bisa mencakup suara orang-orang nonpakar, para penulis seperti Qutb dan Maududi tidak merasa terhalang oleh latar belakang keilmuannya untuk menerangkan makna al-Qur’an.”

Sialnya aku dalam tulisan ini seperti mencari pembenaran dan pembelaan. Tapi kurangajar juga dosen itu. Seorang temanku yang lain bermaksud meneliti teori maqashidnya setelah pengukuhan guru besarnya. Dosen itu girang dan menunjukkan langkah-langkah selanjutnya agar teorinya bisa diangkat sebagai penelitian. Oh, apa karena Ekopras bukunya tak berjudul bahasa Arab, atau namanya tidak ada Abu atau ada Al Al nya, bacaan dosennya bermasalah atau aku yang bebal.

Berapa banyak skripsi membahas mengenai Sayyid Qutb atau Maududi. Ahsudahlah.

Pikiranku mengembara pada tulisan Ziauddin Sardar mengenai Otoritas Penafsiran. Sebelumnya, padahal melalui dosen itu dalam ruang perkuliahan yang selalu menekankan bahwa teks al-Qur’an terbatas, sementara konteks yang melibatkan tafsir al-Qur’an harus selalu aktual seiring dengan berkembangnya zaman. Mengkritik tafsir al-Qur’an tidak sama dengan mengkritik al-Qur’an.

Dalam tulisan Sardar: “Untuk mempertahankan dominasi mereka atas orang yang mungkin menafsirkan al-Qur’an atau membacanya dengan cara yang berbeda, para ulama itu menggunakan sejumlah taktik. Mereka mereduksi konsep al-Qur’an tentang ‘ilm, yang merujuk pada semua jenis pengetahuan, menjadi hanya berarti pengetahuan agama. Kemudian, mereka menyatakan bahwa orang yang punya pengetahuan agama lebih mulia daripada orang yang tidak memilikinya. Mereka mereduksi konsep Islam tentang ijma’ yang berarti kesepakatan semua orang menjadi kesepakatan segelintir ulama pemilik hak istimewa, yang dicapai melalui proses yang panjang dan berat. Pengertian itu menutup pintu ijtihad atau penafsiran baru.”

Ohya, kutipan di atas bisa jadi berbahaya bila dipahami serampangan, seakan secara bebas dan tanpa keilmuan apapun memahami kitab suci, bahkan dipelintir demi kepentingan praktis atau tujuan tertentu yang mencederai kemanusiaan. Namun, coba saja baca tafsir progresif Ekopras mengenai Kisah dalam al-Qur’an, Surah Al-Alaq atau karya terbarunya Tafsir Progresif Al-Ashr. Dari asbabun nuzul, makna harfiah hingga kritik sosial kepada kondisi kini dibahas didalamnya. Tidak jarang juga beliau kutip pandangan mufassir kenamaan seperti Thabari, Sayyid Qutb, Hamka hingga Quraish Shihab, dll.

Kondisi sosial yang terus bergerak, sementara sebagian penafsiran yang kolot cenderung merepitisi penjelasan-penjelasan lampau, agama cenderung pasif merespon, bukan mengilhami kreatifitas-kreatifitas yang cenderung baru. Ah apa karena buku Ekopras terbitan Yogyakarta, bukan terbitan Beirut Lebanon? Konteks seringkali tak menunggu kondisi seorang yang memahami al-Qur’an harus ‘mapan keilmuannya’. Sisalah agama yang ompong dan menjelma sebagiannya menjadi brand bisnis dan keuntungan laba pasar.

Dalam tafsir progresif al-Ashr, seseorang mengkritik dengan memahami bahwa rugilah waktu manusia yang dihabiskan untuk memenuhi seluruh keinginannya. Seseorang mengkritik melalui pemahamannya terhadap Surah Al-Ashr, “…manusia memahami waktu dalam konsep yang ekonomistik: bertambah usia, bertambah dewasa, bertambah kaya. Bahkan waktu manusia dikuras untuk mengumpulkan, mengakumulasi, dan menyambut hidup dengan perhitungan laba dan rugi. Manusia telah menyetarakan waktu dengan nilai uang yang selalu menjadi kiblat kegiatan manusia sehari-hari. Padahal waktu itu tak sama dengan uang.”

Tak usah kusebut siapa “seseorang” dengan pemahaman di atas. Karena orang tersebut bukan tokoh otoritatif. Ia tidak signifikan untuk diteliti. Andai pemahaman tersebut keluar dari pemahaman ‘ulama otoritatif’, dosen itu mesti berkomen: “Geh. Geh. Saya kira ini menarik, Mas.”

Ah. aku memang bebal dan emosional. Memang dilematis, namun pada keadaan ini tiba-tiba aku jadi muak dengan arogansi otoritas.

Pak Rektor. Aku cukup senang pembayaran UKT mundur. Tapi nominal tagihan tak berubah. Sebagai rektor baru yang progresif dan mencintai hal-hal baru dan unik. Buatlah kami tantangan sebagai pengganti UKT. Misal dengan berkolaborasi dengan mahasiswa membuat festival makanan jadul paradigma integrasi-interkoneksi. Lumayan untuk menyambut new normal dengan tetap berpegang pada protonkol. Prokotol. Eh. Protokol kesehatan.

Di dalamnya bisa misal memadukan klepon isi gula merah yang kapir dengan klepon isi kurma atau minyak zaitun. Keuntungan lumayan sekaligus promosi kampus, bukan? Atau dengan membuat film atau konten media dengan target 1000 like dan subscribe. Siapa sesuai target bebas UKT.

Puisi Hujan #1

Hujan rintik bak doa.
Tuhan-kah pengabul doa penindas?
Mengabul kaya orang yang kaya?
Rintik hujan malam ini sebanyak rupiah yang tertahan untuk korban PHK.
Tuhan, Engkau jawab dengan air.
Air Kau tumbuhkan pohonan.
Namun, Si rakus menebang dan membakarnya!

Orang-orang proyek menghabiskan anggarannya di Malioboro
Kereta eksekutif melaju menembus hujan.
Uang itu subsidi kaum papa.
Sanak famili menerimanya sebagai kasih sayang Tuhan.
Oleh-oleh sebentuk kedermawanan
Pegawai Honorer tidak mampu membeli susu. Istrinya sedang hamil.
Tuhan, Engkau jawab dengan air.

Adakah Engkau dalam setiap rintiknya?
Kaum papa yang sudah kenyang dengan lafadz ‘kelak’ dan ‘nanti’ balasannya.
Sabar adalah lauk pauk sehari-hari.
Buah-buah t’lah punah bagi kaum papa kecuali tiga.
Mangga di tempat sampah.
Pisang yang sudah terlalu masak.
Kurma pada bulan Ramadhan.

Tuhan, Engkau jawab dengan air.
Hujan membuatku lapar.
Yang kenyang sedang berada di kereta malam itu.*

Jumat, 1 November 2019

Mochtar Lubis: Diantara Kata Gambaran Manusia Indonesia

Bacalah dengan penuh keterpaksaan, negeri ini darurat membaca.

Buku ini merupakan ceramah Mochtar Lubis pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki Jakarta yang dibukukan. Diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, pada tahun 2013. Dibanding sebuah sinopsis, resensi dan semacamnya, lebih tepat jika dikatakan bahwa tulisan ini merupakan sebuah ringkasan, di antara kata dan kalimatnya yang saya anggap menarik dan penting untuk dicatat.

Meskipun belum tentu seluruhnya benar dan salah, Mochtar Lubis tentu tidak sembarangan memunculkan stereotip mengenai manusia Indonesia ini. Ada observasi hingga pengalaman beliau. Sebelum Mochtar Lubis dan penilaiannya mengenai manusia Indonesia,  pada zaman VOC orang Belanda menilai manusia Indonesia kurang sanggup melakukan kerja otak yang tinggi (hooge geestarbeid), “inlander” umumnya sedang-sedang saja (‘middlematig’) dalam beragama, gairah kerja, kejujuran, rasa kasihan, dan rasa terimakasihnya. Meskipun masih diakui bahwa manusia Indonesia bersifat hormat, tenang, dapat dipercaya, baik, royal, ramah pada tamu, dan lembut.

Mochtar Lubis memaparkan mengenai enam ciri dari manusia Indonesia. Menurut Mochtar, ciri pertama manusia Indonesia yang cukup menonjol adalah Hipokritis/Munafik. “Orang tambah pandai menyembunyikan kata hatinya, perasaan, pikiran yang sebenarnya, dan malahan keyakinan yang sesungguhnya. Orang belajar mengatakan tidak dengan cara-cara yang lain, hingga kata tidak itu diselimuti dan diberi berbagai topeng, hingga tidak lagi dapat dikenali. Demikian pula dengan sikap tidak setuju, atau sikap mengkritik dan mencela, semuanya diselubungi, dirumuskan secara lain.”

Lucunya, Mochtar mencontohkan hipokrisi kita mengenai seks. Di depan umum kita sangat mengecam penghidupan seks yang terbuka atau setengah terbuka, tetapi pada saat yang sama kita membuka tempat mandi uap dan tempat pijit, kita mengatur tempat-tempat prostitusi, melindunginya, menjamin keamanan sang prostitut.

Akibat dari kemunafikan ini, dampak dari sikap kita terkenal dengan sikap ABS-nya (asal bapak senang). Sikap ABS ini telah berakar jauh ke zaman dahulu, ketika tuan feodal Indonesia merajalela di negeri ini, menindas rakyat dan memperkosa nilai-nilai manusia Indonesia. Untuk melindungi dirinya terpaksalah rakyat memasang topeng ke luar, dan tuan feodal, raja, sultan, sunan, regent, bupati demang, tuanku, laras, karaeng, teuku, dan tengku, dan sebagainya, selalu dihadapi dengan inggih, sumuhun, ampun duli tuanku, hamba patik tuanku. Sikap ini juga telah mendorong terjadinya pengkhianatan intelektual di negeri kita.

Ciri kedua yang menonjol ialah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan seterusnya. “Bukan saya” dan “Saya hanya melaksanakan perintah dari atasan!” adalah kalimat yang cukup populer di mulut manusia Indonesia.

Sebaliknya jika pada sesuatu yang sukses, maka manusia Indonesia tidak segan untuk tampil kedepan menerima bintang, tepuk tangan, surat pujian, padahal jika ditelisik lebih dalam, akan bertemu dengan orang-orang yang mendapat bintang gerilya (tanpa berhak menerimanya). Sementara pegawai kecil dan rendah yang tekun bekerja, menahan segala rupa kesukaran hidup, di tempat-tempat yang jauh, jarang sekali mendapat penghargaan yang selayaknya harus mereka terima.

Adapun ciri ketiga: Jiwa feodal. Sikap ini berkembang dengan cemerlangnya di kalangan atas maupun di kalangan bawah. Di kalangan atas mengharapkan agar manusia-manusia di bawah kedudukannya hormat, takut, menerima serta melakukan segala hal yang menyenangkan bagi si bapak. Sebaliknya, si bawahan juga tidak kalah semangat atau jiwa feodalnya untuk mengabdi kepada si bapak.

Maka dampaknya, yang berkuasa sangat tidak suka mendengar kritik, dan orang lain amat segan untuk melontarkan kritik kepada atasan. Akibatnya di masa dulu, pusat-pusat kekuasaan putus atau sangat sedikit komunikasinya dengan rakyat banyak. Hubungan antara penguasa dengan rakyat, adalah hubungan dari atas ke bawah, jalan satu arah.

Keadaan seperti ini sangat mempersulit proses-proses perkembangan manusia dan masyarakat dalam dunia kita kini, di mana keselamatan satu bangsa atau satu masyarakat tergantung sekali pada lamban atau derasnya arus informasi yang dapat diterimanya mengenai keadaan dan perkembangan ekonomi, politik, pengetahuan, teknologi, dan sebagainya di dunia ini.

Tidak dilakukannya koreksi, baik dari bawah ke atas, maupun dari atas ke bawah. Proses yang umumnya dapat terjadi adalah tindakan represif dari atas ke bawah, jika terjadi hal-hal yang tidak disenangi penguasa. Bawahan takut mengemukakan pikiran-pikiran baru yang berlainan dari yang disenangi kaum “establishment”, dan tidak berani mengeluarkan kritik atau peringatan-peringatan agar jangan terus salah jalan, tidak berani menyampaikan fakta-fakta yang akan tidak menyenangkan sang bapak, sedang bapak-bapak sudah merasa puas diri serta merasa benar.

Ciri utama keempat manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, hingga sekarang, Indonesia masih percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau karang, pohon, patung, bangunan, keris memiliki kekuatan gaib, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua.

Ironi disampaikan Mochtar, bahkan hingga kini manusia yang modern pun, manusia Indonesia berpendidikan modern sekalipun masih juga membuat jimat, mantera, dan lambang. Kemudian kita membuat mantera-mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Kita pun lalu mengaso, penuh keyakinan dan kepuasan, bahwa setelah mengucapkannya, maka masyarakat Pancasila itu telah tercipta.

Karena ini semua manusia Indonesia cenderung menyangka, jika telah dibicarakan, telah diputuskan, dan telah diucapkan niat hendak melakukan sesuatu, maka hal itu pun telah terjadi. Saya yakin, laci kantor pemerintah, organisasi swasta, dan sebagainya yang tidak pernah dilaksanakan. Sekarang kita membikin takhayul dari berbagai wujud dunia modern.

Di sinilah hal menarik, ujar Mochtar di antara katanya, modernisasi adalah salah satu takhayul baru, demikian perkembangan ekonomi, model dari negeri-negeri industri maju jadi takhayul dan lambang baru, dengan segala jimat dan manteranya, dan kita gagal melihat kerusakan-kerusakan pada nilai-nilai, kebahagiaan manusia, kerusakan dan peracunan lingkungan dan sumber alam oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang terjadi pada masyarakat-masyarakat berindustri maju. Kita tidak banyak bicara tentang distribusi yang adil dan merata. Kita tidak banyak memeriksa segi-segi negatif dari segala apa yang hendak kita tiru dan pindahkan ke masyarakat kita.

Ciri kelima yang menonjol manusia Indonesia adalah artistik. Sejak dari ratusan tahun lampau sampai kini hasil daya cipta artistik manusia Indonesia telah diboyong ke luar tanah air, dan kini di museum penting-museum penting di Eropa, Amerika dan berbagai negeri lain koleksi tembaga, tenun, batik, patung batu, dan kayu, ukiran kayu, tenunan Lampung, Batak, Toraja, Sumba, Ukiran Bali, kerajinan perak dan emas, Kalimantan, Maluku, merupakan koleksi yang dibanggakan dan amat digemari. Musik, seni, tari, folklore, menunjukkan daya imajinasi yang sangat kaya dan subur, daya cipta yang amat besar.

Adapun ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Manusia Indonesia kurang kuat memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Dengan demikian kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.

Tidak berhenti pada ciri keenam, pada bab selanjutnya, ciri lain yang dipaparkan Mochtar, di antaranya, manusia Indonesia cenderung boros. Pandai mengeluarkan terlebih dahulu penghasilan yang belum diterimanya, atau yang akan diterimanya, atau yang tidak pernah akan diterimanya. Senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.

Selanjutnya, manusia Indonesia cenderung tidak suka bekerja keras, kecuali kalau terpaksa. Banyak orang ingin menjadi milyuner seketika dengan cara instan. Dengan mudah mendapat gelar sarjana, memalsukan gelar sarjana, hingga membeli gelar sarjana.

Jadi priayi (pegawai negeri) adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi. Orang menjadi pegawai negeri bukan karena didorong rasa hendak mengabdi pada rakyat banyak. Bukan untuk memajukan masyarakat. Hal ini dapat kita nilai betapa enggannya pegawai-pegawai tinggi dan rendah dipindahkan ke luar Pulau Jawa, atau ke luar kota-kota besar. Mereka bicara soal daerah atau tempat kering atau basah, gemuk atau kurus.

“Generasi muda juga tidak terkecuali; semuanya mau seketika jadi kaya, berpangkat, jadi wartawan ulung, jadi pengarang kelas satu, jadi pelukis terkenal, jadi jago ini dan jago itu, tanpa harus bersusah payah, menderita dahulu puluhan tahun sebelum mencapai sukses.”

Manusia Indonesia kini sudah jadi orang kurang sabar. Ciri lain adalah manusia Indonesia kini jadi tukang menggerutu. Tetapi menggerutunya tidak berani secara terbuka, hanya jika dia dalam rumahnya, antara kawan-kawannya yang sepaham atau sama perasaan dengan dia. Manusia Indonesia juga cepat cemburu dan dengki terhadap orang lain yang dilihatnya lebih dari dia. Orang kurang senang melihat orang lebih maju, lebih kaya, berpangkat, berkuasa, pintar, terkenal dari dirinya.

Selanjutnya, gampang senang pada kata-kata mutiara dalam berbagai sastra suku bangsa Indonesia melimpah-limpah dengan nilai-nilai yang bijaksana, tetapi sayang sekali tidak diamalkan dan dihayati, dahulu maupun sekarang. Ki Hajar Dewantara tak penat-penatnya mengatakan. “Luwih becik mikul dhawet rengeng-rengeng, tinimbang numpak mobil mrebesmili utawa nangis nggriyeng = lebih baik hidup sebagai tukang cendol, namun bahagia, daripada kaya tapi menderita.”

Ciri lain dari manusia Indonesia adalah sikap tidak atau kurang peduli dengan nasib orang, selama tidak mengenai dirinya sendiri atau orang yang dekat dengannya. Kita seakan tidak punya hati nurani mengenai nasib orang lain. Keadaan serupa ini sebenarnya bertentangan dengan ciri-ciri manusia Indonesia asli. Masyarakat Indonesia yang berkembang dari teknologi produksi dari padi di sawah basah, yang memerlukan sistem pembagian air yang teratur dan terpelihara mengharuskan orang bekerja sama dengan baik, tolong-menolong, saling menjaga.

Manusia Indonesia pada dasarnya berhati lembut dan suka damai. Punya juga rasa humor yang cukup baik, dapat tertawa dalam kesulitan dan penderitaan. Ciri lain yang merupakan modal utama bagi keselamatan bangsa kita adalah kasih ibu dan bapak pada anak-anaknya, dan pula sebaliknya. Ikatan kekeluargaan yang mesra, asal jangan dicampur aduk dengan jabatan, adalah sesuatu nilai manusia Indonesia yang harus dipertahankan. Manusia Indonesia juga dikenal cepat belajar, otaknya cukup encer.

Manusia dibentuk oleh lingkungannya, masyarakatnya, alam hidupnya, dan berbagai nilai-nilai yang didukung masyarakat dan anggota masyarakat, oleh pendidikan dan teladan yang didapatnya di sekolah, rumah, dunia kawan-kawannya, dan sebagainya. Bagaimana manusia dapat melepaskan dirinya dari jagad gede, menguasai jagad kecilnya, sedang dia menghadapi dari hari ke hari segala rupa pengaruh, rayuan dunia fana seperti seribu cukong yang menawarkan emas dan uang berpeti-peti.

Istilah jagad gede dan jagad kecil dimunculkan Mochtar setelah ia menjelaskan rumusan manusia ideal menurut alam pikiran Jawa, “Sepi ing pamrih rame ing gawe, amemayu ayuning bawana = bekerja keras tanpa mencari keuntungan, manusia memajukan dunia.” Seorang manusia yang telah menguasai jaga cilik (dirinya sendiri), yang berdasar pada manusia mengambil jarak dari dunia (jagad gede), dan melakukan konsentrasi ke dalam dirinya yang telah jadi murni, maka manusia menjalankan hidupnya jadi utusan dewata, utusan yang mahakuasa dalam dunia.

Mochtar merefleksikan secara kritis melalui karakter manusia Indonesia yang telah dipaparkannya, beliau khawatir manusia Indonesia akan menjadi korban dalam perkembangan dunia. Pembawaan sinkretisme dengan mudah seseorang menerima hal-hal yang serba bertentangan (paradox). Akibatnya seseorang merasa senang dan nyaman mengatakan sesuatu, kemudian berbuat yang bertentangan dengan ucapan diri sendiri, atau menerima segala rupa hal-hal yang saling bertentangan, misalnya seseorang mengatakan kita menegakkan hukum, tetapi pada waktu yang sama kita juga senang memperkosa hukum.

Mochtar mencontohkan pergantian nama rumah penjara dengan Lembaga Pemasyarakat. Pada praktiknya, bagi Mochtar, kita hanya memasang satu lambang hampa yang baru. Seakan di sana mereka yang telah melanggar hukum, yang telah menjadi penjahat selama ini, sedang dalam proses pemasyarakatan, untuk mendidik mereka kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.

Apa yang sebenarnya terjadi? Rumah Penjara atau LP masih saja tetap merupakan sekolah kader untuk melakukan kejahatan segala rupa. Siswa pencopet akan jadi pencopet lebih ulung setelah keluar dari hukuman penjara, enam atau setahun kemudian. Tukang rampok akan keluar dengan teknologi baru yang lebih terampil. Kita tidak menciptakan iklim baru yang segar dalam penjara. Mochtar menyebut keadaan penjara kita lebih buruk dari zaman penjajahan Belanda, baik makanan, perlakuan, perhatian, terhadap orang tahanan maupun orang hukuman.

“Orasi” Mochtar belum usai. Beliau katakan, semangat revolusi ’45 kita telah kendor, telah jatuh ke dalam proses degenerasi, dan hampir-hampir tidak kelihatan lagi bekas-bekasnya kini dalam diri maupun dalam masyarakat kita. Semangat kita yang begitu bersatu dahulu bersama rakyat, besar dan kecil, yang berat sama dipikul, dan ringan sama dijinjing semangat penuh keberanian dan kerelaan untuk berkorban, jika perlu nyawa sendiri pun, demi kemerdekaan bangsa dan tanah air, kesucian dan kejujuran perjuangan, kesediaan melupakan kepentingan diri sendiri, atau kepentingan kelompok, kesediaan melupakan rasa dengki, prasangka yang tidak beralasan, perlombaan hendak berkuasa sendiri, kerakusan hendak mengumpul harta benda sebanyak mungkin dalam sesingkat mungkin waktu, dan semangat tolong menolong, bantu membantu, beri memberi, semangat bela-membela, semuanya kini telah pudar dan sirna.

Kita biarkan elite kita ini memperkaya diri mereka dari tahun ke tahun, melakukan korupsi dan mencuri hak dan milik rakyat, semakin lama semakin besar. Elite kita yang berpretensi memimpin rakyat, karena perbuatan mereka sendiri pada hakikatnya bertambah jauh dari masyarakat, dan komunikasi antara mereka dengan rakyat tambah hari tambah juga tambah seret dan sukar.

Sebuah lambang baru yang kini (masih) populer pada kita adalah perkataan dalang. Jika mahasiswa bergerak, maka lalu ada tuduhan, “Siapa dalangnya?” “Tentu ada yang mendalangi.” Mochtar di antara katanya, kita seakan tidak percaya mahasiswa  kita sudah bisa berpikir sendiri, mengumpulkan informasi dan data sendiri, membikin analisis dan kesimpulan sendiri, dan memutuskan untuk mengambil sikap sendiri. Padahal universitas dibangun dan dikembangkan untuk membuat mereka jadi pintar, bukan?

“Kita harus memakai hati kita untuk mencari sasaran lain untuk kebahagiaan dan damai hati dan kebajikan bangsa ini.”

Mochtar bilang, kita sekarang hendak mencipta lapangan kerja, tapi kita biarkan modal asing masuk teknologi kapital-intensif. Akibatnya pabrik besar hanya mengerjakan belasan orang, dan bukan ratusan jika pakai teknologi labour-intensif (padat karya).

Jika dikatakan, bahwa tujuan terakhir manusia adalah untuk mengabdi kepada Tuhan.  Mochtar bertanya, apa rumusan mengabdi kepada Tuhan? Apakah ke gereja dan sembahyang ke mesjid menurut ajaran agama Nasrani dan Islam, dan melakukan segala kewajiban syariat agamanya, telah berarti mengabdi kepada Tuhan? Kita perlu memerlukan pengawasan sosial dilembagakan terhadap sumber-sumber alam kita, terhadap modal, pemakaian tenaga manusia, terhadap ilmu dan teknologi, terhadap ancaman-ancaman yang mungkin terjadi terhadap keseimbangan ekologi, terhadap pencemaran alam kita.

Pada bagian akhir ciri-ciri lain dari manusia Indonesia, Mochtar mengutip pendapat Chris Siner Key yang merupakan seorang mantan ketua PMKRI, mengenai keadaan dunia mahasiswa. “…Perasaan apatis yang meluas, kehilangan motivasi, orientasi yang kabur, visi yang mengkeret, kehilangan idealisme dan nilai spirituil, krisis identitas, kekurangan kreativitas dan tak berdaya berpikir kritis. Juga tak berdaya berpikir logis. Ini disebabkan oleh ketakutan, apati, frustasi, perasaan tak berdaya, dan merasa selalu diamati dan dikejar-kejar.”

Sebelum menuju kesimpulan, Mochtar menulis Bab mengenai Dunia kini. Makna modernisasi jelas harus pula kita rumuskan kembali untuk keperluan bangsa dan masyarakat kita. Apakah modernisasi itu hanya harus bercermin dalam peralatan teknologi modern, seperti komputer, pabrik baja raksasa, roket dan sebagainya, ataukah modernisasi harus kita artikan suatu sikap jiwa dan pikiran yang rasionil, dan yang senantiasa mencoba untuk mencari penyelesaian-penyelesaian masalah hidup manusia secara rasionil dan menyeluruh?

Mungkin tuntutan untuk membuat berbagai teknologi yang kini kelihatan merusak ekologi dan cepat menghamburkan sumber-sumber alam dunia yang sudah menciut akan dianggap sikap yang paling modern dalam sepuluh-dua puluh tahun yang akan datang. Sangat modern untuk menuntut agar jangan lagi pohon kayu dipotong dan hutan rimba dipotong semena-mena. Kehancuran rimba di banyak bagian di dunia yang sedang terjadi kini juga akan menimbulkan akibat-akibat bencana terhadap pola curah hujan, banjir, penghanyutan tanah, dan sebagainya.

“maju ekonomi” secara definisi jangan hendaknya kita kejar serupa dengan “maju ekonomi” negara-negara kaya sekarang dengan segala segi-segi negatif dan bencana yang ditimbulkannya terhadap manusia, alam, dan nilai-nilai kemasyarakatan dan manusia. Maju ekonomi hendaknya berarti jangan ada manusia Indonesia yang lapar, cukup pakaian dan rumah tinggal, punya kesempatan bersekolah dan belajar yang formal maupun non-formal, ada kesempatan bekerja yang layak.

Jika tujuan “maju ekonomi” kita adalah di tingkat pertama untuk memenuhi syarat-syarat minimum makanan bergizi cukup, pakaian dan perumahan yang memadai, kesempatan belajar yang sama bagi setiap orang, maka daftar “priorita” kita akan lebih “sederhana”. Pola industrialisasi kita juga akan berlainan. Mungkin kita akan memusatkan perhatian dan penanaman modal kita ke pedesaan, pedalaman, mengembangkan industri pertanian dalam arti industri kecil membuat segala rupa alat pertanian, pemuliaan bibit, pupuk organis, melawan hama, mengembangkan produksi pertanian berupa bahan makanan pokok seperti beras, jagung, kacang-kacangan, sayuran, perikanan darat dan laut, hingga pada buah-buahan, tidak saja untuk kita makan sendiri, tetapi juga untuk diekspor.

Semakin kita mengikuti arus konsumerisme negara-negara kaya, semakin kita menggantungkan diri kita pada bantuan mereka baik modal, maupun teknologi mereka, semakin kita menggantungkan diri pada bantuan mereka baik berupa modal, teknologi, semakin kita menggantungkan keselamatan kita pada alat persenjataan mereka, maka semakin kita tidak berdaya memasang perlindungan terhadap kepribadian kita sebagai bangsa dan manusia, dan semakin kita jatuh lebih tergantung pada mereka.

Jika kita sebagai manusia Indonesia tidak mengubah cara berpikir dan berbuat, mengubah nilai-nilai yang membimbing kehidupan dan tingkah laku kita, dikhawatirkan kita akan menjadi kuli kasar belaka bagi perusahaan-perusahaan multinasional Jepang, Amerika, Jerman, Belanda, Perancis, Inggris dan sebagainya di tanah air sendiri.

Pada buah kesimpulan, Mochtar katakan, “Kita di Indonesia agar bersikap lebih manusia terhadap sesama manusia kita.” Tulisan ini tentunya tidak mampu mewakili keseluruhan isi buku yang hendak disampaikan oleh Mochtar Lubis dalam “Manusia Indonesia”. Harapan semoga tulisan ini mengantarkan untuk membaca secara langsung kepada buku tersebut.