Tag: Kampus

Menolak Ingat

Semua berakhir di keuangan. Bangsa ini memang sudah merdeka, tapi mahasiswa masih terjajah di bagian keuangan. Bangsa ini sudah merdeka, tapi mahasiswa masih terjajah di penelitian.

Kata orang bijak antara ilmu dan pekerjaan memang soal lain. Tuntut ilmu saja terus, pekerjaan kelak adalah hal lain. Mahasiswa enggan penelitian, dosen apalagi. Mahasiswa sodorkan penelitian, dosen enggan koreksi.

Mahasiswa mumet dipekerjai.

Chrome, kawanku, katakan, apakah setelah punya jabatan, dosen enggan makan di kantin fakultas lagi? Biarkan saja ia beromong-omong di sambutan wisudanya. Seakan ada harapan, semua berakhir di bagian keuangan. kumpulkan saja quote-quote humanis yang unik. Tiada langkahnya yang berani. Kukira doktor, ternyata debt collector.

Lain kali, sebaiknya kampus tidak usah punya bisnis sampingan seperti hotel atau bisnis sewa gedung serbaguna untuk nikahan. Nanggung. Kampus harusnya punya bisnis pertambangan. Biar staff TU katakan pada mahasiswa, “Alah, Mas, Mas. Seikhlasnya saja bayar UKT-nya. Kampus ngga matok, kok. Kampus ini sudah kaya.”

Sudah bayar UKT, Mas?

Aku butuh gelar, aku butuh gelar. Dunia berbisik, “Lunasi tagihannya dulu, penelitian cuma bumbu.”

Aku gila, aku gila. Sekonyong dunia berteriak, “Karna kau ngga mau dituntut hukum ya, kisanak?”

Haa? Haa? Aku siapa… Aku siapa…

Menolak ingat, aku barusan ngomong apa.

Biawak Tunisia, Kadal Aljazair

“Seorang akademisi, mereka itu pasti bicara by literature menurut mereka, artinya sumber-sumber yang dipercaya menurut mereka. Kan tidak perlu semua orang percaya dengan sumber-sumber mereka, saya juga punya sumber sendiri…hanya keberaniannya ada atau tidak? Keberanian untuk mengungkapkan yang berbeda dan logis.” –Budi Setiawan a.k.a. Budi Dalton, Dosen-Aktor.

“Tapi saya pikir hadiah terbesar yang diberikan pada saya dan banyak dari kita adalah kesempatan untuk menggunakan suara kita untuk mereka yang tidak bersuara…saya pikir, kita takut akan ide perubahan personal, karena kita mengira bahwa kita harus mengorbankan sesuatu, melepaskan sesuatu. Tetapi manusia terbaik adalah yang sangat inventif, kreatif dan pandai. Saya pikir ketika kita menggunakan cinta dan kasih sayang sebagai prinsip, kita bisa membuat, mengembangkan, dan mengimplementasikan sistem perubahan yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup dan lingkungan.” Joaquin Phoenix dalam pidatonya ketika memenangi Oscar Best Actor 2020 melalui film Joker.

 

 

Tidak terasa. Sudah banyak sarjana diwisuda. Setelah sekian waktu orang bertanya kapan. Bukan aku. 2 KB 2 GB. Data mengalir yang kini tertuju pada pidato pertama rektor baru disaksikan secara online.

Dengan gaya nyeleneh kekinian. Pernah memamerkan sebuah lukisan melalui salah satu medsosnya. Apakah Pak Rektor tertarik menjadikan melukis atau teater menjadi matakuliah wajib perkuliahan?

Siapa tahu mahasiswa bukan saja pandai melukis tentang gunung kembar dengan matahari di antara keduanya atau laut dan pohon kelapa. Namun juga pandai menggambar klepon atau martabak.

Belajar dengan Bapak sebelum menjadi rektor sangatlah menyenangkan. Sebelum menjadi rektor, aku menyalami Bapak, padahal ketika itu aku sedang bersiap futsal, dengan kaos futsal oranye namun masih memakai celana jeans. Bapak bilang, “Bajunya bagus. Kalau kamu masuk kelas saya, ndak apa-apa.”

Penasaran. Singkatnya, setelah mengambil matakuliah beliau, tidak ada aturan di kelasnya kecuali mahasiswa yang masuk harus punya bekal bacaan yang cukup. Tidak ada presentasi: yang ada, Bapak hanya menunjuk acak mahasiswa, lalu tanya: “Anda membaca apa?” Lalu mahasiswa yang ditunjuk menjelaskan bla bla bla. Kalo hasil bacaannya singkat, biasanya dikomen, “Udah? itu saja?” atau kalau cukup bagus, “Nah ini baru mahasiswa saya.”

Namun karena sudah tau triknya. Pokoknya yang penting asal ngomong panjang. Biasanya beliau respon dengan pura pura tidur atau pura pura berpikir. Berkuliah begitu sederhana namun menggugah. Kuliah berarti sharing soal bacaan beragam yang tak terbatas. Layaknya kritik pada kelas perkuliahan kebanyakan yang monolog dari dosen atau presentator yang mirip khutbah Jum’at dibanding diskusi ilmiah. Di buka dengan doa. Di akhiri dengan doa. Tidak ada bantahan-perdebatan, atau ide segar muncul ke permukaan. Malu malu tai biawak Tunisia. Malu malu tai kadal Aljazair.

Seakan beliau katakan tak penting baju yang dikenakan, tapi persiapan atau ide yang mahasiswa geluti.

Ah, kok aku malah tulisanku mengalir dengan damai berbicara soal wisuda dan suasana perkuliahan. Padahal aku mau curhat moodku memburuk ketika mendengar seorang teman yang ditolak judul skripsi oleh dosennya. Teman kirimkan screenshot percakapannya. “Ganti judl sj mas geh. Cari tokoh yang otoritatif di bidang tafsir ya. Gak meyakinkan tokoh yang dikaji. Tidak ada diskursus akademik yg cukup signifikan utk dikaji.”

Barangkali lantaran aku yang sudah membaca cukup banyak karya-karya tokoh tertolak dalam proposal skripsi temanku itu, prasangka buruk ku katakan sang dosen belum cukup membaca tokoh kajiannya. Aku ngga mengatakan Eko Prasetyo (Ekopras) seorang mufasir. Dalam karya terbarunya “Tafsir Progresif Al-Ashr” beliau katakan memang karyanya bukan tafsir, juga sebetulnya dikatakan hal senada dalam karya-karya sebelumnya, Al-Alaq dan Kitab Pembebasan. Namun sebagai seorang aktifis, Bung Ekopras berusaha memahami ayat-ayat al-Qur’an menurut kemampuannya. Aku hanya berpendapat gagasan-gagasannya layak diteliti.

Bukankah semua soal perspektif atau problematisasi. Apa karena beliau bukan seorang ‘ulama’, tidak paham bahasa Arab serta syarat-syarat mufasir lain yang ketat.

Pikiranku berkelana menuju tulisan Ingrid Mattson. Dikatakan di dalamnya: “Tuhan memberi kaum muslim, individual maupun kolektif, penglihatan dan pendengaran, dan kecerdasan untuk mempelajari konteks linguistik dan historis al-Qur’an. seseorang tidak mungkin menguasai semua aspek ajaran al-Qur’an meskipun ia habiskan seluruh masa hidupnya…Memang, banyak orang Islam paling berpengaruh (secara positif atau negatif) yang membuat klaim tentang al-Qur’an pada abad ke-20 tidak dididik sebagai ulama.

(Ingrid Mattson mencontohkan) Sayyid Qutb dikenal sebagai penulis yang menarik perhatian orang Arab dengan pemaparannya tentang keputus-asaan banyak orang terhadap para penguasa di Timur Tengah yang sombong dan menindas. Ia menuliskan kegelisahannya  itu dalam tafsirnya yang terkenal, Fi Zhilal al-Qur’an.

Abu al-A’la al-Maududi pendiri Jemaat-e-Islami di India…adalah seorang jurnalis. Dengan diterimanya argumentasi bahwa pintu ijtihad harus dibuka dan bahwa ijma’ harus diperluas sehingga bisa mencakup suara orang-orang nonpakar, para penulis seperti Qutb dan Maududi tidak merasa terhalang oleh latar belakang keilmuannya untuk menerangkan makna al-Qur’an.”

Sialnya aku dalam tulisan ini seperti mencari pembenaran dan pembelaan. Tapi kurangajar juga dosen itu. Seorang temanku yang lain bermaksud meneliti teori maqashidnya setelah pengukuhan guru besarnya. Dosen itu girang dan menunjukkan langkah-langkah selanjutnya agar teorinya bisa diangkat sebagai penelitian. Oh, apa karena Ekopras bukunya tak berjudul bahasa Arab, atau namanya tidak ada Abu atau ada Al Al nya, bacaan dosennya bermasalah atau aku yang bebal.

Berapa banyak skripsi membahas mengenai Sayyid Qutb atau Maududi. Ahsudahlah.

Pikiranku mengembara pada tulisan Ziauddin Sardar mengenai Otoritas Penafsiran. Sebelumnya, padahal melalui dosen itu dalam ruang perkuliahan yang selalu menekankan bahwa teks al-Qur’an terbatas, sementara konteks yang melibatkan tafsir al-Qur’an harus selalu aktual seiring dengan berkembangnya zaman. Mengkritik tafsir al-Qur’an tidak sama dengan mengkritik al-Qur’an.

Dalam tulisan Sardar: “Untuk mempertahankan dominasi mereka atas orang yang mungkin menafsirkan al-Qur’an atau membacanya dengan cara yang berbeda, para ulama itu menggunakan sejumlah taktik. Mereka mereduksi konsep al-Qur’an tentang ‘ilm, yang merujuk pada semua jenis pengetahuan, menjadi hanya berarti pengetahuan agama. Kemudian, mereka menyatakan bahwa orang yang punya pengetahuan agama lebih mulia daripada orang yang tidak memilikinya. Mereka mereduksi konsep Islam tentang ijma’ yang berarti kesepakatan semua orang menjadi kesepakatan segelintir ulama pemilik hak istimewa, yang dicapai melalui proses yang panjang dan berat. Pengertian itu menutup pintu ijtihad atau penafsiran baru.”

Ohya, kutipan di atas bisa jadi berbahaya bila dipahami serampangan, seakan secara bebas dan tanpa keilmuan apapun memahami kitab suci, bahkan dipelintir demi kepentingan praktis atau tujuan tertentu yang mencederai kemanusiaan. Namun, coba saja baca tafsir progresif Ekopras mengenai Kisah dalam al-Qur’an, Surah Al-Alaq atau karya terbarunya Tafsir Progresif Al-Ashr. Dari asbabun nuzul, makna harfiah hingga kritik sosial kepada kondisi kini dibahas didalamnya. Tidak jarang juga beliau kutip pandangan mufassir kenamaan seperti Thabari, Sayyid Qutb, Hamka hingga Quraish Shihab, dll.

Kondisi sosial yang terus bergerak, sementara sebagian penafsiran yang kolot cenderung merepitisi penjelasan-penjelasan lampau, agama cenderung pasif merespon, bukan mengilhami kreatifitas-kreatifitas yang cenderung baru. Ah apa karena buku Ekopras terbitan Yogyakarta, bukan terbitan Beirut Lebanon? Konteks seringkali tak menunggu kondisi seorang yang memahami al-Qur’an harus ‘mapan keilmuannya’. Sisalah agama yang ompong dan menjelma sebagiannya menjadi brand bisnis dan keuntungan laba pasar.

Dalam tafsir progresif al-Ashr, seseorang mengkritik dengan memahami bahwa rugilah waktu manusia yang dihabiskan untuk memenuhi seluruh keinginannya. Seseorang mengkritik melalui pemahamannya terhadap Surah Al-Ashr, “…manusia memahami waktu dalam konsep yang ekonomistik: bertambah usia, bertambah dewasa, bertambah kaya. Bahkan waktu manusia dikuras untuk mengumpulkan, mengakumulasi, dan menyambut hidup dengan perhitungan laba dan rugi. Manusia telah menyetarakan waktu dengan nilai uang yang selalu menjadi kiblat kegiatan manusia sehari-hari. Padahal waktu itu tak sama dengan uang.”

Tak usah kusebut siapa “seseorang” dengan pemahaman di atas. Karena orang tersebut bukan tokoh otoritatif. Ia tidak signifikan untuk diteliti. Andai pemahaman tersebut keluar dari pemahaman ‘ulama otoritatif’, dosen itu mesti berkomen: “Geh. Geh. Saya kira ini menarik, Mas.”

Ah. aku memang bebal dan emosional. Memang dilematis, namun pada keadaan ini tiba-tiba aku jadi muak dengan arogansi otoritas.

Pak Rektor. Aku cukup senang pembayaran UKT mundur. Tapi nominal tagihan tak berubah. Sebagai rektor baru yang progresif dan mencintai hal-hal baru dan unik. Buatlah kami tantangan sebagai pengganti UKT. Misal dengan berkolaborasi dengan mahasiswa membuat festival makanan jadul paradigma integrasi-interkoneksi. Lumayan untuk menyambut new normal dengan tetap berpegang pada protonkol. Prokotol. Eh. Protokol kesehatan.

Di dalamnya bisa misal memadukan klepon isi gula merah yang kapir dengan klepon isi kurma atau minyak zaitun. Keuntungan lumayan sekaligus promosi kampus, bukan? Atau dengan membuat film atau konten media dengan target 1000 like dan subscribe. Siapa sesuai target bebas UKT.

Pak Ogah Gesikan Jadi Rektor

Tukang becak berkomentar kalau mobil kampus kini suara mesinnya tidak halus lagi. Kata tukang cilok wajar saja karena fasilitas kampus tersebut memang lama tak dipakai, jarang dipanasin. Tukang bengkel girang bukan tante. Tidak perlu menunggu durian musim panen, mobil-mobil plat merah itu tentu akan mangkal di bengkelnya.

Ah mahasiswa memang sudah hobinya berburuk sangka. Masa sebagian dari mereka bilang kalau kampus ndak mau turunkan harga UKT (Uang Kuliah Tunggal) gegara banyak kendaraan yang harus diservis.

Padahal kampus tidak seburuk itu, bukan? Meskipun kondisi perekonomian masyarakat pincang adanya, kampus harus tetap stabil, dan kalau bisa, adakan pembangunan! Berpikir saja kalau pembangunan dilakukan, ada berapa banyak pekerja kuli bangunan dipekerjakan dan diberi pemasukan. Itu untuk pembangunan ekonomi rakyat secara tidak langsung.

Hadirin bertepuk tangan. Hadirin bertepuk tangan.

Memasuki bulan pertengahan tahun, mahasiswa tingkat akhir tidak perlu diinsafi lagi untuk lebih giat mengerjakan tugas akhirnya. Lantaran mengejar tenggat waktu agar tidak bayar UKT lagi. Di tengah perekonomian masyarakat yang tengah lesu, surat edaran kampus menunjukkan “wajah kemanusiaan”-nya.

Isi surat edaran tersebut membuat hati begitu sumringah. Membuat hati mahasiswa baik yang taat atau “suka berburuk sangka” berkaca-kaca. Biaya UKT terdapat potongan 50%! Selain itu pembiayaan bisa diangsur hingga akhir tahun.

Hadirin bertepuk tangan. Hadirin bertepuk tangan.

Eh. Eh. Tapi, sepertinya para pejabat kampus belum pernah merasakan hidup susah: belum pernah menjaja koran, menggendong gerobak cuanki, atau rumah yang disita lantaran utang rentenir.

Setelah surat edaran tersebut dibaca dengan teliti oleh para mahasiswa yang sering berburuk sangka nan dangkal pengetahuannya, diskon 50% UKT tersebut ternyata untuk mahasiswa tingkat akhir yang terancam drop out (DO). “Wasyem. Lha lagian emangnya meskipun diangsur sampai akhir tahun akan menjamin perekonomian akan membaik?” kata Sutijan, mahasiswa magister semester empat yang kini sibuk jualan lotis.

Selain itu, memangnya jumlah mahasiswa tingkat akhir yang terancam DO yang mendapat keringanan itu jumlahnya lebih banyak dari mahasiswa lainnya? Bukankah kelesuan ekonomi ini bagi semua mahasiswa tak mengenal semester awal atau akhir?

Sutiyem, mahasiswi penjual lotek lalu membisikiku, “iri bilang, Bos!”

Surat edaran kampus mengenai Dispensasi Pembayararan UKT dan Diskon 50% UKT untuk mahasiswa menjadi clikbait yang biasa digunakan oleh banyak YouTuber. Mirip juga seperti foto viral sebuah warung laundry yang stand banner nya bertuliskan, “Lee Min-Ho Pernah Londry Di sini”. Padahal kalau dicermati di antara kata Lee Min-Ho dan Pernah terdapat kata “Tidak” dengan ukuran font yang lebih kecil sehingga seharusnya dibaca menjadi Lee Min-Ho tidak pernah Londry Di sini.

Dengan demikian, petinggi kampus sudah sepandai pebisnis. Pertanyaanku, untuk apa mempertahankan pejabat kampus yang memiliki gelar doktor bidang sosial, doktor bidang agama, doktor bidang ekonomi, guru besar di bidang sains, guru besar di bidang keagamaan, guru besar di bidang ekonomi?

Mari kita jujur, guru besar dan doktor tidak perlu ditaruh menjadi petinggi kampus. Taruh saja para pebisnis kelas kakap untuk menjadi “pemimpin perguruan tinggi.” Toh kebijakan dari otak akademisi senior dengan bejibun gelar dan pebisnis nyatanya tiada berbeda. Bergelar akademisi pun tak jamin melahirkan kebijakan yang membela kerakyatan.

Ah, tuh kan jadinya malah ketahuan bahwa aku salah satu mahasiswa nyinyir yang passion berburuk sangka pada pemangku kebijakan.

Hadirin: “Boooooooo. sok sok-an kritis padahal masih butuh juga gelar dari kampusnya.” Heuheuheuheuheu.

Sementara itu, di Gesikan Godean di suatu perempatan, di tengah jalan berdiri Polisi Cepek atau Pak Ogah yang ‘mengatur’ lalu lintas dengan imbalan uang seikhlasnya dari pengguna jalan.

Setahuku, Pak Ogah berdiri pada suatu kondisi jalan yang biasanya ramai. Tetapi di tempat tersebut justru sebaliknya, cenderung sepi, para pengguna jalan dari dua arah biasanya melaju dengan kecepatan tinggi.

Meski demikian, tidak jarang juga ada kendaraan yang hendak menyeberang, dibantulah oleh Pak Ogah. Kuperhatikan cukup lama dari kendaraan yang menyeberang, tidak ada yang memberi Pak Ogah uang. Meskipun kebanyakan yang dibantu Pak Ogah adalah kendaraan bermotor.

Ah iya-iya (baca: jangan-jangan) menjadi Pak Ogah sudah menjadi passionnya si bapak? Yang senang membantu orang. Bahkan aku pernah lewat pada pukul 23.00 malam, ternyata beliau masih berdiri di sana. Dengan kondisi jalan yang teramat sepi: cukuplah jika bermain satu permainan karambol untuk menunggu satu kendaraan lewat.

Seandainya Pak Ogah ini menjadi rektor, beliau tentu akan mengambil jalan yang sepi. Kebijakan nyentrik, di saat kampus lain berusaha mempertahankan stabilitas finansialnya, bahkan mengambil sedikit keuntungan. Pak Ogah akan tetap konsisten dalam berdedikasi untuk membantu semua pengguna jalan, diberi upah atau tidak. Akan tetap konsisten membantu para mahasiswa, untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, bangkrut atau tidak ‘dapurnya’ kelak.

Sutijah tiba-tiba membisikiku, “Jangan-jangan Pak Ogah itu sebetulnya seorang pebisnis yang menyamar?”

Yang Lupa Memberi Harapan, Yang Lelah Memberi Kritik

Ketika membuka dokumen-dokumen laptop, aku sempat lupa memiliki tulisan yang belum terpublish. Terakhir kuedit pada tanggal 23 Juni 2018. Sudah dua tahun berlalu. Tulisan ini muncul dalam konteks kampus yang selalu menjadi sasaran kritik keresahan masyarakat. Kala itu dalam rangka memperingati hari buruh berlangsung demo yang berakhir rusuh hingga diwarnai pembakaran pos polisi di “pertigaan revolusi”.

Yang Lupa memberi harapan, yang Lelah memberi kritik

Pagi-pagi sekali di gerbang barat kampus. Tetiba sudah tergantung beberapa bungkus makanan. Di antaranya ada brownies, ayam goreng, jajanan pasar, gudeg, serta berbagai jenis makanan lain. Tidak tahu, biasanya memang begitu. Banyak orang yang tak dikenal berlalu meninggalkan bungkusan-bungkusan yang asasi itu. Sebagian orang kemudian mengambil satu makanan, kemudian (bila tidak habis) mengembalikan ke tempat semula.

Sudah banyak berubah kampus yang dahulu sering dihujat ini.

Anehnya meskipun tidak tahu polanya seperti apa, tidak ada makanan basi yang berceceran. Masyarakat di kampus ini lebih banyak menolak makanan karena alasan kekenyangan daripada saling rebutan. Makanan seringkali tersisa dibawa ke rumah masing-masing untuk dibagikan ke sekitarnya.

Tidak hanya soal makanan, beberapa orang tua yang tinggal di sekitar kampus pada setiap sore membawa putra putri mereka meminta mahasiswa yang ditemui untuk diajari mengaji. atau mereka datang seorang diri datang untuk bertanya suatu persoalan baik mengenai agama atau sosial.

Andai para mahasiswa demo di “pertigaan revolusi”, para pengendara serentak menurunkan standar motor atau mematikan mesin mobil mereka. Bersama mereka berjalan di belakang mahasiswa, bersama-sama menyuarakan apa yang disuarakan sang orator. Karena mereka sadar bahwa suara mahasiswa adalah masalah masyarakat itu sendiri. Mendemo berarti mereka yang ingin menyeka air mata masyarakat yang tertindas, yang tidak berani menyuarakan di depan publik. Maka mahasiswa sebagai penyambung lidahnya.

Baliho-baliho dahulu yang berisi hujatan terhadap mahasiswa dan kampus, kini beralih menjadi bunga yang hampir setiap hari di kalungkan dan ditaburkan di sepanjang jalan kampus mulia ini. Testimoni positif tak henti diucapkan kepada perguruan tinggi ini.

Kriminalitas di sekitar kampus berkurang. Meskipun masih banyak pakaian compang-camping berlalu-lalang, tetapi mereka ada dalam keadaan kenyang. Pemerintah tidak lagi perlu memberlakukan undang-undang tentang larangan memberi uang di jalanan kepada pengemis dan gelandangan. Mereka dengan sendirinya akan pergi ke kampus. Mereka makan, diberi pakaian hingga pengetahuan.

Tidak heran jika ‘kampus putih’ sudah tidak lagi menjadi milik mahasiswa saja, atau kunjungan-kunjungan dari Sekolah Menengah Atas (SMA) yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun juga milik semua kalangan masyarakat. Slogan Jogja berhotel nyaman sudah agak lama tak lagi terdengar. Orang-orang yang kehabisan bekal atau sengaja berkunjung ke Jogja lebih nyaman untuk bermalam di ‘kampus putih’ ini. Basecamp dari banyak UKM menyediakan tempat khusus para tamu yang hendak menginap. Bahkan tidak sedikit mahasiswa membuka ruang diskusi malam.

Pantas saja masyarakat begitu dekat dengan mahasiswa. Kuliah Kerja Nyata (KKN) tidak dilaksanakan pada semester sebelum mahasiswa diberikan wahyu oleh rektorat dan bagian akademik untuk mengerjakan skripsi. Kini KKN dilaksanakan pada semester kedua, sementara pembagian kelompok dan pembekalan sudah terlebih dahulu dilakukan pada semester awal. Kurang dan lebih 4 – 5 tahun mahasiswa terjun ke masyarakat. Selama perkuliahan berlangsung, mahasiswa lebih stress kala menghadapi masyarakat berkonflik soal harta gono-gini, dibanding stress lantaran makalah dan presentasi di ruang kelas.

Skripsi dikerjakan dua tahun setelah terjun di masyarakat. Tema-tema penelitian terambil dari permasalahan-permasalahan yang ditemui di masing-masing tempat KKN. Masyarakat tidak lagi menangis melepas mahasiswa, karena mahasiswa sudah menjaminkan nyawanya kepada masyarakat tanpa pengkhianatan. Mereka tidak khawatir karena mahasiswa pasti akan mengunjungi mereka.

Sudah banyak berubah kampus yang dahulu sering dihujat ini.

Habislah kata untuk membangun harapanku, yang jengah mendengar banyak kritik. Suatu ilustrasi yang sedang, tidak berhenti hanya menjadi akan. Kejadian!

Minggu Kelabu

Ah kadangkala media dan sebagian orang cukup berlebihan memframing suatu peristiwa. “Jangan kemana-mana!” “Kota ini sedang dalam penegakkan aturan yang ketat.” Hingga ketakutan kini sedang naik daun. Corona menjadi mafia menerror setiap insan bernafas.

Malam minggu tiba. Ah. Keluar juga kalian. Keluar juga kalian. Keluar juga kalian dengan pasangannya. Sementara aku berada di motor sembari berusaha menghabiskan sisa jok dengan badan yang mulai menggemuk sendirian.

Ingin sekali rasanya berubah menjadi polisi kemudian menilang dan memeriksa KTP mereka satu per satu pasangan kekasih itu, apakah mereka berada pada satu alamat yang sama: “Ah tepat sekali, Bapak. Kami secara sengaja tinggal pada alamat kos bahkan ranjang dan fetish yang sama!”

Sudahlah.

Sepanjang perjalanan malam minggu kelabu ini, toko-toko tidak sedikit yang masih tutup. Jumlah ketersediaan berkurang, namun tidak dengan tukang parkir. Jumlahnya masih tetap. Bahkan ada pula sebuah toko yang dijaga oleh dua tukang parkir.

Sempat sebal. Namun setelah dipikir-pikir, dalam kondisi yang sulit seperti ini, jangan marah pada tukang parkir. Jangan marah pada pencopet. Jangan marah pada rentenir. Jangan marah pada begal. Jangan marah pada penipu. Karena beginilah cara rakjat akar rumput bertahan hidup: bukankah sama-sama bersaing-sama kotornya dengan para kapitalis kelas kakap? Bedanya hanya dari cara berpakaian dan kendaraan…Sementara pada saat yang sama, sebagian agamawan sibuk pada seminar dan webinar.

Minggu kelabu membawaku berkelana menuju kawasan pesisir pantai selatan. Ketakutan akan wabah corona mengkristal sebagai serpihan-serpihan kaca dalam alam pikiran. Di jalan raya, virus berhasil memojokkan manusia dan membiarkan alam kepada muasalnya yang dingin dan sunyi. Bersih dari jejak kaki manusia yang mendekam pada sudut ruang rumah: sibuk mendengarkan berita televisi.

Minggu kelabu menuntun mataku kepada pertunjukkan sulap Indomaret dan Alfamart berubah menjadi Tomira: Toko Milik Rakjat di Kulon Progo. Kau tau sendiri bukan, bila sulap penuh dengan intrik dan kecepatan (~kebijakan) tangan? Hanya nama saja yang berganti dengan dalih sebagai solusi terbaik untuk merawat eksistensi perekonomian lokal di samping tetap mengizinkan toko modern beroperasi, daleman nya tidak sedemikian signifikan berubah. Baca lebih lanjut tulisan yang merupakan hasil penelitian Saudara Johan Ferdian JR yang berjudul: “Toko Milik Rakyat (Tomira): Apakah Benar Milik Rakyat?” dalam www.medium.com.

Ah, Tomira mengingatkanku pada suatu bangunan megah, tiada tahun tanpa pembangunan fisik, tiada waktu berlalu tanpa memikirkan akreditasi, konon katanya tempat mencerdaskan anak bangsa. Tertulis pada bangunan tersebut, “Kampus Rakjat”. Aku sedikit ragu dengan kebenarannya. Setelah kuusap kedua mataku, ah ternyata mataku salah lihat. Bangunan ini lihai sekali dalam menggunakan intrik dan kecepatan (kebijakan) tangan. Pertunjukkan Sulap yang unpredictable. Ternyata bangunan itu tak lain bagaikan koperasi: jual beli gelar. Astaga. Selama ini hadirin berikut rakjat ikut tertipoe. “Kampus Rakjat: Benarkah Menguntungkan Rentenier?” Orang tua mahasiswa harus rela meminjam uang demi (~pendidikan anak-anak semestanya) pertunjukkan sulap: Uang pendidikan mahal. Bahkan ditambah beban biaya ekstra!

Setelah sampai di kawasan pesisir pantai selatan, Kiai Seniman sampaikan bahwa perlawanan rakjat menolak sertifikasi tanah oleh TNI semakin membara: aku masih dengan khusyu mendengarkan banyak kisah dan petuahnya.

Sepulangnya,

Minggu kelabu memperlihatkanku pemandangan yang menunjukkan harmoni semesta: seorang pria tampan bertato pada lengannya sebelah kiri, membonceng seorang perempuan cantik berjilbab besar dengan motor matic.

Minggu kelabu belum berakhir, sesampainya di peristirahatan, ketika membuka laptop, cahaya lampu kamar berganti shift dengan kegelapan. Mati lampu! Ah aku phobia. Membuatku sesak nafas dan mencari sumber cahaya persis seperti laron.

Kunyalakan senter handphone. Namun yang terlihat bukanlah keadaan kamarku. Melainkan jiwaku yang kotor, pekat. Terpampang jelas.